Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 26. Seandainya.

2.7K 504 257
By fuchsiagurl


Semua orang hanya tahu bahwa Sena adalah pemuda belasan tahun yang tidak punya mimpi, masa depan, sakit-sakitan dan sering merepotkan orang lain ketika kambuh atau pingsan. Terakhir kali ketika ia pingsan di sekolah, teman-temannya hanya berkata, "oh, Sena pingsan lagi. Ayo, siapa yang mau bawa dia ke UKS?" dengan tenang. Tidak sedikit pula yang memandang Sena sebagai laki-laki yang cari perhatian dengan pingsan dengan embel-embel jantung lemah yang selalu Sena bawa ke mana-mana. Mereka iri, karena Sena tetap naik kelas padahal Sena pernah tidak masuk sekolah berbulan-bulan. Iri, karena di mata mereka Sena adalah anak yang pintar dan tetap mendapat nilai bagus meski ia sudah tertinggal banyak materi.

Tapi, mereka tidak pernah tahu bahwa Sena mati-matian menahan malu ketika siuman di UKS dan menyadari bahwa ia pingsan lagi, bahwa Sena pernah sekarat dengan bibir yang sudah membiru karena jantungnya bocor, bahwa dokter sudah angkat tangan mengenai kondisi Sena, bahwa ada Ares yang selalu memberikan buku catatannya pada Sena setiap Sena masuk rumah sakit agar bisa belajar.

Mereka hanya tahu bahwa Sena adalah remaja laki-laki yang ringkih, namun sebenarnya begitu kokoh dan gigih untuk bertahan hidup dikala orang lain justru mengakhiri hidupnya sendiri.

Sedangkan Ares, semua orang hanya tahu bahwa Ares adalah calon orang sukses---berbeda dengan saudara kembarnya. Menjadi duta pelajar Bandung, berkarir di dunia model di usianya yang masih muda, menjadi finalis Top Model Batik se-Jawa Barat dan punya banyak teman. Namun, jangan lupa bahwa sampai sekarang Ares masih berusaha bertahan dari cibiran dan opini miring mengenai dirinya.

Model laki-laki biasanya banci, model laki-laki biasanya gay, model laki-laki biasanya memang dipuja karena wajahnya bukan karena prestasi. Biasanya, biasanya dan biasanya.

Padahal, Ares beberapa kali memenangkan timnya dalam lomba debat di sekolah, Ares juga bisa menjawab dengan lancar dan tenang pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan juri Duta Pelajar Bandung. Ares sebenarnya pintar, tapi malas. Ares hanya belajar jika sudah mendekati minggu-minggu ujian kenaikan kelas atau setelah Sena mengomelinya.

Mereka hanya memberi berbagai spekulasi, mencibir tentang asumsi dan khayalan mereka sendiri, tanpa tahu bahwa Ares nyaris dibuat gila karena mendengarnya, tanpa tahu bahwa Ares sampai sering membolos karena tidak ingin bertemu teman-temannya dan tidak berani bercerita pada Aksa, tanpa tahu bahwa Ares mati-matian untuk bersikap tetap waras di tengah kondisi dan lingkarannya yang seperti itu.

Devan pun sama halnya seperti Sena dan Ares. Semua orang hanya tahu bahwa Devan adalah seorang model yang gay yang menjijikkan. Tidak seorang pun teman laki-lakinya mendekat karena takut, kecuali Ares dan teman-teman gay-nya. Mereka mengkahimi Devan, tanpa peduli alasan Devan memilih jalan seperti ini.

Lagipula, Devan mengerti, bahwa orang lain tidak punya waktu untuk mengerti sisi Devan---untuk mengerti rasa sakitnya. Tidak semua orang bisa mengerti bahwa Devan sangat, sangat, membenci perempuan karena ibunya. Tidak seorang pun tahu bahwa Devan sudah bertahun-tahun menjalani hidup di neraka yang ibu dan ayahnya ciptakan. Tidak seorang pun tahu bahwa Devan hanya ingin mencari bahagia dengan caranya sendiri. Sejatinya, Devan hanyalah korban dan seorang pemuda belasan tahun yang tengah mencari jati diri.

Devan krisis kepercayaan. Sampai akhirnya, ia membiarkan Sena melihatnya meraung kesakitan dan Sena tetap menawarkan pundak yang kokoh padahal Sena tahu bahwa Devan sudah setengah rusak jiwanya. Sampai akhirnya, Devan menceritakan sebagian rasa sakitnya pada Ares dan Ares tidak menghakiminya.

Devan merasa bersalah, terlebih ketika ia membiarkan ibunya yang bejat menikah dengan Aksa. Ketika ia membiarkan Leana menjadikan Ares sebagai mainannya setelah mereka menikah. Ketika ia malah membiarkan kehadirannya dan Leana merusak semesta Aksa. Seandainya ia tidak egois, keluarga kecil Aksa tidak akan seperti ini. Seandainya ia bisa mencegah niat buruk Ibunya sejak awal.

Tetapi, sungguh, Devan sebenarnya hanya tengah meminta tolong. Ia hanya ingin keluar dari neraka yang ia singgahi bertahun-tahun lamanya, namun tidak ada yang mau menolong. Tidak ada yang bisa membantunya keluar.

