Kumpulan Cerpen

By MarentinNiagara

102K 6.8K 1.9K

šŸ‘‹šŸ‘‹ Hi haii šŸ‘‹šŸ‘‹ berjumpah lagi kita šŸ’‹šŸ’‹ Bosen sama cerita panjang kek sinetron??? šŸ¤”šŸ¤” Lebih suka nonton f... More

šŸ’ Menantu Idaman Ummi ??
šŸ’ Aku Tikung Kau diSepertiga Malam
šŸ’ Perempuan disarang Penyamun
šŸ’ Cucu untuk Ibu
šŸ’ Semburat Bianglala di Puncak Rembangan
šŸ’ Cinta dan Setir Bundar
šŸ’ The Apple Of My Eyes
šŸ’ Istri Untuk Suamiku
šŸ’ Senja di Atas Kereta
šŸ’ Cintaku dan Duri Ikan
šŸ’ Boneka Cinta dari Arosbaya
šŸ’ Rona Lima Warna
šŸ’ Pembantu Baru Ibu
šŸ’ Keluarga Dokter
šŸ’ Bully
šŸ’ Jodoh Pasti Bertemu
šŸ’ Pasangan Sejiwa
šŸ’ Heal Your Heart
šŸ’ Surgaku, Dunia Akhirat
šŸ’ Pelabuhan Terakhir
šŸ’ Aku Cinta Ibu
šŸ’ Tiba-tiba, Kita?
šŸ’ I Long For You, Frian Ardiera
šŸ’ Bidadari Terakhir
šŸ’ Sein Kiri Belok Kanan
šŸ’ RESTU
šŸ’ Selamat Datang Cinta
šŸ’ Memantaskan Diri?
šŸ’ Mantan TKW (1)
šŸ’ Bianglala Senja
šŸ’ Radio Amatir
šŸ’ Why never be Honest?
šŸ’ Mantan TKW (2)
šŸ’ Maaf, Aku tak Memilihmu
šŸ’ UTANG
Berdamai dengan Masa lalu (1)
Berdamai dengan Masa Lalu (2)
šŸ’ Ndanda, Aku kangen!

šŸ’ Balada Cinta Bangsawan Andi

1.2K 162 91
By MarentinNiagara

a story by @MarentinNiagara

✏️✏️

Belajar dari pengalaman, menempuh studi kedokteran memang susah-susah gampang. Begitulah memang adanya. Awalnya aku memang tidak tertarik dengan studi ini, namun akhirnya aku bisa menikmati walau terkadang terlalu perfeksionis menurutku. Serius dan tidak bisa berkelit. Meleng sedikit bubar jalan semuanya. Sudah dikatakan susah, lama, apalagi biaya pendidikannya yang lumayan mengeruk belasan digit angka nol di belakang angka aslinya supaya bisa berbunyi, mahal.

Gambaran itu yang akhirnya muncul di kepala banyak orang tentang sekolah kedokteran dan perjalanan menjadi dokter. Sebagai dokter, masih kuingat dengan jelas bagaimana perjalanan panjang yang telah aku lalui, persiapan UMPTN, kuliah dengan sistem blok selalu begadang setiap malam karena tidak akan bisa dengan rumus SKS alias Sistem Kebut Semalam, harus menyelesaikan berbagai jenis laporan praktikum dan penelitian, hingga menghadapi ujian yang seakan tidak ada akhirnya. Ujian tulis 500 soal untuk UKDI, OSCE dan juga SOCA yang terdengar seperti momok dari fakultas kedokteran.

Empat tahun bergelung dengan teori, praktikum dan penelitian hingga akhirnya bisa sampai di tahapan SOCA dan OSCE dengan baik. Butuh perjuangan, pengorbanan dan juga air mata dalam perjalanan jatuh bangun bermain dengan spuit dan stetoskop itu sampai akhirnya aku memperoleh gelar sarjana kedokteran.

Belum berakhir sampai di situ, aku masih harus memulai perjalanan koasku, berpindah dari stase satu menuku stase lainnya. Mulai dari yang minor sampai mayor. Dari konsulen yang baik hati sampai harus meremas hati karena omongannya yang sangat memekakkan indera perungu. Tidak bisa tidak, fase ini harus dilalui, suka tidak suka, mau tidak mau aku harus tetap melaju.

Dua tahun berlalu, 15 stase lulus ku lalui mulai dari ilmu penyakit dalam, neurologi, anaestesi, bedah, obgyn dan yang lainnya. Hingga akhirnya sumpah dokterku mengguncang seluruh masa depanku di hippocratic oath, hingga dua huruf satu titik akhirnya menjadi awalan nama panjangku sebelum marga kebangsawananku diberikan. Ya, aku seorang Andi, keturunan dari bangsawan baik papa dan mamaku yang juga sama-sama bergelar Andi.

