Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 11. Baik-baik saja

3.7K 551 175
By fuchsiagurl

Ares membolak-balikkan ponsel yang layarnya menampilkan kontak Sena. Nomor Sena tidak aktif sejak Ares coba untuk menghubunginya semalam. Padahal, satu jam sebelumnya, Aksa masih bertukar telepon dengan Sena. Ares lantas menghela napas dan menyangga kepalanya pada meja kantin. Ia cemas. Pelajaran sedang berlangsung, tapi Ares memilih untuk membolos sebentar di kantin setelah izin ke kamar mandi pada guru yang tengah mengajar.

Kakak kambuh karena aku, Kakak pingsan karena aku.

Ares tahu dan sadar diri. Jika dalam keadaan kacau seperti kemarin, Ares selalu tidak sengaja membentak Sena, selalu berucap kasar padahal ia tidak pernah bermaksud untuk menyalahkan Sena. Semua terjadi diluar kendalinya. Ares tidak bisa mengendalikan dirinya jika menyangkut soal Sena. Terkadang, Ares benci dirinya sendiri yang seperti ini.

Maka dari itu, ketika ayah mengajaknya untuk tidur di rumah sakit, Ares menolak. Karena baginya, akan lebih baik jika ia jauh dari Sena dan tidak memedulikannya sebentar sampai ia tenang. Sebentar saja, agar Ares tidak kalap dan malah menyakiti Sena dengan mulutnya saat emosi.

Akan tetapi, Ares selalu merasa bersalah setiap harinya pada Sena karena terus lari seperti ini. Karena dirinya, Sena tidak bisa mendapat apa yang ia inginkan dan karena dirinya, Sena seperti ini. Aksa lebih memilih untuk menemani Ares ketimbang Sena, sejak dulu.

Aksa lebih bisa mengontrol emosinya saat berhadapan dengan Ares ketimbang saat berhadapan dengan Sena. Kenapa?

"Ares."

Ares melirik, menatap Luna yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Hela napas terdengar, Ares lantas berdiri dan Luna sontak menahan tangannya.

"Kenapa menghindariku?"

"Apa yang mau kamu bicarakan?" balas Ares singkat. Luna menelan ludahnya kemudian mencicit. "Soal kemarin."

Ia melanjutkan. "Soal Sena. Dia tidak masuk hari ini."

"Ya. Aku juga tahu. Lepas tanganmu."

Luna lantas melepas genggamannya pada pergelangan tangan Ares.

"Maaf. Aku tidak tahu jika sakit Sena separah itu."

Ares mengernyit, tidak habis pikir. "Kamu sahabat Sena sejak kelas dua dan teman sekelasnya, hal seperti itu saja tidak tahu?"

Luna menggeleng.

"Sena hanya bercerita kalau dia harus minum obat setiap selesai makan karena jantungnya lemah. Selain itu, Sena sama sekali tidak pernah menceritakan kalau jantungnya pernah bocor ... dan Sena juga tidak pernah menjawab ketika ditanya teman-teman sekelas kenapa dia sering dirawat cukup lama di rumah sakit dan sering pingsan."

Ares mengangkat sebelah alisnya. "Lucu. Lalu, kamu mau apa setelah tahu hal itu?"

Luna terdiam beberapa saat sambil memandang Ares yang melenggang pergi tidak lama usai menghela napasnya jengkel.

Luna menggumam. "Kalau aku mendekati Sena dan lebih memperhatikannya daripada kemarin-kemarin, apa kamu akan menoleh padaku, Res?"

***

Mata Sena perlahan terbuka. Napas Sena terasa berat, kepala pening, dadanya masih naik turun dengan berat dan masker oksigen pun masih terpasang di wajahnya.

Hal yang terakhir Sena ingat adalah ketika perawat berkata padanya untuk tidak kehilangan kesadaran usai mereka memasangkan masker oksigen pada Sena. Ia tidak ingat apa-apa lagi setelah mendengar dengan samar bunyi 'beep' cepat pada bedside monitor.

Sena berkedip pelan, mengembalikan pandangannya yang masih buram setelah siuman. Ia menatap sekeliling kamar rawatnya yang kosong dan sepi. Gorden ruanganya sudah terbuka dan nampan makan pagi sudah diletakkan meja makan pasien yang sepertinya perawat pindah di dekat kaki Sena.

Sena masih memakai seragam sekolah kemarin. Ia ingin mengganti baju dulu karena rasanya tidak nyaman. Kepalanya tertoleh, mendapati tas ransel hitam miliknya di atas nakas.

Sena menghela napas, beranjak duduk perlahan dan meraih tas yang letaknya tidak jauh dari ranjang. Ia membuka resleting tas dan melihat isinya.

Ada charger, dompet, headset, beberapa novel dan baju ganti. Aksa benar-benar mengantarnya dengan ojek. Sena meraba sekeliling, mencari ponsel yang ternyata ia tindih. Ponselnya mati, kehabisan baterai. Ia meraih charger, kemudian mengambil kemeja tipis dan celana yang Aksa bawakan.

