Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 30. Pergi

2.8K 515 194
By fuchsiagurl

Barangkali ada sebuah ajang penghargaan manusia paling bodoh, Ares akan langsung mengangkat tangan Sena tinggi-tinggi untuk mengikuti ajang penghargaan tersebut. Ia yakin kakaknya akan menang, dua ratus persen.

"Iya. Puas? Lalu, Kakak mau apa kalau sudah tahu? Menggantikanku?"

Sena mengalihkan pandangannya selama beberapa saat kemudian kembali menatap Ares mantap. "Iya."

Sena tidak main-main dengan ucapannya, Ares tahu. Jika iya, ya, iya. Jika tidak, ya, tidak. Sena sedikit memiliki kesamaan dengan Ares mengenai hal ini.

Buktinya, meskipun ia sudah melarang Sena untuk menjadi budak cintanya Luna, Sena tetap kukuh mengejar-ngejar Luna sampai mampus. Yang ada, Ares dan Sena hanya akan berakhir dengan bertengkar jika sudah membahas Luna.

Tolol, maki Ares dalam hati ketika ia tengah memandang Sena yang berbincang dengan Devan di ranjang rumah sakit. Devan bahkan tidak mau bicara satu patah kata apa pun setelah ia jemput, namun kini malah menumpahkan tangisnya di depan Sena.

Memang, sih, langkah Devan sudah terseok-seok nyaris tersandung paving jalan depan rumah yang setengah rusak dan sekonyong-konyong membuat Ares sampai turun dari motor. Sorot pandangan Devan terasa kosong. Ares jadi tidak berani bertanya apa-apa, apalagi setelah mengetahui bahwa orangtuanya bertengkar dari Sena.

Sena merengkuh Devan seraya menghela napas berat. Kedua matanya menatap Ares yang duduk diam di kursi. Ares mengalihkan pandang, menatap objek lain.

"Aku yang urus sisanya."

Hah, Ares nyaris tertawa saat mendengarnya langsung dari mulut Sena. Urus apa? Masalah Ibu? Devan? Ayah? Menghadapi Ayah saja Kak Sena kewalahan, apalagi Ibu.

Ares memainkan jari-jari tangannya gusar. Ia rasa, semua akan percuma sekali pun Sena bersikeras mencoba menolong dan melindunginya kali ini.

Ares justru semakin takut jika Sena memaksakan dirinya. Kepalanya ia gelengkan pelan, menepis semua skenario-skenario terburuk yang kemungkinan akan terjadi. Tangan Ares gemetar, dadanya sesak.

Bagaimana kalau Kak Sena tiba-tiba drop lagi karena terlalu stres? Bagaimana kalau Kak Sena meninggalkanku sendirian? Bagaimana jika ini, bagaimana jika itu dan bagaimana lainnya.

"Aku sehat pun Ayah tidak pernah senang melihatnya. Kamu dengar sendiri waktu itu ... kalau Ayah sebenarnya tidak ingin aku lahir semenjak Ibu mengandung kita. Percuma. Jadi, jangan sakit, Res. Biar pun kamu sakit, aku nantinya masih akan pergi kalau memang waktuku sudah habis."

Memoar kalimat-kalimat yang pernah Sena utarakan, mengalun jelas di kepala Ares. Tanpa henti, tanpa jeda.

"Aku nantinya masih akan pergi kalau memang waktuku sudah habis."

Sekali lagi, kinerja otak Ares seolah melambat. Ia menoleh perlahan, ditatapnya Sena yang masih memandangnya sendu. Sena membuka mulut, berucap tanpa suara. "Maaf."

Sena menjatuhkan pandangannya, kemudian melepas rengkuhannya pada Devan. Ia usap air mata Devan dengan lengan baju rumah sakitnya kemudian tersenyum samar. Ares bersandar pada kursi, memejamkan mata tatkala pandangannya mulai mengabur karena air mata.

"Tidakkah kamu mengerti? Aku hanya ingin ayah dan kamu tidak sendirian saat hari itu tiba," kata Sena beberapa bulan lalu saat ia menjelaskan alasan konyolnya mengapa Ares harus memberi izin pada Aksa untuk menikah dengan Leana.

Saat hari itu tiba, ya? Saat jantung akan berhenti berdetak, baterai jam dinding akan habis atau saat waktu Sena telah habis?

Akan tetapi, sampai kapan pun, Ares tidak pernah siap jika hari itu tiba.

***

Pagi harinya, Sena terbangun sendirian di kamar.

Sena menoleh, mencari presensi Devan dan Ares di ruangannya. Semalam, Devan tidur di sampingnya dan Ares tidur di kursi dengan posisi duduk. Tahu-tahu saat Sena membuka mata di pagi hari, mereka sudah tidak ada. Sena menatap jarum panjang jam dinding rumah sakit yang terdiam di angka 2.

