Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 29. Percaya

2.5K 519 224
By fuchsiagurl

Sejatinya, antariksa adalah ruang hampa yang menyakitkan. Tanpa oksigen, tanpa udara, dan tanpa cahaya namun panas daei matahari dan ribuan bintang masih terasa menyengat---seperti berada di dalam oven.

Devan sudah terlanjur masuk pada semesta Aksa yang hitam hampa. Lantas, ia mengibaratkan dirinya sendiri sebagai serpihan asteroid dan sewaktu-waktu bisa hancur kapan saja karena menabrak bulan di tengah-tengah ribuan bintang panas yang memenuhi galaksi. Atau mungkin bisa saja diibaratkan menjadi seorang astronout yang berkelana di belantara ruang hampa sendirian tanpa teman dan tidak bisa kembali ke bumi karena pesawatnya kehabisan bahan bakar serta kekuatan untuk mengudara.

Ini hanya soal waktu, di mana oksigennya akan habis dan membuat Devan menggeliat, meraup udara dengan rakus sampai akhirnya tubuhnya pasrah kemudian mati perlahan. Ini hanya soal waktu, di mana Devan akan kehilangan seluruh kekuatannya untuk berpijak dan berakhir pasrah mengikuti hukum alam semesta yang menyakitkan. Semua akan hancur lebur pada waktunya.

Lutut Devan membentur lantai marmer, ia duduk berlutut di hadapan Aksa. Kedua tangannya yang terkepal ia letakkan di atas paha. Kepala Devan tertunduk, air matanya mengalir deras. Ia tidak punya pilihan lain. Leana sudah mengambil alih ATM miliknya sekitar satu tahun lalu karena Devan masih belum cukup umur untuk diserahi kartu debit, katanya. Sedangkan Devan tidak punya teman di luar sana, selain Ares.

"Maaf."

Napas Ares tercekat, ia tatap punggung Devan yang bergetar menahan tangis. Mulutnya sedikit terbuka. Ingin berbicara, namun semua kalimat yang melayang di kepalanya seolah tersangkut di tenggorokan begitu saja.

"Maaf. Aku---minta maaf, Ayah."

Aksa menghela napas, ia pejamkan mata sejenak kemudian berjongkok di depan Devan dan menepuk-nepuk bahunya. "Iya. Ayah percaya kamu, Van. Jangan seperti itu lagi, ya?"

Aksa lantas berdiri ketika Devan mengangguk pelan. Ia menatap Ares dan Leana secara bergantian.

"Lea," panggil Aksa dan Leana seketika mengangkat kepalanya. Aksa menunjuk Devan yang masih duduk bersimpuh dengan dagunya. "Aku di luar sebentar, cari angin."

Aksa berbalik, melangkah menuju pintu utama lalu ke luar setelah mengambil rokok.

Leana bergerak setelah Aksa menghilang dari balik pintu ruang tamu dan menutup pintu. Ia berjalan mendekat pada Ares dan Devan.

"Lihat, Ares?" bisik Leana. Ares menoleh, menatap Leana dengan sorot benci. "Sudah kubilang, diam. Seperti ini jadinya kalau kamu banyak bicara. Kamu pintar juga, ya. Kamu bercerita pada Sena? Kenapa? Mencari pembelaan? Harusnya Sena, kan, tidak boleh mendengar hal seperti itu. Dia tidak boleh stress selama masa pemulihan. Kamu yakin Sena baik-baik saja setelah tahu hal ini?"

Ares memperhatikan Leana yang berjongkok dan merengkuh Devan dalam dekapannya. Devan bergeming, hanya diam saat Leana menarik tubuhnya. Demi Tuhan, rasanya ia sudah tidak punya kekuatan lagi untuk berlari. Untuk menangis meraung-raung pun Devan sudah tidak mampu.

Ares mendengus, berjalan melewati Leana dan Devan begitu saja kemudian membuka pintu ruang tamu.

"Jadikan malam ini sebagai pelajaran, Ares. Kamu tidak boleh membantah lagi apa pun yang Ibu katakan," bisik Leana lirih. Ares mengernyit sekilas, lalu lanjut melangkah ke luar. Ia tatap Aksa yang tengah merokok di samping mobil yang terparkir di luar garasi seraya memijit pelipisnya. Ares menghela napas, mendekat pada Aksa.

"Ayah tahu dari mana soal punggungku?"

Aksa menoleh, menatap Ares yang berjalan menghampirinya. "Apa hal seperti itu penting, Res?"