Sampai di sini apakah gelar dokter telah bisa membuatku untuk menerbitkan SIP, jelas sekali belum, bahkan aku belum terdaftar di STR dan SIP itu jelas tidak mungkin bisa diurus tanpa STR. Itu sebabnya setelah program internship selama satu tahun ke depan sebagai seorang dokter umum barulah aku tercatat keanggotaan sebagai IDI, terdaftar melalui STR dan bisa mengurus SIP. Yakinlah, dengan perjalanan panjang ini sejenius apa pun orangnya tidak akan membuat orang yang berusia 22 tahun sudah berhasil meraih gelar sebagai dokter spesialis seperti di cerita-cerita yang ditulis oleh para genius. Tidak mungkin kan masih dalam kandungan sudah sekolah TK, kemudian ikut akselerasi terus, entahlah.

Perkenalkan namaku, dr. Andi Yoelita Sjamsuddin. Jika melihat dari nama jelas sudah aku berasal dari bangsawan mana. Itu sebabnya terkadang aku tidak menyertakan nama bangsawanku ketika tidak bersama rekanan seadat atau mereka yang mengerti asalku dari mana. Sangat jarang sekali aku memakai nama itu. Rasanya seperti terasa berat dan menjadi beban. Kalian tahu bagaimana adatku bukan ketika marga kebangsawanan disambung dengan gelar pendidikan yang kini telah ku raih akan sangat sulit sebagai seorang biasa bisa mendekatiku dan meminta kepada kedua orang tuaku, meski dia seorang Baso ataupun Tentri sekalipun.

Namun akhirnya aku memilih Malinau sebagai tempat untukku mengasingkan diri. Sebuah kota di Provinsi Kalimantan Utara yang masih sangat membutuhkan tenaga medis sepertiku ini. Hatiku yang beku akhirnya bisa sedikit demi sedikit mencair. Tak lain dan tak bukan adalah karena senyum dokter spesialis baru yang bertugas di rumah sakit yang sama denganku, dr. Irwansyah Anwar, Sp. RM. Laki-laki yang membuatku merasa menjadi wanita yang kembali menginginkan keberadaannya untuk mendampingi hidup, mengukir mimpi bersama dan aku mulai memperhatikannya sejak dia bertugas di rumah sakit yang sama denganku.

Sebagai sesama dokter spesialis kami memang tidak terlalu sering bertemu, dia yang juga sibuk dengan spesialisnya demikian juga denganku. Sampai akhirnya direktur rumah sakit menunjuknya sebagai koordinator dokter koas. Ah, mengingat para dokter koas pasti mereka lebih muda, lebih segar dan lebih menarik dariku yang sebentar lagi akan memasungkan usia di setengah abad pertama. Tuhan, mengapa hingga usiaku lima tahun terlewat dari angka 4 sebagai kepalanya belum juga Kau pertemukan dengan jodohku. Sampai aku harus menghilangkan nama marga kebangsawananku di rumah sakit supaya mereka tidak berpikir tentang uang panai' yang akhirnya membuat semuanya mundur alon-alon.

Aku mengagumi dokter Irwan, bahkan kini aku bisa menyimpulkan bahwa aku mencintainya.

"Dokter Irwan, selamat atas terpilihnya menjadi koordinator dokter koas di rumah sakit ini." Tidak ada lagi bahan pembicaraan selain mengucapkan selamat saat dokter Ruslan mengumumkan namanya menjadi dokter koordinator itu.

"Terima kasih Dokter Yoelita, saya masih butuh bimbingan senior seperti anda."

"Waduh jangan mengatakan senior atau junior, rasanya kok saya merasa tua kalau dipanggil senior." Ucapku berbasa-basi.

"Oh maaf, maaf. Tapi saya memang masih butuh bimbingan. Mohon untuk bisa diingatkan apabila ada yang kurang pas."

"Tentu saja, sebagai tim kita memang harus bisa seperti itu bukan?" kataku ringan.

"Benar__"

"Kalau begitu, boleh kita makan siang bersama Dokter, sebagai ucapan selamat. Saya yang akan mentraktirnya." Mengapa harus aku yang mentraktir? Bukankah ini hari bahagianya dokter Irwan? Ah sudahlah, yang penting bagiku ada bahan sebagai dasar obrolan kami berdua.