Ah, jamnya mati. Baterai jam dindingnya mungkin sudah habis. Sena beringsut, meraba nakas rumah sakit dan meraih ponselnya.

Pukul delapan pagi. Sena menghela napas, Devan dan Ares mungkin sudah berangkat sekolah. Aksa dan Leana juga sepertinya sudah berangkat bekerja.

"Selamat pagi."

Atensi Sena teralih pada dokter spesialis jantung dan seorang perawat perempuan yang membuka pintu ruangannya dan tersenyum manis. Sena mengulas senyum tipis, membalas sapaan dokter laki-laki yang menanganinya.

"Pagi ini pulang, ya?"

Sena berdeham mengiyakan, membiarkan dokter memeriksa luka jahitan dan memeriksa perban yang menutup sebagian perut Sena. Setelah operasi, bagian perut Sena dilubangi dan dimasukkan selang untuk mengeluarkan darah paska operasi.

"Jangan kena air dulu, ya. Mandinya pakai sabun bayi saja dulu. Harus check-up setiap seminggu sekali di rumah sakit. Jangan melakukan aktivitas berat mentang-mentang kamu sudah lulus fisioterapi jalan keliling rumah sakit. Harus benar-benar menjaga stamina dan pola makan karena operasi ketigamu ini banyak komplikasinya. Kalau ada keluhan, langsung ke IGD."

Sena mengangguk saat dokter mulai melepas kabel-kabel elektroda yang menempel di dadanya. Perawat perempuan yang datang bersama dokter tadi pun melepas infus Sena.

"Aduh, Dok!"

"Sudah terlepas," ujar dokter seraya menempelkan plester putih pada punggung tangan Sena. Bibir Sena maju, ia menggerutu pelan.

"Ayah di mana?"

Sena menghela napas kemudian menggeleng pelan, "tidak tahu. Kerja, mungkin?"

"Tunggu Ayah datang setelah mengurus administrasi, ya. Baru boleh pulang."

Sena mengangguk malas kemudian menatap dokter dan perawat yang berjalan ke luar. Sena menatap sekeliling kamar rawat inapnya. Sepi.

Ia meraih ponsel. Sena menghubungi Aksa, namun Aksa tidak kunjung mengangkat panggilannya. Sena baru menyerah ketika sudah ketiga kalinya ia menekan ikon panggil pada sosial media Aksa. Tidak ada satu pun panggilan Sena yang Aksa terima.

Sena akhirnya meletakkan ponsel, menurunkan kakinya dan berdiri perlahan. Tidak usah menunggu Aksa, pikir Sena. Rasanya percuma kalau Aksa sedang sibuk bekerja. Biasanya juga Sena pulang diantar Leana atau pulang sendiri dengan naik ojek online. Aksa hanya bisa mengantar Sena pulang ke rumah di hari sabtu dan minggu saja.

Ia membuka pakaian rumah sakit, menggantinya dengan pakaian ganti yang Aksa bawakan kemarin. Sena memasukkan sebagian barang yang tergeletak di atas nakas pada tas ransel kemudian membereskan barang-barang lain di laci nakas rumah sakit.

Pergerakannya terhenti sesaat ketika ia menyadari bahwa surat pernyataan pulang dari perawat tidak ada di laci nakas. Sena kembali membuka laci-lacinya bergantian dengan panik. Jika tidak ada surat pernyataan pulang dari perawat, ia tidak akan bisa mengurus administrasi dan pulang.

Sena menegakkan badan, menyisir rambutnya kebelakang seraya mengingat-ingat di mana ia meletakkan surat tersebut kemarin. Sena berdecak kesal. Yang bermasalah, kan, jantungku. Kenapa aku jadi sering lupa? Memangnya pengaruh, ya?

"Sena."

Atensinya sontak teralih. Kedua manik Sena menatap Aksa yang masuk ke dalam ruangannya dengan memakai baju rumah. Sena mengernyit bingung, ia buka lagi layar ponselnya kemudian kembali menatap Aksa. Hari rabu, kok. Seharusnya Ayah bekerja.

"Ayah tidak ker---"

"Tidak. Meliburkan diri," potong Aksa seraya mendekat pada Sena. "Omong-omong, Ares dan Devan sudah pulang subuh tadi, tidak berani membangunkan kamu, kata mereka. Sekarang mereka sekolah. Ayo pulang ke rumah, Ayah baru selesai mengurus administrasi. Mana ranselmu?"

Sena mengatupkan mulut rapat, memandang Aksa yang meraih tas ranselnya dalam diam.

"Tunggu di depan pintu masuk Instalasi Rawat Inap."

Sena berdeham mengiyakan seraya menatap punggung Aksa yang melenggang pergi. Sial, Sena nyaris tidak bisa menahan senyum. Ini pertama kalinya Aksa sampai meninggalkan pekerjaannya untuk sekedar mengantar Sena pulang dari rumah sakit.