"Iya. Siapa, Yah? Kak Sena, 'kan?"

"Dengar, Ares. Yang perlu kamu garis bawahi harusnya kamu sendiri, bukan mengenai siapa-siapa yang sudah memberitahu Ayah tentang kondisimu. Ayah mau kamu cerita." Aksa menjeda kalimatnya kemudian berucap lirih. "Cerita. Apa susahnya?"

"Ayah ... Ayah tidak akan mengerti."

"Kalau begitu, buat Ayah mengerti," jawab Aksa cepat.

Suasana kembali lengang selama beberapa saat. Bau asap rokok mendominasi. Aksa menatap putung rokok yang masih panjang di tangannya kemudian kembali melanjutkan ucapannya dengan dada yang sesak. "Buat Ayah mengerti, apa susahnya?"

Aksa berulang kali menghela napas dengan berat. Sesak sekali dada Aksa setelah ia menyadari bahwa ia sama sekali tidak mengetahui rasa sakit anaknya sendiri. Aksa bukan marah pada Devan, bukan pada Ares mau pun Sena. Aksa marah pada dirinya sendiri karena menjadi seorang ayah yang tidak becus. Ares menyembunyikan masalahnya dari Aksa dan hal itu benar-benar menyakiti Aksa. Bagaimana Aksa bisa membantu jika semua anak-anaknya hanya merapatkan mulut dan membangun dinding di hadapan Aksa?

Atau, barangkali sejak awal memang aku yang salah. Aku yang membuat mereka menjadi seperti ini.

Aksa mengerjap cepat, menahan air mata yang nyaris meluruh. "Cerita, Ares. Ayah tidak bisa membantu kamu kalau kamu diam saja."

"Memangnya Ayah akan percaya apa yang aku ceritakan? Ayah saja t---"

"Ayah percaya," potong Aksa. "Ayah selalu percaya anak-anak Ayah lebih dari siapa pun. Ayah tahu kapan kalian berbohong dan kapan kalian berkata jujur. Ayah sudah menjalani sisa hidup bersama kalian, membesarkan kalian sendirian. Ayah percaya."

Aksa percaya pada keluarga kecilnya. Aksa percaya pada Sena, Ares, Devan, dan Leana. Aksa sangat mempercayai mereka berempat. Apa pun yang mereka katakan, Aksa percaya. Namun, bila ia dihadapkan pilihan. Siapa yang lebih ia percaya, Ares, Sena, Devan, atau Leana?

Maka, Aksa akan memilih anak kandungnya. Ares dan Sena. Sekali pun ia memperlakukan Ares dan Sena sedikit keras dan terkadang egois. Aksa tetap percaya mereka.

Usai melihat reaksi Devan saat ia mengusirnya, sedikit membuat Aksa gusar. Tapi, sejauh ini Aksa hanya mendapat laporan dari Leana bahwa Devan yang salah. Selebihnya, Aksa tidak mendapat petunjuk sama sekali. Sena juga tidak langsung memberi tahu Aksa secara blak-blakan.

Sena pun tidak berucap secara gamblang siapa yang sudah menyakiti Ares. Sena juga berusaha menutup-nutupi sesuatu darinya namun tetap melindungi Devan. Begitu pula Leana dan Ares. Kedua-duanya melindungi Devan.

"Apa kamu di-bully di sekolah, Ares?"

"Ibu."

"Apa?" tanya Aksa lirih. Pikirannya mendadak kosong melompong, kepala Aksa pusing. "Ibu kenapa?"

"Kalau semisal aku cerita bahwa Ibu yang melukai punggungku, apa Ayah percaya? Tidak, kan?"

Aksa menggeleng pelan. Bukan, Aksa bukannya tidak percaya. Aksa percaya. Sena juga berulang kali membujuk Aksa agar jangan percaya bahwa Devan yang melukai Ares. Tapi, Leana, apa-apaan? Untuk apa Leana melukai Ares? Leana saja menjaga Sena seperti anaknya sendiri.

"Ya sudah." Ares diam sejenak kemudian menghela napas. "Ayah bilang akan mempercayai ucapanku. Hah, omong kosong."

Ares berbalik, berjalan memasuki rumah. "Aku mau ke rumah sakit. Sudah janji pada Kak Sena."

Aksa menatap punggung Ares yang menjauh seraya tertawa tanpa suara. Ia menyisir rambutnya ke belakang kemudian memijit pelipis seraya menggeleng.