"Boleh, silakan." Gayung bersambut. Dokter Irwan memang sangat ramah, bahkan senyumnya selalu mengembang kepada semua orang. Kadang aku sampai bingung untuk membedakan, senyum itu karena kesopanan atau atas dasar kekaguman.

Aku mencintainya hingga membuatku gelap mata untuk memandang rendah siapa pun yang bermaksud untuk berdekatan dengannya. Setahun berlalu dari penunjukan itu hingga tibalah periode koas, seorang sarjana kedokteran dari Jawa yang kesasar sampai di Malinau. Untuk apa dia jauh-jauh ke Malinau sementara di Jawa jauh lebih memadai peralatannya dibandingkan di sini. Dan yang membuat aku semakin geram adalah dokter koas itu sangat dekat dengan dokter Irwan. Namanya Ayyana, berjilbab dan selalu menunduk. Jika kami masih seumuran pasti aku tidak kalah cantik dari dia, kenyataan yang tidak bisa disembunyikan.

Kalau tidak cantik tidak mungkin si 'tuyul' itu bahkan sampai sekarang masih mengejarku namun aku sudah terlanjur muak dengan dirinya. Bahkan untuk menyebut namanya saja bibirku enggan mengatakan.

"Kamu tidak tahu kalau di sini peraturannya seperti itu. Jangan mentang-mentang dekat dengan dokter Irwan lalu kamu dengan mudah meminta izin untuk meninggalkan stase." Kataku saat Ayya sudah bergeser di state kesehatan mata di bawah bimbinganku secara langsung. Jelas aku tidak ingin disalahkan oleh direktur jika terjadi kealpaan seperti ini.

"Maaf dokter Yoelita, saya mendapatkan memo ini dari dokter Irwan untuk dimintakan persetujuan dokter Yoelita sebagai penanggung jawab stase mata. Jika memang tidak diizinkan juga tidak masalah. Mohon maaf untuk mapnya saya minta kembali untuk saya serahkan kepada dokter Ruslan. Karena sejatinya supervisi ini memang program pemerintah bekerja sama dengan rumah sakit daerah. Saya akan mengatakan keberatan Dokter Yoelita kepada dokter Ruslan selaku direktur rumah sakit ini." Ayya menjawab dengan sangat lugas namun karena hatiku masih dongkol terkait kedekatannya dengan dokter Irwan membuatku memilih untuk mendiamkannya sesaat.

Ditambah lagi gosip seantero rumah sakit semakin memanas saat salah seorang yang terduga teman dekat Ayya memberikan bogem mentah hingga membuat dokter Irwan terkapar di IGD. Dasar dokter koas kurang diajari tata krama. Pacaran ya pacaran saja, tambah lebih menyenangkan bagiku sehingga dia tidak dekat-dekat dengan dokter Irwan. Masalahnya adalah mengapa justru pacarnya Ayya itu membuat laki-laki yang aku cinta jatuh tak berdaya. Jika aku berada di tempat kejadian sudah pasti mukanya aku robek-robek sampai tak berbentuk.

"Mohon maaf Dokter, saya minta kembali mapnya." Suara milik Ayya akhirnya menyadarkanku dari lamunan mengingat kejadian beberapa minggu lalu.

Entah dapat ilham darimana aku yang semula tidak menyetujuinya langsung membubuhkan tanda tangan dan menyerahkan map dispensasi itu kepada Ayyana.

"Ini, jangan mengulur waktu. Selesai acara langsung kembali ke rumah sakit. Banyak praktik yang harusnya kamu kerjakan hari ini." Kataku mengembalikan wibawa seorang konsulen dokter koas.

"Iya, terima kasih Dokter Yoelita. Saya permisi dulu." Pamitnya lalu menghilang dibalik pintu.

Hari ini hujan gerimis sedari semalam tidak kunjung reda, bahkan sepertinya hujan justru akan turun lebih deras lagi.

Di hari yang sama sore harinya harusnya Ayyana sudah kembali ke rumah sakit. Namun sepertinya belum ada tanda-tanda dia kembali. Ah sudah bisa kupastikan jika dia berani bermain-main denganku tentang waktu. Aku yang memang tidak menyukai ketidakdisiplinan jelaslah akan melaporkan kejadian ini segera setelahnya. Mengingat dokter Irwan harus ke Balikpapan akhirnya aku yang harus melaporkannya sendiri kepada dokter Ruslan.

"Tidak bisa dibiarkan seperti ini Dokter, Ayyana itu masih dokter koas. Jika ini diteruskan maka akan menjadikan kebiasaan atas pembiaraan ini."

"Apa yang membuat Dokter Yoelita tidak percaya dengan Ayyana?"

