Detak. ✔

Autorstwa fuchsiagurl

168K 22K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... Więcej

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 27. Aksa.

2.6K 501 174
Autorstwa fuchsiagurl

Pandangannya mengedar, Ares duduk di tepi ranjang sembari menatap setiap sudut kamar Sena yang dingin. Jendela kamar yang ditutup gorden, lantainya berdebu.

Ia tatap bangku meja belajar Sena. Pandangannya terkunci kala Ares seolah melihat bayangan Sena yang duduk di sana sedang membalikkan badan seraya bertanya, "memangnya tugas apa?"

Pandangan Ares menyendu. Ia berucap pelan. "Kimia. Aku ada tugas kimia tapi aku tidak paham materinya."

Ares berkedip cepat kala matanya memanas. Bayangan Sena masih tetap setia duduk di sana. Ia lihat Sena membalikkan badan dan memunggungi Ares. "Aku beritahu caranya, kamu kerjakan sendiri. Materi logam alkali mudah, kok."

"Tapi aku masih tidak paham, Kak."

Sayup-sayup, Ares mendengar Sena mendengus kemudian mengomentari. "Malu. Sudah tampan, terkenal, model, terpilih menjadi duta pelajar Bandung tapi ujian harian kimia kemarin malah remidi."

Kemudian bayangan Sena hilang begitu saja. Ruang kamar Sena terasa begitu dingin, kosong dan sepi. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara air pada galon dispenser yang menggema di luar kamar.

Ares menatap ponsel milik Sena yang tergeletak di atas meja belajar dan sedang diisi daya baterainya. Ia berdiri, melangkahkan kakinya menuju kamar Aksa. Tangannya menyentuh punggung tangan Aksa yang panas kemudian ia arahkan tangannya menuju pangkal leher sang ayah. Panas. Aksa jatuh sakit.

Selama Sena masih tertidur usai operasi, Aksa menginap di rumah sakit tanpa pulang sama sekali. Aksa berangkat bekerja di pagi hari kemudian langsung mengarakan mobilnya menuju rumah sakit. Begitu siklusnya selama lima hari ini.

Jika saja Ares tidak membujuk Aksa sedemikian rupa, ayahnya tidak akan mau pulang. Jika saja Ares tidak mengancam akan melukai dirinya sendiri lagi, Aksa masih kukuh menunggu di rumah sakit dan tidur di kursi tunggu ICCU.

Aksa langsung saja mengiyakan permintaan Ares karena khawatir Ares akan melukai dirinya sendiri lagi setelah Ares menunjukkan luka sayatan di lengan---meski luka itu berasal dari Leana. "Ayo, pulang atau aku akan melukai tanganku lagi," bujuk Ares pada Aksa setelah ia keluar dari ruang ICCU kala perawat tengah menangani Sena. Tanpa berpikir dua kali, Aksa langsung saja menghubungi Leana dan memintanya untuk menjaga Sena sementara.

Ares menjauhkan tangannya dari perpotongan leher Aksa kemudian berjalan ke luar kamar.

"Maaf, penanganan lebih lanjut oleh dokter akan dilanjut besok pagi."

Ares yang tengah duduk di kursi lantas menoleh menatap Aksa dan kepala perawat. Aksa tampak mengernyit, berdiri berhadapan dengan perawat yang baru saja ke luar dari ICCU.

"Maaf, Mas? Anak saya di dalam sana butuh penanganan intensif."

"Sekali lagi, maaf, Bapak. Tidak ada dokter spesialis yang sedang piket pada jam sore seperti ini."

Aksa menghela napas. Memejamkan mata sejenak kemudian kembali menatap perawat di hadapannya. "Anak saya memang memakai asuransi, Mas. Tapi, kenapa tidak ditangani?"

"Maaf, Bapak. Saya hanya mematuhi kebijakan rumah sakit. Anak Bapak juga sudah kami tangani sementara."

"Saya perlu membayar berapa?" ucap Aksa seraya menghela napasnya kasar.

"Maaf, bagaimana?"

