Ocean Eyes (COMPLETED)

By findgilinsky

12.4K 1.1K 594

[Romance, Adventure] [unedited version] [Inspired from a song by Billie Eilish] "Dance with the waves, move w... More

I N F O R M A T I O N !
B L U R B
P R O L O G
Behind the Name
1 | Californian Waves
2 | Invisible
3 | A Quiet Man
4 | Conversation Topic
5 | Swimming
6 | Something Special
7 | Summer Story
8 | Crush On You
9 | Sirens Call
10 | Lies
11 | Choice and Fate
13 | This is Real or Not?
14 | Mistake
15 | Warm Water
16 | Ocean Eyes
17 | Three Words
18 | Her Smile
19 | Are You Bored Yet?
20 | The Fame
21 | Saving My Feelings
22 | Confession
23 | Say It Over
24 | Back to San Francisco
25 | Crying Over Him
26 | Hard Sometimes
Epilog
THE LOST PUZZLE
Extra Part : We're Just Friend

12 | The Feeling

275 34 19
By findgilinsky

Halo, apa kabar. Maaf up malam-malam.

Happy reading!!

It's hard to act like I don't think about you sometimes.

Why Don't We - Hard

San Francisco, California, United States.

"Come on baby boy, come on." Nathan berucap girang, kedua lengannya terbuka lebar, menanti kedatangan bocah laki-laki berusia satu setengah tahun yang sedang belajar berjalan. "Getting closer."

Dari atas sofa Georgia tertawa senang menyaksikan interaksi antara Jason dan Nathan. Jason merupakan putra dari Hanna—salah satu rekan kerja Georgia. Orang yang biasa mengasuh Jason sedang sakit, sementara Hanna punya kepentingan di luar kota. Apartemen Georgia masih satu gedung dengan apartemen milik Hanna, maka dari itu dia memutuskan untuk menitipkan Jason pada Georgia.

Jason tertawa geli ketika tubuhnya didekap erat oleh Nathan. Suara celotehnya dengan bahasa bayi memenuhi seluruh ruangan. Sesekali Jason memberontak, meminta untuk dilepaskan namun Nathan justru mendekap tubuhnya semakin erat, terlalu gemas.

"Apa dia tidak lelah, tertawa tiada henti sejak tadi?"

"Kenapa kau bertanya padaku? Tanyakan saja pada Jason," kekeh Georgia.

Nathan menghujani wajah Jason dengan ciuman kecil sebelum mengangkat tubuh mungil itu tinggi-tinggi. "To infinity and beyond!" seru Nathan menirukan gaya ala tokoh Buzz Lightyear.

Georgia baru akan ikut bergabung, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara bel. "Sepertinya itu Hanna," tebak Georgia. "Come here baby boy."

Georgia menggendong Jason sembari membawa tas yang berisi perlengkapan bayi. Dugaan Georgia benar, Hanna sudah berdiri di balik pintu menampilkan senyum tulusnya.

"Jason, say hi to Mommy."

"Gia, maaf sudah merepotkanmu. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berterima kasih. Seharian ini aku sempat cemas, takut Jason tidak terbiasa dengan orang baru."

"Dia senang. Aku sampai heran melihatnya terus tertawa."

"Benarkah?" Bola mata Hanna menampilkan binar hangat. "Tidak biasanya dia seperti ini. Jangankan orang baru, dengan ayahnya saja masih sering menolak. Itu mungkin karena putraku tahu jika ayahnya seorang bajingan."

Georgia menepuk-nepuk pundak Hanna, menyalurkan kekuatannya. "Kau sosok ibu sekaligus ayah yang hebat. Aku bangga padamu," pujinya.

"Okay then, say goodbye and thank you to Aunty Georgia!" Hanna mengangkat lengan kecil Jason, memberi gerakan lambaian perpisahan. "Selamat malam, Gia."

Ketika tiba di ruang tengah, Georgia tidak lagi mendapati keberadaan Nathan. Laki-laki itu sudah berpindah ke dalam kamar, berbaring malas di atas ranjang. Georgia ikut naik, namun hanya duduk.

"Kau tidak ingin makan malam?" tanya Georgia. Jemarinya menyisir rambut Nathan yang lebat. "Tampaknya hari ini lelah sekali ya?"