"Coba Dokter Ruslan pikir kembali, dari konfirmasi pihak puskesmas mereka sudah kembali sesuai jadwal lalu mengapa, ini sudah 3 jam melebihi jadwal dan koas Ayyana belum juga kembali." Dalam hatiku sebenarnya ada rasa khawatir namun seolah seperti tertutup oleh rasa kecewa karena kedekatannya drngan dokter Irwansyah.

Dan benar saja, saat aku akan izin keluar dari ruangan dokter Ruslan, tiba-tiba seorang staf datang tergopoh memberitahukan bahwa terjadi kecelakaan yang diduga korbannya Ayyana dan juga sang driver yang bertugas.

Keesokan harinya, kami mendapati kenyataan bahwa kedua kaki Ayyana tidak berfungsi lagi dan saat tersadar kemudian dipindahkan ke kamar perawatan, kulihat betapa lebih mengenaskannya nasib yang dilalui dokter koas ini. Jauh dari keluarga, dan lagi-lagi yang paling menyebalkan dokter Irwan begitu perhatian kepadanya. Okelah untuk kali ini aku bisa memaklumi, kasihan juga melihatnya meski aku sendiri tidak yakin bahwa dokter Irwan tidak memiliki ketertarikan kepada koas Ayya.

Sengaja aku tidak mengunjunginya ke kamar hingga bertemu dengan putri dari direktur rumah sakit ini. Uni Zahrima, benar, wanita cantik ini datang dengan langkah panjang meskipun penampilannya tertutup namun aku tahu itu tergesa atas sesuatu.

"Dokter Yoelita ingin ikut ke kamarnya Ayya?" aku tidak menyangka ternyata uni Zahrima mengenal Ayyana juga. Mengapa gadis itu banyak mengenal dan dekat dengan orang-orang penting di rumah sakit ini. Atau jangan-jangan dia adalah anak orang penting, wah bisa gawat posisiku karena memusuhinya.

Dengan langkah gontai aku menyusul langkah uni Rima menuju kamar Ayya. Ada hal yang membuat mataku takjub di sana sudah ada dokter Irwan, dokter Ruslan dan salah seorang laki-laki tampan yang kemungkinan itu adalah keluarga dari Ayyana.

Selebihnya justru membuat kakiku melemas seperti jelly karena pernyataan yang menghancurkan harapanku. Kuncup di hatiku langsung layu seketika setelah mengetahui ternyata bukan Ayyana yang ada di hati dokter Irwan melainkan uni Rima dan mereka akan melangsungkan pernikahannya sepuluh hari lagi. Tuhan, untung hatiku ini bukan produk buatan China yang mungkin saja bisa ambrol sebelum usia ekonomisnya berakhir.

"Kami berharap Dokter Yoel bisa datang di acara pernikahan kami nanti. Kalau acara akad dan upacara adat jelas akan kami laksanakan di Padang, sebagaimana kami memang berasal dari Minang. Namun untuk pesta kecil-kecilan sebagai resepsi kami juga menyelenggarakannya di Malinau karena papa dan juga uda Irwan bekerja di sini." Apakah menurut kalian aku sedang baik-baik saja? Tentu saja tidak. Aku ingin menangis sekencangnya, namun malu jika harus di kamar pasien terlebih pasiennya seorang dokter koas yang selama ini aku musuhi karena pradugaku dekat dengan dokter Irwan nyatanya dokter Irwan menganggapnya tidak lebih dari seorang adik.

Belum puas sampai di situ. Ketika bibirku hendak bersuara untuk pamit segera. Kami, yang berada di ruangan dikagetkan dengan ketukan pintu dan sapaan salam seseorang yang setelahnya berputar seperti drama di televisi.

Seorang laki-laki, gagah dengan jambang tipis di muka tirus dan rahang tegasnya. Sorot matanya yang tajam seperti bisa mengoyak hati hanya dengan sekali tatapannya. Uluhhh, ini bidadara yang salah alamat atau bagaimana. Meski terlihat sekali gurat lelahnya namun tidak bisa dipungkiri kegagahan serta ketampanannya. Aku mendengar suara Ayya bergetar menyebutkan namanya.

Aftab, ya nama itu yang disebut oleh bibirnya. Siapakah dia? Apakah kakaknya Ayya atau orang lain, entahlah. Sebagai dokter mata aku mendapat asupan vitamin A hanya dengan memandang wajahnya. Aku harus segera menyembuhkan fungsi kakiku yang melemas seperti jelly karena berita dari dokter Irwan. Tidak ingin gagal seperti dulu lagi sampai akhirnya aku harus menutup diri dari makhluk yang bernama laki-laki.

