Detak. ✔

By fuchsiagurl

167K 22K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 15. Tahu diri

3.2K 548 144
By fuchsiagurl

Halo. Siapa yang kangen si kembar?

Sena sudah kalah telak tatkala Aksa memintanya untuk tidak bunuh diri dan kala Ares memeluknya sambil berkata, "jangan pergi."

Semua amarah dan rasa kecewanya, lantas sirna seketika. Sena tatap Ares yang tidur di samping ranjangnya dengan sendu. Ares tidur dengan posisi duduk dan membungkuk, kepalanya ditelungkupkan pada tangan yang berada di sisi ranjang Sena.

Sena merubah posisi tidurnya, menghadap Ares. Ia angkat tangannya kemudian mengusap lembut rambut Ares.

"Kalau Kakak pergi ... aku juga."

Sena terpejam tatkala kalimat Ares semalam kembali tergiang di kepalanya. Tidak ia sangka, rasa sakitnya akan sebesar ini saat mendengar kalimat itu langsung dari mulut Ares.

"Aku tidak tahu harus bagaimana kalau Kakak pergi. Tidak ada lagi yang melindungiku, tidak ada lagi yang menghapus semua komentar di sosial mediaku, tidak ada lagi yang bisa kuajak berangkat dan pulang sekolah bersama."

Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Akan tetapi, Sena bisa apa? Lantas, yang bisa ia lakukan semalam hanya memeluk balik Ares yang terisak. Rasanya canggung, Sena tidak tahu harus berkata apa. Sewaktu kecil, Sena bahkan tidak bergeming saat melihat Ares menangis. Begitu pula sebaliknya.

Tidak ada pelukan yang menenangkan, dan tidak ada konversasi yang tercipta. Sena hanya diam, mengusap punggung Ares sampai Ares berhenti menangis dan Ares pun hanya diam tanpa kata menatap Sena yang terisak-isak sampai akhirnya Sena kehilangan kesadaran.

Aksa tidak pernah mengajarkannya untuk memeluk Ares yang sedang menangis, maka dari itu keduanya masih canggung sampai saat ini untuk karena mereka memang tidak tidak sedekat itu. Meski saudara kembar, baik Sena maupun Ares, masih membagun dinding pembatas diantara mereka.

Aksa keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambut dengan handuk. Sena sontak menjauhkan tangannya lalu menatap Aksa. Pagi ini, Sena tidak lagi terbangun dan sendirian dalam kamar yang lengang.

"Ares belum bangun?"

Sena menjawab singkat. "Belum."

Pintu ruang kamar Sena terbuka, menampilkan Leana yang kini berjalan masuk sambil membawa satu kantung plastik di tangannya. Sena beranjak duduk perlahan, tersenyum tipis menyambut Leana.

"Sendirian saja?" tanya Aksa seraya meraih kantung plastik di tangan Leana, bantu membawakannya.

Leana menggeleng, ia sedikit menyingkir. "Dengan Devan."

Sena menoleh, menengok pada seorang anak lelaki yang memakai hoodie hitam polos di balik punggung Leana.

"Sena, bagaimana? Sudah lebih baik?" tanya Leana, berjalan mendekat pada Sena.

Devan menoleh, matanya bertemu dengan mata hitam pekat milik Sena. Sementara itu, alis Sena terlihat sedikit bertaut, ditatapnya Devan beberapa saat kemudian menatap Ares yang masih tidur membungkuk di sisi ranjang.

Leana menoleh pada Devan yang masih berada di ambang pintu kemudian kembali menatap Sena. "Ah, dia Devan, anak ibu."

Devan sekonyong-konyong menoleh pada Leana yang menyebut dirinya sebagai ibu di depan Sena. Ia melengos, kemudian duduk pada kursi yang kosong.

Devan? Sena menatap Leana. "Anak ibu?" tanyanya.

Leana mengangguk.

