Detak. ✔

Por fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... Más

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 19. Saling menyakiti

2.9K 567 186
Por fuchsiagurl

Ini kenapa sih di work ini mesti kepencet terus padahal work lainnya engga, mau nangis aja (T⌓T)
Ini kalian doain apa deh? Apa gara-gara kalian pada doain biar cepet update? (T⌓T)

[ Theme song ]
Bunda - Potret




Pintu kamar Sena terbuka, Aksa melangkah masuk perlahan dengan hati-hati tanpa menghidupkan lampu. Hawa dingin menusuk permukaan kulit Aksa. Gorden kamar Sena sedikit bergerak tertiup angin malam, Sena lupa menutup jendela rupanya. Aksa lantas menutup jendela kamar Sena, kemudian berjalan memutari ranjang Sena.

Aksa meraih selimut yang sedikit tersingkap, menariknya sampai ke pangkal leher Sena yang tengah terlelap. Tanpa terucap satu patah kata apa pun, Aksa duduk di tepi ranjang Sena. Tangannya bergerak, merapikan rambut Sena yang berantakan.

"Celine, please. Aborsi saja, ya?"

Aksa duduk di ranjang, menghadap Celine yang tidur memungginya. Ia sentuh lengan Celine dengan lembut. Istrinya menggeleng.

"Mereka sudah diberi nyawa, Sa."

"Aborsi karena kondisi medis diperbolehkan, Celine. Jika memang dengan adanya mereka malah membahayakan nyawa ibunya."

Celine membalik badan, beranjak duduk berhadapan dengan Aksa.

"Semalam aku bermimpi bertemu mereka. Kedua-duanya menangis sambil memelukku. Kamu pikir aku tega mengaborsi mereka? Kamu sudah liat video tentang proses aborsi?"

"Celine ..."

"Satu persatu anggota tubuh mereka akan dipatahkan, dipotong lalu diambil mulai dari kaki, tangan, badan lalu kepala. Aksa ... aku tidak mau membunuh mereka dengan cara seperti itu," air mata Celine merebak. "Aku tidak mau melihat kedua janinku tidak utuh lagi."

Bibir Celine bergetar, menahan tangis. Ia usap perutnya yang buncit. Aksa memejamkan mata sejenak kemudian kembali menatap Celine. "Lalu, kalau kamu benar-benar meregang nyawa saat mengandung atau melahirkan mereka, bagaimana?"

"Mereka anakku. Anak kita. Kita bukan hanya membunuh satu janin, tapi dua janin."

"Lalu, aku bagaimana? Aku harus bagaimana kalau tanpa kamu? Aku harus bagaimana membesarkan, mendidik, dan merawat mereka sendirian tanpa kamu? Kamu mau meninggalkanku sendirian? Sekali-kali pikirkan posisiku juga, Celine."

Celine menggeleng. "Kamu bisa. Aku tahu kamu bisa."

Aksa menghela napas kasar, merangkak turun dari ranjang.

"Percuma membahas hal seperti ini kalau kamu masih tetap egois."

Langkah Aksa terhenti kala Celine mendadak turun dari ranjang dan menahan tangannya. Celine berdiri, memeluk tubuh semampai Aksa dari belakang, ia lingkarkan tangannya pada pinggang dan perut Aksa.

Tangisnya pecah, Celine terisak-isak di punggung Aksa.

"Aku tidak bisa membunuh mereka, Aksa. Maaf. Aku tidak bisa menggugurkan mereka."

Aksa enggan membalik badan. "Lalu?"

"Aku ingin bertahan dan mempertahankan mereka. Aku yakin mereka nantinya akan menjadi anak-anak yang kuat dan hebat seperti kamu."

Aksa tersenyum tipis seraya mengusap surai rambut Sena dengan lembut.

Lihat, Celine. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang kuat.

Sena bergerak dengan alis yang bertaut sontak membuat Aksa menjauhkan tangannya.

Sena membalik badan, merubah posisi tidurnya. Aksa menghela napas berat kemudian berdiri.

"Aku takut, kalau aku nanti tidak bisa menemukan Ayah dan Ares di mana-mana."

Aksa pun takut setiap ia berhadapan dengan Sena. Takut, jika tangan mungil yang telah bertahun-tahun ia genggam, akan pergi. Tidak bisa ia sentuh dan ia raih lagi. Takut, jika senyum manis dengan lesung pipi kecil dan mata sipit itu tidak bisa ia temukan lagi di langit malamnya.

Aksa terlalu takut, sampai tidak menyadari bahwa ia mengambil langkah yang membuatnya justru menyakiti satu sama lain. Aksa terlalu takut dihadapkan dengan kenyataan yang mungkin akan datang, sampai-sampai ia enggan untuk menyayangi Sena sedemikian rupa seperti halnya ia menyayangi Ares kendati Aksa terlalu takut untuk jatuh terlalu dalam jika sewaktu-waktu ia memang harus kehilangan Sena.