***

Ares membuka pintu kamar rawat Sena dengan perlahan. Ditatapnya Sena yang terlelap. Ponsel tergeletak di samping telinga Sena. Pintu kamar Sena tertutup. Air mata Ares mendadak luruh tak terkendali.

Ares bersandar pada pintu, tubuhnya merosot ke lantai. Ia remas rambutnya sendiri. Isak Ares memenuhi ruangan, sontak membuat Sena perlahan membuka mata.

Sena meraih ponsel, membuka kunci layar. Ah, teleponnya sudah terputus.

Sena lantas menoleh, menatap Ares yang terisak-isak di depan pintu. "Res? Ayah bilang apa?" ucap Sena serak.

"Kakak bilang apa?" Ares mendongak, berujar lirih. "Kakak bilang apa pada Ayah sampai Ayah tahu tentang punggungku?"

"Kakak tahu apa soal punggungku!"

Sena beranjak duduk perlahan, menatap sendu Ares yang berulang kali menyeka air mata. "Res ..."

"Aku sudah bilang, Ibu tidak menyakitiku! Kenapa, sih? Selalu saja. Kalau tahu seperti ini, aku tidak mau cerita-cerita lagi."

Sena menghela napas. "Kata dokter, aku sudah boleh pulang besok. Biar aku yang bicara pada Ayah."

"Tahu apa Kakak? Diam ... diam saja. Tolong, Kak. Diam saja!"

Sena menggertakkan gigi kemudian kembali menghela napasnya berat. "Antares, kamu yang harusnya diam. Ini hampir tengah malam di rumah sakit. Jangan keras-keras."

Ponsel Sena berdering, sontak membuat Sena mengurungkan niatnya untuk mengomel. Sena meraih ponsel di atas selimut kemudian ia tatap lama layar ponselnya lama. Devan. Devan menghubunginya.

Sena menerima panggilan Devan dan langsung disambut oleh isak tangis Devan. Dada Sena berdebar kencang. Apalagi sekarang?

"Devan? Kenapa?"

Devan menjawab terbata-bata. "Kak Ares---ada di sana?"

Samar-samar, terdengar suara teriakan Aksa. "Devan, Ayah bilang, ke luar dulu! Jangan masuk rumah!"

Leana menyahut. "Devan tetap di sini!"

Sena menggigigit bibir. Baik Aksa mau pun Leana saling meninggikan intonasi. Suara Aksa kembali terdengar. Samar sekali. "Gila kamu, ya, Lea?"

Devan bersuara. "Kak Sena ..."

"I-iya. Aku di sini."

"Jemput. Bilang ke Kak Ares. Jemput aku. Aku sudah di depan pagar rumah. Ayah dan Ibu ... Ayah ..."

Devan tidak melanjutkan kalimatnya dan isaknya menjadi-jadi.

"Aku tunggu."

Panggilan terputus, menyisakan hening yang kembali menyapa ruang kamar rawatnya.

Sena menoleh, menatap Ares yang sudah mulai tenang. "Ares, jemput Devan dan ke sini lagi."

"Devan masih dengan Ibu tadi."

"Ares, bisa tidak kamu mendengarkan kata-kataku sekali saja? Berangkat sekarang, Devan sudah di depan pagar rumah."

"Kakak saja tidak mau mendengarkan aku dari dulu."

"Ares! Ayah dan Ibu bertengkar. Kamu hanya perlu jemput Devan. Apa susahnya? Aku yang urus sisanya." Sena menyentuh sekilas dadanya yang perih kemudian kembali menatap Ares. "Tapi, jawab pertanyaanku dulu. Waktu kamu tidur, aku lihat luka-luka di punggungmu. Itu luka dari Ibu, kan?"

Ares berdiri, merogoh saku celana dan meraih kontak motor namun enggan menjawab pertanyaan Sena. "Aku mau jemput Devan."

"Ares, jawab dulu."

Kedua mata Ares menatap Sena dengan kosong. "Iya. Puas? Lalu, Kakak mau apa kalau sudah tahu? Menggantikanku?"

Continue Reading

You'll Also Like

52.4K 3.9K 61
Pernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.9M 102K 56
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1.5K 305 43
Terkadang muncul sebuah kesimpulan remeh dari sebuah pertemuan. Bumi punya miliyaran jiwa yang saling bertemu raganya. Di antara banyaknya pertemuan...
11.9K 2.5K 44
💢Stop plagiat Bercerita tentang perjuangan seorang remaja penginap Alzheimer, di mana hal itu membuat ingatannya bisa hilang kapan saja. Dan di per...