Sena mengulum bibir, teringat foto unggahan di sosial media Ares yang menuai banyak komentar jahat. Foto Ares dengan Devan yang berada pada ruang latihan agensi.

Ares beringsut, perlahan menegakkan badan seraya mendesis pelan dan menyentuh lehernya. Dengan setengah sadar dan mata yang masih sayu, Ares menoleh, menatap seorang wanita yang berada di dekatnya, menyiapkan sarapan.

Ares menghela napas, beralih menatap Sena selama beberapa saat kemudian beranjak berdiri. Ia melangkah, berjalan masuk ke kamar mandi melewati Devan begitu saja.

Sena menggigit bibir bawahnya sambil menatap Aksa, Devan, dan Leana bergantian. Apa semuanya akan baik-baik saja nanti?

***

"Kamu harus operasi secepatnya."

Devan menatap dokter yang berdiri di samping ranjang Sena dengan saksama. Aksa meraih lembar hasil pemeriksaan EKG milik Sena, kemudian membacanya. Leana menengok, ikut membaca rekam medis milik Sena.

"Apa yang akan terjadi kalau saya tidak dioperasi?" tanya Sena pelan.

Dokter menghela napas. "Katup jantungmu yang bermasalah akan rusak dan tidak bisa berfungsi lagi."

Devan lantas menoleh kala Ares tiba-tiba berdiri dari duduknya dan berjalan melewatinya begitu saja ke luar dari ruangan. Kepalanya tertoleh lagi, ia menatap perubahan raut wajah Sena dalam diam.

Beberapa saat kemudian, Aksa, Leana dan dokter spesialis jantung yang menangani Sena lantas ke luar dari ruangan untuk membicarakan suatu hal, menyisakan Devan dan Sena sendirian dalam kamar yang lengang.

"Jangan pergi."

Ucapan Ares semalam lagi-lagi terbayang di kepalanya. Sena tidak pernah setakut ini.

Kunjungan dokter kali ini benar-benar membuatnya sakit kepala. Ia sudah terlalu banyak izin sakit dan minggu depan Sena harus ujian tengah semester kemudian persiapan Ujian Nasional. Sena menyisir rambutnya ke belakang sambil mengehela napas pelan.

"Akhir bulan ini mereka akan menikah."

Suara Devan sekonyong-konyong membuat lamun Sena pecah. Ia tatap Devan yang duduk tidak jauh darinya.

"Aku penasaran. Siapa yang mereka pilih. Pernikahannya, atau operasi Kakak," celetuk Devan.

Sena mengernyit. Lancang sekali Devan ini.

"Kamu tidak tahu apa-apa, Devan."

Devan mengendikkan bahu, alisnya terangkat sebelah. "Paman Aksa tidak pernah peduli karena beliau tidak ingin terlalu berat saat melepas Kakak. Paman Aksa tidak pernah sanggup melihat Kakak seperti ini."

"Ayah? Bilang begitu?"

"Kemudian soal Kak Ares yang hampir bunuh diri karena cyber bullying?" tanya Devan. "Apa itu termasuk tidak tahu apa-apa, Kak?"

Sena menghela napas. Kalau dipikir lagi, keluarganya kacau sekali. Melihat Sena yang mengalihkan pandang tanpa menjawab Devan, lantas membuat Devan menyeret kursinya mendekat pada ranjang Sena.

"Kak, tahu tidak?"

Sena lagi-lagi menoleh, menatap Devan di sampingnya.

"Aku tidak suka orang yang sakit-sakitan. Merepotkan. Harus bantu ini, harus bantu itu."

Sena nyaris dibuat dongkol. "Sudah, Van? Kalau tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan, keluar saja."

"Alih-alih kesal melihat orang yang sakit-sakitan, aku lebih kesal melihat Paman Aksa memperlakukan Kakak seperti itu. Aku memang tidak tahu semua yang sudah kalian lalui. Tapi, pasti sesak sekali, 'kan?"