Ayyana, gadis biasa. Berkerudung lebar dengan tatapan yang selalu menunduk, tidak ada istimewanya namun kini di kelilingi oleh pria-pria macho. Uhhh, siapa mereka, aku menjadi semakin kepo.

Dua hari dari kedatangan Laki-laki yang tersebut Aftab itu kini datang seorang lagi. Yakin bahwa dia bukan asli dari Indonesia karena face dan irish matanya menunjukkan sepertinya ada garis ras eurasia bersamanya. Dia datang bahkan sempat kulihat memeluk Ayyana. Hanif dan ternyata aku baru mengetahui dia adalah kakak sulung Ayyana yang berprofesi sebagai seorang dokter bedah lulusan dari Harvard Medical School. Dokter Ruslan sendiri yang sempat memperkenalkan kepada kami saat keadaan genting Ayya yang meminta untuk segera dilakukan operasi.

Melihat dokter Hanif ini jiwa jombloku jelas meronta dan berteriak. Laki-laki yang tidak kalah gagah dengan sebelumnya yang aku lihat ini lebih menampakkan aura kebijakannya sebagai seorang ayah. Mengambil keputusan dengan tegas dan cepat dengan memperhitungkan segala risiko yang melekat. Dari semrawutnya pikiran yang kini sedang ada di otak cemerlangnya aku tahu dia sedang berpikir bagaimana dengan kesembuhan Ayyana, namun tidak melunturkan pesona ketampanannya sebagai seorang pria. Cool, wise, dan lebih dari itu sikapnya yang tertutup membuatku meronta ingin membuka dan membuatnya tersenyum hanya kepadaku.

Usianya mungkin masih jauh di bawahku namun bukannya sekarang sedang musim berondong mencari wanita matang sebagai pasangan hidup. Tidak masalah kalau ternyata Tuhan menakdirkan kita bersatu kalian bisa apa, neti yang terhormat.

Sekali lagi saat Hanif berjalan bersama Aftab di koridor rumah sakit. Percaya bahwa seluruh mata wanita kini hanya tertuju kepada keduanya? Inikah yang tersebut sebagai Yusuf jaman now. Koridor rumah sakit sudah tersulap menjadi arena catwalk dua cogan yang kini mengelilingi Ayyana.

Namun sakit kembali terasa di ulu hatiku, saat ku tahu Hanif menerima panggilan telepon dan menanyakan kepada seseorang dibalik teleponnya begitu mesra dengan memanggilnya 'dear'. Apa itu menanyakan anak-anak? Jadi dia seorang papa muda, belum juga berkenalan ah hatiku sudah kembali patah.

Nyatanya aku juga harus menerima kenyataan pahit saat mengetahui bagaiamana seorang Ayyana yang kini cacat dinikahi oleh laki-laki yang terlihat begitu tulus mencintainya. Ya, Aftab Dayton Aldebaran. Hanif Asy Syafiq menikahkan mereka di rumah sakit di malam setelah operasi tulang selangka bahu Ayyana dilaksanakan. Ayyana yang cacat saja dapat menemukan cintanya berlabuh pada seorang Aftab Aldebaran yang mau dan bersedia menerima keadaan Ayya yang sudah dinyatakan lumpuh dengan kedua kaki yang seharusnya diamputasi, lalu bagaimana denganku.

Mengapa Tuhan seolah tidak adil kepadaku. Aku juga ingin menikah, Tuhan. Air mataku menetes. Namun kembali saat aku melihat layar monitor di kamar rawat Ayya yang menunjukkan saudara, ayah dan ibunya mataku tidak lagi buram. Pantas saja Hanif bisa sedemikian gantengnya, ayah mereka yang dipanggil daddy oleh anak-anaknya masih terlihat sangat menawan di usia yang dikatakan sudah tidak muda lagi. Sepertinya masa muda daddy mereka sangat mirip dengan Hanif yang sekarang. Dan aku baru mengetahui bahwa di usianya Hanif yang sekarang dia telah bertitel sebagai seorang bapak dengan 4 orang anak, apakah aku masih bisa kembali dengan normal. Sedangkan di usiaku yang sudah menginjakkan angka 45 ini belum memiliki seorang pun yang bisa aku jadikan sebagai tempat bersandar. Semua ini memang gara-gara si 'tuyul' sialan itu. Merusak hidupku dengan menunggunya namun nyatanya dia memberikan kekecewaaan yang begitu membekas dan sulit menghilangkan trauma itu seumur hidupku. Di saat aku sudah mulai membuka hati, nyatanya laki-laki yang aku incar sudah memiliki pasangan sendiri-sendiri. Atau aku beralih profesi sebagai pelakor saja? Tidak kuat dengan tudingan neti akunya yekhan, lagian itu juga bukan hal baik. Sekali lagi aku berasal dari keluarga terhormat dengan gelar bangsawan. tidak mungkin melukai gelar bangsawan itu dengan tindakan bejat seperti itu.