Dengan napas yang masih sedikit terengah, Sena meletakkan kembali tas ransel di nakas kemudian mengambil remote untuk mengatur tinggi sandaran kepala sampai punggung pada ranjangnya. Setelah selesai, Sena mencoba berdiri di atas ranjang dan meraih infusnya.

Sena kembali duduk dan bersandar pada ranjang dengan mata terpejam, kantung infus di pangkuannya dan dada yang naik turun dengan berat.

Ayo, kuat dulu sebentar. Ganti baju, mengisi baterai handphone, makan, minum obat, lalu bisa tidur lagi.

***

"Aduh, aduh, aduh! Jangan!"

Sena menarik tangan kanannya yang akan diinfus. Seorang perawat laki-laki meraih tangan Sena kemudian menahannya. Sena melihat tangan kanannya dengan ngeri seraya berdecak kesal. Infus sebelumnya harus dilepas karena Sena mengganti bajunya sendiri tanpa bantuan orang lain dan membuat darah naik ke selang infus.

Gerah, sih, pikir Sena. Bayangkan saja, sudah hampir dua hari Sena masih memakai seragam almamater sekolahnya. Sena jadi nekat mengganti bajunya sendiri.

"Aduh, aduh, Dok! Jangan, saya takut!"

Nyaris saja Sena menendang semua perawat di sampingnya sementara itu, perawat laki-laki yang sudah akan menusukkan jarum infus pada punggung tangan Sena lantas menghentikan pergerakannya dan menghela napas tertahan karena sebal. Ia tersenyum paksa menatap Sena yang tengah mengernyit. "Jarumnya bahkan belum menyentuh kulit. Tidak sakit, kok. Hanya seperti digigit semut."

"Semut rangrang, maksudnya? Saya tidak usah diinfus saja, bagaimana?"

Perawat di samping Sena lantas tersenyum penuh beban. "Tidak bisa. Agar cepat sembuh harus diinfus."

Sena mengalihkan pandangannya dan menggerutu meski dadanya masih sesak. "Saya sudah berulang kali diinfus. Masuk rumah sakit ini, masuk rumah sakit itu. Tapi, sampai sekarang tetap tidak sembuh-sembuh. Perawat-perawat di rumah sakit memang suka berbohong, ya? Di rumah sakit yang itu, mereka bilang kalau saya harus makan banyak jika ingin sembuh, di rumah sakit ini, bilang kalau saya harus diinfus agar bisa sembuh. Memangnya jantung bisa sembuh hanya dari makan dan infus saja, ya? Jantung saya tidak beres sejak lahir, jadi saya terkadang suka sebal sendiri karena terus-terusan kam—aduh!"

Sena menoleh, menatap infus yang ternyata sudah terpasang rapi di tangannya. Bibir Sena tertekuk ke bawah saat melihat perawat sedang memasang plester agar infusnya tidak berubah posisi.

"Tidak sakit, 'kan?" tanya perawat tersebut.

Sena memajukan bibirnya kesal seraya mencicit. "Ngilu."

Ia lanjut mengomel. "Lagipula, ya, apa perawat-perawat di sini tidak ada yang mau membantu saya mengganti baju agar infusnya tidak geser sana-sini? Saya, kan, kesusahan mengganti baju sendiri tanpa dibantu. Jadinya harus diinfus ulang seperti ini lagi. Tapi, bukannya tugas perawat itu membantu pasien? Di dada saya juga ada banyak kabel, saya jadi susah berge—"

Klek.

Sena sontak menghentikan omelannya saat mendengar pintu kamarnya terbuka. Perawat tampak mengatur aliran infus sementara Sena mendadak bungkam kala melihat Ares yang masih memakai seragam sekolah muncul dari balik pintu dan tersenyum menyapa perawat. Sena menatap jam dinding, sudah jam pulang sekolah rupanya.

"Anda kerabatnya?" tanya perawat lelaki lain yang tengah membawa rekam medis milik Sena.

Sena mengalihkan pandangannya.

Ares mengangguk dan menjawab dengan singkat. "Iya."

"Kami baru saja selesai mengganti infus adik anda."

"Saya kakaknya," sahut Sena dongkol tanpa menatap Ares dan perawat-perawat yang ada di kamarnya.

"Ah, iya. Terimakasih. Apa kakak saya menyulitkan anda?"

Perawat laki-laki yang sebetulnya masih jengkel lantas menggeleng seraya memaksa tersenyum. "Tidak."

"Kalau begitu, saya permisi dulu."

Ares mengangguk. Ia menyingkir, mempersilahkan para perawat untuk keluar dari kamar Sena. Pintu kamar tertutup, menyisakan Ares yang berdiri di dekat pintu sembari memperhatikan Sena yang sibuk memainkan ponsel dengan dada yang masih naik turun dengan berat. Sepertinya masih sesak.