***

"Ayah meminta cerai saat bertengkar dengan ibu kemarin."

Devan menghela napas berat seraya memakan nasi goreng yang ia beli di luar saat pulang sekolah tadi. Sementara itu, Sena yang duduk di hadapannya nyaris tersedak roti karena ucapan Devan. Keduanya kini tengah berada di ruang makan.

Devan mengangkat sebelah alisnya singkat, kemudian lanjut makan.

Sena bungkam, mengunyah roti dalam diam tanpa menanggapi cerita Devan. Kepala Sena rasanya penuh. Baru saja ia dibuat pusing karena persiapan Ujian Nasional Berbasis Komputer, Devan malah berucap demikian.

Setelah mengantar Sena pulang, Aksa hanya bicara seperlunya. Hanya menjelaskan obat yang perlu Sena minum atau sekedar mengangguk dan menggeleng jika Sena bertanya ini-itu. Aksa lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur.

"Ibu yang gila!"

Teriakan Ares dari kamarnya membuat Sena sontak menolehkan kepalanya kaget. Telapak tangannya basah, Sena lantas memundurkan kursi yang ia duduki dan berdiri. "Kamu lanjut makan saja, Van."

Sena berjalan menuju kamar Ares dengan dada yang berdebar.

"Bisa diam atau tidak, sih?"

Sena menghentikan langkah ketika mendengar suara pelan Leana. Deru napas memburu Ares bersautan dengan suara Leana.

"Kamu mau Sena dengar? Mau membuat Sena makin stres? Komplikasi operasinya kali ini banyak. Masih untung Sena bisa selamat." Leana berhenti bicara sejenak. "Ini cara Ibu untuk tetap waras. Jadi, belum bisa sepenuhnya kamu cap sebagai gila. Bercermin, Antares. Kamu yang harusnya mengunjungi psikolog dan menghilangkan kebiasaan melukai dirimu sendiri."

Leana berbisik. "Ah, tidak perlu. Biar Ibu saja yang menanggung dosanya. Kamu tidak perlu menyakiti diri sendiri. Ibu siap melakukannya untukmu."

Sena menyentuh dadanya pelan ketika mendengar Leana berucap pelan seraya menekan setiap kalimatnya. Bola mata Sena bergerak, ia menajamkan pendengarannya kala suara Ares terdengar samar.

"Aku tidak gila. Ibu yang gila---sshh perih ... Bu, sudah ..."

Sena mengintip, mencari presensi Ares dari balik pintu kamar Ares yang sedikit tertutup.

"Jangan teriak, Sayang. Nanti ayahmu dengar, ayahmu masih tidur. Setidaknya sampai stres-ku hilang."

Terdengar kekehan pelan dari Leana. "Hm ... segar sekali."

Sena mendorong pintu kamar Ares dan berdiri di ambang pintu. Ia tatap Leana yang buru-buru membetulkan kerah kaus Ares dan mundur. Ares menyandarkan tubuh pada dinding, seraya menekan kuat luka sayatan di bahu kirinya dengan tangan kanan. Ares membungkuk, terengah-engah dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipinya.

"Senarai a---"

Leana membersihkan cepat sisa darah Ares pada silet dengan bajunya lalu melempar benda pipih tersebut sembarangan.

Dada Ares berdenyut nyeri, sontak membuat Ares mendongak dan menatap Sena yang masih diam di tempatnya seraya mengernyit.

"Kak, aku baik-baik saja."

Sena menoleh, menatap Ares yang bersandar pada dinding kamar. Dada Sena naik turun berat, sakit sekali rasanya. Ia tidak pernah membiarkan teman-teman di sekolahnya menghina-hina Ares sebagai laki-laki 'ngondek' karena Ares bergelut pada dunia modelling. Akan tetapi, Leana---wanita yang sudah ia percaya, kini malah menoreh luka lain pada Ares.

Mata Sena berkaca-kaca, ia gigit bibir bagian bawah.

Leana berjalan cepat menghampiri Sena dan menyentuh kedua lengan Sena. "Sena, dengar kata Ares, kan? Dia baik-baik saja. Ibu hanya berusaha menghentikan Ares melukai dirinya sendi---"

Kalimat Leana terhenti tatkala Sena menepis tangannya. Hidung Sena mulai berair karena menahan tangis, luka jahit pada dadanya terasa perih. Sena sedikit membungkuk dan merintih pelan saking sakitnya.

"O-obat Sena ... dia bisa serangan jantung kalau seperti---Devan! Tolong ambilkan obat Sena!" pekik Leana.

Sena sedikit terhuyung ketika Ares menubrukkan tubuhnya pada badan Sena, merengkuh sang Kakak erat. Bekas darah di telapak tangan kanan Ares menempel pada baju belakang Sena.