Dua lagi saudara Ayya yang membuat jiwa jombloku meronta yaitu mereka yang kini berada di London, ya Tuhan mengapa keluarga Ayya ini membuat jiwa jombloku menjadi tidak lagi memiliki akhlak. Zayn Malik, kakak Ayya yang dipanggil Hafizh ini sangat mirip dengan penyanyi lulusan one direction itu. Oughhh rahang tegasnya, rambut tipis yang tumbuh di dagu dan pipinya membuatku semakin ingin bermanja dan mendekap. Lalu beralih kepada si Hawwaiz yang sepertinya dia masih berstatus sama sepertiku, alias belum menikah. Apakah aku memutuskan untuk mendekatinya saja? Jika melihat parasnya aku menaksir usianya mungkin masih menginjakkan angka 20 pertama dan itulah yang membuatku berpikir, dia sepertinya layak menjadi seorang adik bukan suami. Segilanya aku tidak mungkin akan meminta bocah ingusan itu menjadi suamiku walau wajahnya tidak berbeda jauh dari dokter Hanif.

Kemudian beralih kepada ipar Ayyana yang menjadi suami saudara kembarnya. Ini mah gantengnya orang pribumi, asli seperti melihat seorang Reza Rahadian di depan mata. Membayangkan seluruh saudara Ayya berkumpul di rumah sakit ini mungkin benar, koridor rumah sakit benar-benar berubah fungsi menjadi arena catwalk cowok ganteng. Dan terakhir, mengapa bibirku seolah berkata ya kalau aku bersedia menunggu duda daddynya Ayya saja.

Entahlah, semakin di pikir semakin menjadi gila akunya. Aku memilih untuk meninggalkan tempat saat semua prosesi acara pernikahan Ayyana dengan Aftab diselesaikan oleh dokter Hanif sebagai wali nikah Ayyana dan Aftab Aldebaran sebagai mempelainya.

Keesokan harinya, seperti wanita PMS saja. Tidak ada yang benar menurutku dengan sikap Ayya, dia itu baru dokter koas mengapa begitu diistimewakan oleh rumah sakit ini apa karena kecelakaan yang mungkin akan menghilangkan kedua kakinya lalu semuanya harus memasang wajah simpatinya. Lalu bagaimana dengan keluarga pak Oding yang seolah terlelap dimakan bumi. Ketidakadilan ini harus dibenarkan tidak boleh salah langkah lagi. Ditambah lagi hari ini dokter Irwan telah resmi mengambil cuti pernikahannya bersama uni Rima. Lengkap sudah semua penderitaanku.

Pagi ini aku harus mengecek IGD sebagai dokter piket dan penanggung jawab. Namun entah karena matanya meleng atau aku yang salah mengambil langkah tiba-tiba tubuhku terpental ke belakang dan pantatku sempurna mencium ubin di koridor rumah sakit.

Bodoh dan memalukan, seorang dokter jatuh di rumah sakit karena tabrakan dengan seseorang.

"Lain kali hati-hati kalau berjalan. Gini kan repot, untung saya tidak membawa barang yang membahayakan. Kalau__"

"Maaf-maaf, saya tidak sengaja sedang terburu-buru."

Melihat siapa yang menabrakku, bibirku menganga tak percaya. Wajah itu mirip seai dengan si 'tuyul' yang selama ini aku hindari. Ganteng tapi pernah meninggalkan jejak tidak menyenangkan di hatiku. Harusnya aku tadi memilih untuk pingsan saja sehingga bisa mendapatkan adegan seperti di sinetron-sinetron yang sering kulihat namun nyatanya dia memilih segera berlalu saat aku masih bengong seorang diri dengan pikiran dan kilatan masa lalu.

Aku kembali mengumpat, "memangnya apa kelebihan Ayyana, penampilannya juga tidak up to date tapi semua laki-laki yang berada di dekatnya selalu di atas rata-rata. Mengapa Tuhan tidak adil kepadaku."

Berada di IGD, harusnya itu bisa menyegarkan pikiranku namun karena mata laki-laki yang menabrakku itu akhirnya pikiranku seperti flashback ke masa-masa yang telah aku kubur dalam-dalam puluhan tahun silam.