Ruangan lengang sesaat. Sena dibuat bungkam oleh Devan.

"Aku sendiri tidak yakin kalau aku, Kakak, atau Kak Ares akan baik-baik saja setelah mereka menikah," Devan menjeda kalimatnya sejenak. "Kemarikan ponsel Kakak."

Sena tidak berkomentar, ia mengambil ponsel di nakas kemudian memberikannya pada Devan.

Devan membuka kunci layar, mengetikkan nomor ponselnya dan menelepon nomornya sendiri. Ponsel Devan berdering, ia lantas menunjukkannya pada Sena.

"Kalau sudah terlalu sesak, hubungi aku."

Devan mengembalikan ponsel Sena kemudian memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku celana. Ruangan kembali hening, hanya terdengar sayup-sayup percakapan di luar kamar rawat Sena. Selain itu, baik Devan maupun Sena sama-sama diam tanpa kata, tanpa konversasi yang mencuat.

"Ayah urus saja pernikahan itu, aku yang akan membiayai operasi Kak Sena!"

Suara teriakan Ares di luar terdengar sampai ruangan Sena. Sena menoleh, menatap pintu kamarnya.

Devan lagi-lagi menaikkan sebelah alisnya. "Lihat? Paman Aksa lebih memilih pernikahannya ketimbang operasi Kakak."

Sena makin dibuat sakit kepala. Ia terkekeh pelan. Menyebalkan sekali rasanya.

"Lagipula, aku memang tidak berniat operasi, Van."

Sena memandang lurus dinding rumah sakit, ia menyandarkan kepalanya pada dinding dan memejamkan mata.

"Ayah tidak mau tahu. Kamu tidak boleh kambuh sama sekali."

Sena tersenyum kecut kala ucapan Aksa lagi-lagi terbayang di kepalanya. Sena sempat lupa Aksa pernah berucap demikian. Ia harusnya tahu diri. Sena harusnya tahu, bahwa Aksa memang tidak benar-benar peduli.

Sena tidak mengerti, mengapa semalam Aksa justru kembali ke rumah sakit, memintanya untuk tidak bunuh diri dan memanggil dokter.

Jika begini, harusnya Aksa biarkan saja Sena bergumul dengan rasa sakitnya semalaman sampai tubuhnya kebas, sampai tubuhnya mati rasa, berganti ketenangan yang absolut. Harusnya.

"Dulu, aku pernah berjanji. Aku tidak akan merepotkan ayah kalau aku kambuh. Jadi, biarkan saja ayah lebih memilih pernikahannya," Sena menarik napas dengan berat. "Pada akhirnya, semua hal di dunia ini memang fana, Devan. Termasuk aku dan harapanku."

Devan terkekeh getir tanpa menampilkan senyum. Ia sedikit menarik sudut bibir kanannya. "Menyedihkan sekali."

Mau update kemarin, tapi nggak jadi, hehe. Sekalian, pas ulang tahunnya Jimin.

For our fairy, happy birthday. Terimakasih sudah lahir di dunia.

Ada wish apa nih buat Jimin?

Continue Reading

You'll Also Like

160K 22.4K 48
Summary : Mencoba bangkit setelah berusaha membunuh dirimu sendiri bukanlah hal yang mudah. Samudra harus benar-benar berusaha keras mengembalikan wa...
350K 57K 192
Book 1 Bab 1-190 Indonesia Trans : Ai-chan~~ Title : 《The End of the World's Reborn Cannon fodder Counter-attacks》 《末世 重生 之 炮灰 逆袭》 Penulis : 汝夫人 Juml...
76K 3.7K 73
"Memberlakukan hukum! mata harus di bayar dengan mata" ~Avlian Edzard Perkasa Cover by. Pinterest
79.8K 9.5K 29
Renjana Sabiru harus menerima fakta tentang kepergian kedua orangtuanya yang membuatnya menjadi yatim piatu. Awalnya, Biru pikir ia akan hidup sendir...