Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 24. Tunggu aku bangun.

2.6K 528 199
By fuchsiagurl

[ Theme Song ]
Blue & Grey - BTS

⚠⚠⚠

Diam tidak selamanya emas. Devan sadar akan hal itu tatkala Sena merengkuh erat dirinya. Tatkala Sena mengusap puncak rambut dan menepuknya lembut. Sekali saja, Devan ingin mengadu pada Sena. Devan tidak tahu ke mana ia harus pulang.

Sungguh, Devan menyesal pernah berkata bahwa ia membenci orang yang sakit-sakitan seperti Sena karena merepotkan. Nyatanya, kehadiran Devanlah di keluarga mereka yang jauh lebih merepotkan.

Akan tetapi, Devan tidak bohong jika ia benci melihat Aksa memperlakukan Sena demikian. Memperlakukan Sena berbeda dari Ares dengan dalih dari Aksa bahwa Aksa tidak ingin merasa terlalu kehilangan ketika Sena pergi. Devan kesal mendengarnya. Karena Devan pun pernah merasakan sesaknya.

"Memangnya kamu punya teman yang bisa melindungimu, Devan? Tidak ada, Sayang. Kamu gay, mereka jijik. Lagipula, siapa suruh menjadi gay?"

Leana menarik poni Devan, membuat anak semata wayangnya lantas mendongak dengan sorot mata yang kosong.

"Bunuh diri dosa lho, Sayang. Kenapa tadi kamu malah berniat bunuh diri? Biar ibu saja yang menanggung dosanya. Atau mungkin kamu sudah lelah jadi mainan Ibu? Kebahagiaan Ibu? Hm?" Leana tersenyum tipis. "Rasanya kurang seru kalau kamu bunuh diri. Lebih baik tetap hidup menjadi mainan Ibu. Kamu mau meninggalkan Ibu sendirian?"

Leana menyentak cengkeramannya pada rambut Devan. Tubuh Devan terhuyung, ambruk membentur lantai marmer yang dingin. Devan menatap sayu tangannya yang memar karena terantuk pinggir meja. Sekujur badan Devan sakit dan perih usai Leana melukai punggungnya dengan silet untuk melampiaskan rasa stres. Devan akui, ibunya memang gila. Leana sudah selayaknya barang yang rusak dan tidak bisa diperbaiki.

Ah, tidak. Sedari awal, kedua orang tuanya memang sudah rusak. Ayah kandungnya selalu melakukan kekerasan fisik pada Leana. Melukai Leana. Sampai mental Leana rusak. Sampai Leana nekat membunuh suaminya, ayah Devan dengan tangannya sendiri sambil tertawa dan berkata, 'ternyata menyenangkan melihat orang lain menjerit kesakitan'. Lucunya, kejadian pembunuhan sang ayah oleh Leana yang waktu itu Devan lihat dengan mata kepalanya sendiri malah dicatat sebagai kejadian perampokan di rumah Devan.

Mata Devan basah. Tangannya mendadak gemetar tatkala Leana kembali menyingkap bajunya. Leana menempelkan silet yang dingin di punggungnya. Punggung Devan sudah perih, mau berapa luka lagi yang akan Leana ukir?

"Kerja yang lebih rajin, Devan. Jangan malah sibuk kencan sesama jenis di agensimu. Ibu sudah menjual motormu untuk bertahan hidup, tapi masih kurang. Ibu tercekik hutang-hutang ayah sialanmu itu. Kurang, Devan Adinata. Ibu tidak tahu ke mana lagi harus mencari uang."

Air mata Devan yang sejak tadi ia tahan, mendadak luruh. Ia tidak melawan, Devan tidak berani melawan. Dia menyayangi ibunya, tapi di saat yang bersamaan dia juga membenci ibunya. Devan takut kehilangan ibunya, tapi Devan juga takut pada ibunya yang seperti ini. Jemari Devan mencakar permukaan lantai marmer, tubuhnya menegang kala ibunya kembali menggoreskan silet pada punggung Devan. Tangan satunya ia gunakan untuk menutup mulut agar tidak merintih kesakitan. Devan menjerit dalam hati, tahan sebentar. Hanya sebentar.

"Kenapa tidak bersuara, Sayang? Kamu tidak mati, 'kan? Ibu mau mendengar rintihanmu agar bisa kembali tersenyum. Kalau kamu mati, siapa lagi yang jadi kebahagiaan ibu?"

Devan sudah bilang, ibunya rusak. Ibunya sudah gila. Leana melukai orang lain ketika ia merasa tertekan. Leana bahagia ketika melihat darah dari mainan-mainannya mengalir, Leana bahagia ketika mendengar mainannya merintih kesakitan.

Devan baru meloloskan rintihannya ketika ibu melukai punggungnya lebih dalam. Demi Tuhan, rasanya sakit sekali. Ia terisak, tangannya masih mencakar-cakar lantai marmer untuk melampiaskan rasa sakitnya.