Tangan Sena menahan dada Ares dan sedikit mendorongnya menjauh. Ia tatap bercak merah yang sedikit merembes dari kaus abu-abu muda yang Ares kenakan. Sedalam apa sayatannya sampai darah yang keluar banyak sekali?

"Kak ... aku baik-baik saja. Aku bilang, aku baik-baik saja!" teriak Ares frustasi ketika melihat Sena lagi-lagi merintih.

Dada Sena sakit sekali, kakinya berulang kali mencari pijakan agar tidak ambruk. Samar-samar, Sena mendengar isakan Ares yang terus berkata bahwa ia baik-baik saja.

Demi Tuhan, dada Sena rasanya sesak sekali.

Sena mempercayai Leana. Sena percaya bahwa Leana adalah wanita yang tepat untuk menjadi pendamping ayahnya. Namun, kini semua kepercayaannya seolah hancur nyaris tak bersisa.

Jika Sena saja merasa kecewa sampai seperti ini, lantas bagaimana Aksa? Bagaimana perasaan ayahnya?

"Apalagi yang kamu perbuat, Lea---astaga, sakit kepalaku."

Suara Aksa menggema di balik punggung Sena. Tubuh Sena meluruh disusul dengan Ares, kedua-duanya jatuh duduk di lantai. Ares terisak-isak kala napas Sena mulai tersenggal. Ia mendongak menatap Aksa yang berdiri disamping Devan.

Devan menggoyangkan botol obat milik Sena kemudian memberikannya pada Ares.

Aksa kembali menatap Leana yang menggigit bibir setelah memastikan Sena sudah memakan obatnya.

"Keluar dari rumah."

Leana membelalak. "Apa? Tidak. Atas dasar apa Kak Aksa sampai mengusirku?"

"Keluar, Leana."

"Aku hanya berusaha menghentikan Ares menyakiti dirinya sendiri la---"

Aksa memotong ucapan Leana. "Keluar. Aku tidak peduli."

"D-Devan yang---"

"Masih bisa membawa-bawa nama Devan padahal kamu sudah tertangkap basah? Leana, kamu menyakiti Ares---lihat tanganmu!"

Ares semakin merengkuh Sena lebih erat saat mendengar Aksa meninggikan intonasinya.

"Keluar!"

"Kak, aku---"

"KELUAR!"

Napas Sena berangsur-angsur tenang. Ia menjatuhkan kepalanya pada bahu kanan Ares.

"Oke. Aku keluar. Tapi, Devan ikut bersamaku," jawab Leana akhirnya.

Aksa menghela napas berat, memejamkam mata yang mulai buram karena air mata. Devan menggeleng pelan. "Aku tidak mau ikut Ibu."

"Dengar?" tanya Aksa seraya menatap Leana dengan sorot mata lelah.

"Kalau begitu, Sena." Leana tersenyum tipis pada Aksa usai menyadari perubahan ekspresi Aksa. "Kalau Devan tidak mau ikut aku, maka Sena harus ikut aku."

Baru saja Aksa ingin menyanggah ucapan Leana, wanita itu langsung menyambung kalimatnya lagi. "Katanya, Kak Aksa mau belajar melepas Sena agar tidak terlalu berat? Agar tidak terlalu merasa kehilangan seperti kehilangan mendiang mantan istrimu? Katanya, Kak Aksa mau belajar merelakan Sena karena tidak ingin Sena merasakan sakit lagi?"

Sena tertawa pelan tanpa suara sementara Ares langsung memeluk Sena lebih erat seraya menggeleng. Isaknya semakin menjadi. Air mata yang sudah Sena tahan sejak tadi mendadak luruh begitu saja. Sena membalas pelukan Ares, mengusap punggung saudara kembarnya lembut.

Mungkin Leana ada benarnya. Mungkin ia memang harusnya pergi dari kehidupan Aksa sejak awal. Agar ayahnya tidak terbebani lagi dengan biaya rawat inap di rumah sakit yang membuat sakit kepala. Agar ayahnya tidak lagi merasakan kehilangan.

Continue Reading

You'll Also Like

52.4K 3.9K 61
Pernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang...
11.9K 2.5K 44
💢Stop plagiat Bercerita tentang perjuangan seorang remaja penginap Alzheimer, di mana hal itu membuat ingatannya bisa hilang kapan saja. Dan di per...
194K 5.8K 13
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Perjanjian itu juga akhirnya adalah kematian Reval! Reval nggak bodoh untuk menyadari kalau jantung Reval diambil, Reval ak...
1.5K 305 43
Terkadang muncul sebuah kesimpulan remeh dari sebuah pertemuan. Bumi punya miliyaran jiwa yang saling bertemu raganya. Di antara banyaknya pertemuan...