Ares melewati banyak hari yang menyakitkan. Direndahkan publik kala ia tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka dan diinjak-injak. Tapi, ia tahu bahwa saudara kembarnya, kakaknya, Sena melewati hari yang lebih menyakitkan.
Maka dari itu, Ares malu. Ares malu karena ia merasa, rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit Sena.
Ares malu untuk bercerita pada Sena karena ia merasa tidak pantas Menceritakannya. Ares pun tidak pandai menghibur karena sejatinya, ia lah yang selalu melukai Sena; dengan perkataannya atau dengan perbuatannya. Maka dari itu, karena ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Sena, Ares memilih untuk lari menjauh.
"Ares, berbalik. Lihat aku."
Ares tidak bergeming, ia masih tidur memunggungi Sena yang duduk di tepi ranjangnya. Sena lantas membalik badan, mereka kini saling memunggungi.
"Kalau tidak mau berbalik-maka cukup jawab saja pertanyaanku," Sena jeda kalimatnya sesaat sebelum kembali melanjutkan, "kenapa kamu tidak ingin ada orang lain yang masuk dalam rumah ini, dalam hidup kita?"
Bungkam, mulut Ares rasanya kelu untuk bersuara. Ia menghapus air matanya.
"Saat makan malam tadi, ayah memberitahuku wanita pilihannya."
Sena mengadahkan kepala, menatap langit-langit kamar Ares. Ruang kamarnya lengang beberapa saat.
"Kamu tahu? Baru kali ini aku melihat ayah tersenyum setulus itu saat membicarakan wanita lain. Bahkan, aku sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ayah tersenyum selebar itu, apalagi saat mengurusku."
Sena menghela napas.
"Saat aku menanyakan bagaimana ibu kita, ayah tidak pernah sekalipun tersenyum saat menceritakannya."
Ares membalikkan badan menatap punggung Sena, mendengarkan kakaknya bercerita.
"Kamu mungkin benar. Aku mungkin memang alasan ibu meninggal setelah melahirkan kita. Karena itu, ayah selalu-"
"Jangan pernah cerita apa pun lagi padaku," potong Ares. Air matanya makin deras mengalir.
Sena tersenyum. "Karena itu, ayah selalu marah padaku."
"Ayah tidak pernah bahagia karena harus pusing mengurus aku yang keluar masuk rumah sakit, pingsan karena serangan jantung tiba-tiba kemudian berakhir di ICU selama berhari-hari dan menghabiskan uangnya."
Ares menutup mulut dengan tangan, enggan membiarkan satupun isak tangis lolos dari mulutnya.
"Setidaknya, aku tahu ada orang lain yang bisa menemani hidup ayah, selain kamu."
Mata Sena berkaca-kaca. Sena menghela napas, matanya berkedip cepat guna menahan air mata yang nyaris tumpah membasahi pipinya.
"Yang kutahu, ayah tidak pernah sekalipun menceritakan rasa sakitnya pada kita. Aku tidak setega itu membiarkan ayah sendirian memikul banyak beban di pundaknya. Apalagi salah satu dari beban itu adalah aku. Maka dari itu, aku hanya ingin ayah memiliki tempat berlabuh dan aku yakin, wanita yang ayah pilih bisa menjadi tempat teduh bagi ayah."
"Itu alasanku menyetujui ayah menikah lagi. Sekarang, beritahu aku. Apa alasanmu menolak ayah menikah lagi?"
"Karena Kakak," jawab Ares singkat. Sena sontak menoleh ke belakang seraya membalikkan badan dan menatap Ares yang berlinang mata memandangnya. Bibir Ares bergetar menahan isak. "Karena Kakak," ulang Ares.
"Karena ... aku? Kenapa?"
"Aku tidak mau ayah malah lebih memperhatikan istri barunya kemudian mengabaikan aku dan Kakak. Ayah saja sekarang tidak becus mengurus kita."
Sena mengernyit. "Ares, jangan bicara begitu."
"Seorang ayah tidak mungkin meminta pada anaknya untuk menyusul orang yang sudah meninggal, Kak."
Sena terdiam. Ia tatap Ares yang beranjak duduk seraya menghapus air matanya. Sena berkedip cepat, ia alihkan pandangannya.
"Aku yakin ayah tidak bermaksud seperti itu."
"Oh, ya?"
Sena memejamkan mata. "Kalau ayah memang menginginkanku menyusul ibu dan mati, sejak dulu ayah tidak perlu repot-repot membiayai pengobatanku. Cukup biarkan saja aku kesakitan sampai jantungku benar-benar berhenti bekerja."