Lagi-lagi uang panai' yang menjadi aturan membuat cinta terkadang harus terhalang oleh keadaan.

"Andi, selepas internship cepatlah iko' kawin." Usiaku masih 25 tahun, aku bahkan masih berniat untuk melanjutkan mengambil spesialis. Belum terpikirkan untuk menikah. Ditambah lagi Alaric kekasihku belum bisa memenuhi tuntutan keluargaku.

"Tania Ambo', iya' masih ingin sekolah spesialis."

"Untuk apa, nantilah itu kalau iko' sudah kawin. Sudah saatnya ambo' dapat uang panai' dari iko'."

"Astaghfirullah, istighfar Ambo' janganlah Ambo' serakah seperti itu."

"Kita ini Andi, tidak akan ada yang memandang rendah kepada keluarga kita. Iko' juga harus berkaca siapa yang sekiranya bisa dan mampu menjadi pendamping iko' kelak."

"Tania semudah yaro Ambo'." Kalau sudah seperti ini seolah aku sedang berperang dengan keluargaku.

"Lalu apa mau iko'? Anak dari Andi Satepu ingin meminang iko' sesuai dengan panai' permintaan idi'." Ayahku berkata lagi. Ini yang membuat aku sedikit ngilu. Mengapa seolah kami sebagai wanita merasa seperti barang yang diperjualbelikan oleh orang tua. Atau hanya aku yang merasa seperti itu, buktinya mereka memang banyak yang meminta uang panai' yang kadang tidak masuk di akal.

"Iya' mencintai Alaric yang bukan seorang Andi, Ambo'." Jawabanku akhirnya mematahkan permintaan ayahku. Ya aku memang mencintai Alaric dengan semua gayanya. Dari sikapnya yang yah, sedikit gesrek membuatku yang selalu serius bisa terhibur. Sayangnya gelar kami berbeda, satu lagi yang membuat keluargaku jelas tidak akan menyetujuinya karena Alaric bukan sesuku dengan kami.

"Alaric itu beda, Andi. Jangan kau samakan dengan kita. Apa keluarganya mau dan mampu memberikan panai' untuk ambo'? Mereka tidak akan mengerti tentang ini."

"Bukankah Islam telah memudahkan untuk maharnya, Ambo'?"

"Panai' bukanlah mahar, Andi. Camkan itu baik-baik, iko' ini seorang Andi bergelar dokter. Tidak akan putus keluargamu jika iko' menuruti apa kata ambo', tidak." Benar kan, itu sebabnya untuk mengulur waktu kesiapan Alaric dan juga memahamkan arti panai' kepada ayahku, aku berniat untuk melanjutkan spesialis. Semoga 4 tahun itu bisa membuka mata ayah untuk tidak terlalu menuntutku.

Spesialis penyakit mata menjadi pilihanku akhirnya. Aku menyukainya, karena itu merupakan salah satu organ yang bisa membuat orang langsung menyukai atau membenci sesuatu. Aku ingin memperdalamnya dengan mengambil spesialis itu.

Selama satu tahun aku mencoba mengenalkan Alaric kepada keluargaku. Alaric sendiri orangnya sangat easy going. Dia termasuk laki-laki bebal yang tidak mundur hanya dengan kata-kata kasar ayah. Ah, betapa aku semakin mengagumi kekasihku itu.

"Aric itu apa sudah tidak punya malu, sudah ditolak masih juga masang muka tidak bersalah datang kemari menemuimu." Suara ayah di suatu malam saat kami sedang bersantai.

"Ambo', Alaric memang harusnya memperjuangkan Andi. Ayah bisa lihat kan bagaimana kegigihannya untuk bisa diterima di keluarga kita?"

"Dia bukan Andi."

"Tanpa Andi pun kami bisa menikah, Ambo'. Sudahlah cinta kami tidak akan bisa terpisahkan." Aku memang berjuang keras untuk bisa mendapatkan restu ayah hingga di tahun ketiga pendidikan spesialisku ayah sepertinya sudah tidak memiliki tenaga untuk melawan keinginanku.

Hingga saat beliau memintaku untuk mempertemukannya dengan Alaric aku yang tanpa pemberitahuan langsung menuju ke kostan Alaric. Kabar bahagia ini jelas harus aku sampaikan segera. Namun setelah kakiku berada di depan kamar kostnya telingaku masih cukup sehat untuk mendengar semacam rintihan tapi bukan karena sakit tapi sepertinya karena desahan kenikmatan.