"Hm. Aku masih kenyang."

"Sejak tiba kau langsung bermain dengan Jason. Sekarang tidurlah." Georgia memberi satu ciuman panjang pada kening Nathan. "Aku akan menyusul nanti, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Sleep well, big baby."

"Jangan tidur terlalu larut."

"I love you. Perlu dimatikan lampunya?"

Nathan mengangguk sebagai persetujuan. "I love you more," balasnya.

Demi kelancaran sirkulasi udara, Georgia membuka jendela apartemennya lebar-lebar. Ia duduk di atas sofa, menatap layar MacBook dengan segelas air dingin di tangannya. Sebenarnya pekerjaan Georgia tidak terlalu banyak, ia hanya perlu mengirim email balasan dan selesai. Namun Georgia belum mengantuk, jadi ia memutuskan untuk menetap di sini sementara waktu.

FINAL

From: Adam Sebastian Milbourne <adam.sebastian@gmail.com>

To: Georgia Madeline Smith <georgiasmith@gmail.com>

Ini yang terakhir. Kirimkan pada Neve. Jika sudah, kirim pesan padaku.

[file attached]

Georgia mengunduh sebuah dokumen yang dikirim oleh Adam empat puluh lima menit lalu. Sebelum dikirimkan pada Neve, Georgia kembali mengecek apakah masih ada kesalahan tertulis di sana. Ini dokumen resmi yang nantinya akan diteruskan kepada Discovery Channel, maka dari itu ia tidak boleh membuat kesalahan.

Georgia meraih ponselnya, mengetikkan pesan untuk Adam.

Georgia Smith : Sudah terkirim.

Adam Milbourne : Ok.

Georgia Smith : Kau di apartemen?

Adam Milbourne : Ya.

Georgia Smith : Besok, jadwalmu kosong?

Adam Milbourne : Tidak. Aku pergi ke Chinatown.

Georgia Smith : Chinatown? Sendiri?

Jari telunjuk Georgia mengetuk-ngetuk lengan sofa. Ia berpikir keras, untuk apa Adam pergi ke Chinatown. Tempat itu cukup ramai, dipenuhi mobil serta pejalan kaki. Tidak hanya penduduk San Francisco yang pergi ke sana, wisatawan dari tempat lain juga kerap mengunjungi Chinatown saat berlibur di San Francisco. Rasa-rasanya Chinatown bukan tempat yang cocok untuk orang yang cinta ketenangan seperti Adam.

Adam Milbourne : Tidak.

Georgia menelan ludah ketika balasan dari Adam kembali masuk. Laki-laki itu tidak pergi sendiri. Lalu dengan siapa? Georgia tak langsung bertanya sebab Adam masih dalam keadaan mengetik. Georgia menunggu dengan jantungnya yang mulai berdegup kencang. Tak lama kemudian Adam berhenti mengetik, namun tidak ada pesan balasan.

Georgia Smith : Lalu?

Terpaksa, demi membunuh rasa penasarannya Georgia memberanikan diri untuk bertanya.

Adam Milbourne : Tatiana.

Georgia Smith : Oh, selamat bersenang-senang.

Georgia membuang ponselnya ke sisi lain sofa. Ia merasa tidak senang mengetahui Adam pergi dengan Tatiana. Dadanya terasa seperti terbakar. Akan tetapi Georgia bisa apa, ia tak mungkin melarang Adam untuk pergi.

Georgia benci ketika hal seperti ini berhasil menjatuhkan suasana hatinya. Sebagai seseorang yang sedang menjalin sebuah hubungan, Georgia tidak buta dengan perasaan semacam ini. Ya, Georgia cemburu mengetahui kedekatan Adam dengan Tatiana.

Entahlah, ia tidak mengerti dari mana perasaan cemburu ini berasal. Apa karena selama ini ia tahu tidak banyak orang yang bisa dekat dengan Adam? Jadi, ketika orang lain bisa sedekat itu, Georgia cemburu. Merasa seperti dinomorduakan.

Georgia sadar perasaan ini tidak wajar dan tidak masuk akal. Mereka hanya teman, seharusnya tidak sampai seperti ini. Lagi pula ini salah, Georgia tahu ia memiliki Nathan. Namun apa daya, rasa cemburunya terlalu kuat hingga membuat hatinya kacau.