Ia hanya berharap bahwa Ares bisa menolongnya, dengan menjadi mainan baru Leana. Ia hanya berharap bahwa Sena bisa menolongnya, karena hanya Sena yang bisa meluluh lantakkan Leana.

Insting dokter, Leana tidak bisa menyakiti seseorang yang sakit. Leana bahkan lebih memperhatikan Sena ketimbang anak kandungnya, Devan.

Perasaan bersalahnya semakin mengoar tak terkendali kala Devan menahan tubuh Ares yang nyaris merosot di lantai koridor rumah sakit setelah melihat beberapa perawat berlarian masuk ke ruang operasi sembari membawa beberapa kantung darah.

Melihat Ares memukul-mukul dadanya sendiri dengan tangan yang gemetar, Devan hancur. Devan ikut hancur mendengar Ares memanggil Sena dengan lirih seraya menggeleng.

"Van ... Operasi Kak Sena gagal."

Devan mengguncang kedua bahu Ares, membuat pemuda tujuh belas taun di hadapannya tersebut lantas mendongak.

"Operasinya belum selesai, Kak." Devan menggigit bibir bawahnya. "Kak Sena akan baik-baik saja. Kak Sena baik-baik saja dalam ruang operasi."

Bahu Ares yang sempat menegang lantas melemas begitu saja. Ares mengokohkan pijakan kakinya kemudian menepis tangan Devan. Ia mengusap wajahnya kasar seraya memalingkan wajah.

"Sorry," ucap Ares pelan. Dahinya memerah, Ares malu karena ia mendadak lepas kendali di hadapan Devan.

"Soal yang kamu bicarakan tadi ... aku---"

Ares menjeda sejenak kalimat yang ingin ia ucapkan lantaran tenggorokannya mendadak tercekat.

"Aku ... tidak akan melawan. Aku tidak akan mencari jalan keluar."

Devan mematung, ditatapnya Ares yang kini memalingkan wajah kemudian berjalan melewatinya seraya berucap, "sesuai dengan yang Ibu katakan, aku akan diam. Maka dari itu, kamu bisa bebas. Aku titip Kak Sena nanti."

***

Semua dokter yang pernah menangani Sena sejak kecil hingga sekarang sudah sering berkata bahwa Sena adalah anak yang beruntung. Operasi perbaikan katup jantung yang berlangsung selama 4 jam berhasil, padahal Sena sempat mengalami pendarahan ketika operasi berlangsung.

Darah sempat merembes dari bagian yang sudah dibedah, menggenang sampai menutup sebagian organ jantung Sena. Bahkan, pakaian operasi yang dokter kenakan pun nyaris dipenuhi cipratan darah. Tapi, Sena selamat. Sena berhasil bertahan.

Satu hari setelah operasi, Sena masih belum membuka mata.

Dua hari, Sena masih tidur. Bola matanya tidak merespon cahaya yang masuk dan dokter berkata, jika besok pupil mata Sena masih tidak merespon, Sena dinyatakan koma.

Tiga hari setelah operasi, Sena membuka mata. Pemuda tujuh belas tahun itu mengerjap lambat di ruang ICCU tanpa bisa menyuarakan satu kalimat saja untuk berkomunikasi dengan dokter karena napasnya masih pendek. Sena hanya bisa mengerjap sekali untuk mengatakan 'iya' dan mengerjap dua kali untuk mengatakan 'tidak' atas pertanyaan dokter.

Ares baru bisa mengunjungi Sena dua hari setelahnya usai Sena mulai berangsur pulih. Walau begitu, Ares hanya bisa mengunjungi Sena selama lima belas menit. Dengan mengenakan pakaian khusus ruang ICCU dari pihak rumah sakit, Ares berjalan menuju Sena yang tengah berbaring di ranjang. Suara derap langkah kakinya bersautan dengan suara 'bip' pada monitor elektrokardiogram. Ada begitu banyak alat medis yang terpasang di balik kain biru langit yang menutupi dada Sena. Selang kecil yang dimasukkan pada perut atas sampai bawah menyedot cairan di jantungnya pasca operasi hingga kabel-kabel elektroda. Jika Sena menyingkap kain tersebut, mungkin ia sudah mirip dengan robot yang tengah direparasi dan terpasang banyak kabel.

"Kak," panggil Ares pelan.

Sena sedikit menoleh, ia lirik Ares yang berdiri di sampingnya. Napas Sena masih terengah, ia belum bisa berbicara dengan lancar.

Mata Sena melebar ketika setetes air mata meluruh dari kedua mata Ares. Ares menyeka air matanya. Mulut Sena terbuka, namun ia tidak mampu menyuarakan satu patah kata pun.

"Sakit. Punggungku sakit."

Sena mengernyit, menatap sendu Ares. Kenapa? Kenapa punggungmu sakit, Res?

"Kakak tidur lama sekali. Di rumah hanya ada Ibu dan Devan. Ayah tidak mau kuajak pulang. Ayah memaksa menginap di rumah sakit, menunggu Kakak bangun. Aku sendirian."