Akan tetapi, Aksa selalu gagal sebesar apa pun usahanya untuk tidak menyayangi Sena dan tidak memedulikan Sena. Karena mau bagaimana pun, Sena adalah salah satu cahaya di langit malamnya dan bila langit malam kehilangan salah satu sumber cahayanya, maka langit pun akan terasa hampa tanpa sinar rembulan.

***

Sayangnya, Sena hanya bisa leluasa bernapas selama tiga hari saja. Ares sudah sembuh, namun malam ini Sena malah tumbang.

Devan sendiri sampai bingung melihatnya. Sewaktu Sena sembuh, Ares malah sakit. Namun, sewaktu Ares sembuh, Sena malah sakit. Pada akhirnya, Devan pun tidak ambil pusing memikirkannya karena ia sama sekali tidak menemukan jawaban. Bisa-bisa ia menjadi gila seperti ilmuwan lainnya karena tidak menemukan jawaban atas penelitian mereka.

"Luna menjenguk Kakak, waktu itu."

Ares sontak menoleh pada Devan. "Hah?"

Sena yang baru saja meminum obat pun mendadak tersedak air dan nyaris memuntahkan obatnya lagi. Sena kembali meminum air untuk meredakan batuknya seraya mengumpat pada Devan dalam hati.

Mereka bertiga duduk di ranjang Sena, awalnya berbincang ringan mengenai sekolah namun kini malah merambat dan membahas Luna.

"Kakak yang mengizinkan dia masuk?" tanya Ares pada Sena.

"Res, harus bagaimana lagi?"

"Untuk apa, sih, Kak?" protes Ares.

"Dia tiba-tiba datang ke rumah. Apa sopan jika aku mengusirnya? Lagipula, dia tidak berniat jelek, 'kan? Lantas apa yang kamu kesalkan dari Luna, Res?"

Sena menghela napas, bersandar pada headboard ranjang. Bangun saja tidak, gerutu Sena dalam hati.

"Kakak lama-kelamaan kelewat tolol."

Devan membulatkan mulut, tidak menyangka bahwa Ares akan berkata demikian. Pertama kalinya ia melihat Sena dan Ares berdebat, menyenangkan juga rupanya. Padahal, beberapa hari kemarin Ares masih sempat khawatir setengah mati pada Sena dan Sena pun begitu.

"Sejak kapan kamu sekasar itu?" cecar Sena seraya mengernyit, menatap Ares tajam.

Devan lantas bungkam melihat sisi Sena dan Ares yang seperti ini. Rasanya seperti menjadi seekor tikus yang tengah berada di antara dua kucing laki-laki yang akan bertengkar.

Devan memiringkan kepala, mendengarkan perdebatan Ares dan Sena dengan saksama.

"Tidak ingat waktu itu Kakak hampir mati karena Luna?! Dengan santainya dia meminta Kakak untuk kembali ke sekolah padahal jantung Kakak tidak baik-baik saja saat itu!"

"Aku sendiri yang memutuskan kembali ke sekolah, dia tidak memintaku. Kamu yang menolak dia, Ares," elak Sena.

"Ya, tolol."

Sena menghela napas kasar. Dahinya mengernyit sebal, tidak membalas ucapan Ares. Dadanya berdenyut nyeri, padahal ia baru saja meminum obat.

"Sore itu aku baik-baik saja setelah siuman. Yang membuatku sekarat pada malam harinya itu kamu dan Ayah. Luna saja memperhatikanku, kamu kemana?"

"Kenapa jadi aku?"

"Sudah berkali-kali kamu malah membuat kondisiku semakin parah, Res."

Ares mengatupkan mulut rapat, wajahnya terpaling ke samping.

"Salah Kakak sendiri. Kakak yang terus-terusan berkata ingin mati. Mati ya mati saja. Kenapa, sih, harus direncanakan?"

"Sudah cukup bertengkarnya, Kak," sela Devan.

Napas Sena memburu, ditatapnya Ares dengan gurat kecewa. Devan menghela napas.

"Kalian ini sebenarnya kenapa, sih? Sakit ya sakit saja, utarakan. Bukan melampiaskan emosi dan menyakiti satu sama lain. Ck, pantas saja paman Aksa sakit kepala mengurus kalian berdua."

Seguir leyendo

También te gustarán

90.6K 5.5K 47
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGAI TANDA MENGHARGAI] Kenzie Valerian ketua dari Trouble Makers. Mempunyai sifat yang emosional, cuek, pemabuk, dan bahk...
52.3K 3.9K 61
Pernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang...
1.5K 226 27
IPA 1 punya cerita. [sequel Our Stories] *** Tentang tiga cowok famous di SMA Supernova...
11.9K 2.5K 44
💢Stop plagiat Bercerita tentang perjuangan seorang remaja penginap Alzheimer, di mana hal itu membuat ingatannya bisa hilang kapan saja. Dan di per...