Untuk mengurangi rasa kacau di hatinya, Georgia berdiri di dekat jendela, membiarkan angin malam menerpa tubuhnya. Di sini Georgia merenung, memikirkan kembali segala kejadian yang membuatnya resah. Salah satu caranya adalah mengingat kebaikan Nathan.

Georgia tahu ini menyedihkan. Ketika banyak pasangan di luar sana pergi berkencan dengan bebas, ia justru memilih untuk mengubur keinginan itu dalam-dalam. Mau bagaimana lagi, popularitas Nathan sedang berada di puncak dan Georgia tidak ingin mengacaukannya. Bagi Georgia, mempublikasikan hubungan mereka punya banyak efek negatif. Lagi pun Georgia belum siap untuk menghadapi penggemar-penggemar Nathan serta sorotan kamera berlebih.

"Gia, aku sudah menonton acaranya. Bagus. Kau terlihat menarik di sana. Jika punya waktu aku ingin pergi ke sana denganmu."

"Setiap episodenya keluar, aku selalu menyempatkan diri untuk menontonnya. Tidak peduli jika sedang di toilet. Aku tidak sabar untuk musim depan."

"Lanjutkan Gia, aku tahu kau sangat mencintai pekerjaan itu."

Teringat akan setiap kalimat dukungan Nathan membuat Georgia menitikkan air mata. Laki-laki itu selalu mendukungnya, sejak awal. Nathan memberi semangat kepadanya ketika sedang melakukan tugas akhir di masa kuliah. Nathan juga yang mendukungnya ketika ia berencana pindah ke San Francisco.

"Aku punya seseorang yang selalu mendukungku di balik layar. Hanya sedikit yang tahu siapa orangnya. Namun aku benar-benar bersyukur atas pertemuan kami. Jika kau menonton acara ini, aku ucapkan terima kasih."

"Whoa Nathan, dia pasti sangat berarti untukmu ya?"

"Sangat. Dia spesial. Tanpanya mungkin aku tidak bisa seperti ini."

"Kudengar kau pernah nyaris bunuh diri. Apa itu benar?"

"Benar. Aku depresi saat itu. Dan ya, dia yang membantuku untuk melewati badai. Dia semangat hidupku sejak saat itu."

Terkadang Georgia berpikir, apa dirinya pantas untuk Nathan? Nathan kerap kali berbicara tentangnya di sesi wawancara. Walau tak pernah menyebutkan nama, Georgia tahu betul jika yang dimaksud adalah dirinya. Setiap cerita yang Nathan beberkan adalah lika-liku hubungan mereka berdua.

Hal itu membuat Georgia sadar seberapa besar cinta yang Nathan berikan. Sayangnya Georgia terlalu meremehkan, sampai-sampai pria lain berhasil mengetuk pintu hatinya. Keterlaluan, bukan?

Georgia buru-buru menghapus air matanya. Ia kembali ke kamar dan berbaring di sisi Nathan. "I'm so sorry," lirihnya sambil memeluk Nathan yang sudah terlelap.

"Sorry Nate, sorry."

"I love you," bisik Georgia guna menekankan pada dirinya sendiri jika ia juga mencintai Nathan, "so much."

++++

Chinatown, San Francisco, California, United States.

"Aku tidak tahu akan seramai ini," ujar Tatiana. "Jangan jauh-jauh dariku."

"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya?"

Tatiana mengangguk. "Hm. Tetapi aku belum pernah kemari. Jadi kurasa tidak masalah."

Adam tidak lagi berkomentar. Ia terus berjalan di samping Tatiana, mengikuti setiap langkah kaki gadis itu. Chinatown memang selalu seperti ini. Tidak peduli saat hari kerja atau akhir pekan, suasananya selalu ramai.

"Kita mampir sebentar ya." Tatiana menarik tangan Adam memasuki salah satu pertokoan besar di sisi jalan. Tempat ini menjual pernak-pernik menarik yang berkaitan dengan unsur kebudayaan China. "Aku ingin beli sesuatu."