"Saya mau mengurus ulang administrasi anak saya sekarang. Di mana, ya, Mas? Anak saya tidak akan menggunakan asuransinya. Apa pihak rumah sakit bisa koordinasi dengan dokter yang bersangkutan? Saya akan membayar semua biayanya termasuk biaya tambahan penanganan tanpa memakai asuransi asal anak saya ditangani dengan cepat. Bisa, Mas?"

Ares duduk di sofa ruang tengah, memandang lurus televisi di seberangnya. Banyak sekali pikiran yang hinggap di kepala Ares, membelenggunya sampai sesak. Tangan Ares bergerak, menyentuh dada selama beberapa detik kemudian menurunkan lagi tangannya. Dadanya tidak sakit. Tidak ada apa-apa. Sena baik-baik saja.

Kondisi Sena sudah stabil lagi semenjak dokter datang dan menangani Sena. Ares tersenyum kecut. Hah, mata duitan.

Netranya menatap Devan yang berjalan melewatinya. Ia bersenandung pelan seraya membawa sebungkus sereal rasa cokelat.

"Ibumu juga seperti itu?"

Devan lantas menoleh dan membalikkan badan. Dengan mulut yang masih mengunyah sereal, Devan menautkan alis dan menatap bingung wajah Ares.

"Apanya?"

"Ibumu. Uang. Menikah dengan ayahku."

Devan makin tidak mengerti. "Hah? Ibuku dapat uang setelah menikah dengan ay---oh."

Devan langsung mengerti maksud Ares. Ia lantas terkekeh pelan kemudian menaikkan sebelah alisnya.

"Ibuku menikah dengan ayah Kakak karena butuh uangnya?" Devan mengendikkan bahu. "Tidak tahu. Bisa iya, bisa tidak. Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?"

Ares mengernyit, masih menutup mulutnya rapat. Devan lagi-lagi tertawa tanpa suara, ia mendengus.

"Lagipula, kalian kaya. Harta ayah tidak akan langsung habis begitu saja. Segala kebutuhanmu bahkan selalu terpenuhi, tidak sepertiku. Motorku harus dijual dan aku harus bekerja keras sebagai model untuk melunasi hutang mendiang ayah kandungku. Apa yang harus kalian khawatirkan?"

"Penanganan rumah sakit selalu lambat. Kak Sena pernah batal operasi dan menunggu selama satu bulan lagi padahal Kak Sena sudah tidak punya tenaga untuk sekedar berbicara. Makanya setelah kejadian itu, Kak Sena tidak pernah memakai asuransi untuk biaya rawat, pengobatan, dan operasi. Baru operasi kali ini Ayah terpaksa menggunakan asuransi lagi. Biaya operasinya nyaris mencapai 300 juta dan tahun lalu saat Kak Sena koma---" Ares menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. "Ayah juga tidak memakai asuransi meskipun Kak Sena koma selama 2 minggu di ruang ICCU dan menghabiskan berpuluh-puluh juta sedangkan gaji Ayah hanya belasan juta per bulannya."

Devan diam sejenak selama beberapa menit. Ia melirik sekilas pintu kamar Aksa yang tertutup kemudian menatap Ares sambil berucap pelan. "Kenapa repot-repot membayar mahal? Bukankah ayah tidak pernah peduli pada Kak Sena? Aku masih ingat kata-kata ayah pada Kak Sena. Orang tua mana yang memberitahu bahwa manusia akan binasa padahal saat itu anaknya ingin bunuh diri. Secara tidak langsung, Ayah menjabarkan bahwa mau bagaimana pun Kak Sena akan mati dan pasti mati."

Tangan Ares terkepal.

"Van, jangan lancang."

Devan mengendikkan bahu. "Aku bicara kenyataannya. Kenapa? Takut? Ayahmu sama bejatnya seperti ibuku."

"Devan."

"Tidak adil kalau hanya ibuku yang bejat. Bukankah semua orang tua seperti itu?"

Ares berdiri, masih menahan diri untuk tidak berlari mendekat pada Devan dan melayangkan tinju. "Devan."