Leana tersenyum. "Mati perlahan ... seperti digigit ular. Bisanya pun menyebar perlahan, tapi sakitnya absolut, kan, Devan? Jangan mati dulu sebelum ibu menemukan mainan baru."

Devan memang belum mengenal Sena saat mendengar Aksa bercerita pada Leana caranya memperlakukan Sena. Devan awalnya memaklumi karena mungkin Sena memang merepotkan. Tapi, Devan tetap kesal melihat orangtua yang menyakiti anaknya sendiri, sekali pun Aksa melakukannya secara tidak sadar karena trauma.

Akan tetapi, pagi ini, Devan rasa ia sudah mengenal Sena ketika menumpahkan tangisnya dalam dekapan Sena sampai ia terlambat berangkat sekolah. Devan memahami alasan Ares menjadikan Sena sebagai tamengnya. Devan baru paham. Ia baru menyadari bahwa presensi Sena memang sebegitu kuatnya sekali pun fisiknya tidak. Kedua bahu Sena yang kelihatannya tampak rapuh ternyata begitu kokoh.

Sena mengeratkan pelukannya. Bingung harus bereaksi bagaimana setelah Devan meminta pertolongan padanya melalui isyarat tangan.

Devan berbisik pelan. "Tolong."

***

Hari ini Sena operasi.

Ranjangnya didorong memasuki pintu ruang operasi. Desas-desus ricuh rumah sakit perlahan menghilang. Kepala Sena dipenuhi banyak pertanyaan akan apa yang terjadi kemarin-kemarin. Sena masih tidak mengerti apa yang tengah terjadi di keluarganya.

Setelah pertengkaran Leana dengan Devan, semua kembali baik-baik saja. Ares dan Devan bahkan menemani Sena bercengkrama di menit-menit sebelum jadwal operasinya.

Tidak ada air mata. Hanya obrolan ringan atau candaan payah di antara ketiganya. Perdebatan Sena dan Ares tentang anjing dan kelinci juga masih bisa-bisanya mereka ungkit. Aksa dan Leana juga tidak banyak berbicara. Tidak ada yang terjadi.

Lampu ruang operasi dihidupkan. Perawat memasangkan masker khusus dengan selang panjang untuk anestesi. Sena mengikuti instruksi perawat. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. Sena menatap langit-langit ruang operasi sembari terus menarik dan menghembuskan napas berulang kali.

Mata Sena berkedip lambat ketika obat biusnya mulai bekerja. Kedua matanya terpejam. Jemari tangannya melemas. Hal terakhir yang Sena ingat sebelum ia benar-benar tertidur adalah wajah Ares, Devan dan Aksa saat berkata padanya bahwa ia tidak boleh tidur terlalu lama. "Jangan tidur terlalu lama. Cepat bangun," kata Ares tepat sebelum ranjang Sena didorong menuju ruang operasi.

Tunggu. Tunggu aku bangun.

Masker khusus anestesi yang terpasang di wajah Sena diangkat. Dokter membuka mulut Sena, memasukkan selang dari mulut menuju paru-paru. Beberapa perawat memasang kabel serta selang di beberapa titik tubuh Sena. Mereka membentangkan kain hijau, mempersiapkan operasi.

"Detak jantung normal. Denyut dan tekanan darah juga normal."

Dokter spesialis bedah lantas menghela napas. "Kita mulai operasinya."

"Pisau bedah."

Selang satu jam usai operasi berlangsung, darah tiba-tiba terciprat pada masker serta baju operasi yang dokter kenakan. Perawat menoleh, menatap monitor EKG yang garisnya bergerak cepat. Tempo bunyi 'bip' pada monitor EKG semakin cepat. Darah merembes, Sena tiba-tiba mengalami pendarahan.

"Tekanan darah pasien semakin menurun, Dok."

"Denyut pasien menurun."

Darah lagi-lagi terciprat. Bunyi monitor EKG memenuhi seluruh penjuru ruang operasi. Mata Sena masih terpejam, mulutnya terpasang selang. Setetes air mata tiba-tiba luruh dadi ujung pelupuk mata kanan Sena.

Tunggu. Tunggu aku bangun.

Kalian percaya Sena, kan?

Continue Reading

You'll Also Like

171K 17.6K 38
[TELAH TERBIT] Sendu sembilu merengkuh semesta luas yang sedih melihat seorang pemuda bernama Raflie Adhinata Bhanu Jaya Kusuma. Seperti angin, dia a...
183K 36.4K 28
Dua tahun setelah kepergian Langit, tiba-tiba saja muncul seseorang yang sangat mirip dengannya, bagaikan pinang dibelah dua. Membuka kotak pandora y...
1.5K 226 27
IPA 1 punya cerita. [sequel Our Stories] *** Tentang tiga cowok famous di SMA Supernova...
1.9M 94.6K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...