Adam mengabaikan Tatiana yang sedang memandangi barang-barang di setiap rak. Ia memilih untuk berkeliling seorang diri, meski tidak punya niat untuk membeli. Adam naik ke lantai dua, di mana tempat ini didominasi oleh hiasan-hiasan yang bisa digantung atau ditempel pada dinding, seperti lampion atau kertas bertuliskan aksara China.

Rasanya tidak jauh berbeda dengan lantai satu, masih seputar barang-barang unik. Namun ada satu hal yang sempat mengalihkan perhatian Adam. Di sudut ruangan, terdapat wanita yang sedang duduk di balik meja. Wajahnya mulai mengeriput, beberapa helai rambutnya juga tampak memutih. Wanita itu tidak duduk sendirian, di sekitarnya terdapat beberapa remaja perempuan dengan raut wajah yang begitu antusias.

Wanita itu seorang peramal yang merupakan keturuan asli bangsa Tionghoa. Adam menyembunyikan wajahnya di balik rak tinggi lalu terkekeh pelan. Ia teringat masa-masa sekolah dulu. Ketika sedang ada festival, teman-teman perempuannya juga kerap mendatangi para peramal baik yang menggunakan kartu, ataupun membaca melalui telapak tangan. Waktu memang terus berjalan, namun tampaknya kebiasaan tidak pudar begitu saja.

Terkadang Adam hanya heran, kenapa masih banyak yang percaya dengan ramalan? Tidak ada salahnya juga percaya pada hal semacam itu, namun bagi Adam ramalan hanyalah sebuah permainan belaka.

"Hei."

Adam menoleh ketika pundaknya disentuh dengan lembut. Si peramal yang tadinya sedang melayani para remaja, kini sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"

Wanita itu menggeleng dan langsung meraih pergelangan tangan Adam. "Ikutlah denganku," lirihnya.

Sebatas untuk menghormati permintaan peramal ini, Adam akhirnya menurut. Ia diajak untuk duduk di salah satu kursi yang tadinya ditempati oleh para remaja.

"Kupikir kau akan kemari, nyatanya tidak. Jujur saja, kau menarik perhatianku."

"Saya hanya ingin melihat-lihat."

"Santai saja denganku." Wanita itu meraih telapak tangan Adam, mengusapnya lembut. "Ada yang ingin kau tanyakan, Anak Pintar?"

"Kurasa tidak."

"Untukmu, satu pertanyaan gratis. Tanyakan apa pun."

"Aku tidak punya sesuatu untuk ditanyakan. Terima kasih atas tawaranmu," tolak Adam halus agar tidak menyinggung perasaan si peramal.

Peramal itu menggeleng. Ada seutas senyum tipis yang menghiasi bibirnya. "Kau ini terlalu baik. Sepertinya aku harus coba cara lain. Aku akan sangat senang jika kau bersedia untuk mendengarkanku."

"Kalau begitu, biarkan aku membayar untuk ini." Adam mengeluarkan dua lembar uang dengan nominal lima dollar dari dompetnya, memberikan uang itu pada peramal. "Ambil saja kembaliannya."

"Simpan saja lima dollar yang lain," ujar si peramal mengembalikan lima dollar pada Adam. "Berikan pada yang lebih membutuhkan."

Adam hanya mengamati peramal itu ketika beliau merobek lembaran kertas lalu menuliskan sesuatu di atas sana. Tak lama kemudian kertas kecil itu diletakkan di hadapan Adam. Satu alisnya terangkat, ketika mendapati kombinasi angka yang merupakan tahun kelahirannya.

"Tahun kelahiran. Apa aku salah?"

Adam menggeleng sebagai jawaban.

"Aku mencoba membaca melalui Shio. Itu semacam zodiak namun menjurus pada tradisi serta kepercayaan masyarakat Tionghoa. Boleh kukatakan kau berhasil melewati badai yang sempat membuatmu bersedih dan merasa kehilangan. Kariermu lancar, hidupmu juga nyaris sempurna. Banyak yang ingin berada di posisimu, banyak juga yang menginginkanmu."

Kalimat si peramal terhenti. Wanita itu mencondongkan tubuhnya agar bisa lebih dekat dengan Adam. Senyum yang sejak tadi menghiasi bibirnya mendadak luntur, digantikan dengan tatapan penuh belas kasih.

"Hanya satu yang sedikit menghambat. Kejujuran."