"Ayah sama bejatnya."

Ares berjalan mendekat pada Devan. "Berhenti bicara, sekarang. Aku tidak mau menaruh benci padamu."

"Kenapa, kenapa kalian menerima aku dan Ibuku yang seperti ini? Kenapa, Kak? Kakak tahu akan menjadi saudara tiri dari laki-laki yang pernah gay, pernah memacari sesama laki-laki. Kakak tidak takut aku suka pada Kakak? Kak Sena juga tahu aku sudah setengah rusak tapi tetap menawarkan pundak, tidak jijik, masih tetap mencariku saat di ruang ICCU, masih tetap khawatir padahal kondisinya lebih mengkhawatirkan. Kenapa?"

Ares menghentikan langkah tepat di hadapan Devan yang langsung memalingkan wajah. Devan mengulum bibir, menyembunyikan getaran pada bibirnya. Niat Ares untuk meninju Devan lantas lenyap begitu saja. Ruangan kembali lengang, tidak ada satu pun dari mereka yang melanjutkan konversasi.

"Yang kutahu, ayah tidak pernah sekalipun menceritakan rasa sakitnya pada kita. Aku tidak setega itu membiarkan ayah sendirian memikul banyak beban di pundaknya. Apalagi salah satu dari beban itu adalah aku. Maka dari itu, aku hanya ingin ayah memiliki tempat berlabuh dan aku yakin, wanita yang ayah pilih bisa menjadi tempat teduh bagi ayah."

Ares mendadak teringat kalimat yang Sena ucapkan padanya beberapa bulan lalu. Aksa memang tidak pernah menceritakan beban yang dipikulnya. Ares baru mengingat beban sang ayah ketika Aksa langsung menarik asuransi Sena dan membayar biayanya dengan dana pribadi saat kondisi Sena kembali drop beberapa jam lalu.

"Kalau ayah memang menginginkanku menyusul ibu dan mati, sejak dulu ayah tidak perlu repot-repot membiayai pengobatanku. Cukup biarkan saja aku kesakitan sampai jantungku benar-benar berhenti bekerja."

Kakaknya benar. Aksa sama sepertinya. Ares sendiri menyadari bahwa ia sama kerasnya seperti Aksa. Ia sama egoisnya seperti Aksa. Ia dan Aksa sama-sama tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa panik dan rasa takut kehilangannya. Sama-sama memiliki gengsi yang besar.

Seperti halnya Ares yang tidak ingin kehilangan separuh cahaya semestanya. Aksa pun enggan kehilangan bulan dan bintangnya namun tidak pernah bisa mengekspresikannya.

Lamun Ares mendadak pecah ketika Devan berbisik pelan. "Kalau Ayah tahu kelakuan Ibu dan marah karena semestanya dibuat porak poranda dan mengusir Ibu, apa aku juga akan diusir? Bagaimana kalau Ayah tahu kalau aku adalah mantan gay?"

***

Hari ini, sudah terhitung empat hari setelah Sena siuman usai kondisinya mendadak drop dan black out. Semua kondisi vitalnya stabil dan kemarin Sena pun sudah dipindah dari ruang ICCU ke kamar rawat inap biasa.

Sena bersandar pada punggung ranjang yang dinaikkan sampai membentuk sudut 45 derajat. Ia memperhatikan Aksa yang duduk di kursi seraya membolak-balikkan laporan keuangan.

"Ares di rumah sendirian, Yah?"

Aksa menoleh sekilas kemudian kembali fokus pada berkas di pangkuannya. "Ada Devan dan Leana di rumah. Nanti malam Devan menyusul ke sini, Ares tidak. Sudah mulai masuk pekan uji coba Try Out UNBK."

"Sakit. Punggungku sakit."

Sena tiba-tiba teringat ucapan Ares ketika ia masih berada di ruang ICCU. Semalam, ketika Ares menginap, Sena juga memastikan sesuatu. Sena sedikit menyingkap baju Ares saat adiknya tidur dengan posisi membungkuk di tepi ranjang.