Sena menghela napas pelan kemudian mengangkat tangan kirinya seraya mencoba tersenyum meski terlihat samar sebab ia masih mengenakan masker oksigen. Tangan Sena bergerak, memberi isyarat pada Ares untuk mendekat. Selayaknya robot yang sudah diprogram untuk mengikuti perintah majikannya, Ares menurut. Ia membungkuk, mengkis jarak antara dirinya dan sang kakak.

Sena menyentuh puncak kepala Ares yang terhalang pelindung rambut kemudian mengarahkan tangannya pada wajah Ares. Ia usap lembut pipi kanan Ares dengan ibu jarinya. Sena menepuk pelan pipi Ares kemudian berucap pelan, "ma ... af."

Tangis Ares mendadak pecah, air matanya menganak membasahi pipi usai mendengar Sena berbisik mengucap maaf. Kepala Ares menunduk kala Sena menurunkan tangannya. "Ayo cepat pulih lalu pulang, Kak."

"Ares."

"Hm?" jawab Ares seraya mendongak dan menghapus air matanya.

"Ceritakan ... semua ... yang tidak---" mata Sena terpejam sejenak seraya mengatur napas yang masih terengah. Ia kembali membuka mata, menatap kedua mata Ares yang basah. Sena melanjutkan kalimatnya. "Aku ketahui."

Ares menggeleng. "Sudah. Kakak diam saja. Tidak usah berbicara."

Tangan Sena kembali terangkat, ia raih jemari telunjuk Ares kemudian mengusapnya. Sena berdeham pelan, mengatur napas yang masih terengah.

"Aku tahu ... Ibu ... menyakiti Devan---hah."

Sena menelan ludah susah payah. Sementara Ares sudah nyaris membentak Sena karena panik. "Sudah! Diam saja atau aku ke luar? Kakak jangan merepotkan dokter lagi. Dokter bilang Kakak tidak boleh banyak pikiran."

Mata Sena mengerjap lambat, tangannya kini beralih menahan pergelangan tangan Ares.

"Apa ... Ibu juga ... menyakitimu?"

Ares membelalak, sempat menatap objek lain. Ares kembali menatap Sena dan menggeleng panik. Kedua pupil Ares bergerak gusar. Sena menghela napas, ia tahu adiknya tengah berbohong. Sena hidup dengan Ares selama tujuh belas tahun. Meski tidak dekat seperti saudara kembar lainnya, ia tetap hafal karakter Ares. Ia tahu, kapan Ares berkata jujur dan kapan Ares berbohong.

"Ares ... maaf. Karena aku ..."

Ares lagi-lagi menggeleng heboh. "Tidak, kok! Jangan mengada-ada. Ibu tidak menyakitiku."

Sena menatap air mata yang tiba-tiba kembali membasahi pipi Ares. Adiknya terus menggeleng, mengucapkan hal yang sama. "Ibu tidak menyakitiku. Tidak. Ibu tidak menyakitiku, kok. Kak, percaya padaku kali ini saja. Ibu tidak menyakitiku."

Mata Sena panas, air mata menggenang pada pelupuknya. Dadanya sakit. Napas Sena terengah. Sesak sekali rasanya. Mata Sena terpejam, setetes air mata mengalir melalui ujung mata kirinya.

Seandainya, sejak awal aku juga menentang pernikahan Ayah dan tidak memaksakan kehendak. Seandainya, Aku mendengarkan pendapat Ares sekali saja. Seandainya aku tidak egois. Karena aku ... dari awal semuanya salahku. Karena aku, kamu seperti ini. Kakak macam apa aku?

Genggaman tangan Sena pada pergelangan tangan Ares melonggar. Tangan Sena jatuh begitu saja. Ares mendekat, ia tepuk pelan pipi Sena.

"Kak? Kak Sena!"

Ares buru-buru menekan tombol darurat ketika Sena tidak memberi respons sama sekali. Tangis Ares pecah untuk yang kesekian kalinya. Isak Ares bersaut-sautan dengan suara 'bip' mesin elektrokardiogram yang semakin lama semakin cepat temponya.

Perih di punggungnya karena luka yang Leana ukir menggunakan silet kini kalah oleh pedih yang menjalar di setiap inci tubuhnya. Ares tidak ingin kehilangan Sena. Demi apa pun. Ares tidak ingin kehilangan kakaknya. Ares tidak ingin kehilangan partner bertengkarnya. Ares tidak ingin kehilangan separuh semestanya.

Halo, siapa yang butuh tisu?

Aku update hari ini sekalian ngerayain kabar bahagia.

All kill Billboard... Our 7 boys deserved it :')

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 305 43
Terkadang muncul sebuah kesimpulan remeh dari sebuah pertemuan. Bumi punya miliyaran jiwa yang saling bertemu raganya. Di antara banyaknya pertemuan...
52.4K 3.9K 61
Pernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang...
21.1K 3.7K 61
Devano anggara adalah adik kakak yang sama sama memiliki sifat keras kepala dan bertindak sesuka hati yang berujung sebuah penyesalan.
1.9M 95.2K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...