Tuhan, tubuhku tidak sekuat itu untuk bisa menerima kenyataan bahwa pria yang selama ini aku perjuangkan, pria yang selama ini menerbitkan senyumku diantara kepenatan tugas kuliah dan praktikumku, pria yang sangat aku cintai, di depan mataku kepalaku sendiri bercumbu dengan wanita lain hingga suaranya terdengar sampai di luar kamar.

Aku tetap menunggu sampai mereka menuntaskan sampai akhirnya tanganku membuka handle pintu. Bodoh memang, jelas saja pintunya terkunci dari dalam namun aku tetap berusaha untuk membukanya. Sampai muncul kepala Alaric yang terkesan habis bangun dari tidurnya.

"Hai Lita, sudah lama maaf aku ketiduran." Ucapnya santai seolah tidak ada masalah yang terjadi diantara kami.

Aku berusaha untuk menerobos masuk namun dia sepertinya menghalangiku. "Kamarku lagi berantakan, Lita. Kita bisa bicara di luar kalau kamu mau."

"Tidak aku ingin masuk," entah kekuatan darimana aku bisa mendorongnya dan berhasil masuk serta mendapati seorang wanita yang tengah bersembunyi di balik pintu kamar mandi dengan pakaian yang tidak sempurna.

Entah apa yang dilakukan mereka di dalam. Intinya telingaku masih bisa bekerja dengan sangat baik saat ini. Air mataku tiba-tiba meleleh dengan derasnya. "Kita putus Alaric." Cukup tiga kata yang aku sampaikan, tidak ingin lagi mendengar penjelasan darinya mengapa dan karena, tidak.

Aku meninggalkannya dengan seluruh luka. Memilih untuk terbang ke Malinau setelah selesai pendidikan spesialisku adalah salah satu cara untuk menghindarinya. Walau itu tidak sepenuhnya berhasil. Alaric masih juga berusaha ingin menemuiku di sana. Aku muak, aku ingin hidup damai sebagaimana manusia normal yang menginginkan benar-benar dicintai oleh pasangannya.

Salahkah aku berusaha, salahkah aku yang meminta demikian? Atau tidak seorang pun bisa mengerti dan memahami apa yang aku inginkan di dunia ini?

"Dokter Yoel, maaf ada pasien yang harus ditangani segera." Suara seorang nakes mengagetkan dan membuyarkan lamunanku. Aku harus kembali ke dunia nyata.

Entahlah kisah 'Tuyul dan Mbak Yoel' ini masih tetap berlanjut atau justru akan memperoleh episode baru dengan penggantinya. Ah, ternyata laki-laki yang menabrakku itu adalah salah seorang perwira polisi yang sempat melayangkan bogemannya untuk dokter Irwan.

Jika dokter Irwan memilih uni Rima, lalu Ayyana memilih Aftab untuk mendampinginya. Masih adakah kesempatan untukku bisa mengejar dan bersanding dengan perwira pertama kepolisian itu untuk menyerahkan jiwa raga? Tidak mungkin juga dia bisa menikahi Ayyana yang semalam sudah dinikahkan oleh dokter Hanif dengan Aftab Aldebaran. Jadi aku tidak salah bukan jika mengejarnya dan mulai mencintainya.

Aku bukan pelakor, dan tentunya keluargaku pasti menyetujui karena mereka telah memasrahkan semuanya atas pilihanku. Tidak lagi ada masalah uang panai' seperti yang dulu selalu disyaratkan oleh ambo'ku. Mengenai si 'tuyul' Alaric yang sampai kini masih mengejarku. Kejarlah sampai kamu tidak mampu lagi dan merasa lelah, aku juga ingin merasakan bahagia dan itu bukan bersamamu. Mungkin dengan orang yang mirip denganmu, who's know?

✏ -- the end -- ✏

Blitar, 03 November 2020

Mana yang nulis, yang nulissss inihhhh mana???? 😂😂😂😂

Silakan kirim ke email author ke
marentin_niagara@yahoo.com

Akan saia publish tentunya melalui proses editing typo tanpa mengurangi isi cerita.

Berminat untuk gabung?
Ayo...ayooo...ayoooooo 😍😍😍

Continue Reading

You'll Also Like

34.6K 2K 22
"Hari ini, saya menutup pintu ke masa lalu saya... Membuka pintu ke masa depan, ambil napas dalam-dalam dan melangkah untuk memulai bab berikutnya da...
459K 16.8K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI šŸš«] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.1M 56.3K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...
53.8K 2.6K 22
Rafael William Struick,seorang pemain bola Keturunan,yang kemudian sumpah WNI.Hingga dirinya bisa membela Timnas Indonesia.Pemain berdarah Indonesia...