Punggung Ares memang benar-benar terluka. Ada beberapa luka bekas sayatan benda tajam. Ares memang sering melukai dirinya sendiri terutama pergelangan tangannya. Namun, punggung? Sena tidak yakin bahwa Ares memang sengaja melukai punggung sendiri.

"Yah."

Aksa menoleh, menatap Sena yang tidak menatapnya dan malah memandang lurus dinding rumah sakit.

"Ayah tahu punggung Ares luka-luka?"

Aksa meletakkan berkas yang ia pegang lalu menatap Sena bingung. "Luka?"

"Iya. Tadi malam aku lihat sendiri. Ares tidak mungkin melukai punggungnya sendiri. Aku curiga ada yang melukai punggung Ares dengan sengaja, Yah. Ayah tidak mau pulang dan melihat lukanya?"

Aksa membereskan berkas-berkasnya kemudian berdiri. Ia menatap arloji kemudian memasukkan berkas-berkas pada tas kerjanya. "Ayah pulang dulu Ke rumah. Malam ini kamu ditemani Ibu dulu, ya. Kamu juga sudah baik-baik saja, kan, Sena?"

Sena terdiam sejenak.

"Tidak mau. Aku sendirian saja seperti biasanya tidak apa-apa."

"Kalau terjadi sesuatu bagaimana? Ayah harus mengurus banyak hal, termasuk Ares. Kalau kamu drop lagi seperti kemarin-kemarin, Ayah semakin pusing. Menurut saja, Sena. Agar tidak makin merepotkan. Bisa tidak?"

Sena menggeleng.

Aksa menghela napas kasar. "Ya sudah. Terserah. Kalau ada apa-apa nanti, jangan merengek minta Ayah ke rumah sakit. Dadanya sakit lah, ini lah, itu lah. Sudah ada Ibu tapi kamu malah keras kepala seperti ini. Padahal kamu sendiri yang menyetujui Ayah menikah dengan Ibu. Maumu apa sih, Sena?"

Dada Sena berdenyut nyeri, ia lantas memejamkan matanya sejenak.

"Satu lagi. Ayah pernah bilang kalau akan mengambil tindakan pada Devan kalau anak nakal itu berulah. Jangan protes juga kalau Ayah menghukum Devan."

Sena sontak membuka matanya dan menatap Aksa. "De---kenapa?"

Aksa menghela napas.

"Ibu bilang, Devan mencoba melukai Ares. Devan itu setengah tidak waras, kata Ibu. Makanya setelah acara resepsi pernikahan ayah, Ares ketakutan sampai seperti itu. Devan juga baru saja keluar dari kamar Ares setelah Ibu masuk ke kamar Ares. Kalau tidak ada Ibu saat itu, Devan pasti sudah melukai Ares."

Sena mengernyit tidak mengerti. Lalu, kode yang ditunjukkan Devan padanya? Jelas-jelas Sena melihat pertengkaran Leana dengan Devan. Jelas-jelas Sena memgetahui gelagat Ares yang berbohong ketika berucap, "Ibu tidak menyakitiku."

Aksa berjalan ke luar kamar Sena. "Sayang sekali Ibu masih menahan-nahan Ayah untuk mengusir Devan dari rumah. Tapi, kalau perkataanmu benar bahwa punggung Ares memang luka-luka dan itu karena Devan, ayah tidak akan memberi toleransi sedikitpun."

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

6.8K 163 18
Tentang kisah cinta pelajar Putih-Biru. "Witing tresno jalaran seko kulino." Kisah dua remaja saling mencintai dan sama-sama ingin memiliki. "You ha...
25K 3.8K 28
Jika Anka harus memilih, tentu ia ingin semua berada di sisinya, tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Namun Anka tidak pernah diberikan pil...
MELVIN Autorstwa jukrisna

Dla nastolatków

5.6K 787 7
ketika kamu hanya hidup bersama seorang ibu, maka tak ada tempat untuk seorang ayah. This is my own story'!!! Don't be plagiarisme. Maaf bila ada kes...
584K 7.4K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+