Kedua mata Adam terbelalak. Ia merasa tidak pernah menipu orang lain. Mungkin pernah, namun dalam keadaan bercanda dan ia juga sudah mengakui kebohongannya. "Madam, aku merasa tidak sedang berbohong kepada siapa pun," bela Adam sedikit tidak terima.

"Aku tidak pernah berkata jika kau berbohong pada orang lain, Sayangku. Kau berbohong pada dirimu sendiri. Itu cukup menganggumu 'kan?"

"Aku tidak mengerti."

"Seharusnya kau tahu. Coba, tanyakan pada hatimu, sesuatu yang kerap kali membuatnya sesak. Sesuatu yang selalu membuatmu merasa bersalah. Kesempatan yang pernah kau buang-buang."

Adam mengunci bibirnya erat-erat. Ia berpikir keras, mencoba memahami maksud peramal tua ini. Adam merasa banyak hal yang mampu membuat dadanya sesak. Selain itu ia juga sering membuang-buang kesempatan berharga. Lalu bagian mana yang beliau maksud?

"Pikirkan satu nama, mungkin kau akan tahu jawabannya."

Adam mengerjap berkali-kali ketika nama Georgia yang pertama kali terlintas di kepalanya.

"Selama ini kau selalu mencoba untuk menghindari satu fakta. Sayangnya semakin kau mencoba untuk menghindar, maka semakin sulit untuk lepas. Bertahun-tahun, selalu seperti itu. Akui saja jika dirimu masih merasakannya."

Wanita itu benar, baru kali ini Adam berhasil dibuat percaya oleh ucapan peramal. Sekitar tiga tahun lalu, Adam mulai mencoba untuk mengabaikan perasaan ini. Namun sial, ternyata tidak semudah itu. Menendang jauh Georgia dari kepalanya adalah sesuatu yang mustahil.

"Jika kau sudah jujur pada dirimu sendiri, lakukan apa yang menurutmu benar. Selalu ada risiko di setiap perbuatan. Namun aku yakin, setelahnya hidupmu bisa jadi lebih tenang."

"Terima kasih atas sarannya, Madam. Aku permisi."

"Senang bisa bertemu denganmu."

Adam sadar sekarang, jika ia masih sangat mencintai Georgia. Ketika gadis itu mulai berkencan dengan Nathan, Adam selalu berkata jika ia sudah melupakan Georgia. Nyatanya tidak sama sekali. Gadis itu selalu ada dalam bayang-bayangnya.

Selama ini Adam selalu menampik perasaan itu dan berujung sakit hati. Bohong jika Adam mengatakan ia bahagia melihat Georgia bersama dengan Nathan. Sayangnya Adam bisa apa, ia tidak ingin menjadi perusak hubungan orang lain. Mengakui perasaannya pada Georgia adalah opsi terakhir yang akan Adam lakukan.

Entah sudah berapa lama Adam mencintai Georgia, ia bahkan tidak ingat kapan perasaan ini mulai merasuki hatinya. Satu hal yang pasti, baik dulu maupun sekarang, perasaan Adam pada Georgia tak pernah berubah. Ia hanya terlalu mahir untuk menyembunyikannya hingga tidak ada satupun yang menyadarinya, termasuk Georgia.

To Be Continued.

Hope you like it!

Terima kasih yang sudah baca, vote, atau komentar. See u on next part! Ily!

[25/09/2020]

-findgilinsky-

Continue Reading

You'll Also Like

12.7K 1.6K 20
kim taehyung seorang pemuda yang berprestasi , memilih Yongsan internasional School untuk melanjutkan pendidikannya ketika kedua orangtuanya meminta...
244K 18.8K 61
[COMPLETED] Kisah ini diambil dari surat-surat milik mantan Putri Mahkota Inggris, Sydney Anaraya dalam buku hariannya. Hingga saat ini tak ada yang...
965K 77.4K 34
(Spin-off dari Tranquility) She is an Angel. He is the Ghost. She is the Light in his dark cruel world. His redemption. His Savior. His Lover. HIS LI...
241K 33.9K 41
"I'm no one special, just another girl who's desperately in love with you,Superstar." ---- Kisah seorang gadis yang mencintai seorang lelaki yang ber...