Ruang lengang beberapa saat.

"Dilihat dari ekspresi perawat-perawat itu, sepertinya Kakak membuat keributan lagi, ya?"

Sena menoleh, menatap Ares yang meletakkan tasnya pada bedside. Ia mencebik kesal.

"Kondisi jantungmu semakin memburuk, Sena. Tapi, meskipun begitu ... jangan menyerah, ya. Cukup jaga pola hidup sehat, jangan kelelahan dan jangan stress. Saya yakin, kamu masih bisa bertahan. Jangan terlalu banyak berpikiran negatif, secara tidak langsung hal itu mempengaruhi kinerja jantungmu," kata dokter yang sudah menangani Sena sedari ia masih kecil.

Wajah Sena menyendu, ia menundukkan wajah kemudian memainkan ponsel, membalas pesan Luna.

"Kenapa ke sini?" tanya Sena dingin.

"Kakak menyukai Luna?"

"Kamu ke sini hanya untuk menanyakan itu?" ujar Sena kecewa, ia tatap Ares yang berdiri tidak jauh darinya.

Ares berucap tenang. "Kenapa kemarin Kakak masih memaksakan diri padahal Kakak tahu saat itu jantung Kakak kambuh?"

Sena memalingkan wajah. "Kalau kamu ke sini hanya untuk bertengkar denganku, lebih baik kamu pulang saja."

"Aku mau Kakak berhenti. Untuk apa menyukai gadis seperti itu?" Ares menghela napas kasar. "Firasatku tentang Luna tidak bagus. Dia-"

"Karena hanya Luna yang mengerti. Dia memperhatikanku, mencemaskanku, mengkhawatirkanku saat keluargaku sendiri tidak peduli. Kamu tidak berhak mengomentari perasaanku pada Luna."

"Begitu, ya?" Keduanya saling bertukar pandang. Gurat kecewa terlukis di kedua mata Ares. "Iya, aku memang tidak pernah mengerti Kakak, tidak pernah mengkhawatirkan Kakak."

"Kalau begitu, percuma aku kemari untuk melihat kondisi Kakak jika sampai saat ini Kakak masih menganggapku tidak peduli." Ares menghela napas dan mengambil tas ranselnya. "Aku mau pulang. Lagipula, Kakak sepertinya baik-baik saja. Kabari aku kalau Kakak sudah boleh pulang. Nanti kujemput."

"Kamu bisa lihat bedside monitor, Res?"

Ares menoleh pada Sena.

"Angka paling atas pada bedside monitor adalah indikasi denyut jantungku," ucap Sena seraya menoleh pada bedside monitor. "Angkanya sejak tadi lebih dari 120 Sedangkan denyut jantung normal di bawah 100 denyut per menit."

Ares mengernyit ia tatap bedside monitor di samping ranjang Sena.

"Tadi malam, aku sempat melihat denyutnya mencapai angka 160. Aku hampir gagal jantung jika perawat tidak segera datang."

Ares menutup telinga. "Kak, berhenti menjelaskan."

"Kamu ... atas dasar apa berkata bahwa aku baik-baik saja, Res?" Sena menarik napas berat. "Aku kesulitan bernapas. Jantungku berdetak lebih cepat sampai sesak dan semalam aku hanya minta ayah untuk menemaniku di sini sebentar, setidaknya sampai aku tertidur. Tapi, karena kamu tidak mau kemari, ayah juga tidak datang ke sini."

Alis Sena bertaut, matanya memerah menahan air mata.

"Aku sendirian, Res."

Ares meremas tas ranselnya kemudian berbalik dan berjalan keluar. Ia tutup pintu kamar rawat Sena kemudian bersandar di dinding. Ares mengedipkan matanya cepat, menahan air mata yang melesak turun. Matanya memerah, perih.

Ares memejamkan mata, memaki dirinya sendiri dalam hati. Tidak berguna, menyusahkan, cari perhatian, menjijikkan. Salahku ... salahku. Bukankah lebih baik jika aku tidak ada?

Continue Reading

You'll Also Like

24.9K 3.8K 28
Jika Anka harus memilih, tentu ia ingin semua berada di sisinya, tanpa ada yang meninggalkan atau ditinggalkan. Namun Anka tidak pernah diberikan pil...
1.5K 305 43
Terkadang muncul sebuah kesimpulan remeh dari sebuah pertemuan. Bumi punya miliyaran jiwa yang saling bertemu raganya. Di antara banyaknya pertemuan...
1.5K 226 27
IPA 1 punya cerita. [sequel Our Stories] *** Tentang tiga cowok famous di SMA Supernova...
16K 2.2K 32
* Jangan lupa vote dan follow aku ya! . . . Lavender punya arti kesetiaan. Ia menjujung tinggi rasa percaya tanpa sedikitpun ingin berkhianat. Ia suc...