"Kak!"
Sena berdiri dan membuka mata. Sena mengembuskan napas berat.
"Jangan bicara seperti itu lagi," ucap Ares pelan. "Kakak tidak tahu takutnya aku ketika semalaman terbayang-bayang ucapan dokter bahwa Kakak mungkin hanya akan bertahan lima bulan lagi. Jangan berbicara seolah-olah Kakak akan pergi."
Sena memunggungi Ares yang terisak. "Lantas, kamu sendiri tidak pernah tahu bagaimana takutnya aku ketika tahu umurku tidak lama dan akan meninggalkan kalian."
Ares menyahut. "Kalau Kakak berbicara seperti itu lagi, aku benar-benar akan memberikan jantungku pada Kakak."
Sena lagi-lagi berbalik, menatap Ares yang menunduk.
"Kamu dapat nilai 0 di pelajaran biologi, Res?"
Ares mengernyit, ia menggeleng. Nilai ujian biologinya tidak pernah jelek.
"Golongan darah kita harus sama kalau kamu mau memberikan jantungmu padaku."
"Aku tidak peduli. Bagaimanapun, harus cocok. Aku dan Kakak, kan, berbagi rahim. Kenapa golongan darah kita bisa berbeda?"
Sena tertawa getir. "Memang kita ditakdirkan untuk berbeda sejak lahir, Res. Aku heran. Terkadang, kamu egois sekali."
Sena berjalan menuju pintu kamar Ares seraya berucap, "Dokter Leana adalah wanita yang ayah pilih dan aku mengenalnya. Dia baik. Sangat baik."
Sena membuka pintu kamar Ares, mendengarkan Ares terisak-isak.
Sena tersenyum tipis. "Tidakkah kamu mengerti? Aku hanya ingin ayah dan kamu tidak sendirian saat hari itu tiba."
***
Hari berganti, namun Ares masih enggan mengubah keputusannya. Masih belum mengizinkan Aksa untuk menikah lagi. Ah, persetan. Sena tidak peduli.
Sena menyandarkan diri pada sofa ruang tengah, degup jantungnya bertalu-talu tidak karuan. Arlojinya berbunyi kencang sekali. Napas Sena terengah, ia membuka kancing seragamnya yang paling atas kemudian merogoh saku dan mengambil satu tablet obat dari sana.
Ia lemparkan obat tersebut pada kerongkongannya. Tangan Sena meraih botol mineral di tas ransel kemudian meneguknya.
"Mas Sena sudah pul-astaga!"
Suara Bibi Freya menggema. Sena menekan dada kirinya dan mengernyit. Napasnya tersenggal-senggal, sesekali merintih.
Trak!
Botol air mineral di tangan Sena terjatuh, airnya tumpah membasahi lantai. Tubuh Sena ambruk pada sofa. Bibi Freya berjongkok di samping sofa, membuka mulut Sena secara paksa kemudian meletakkan obat pada lidah Sena.
Sena mengunyah obat yang menempel di lidahnya kemudian menelannya tanpa air. Keringatnya menetes, rambut Sena basah karena keringat.
Napas Sena berangsur tenang, sesak dan sakit pada dadanya pun perlahan mereda. Arlojinya berhenti berbunyi. Sena lantas menghela napas dengan dada yang masih naik turun.
Sena membuka mata, menatap sayu Bibi Freya yang masih menatapnya khawatir. Mata Sena kembali terpejam.
Semakin lama, semakin parah saja. Padahal, sebelumnya Sena hanya merasa sedikit lelah karena terjaga sampai larut malam untuk mengerjakan tugas dan belajar. Pulang sekolah juga Sena memesan ojek online karena Ares masih ada urusan dengan Luna, katanya.
"Jadi, kamu berencana akan menyatakan perasaanmu pada Ares nanti?" tanya Sena seraya menyangga dagu dan menatap Luna. Ares duduk di bangku kelas, berhadapan dengan Luna. Sekelilingnya cukup berisik, pelajaran sedang kosong karena guru-guru tengah rapat.
Luna mengangguk.
"Bukankah terlalu cepat?"
Luna mengendikkan bahu seraya tersenyum. "Sudah satu tahun aku mendekatinya, Sena."
Sena menghela napas pelan.
"Tapi, bukankah lebih baik kalau kamu tetap diam dan menunggu Ares yang menyatakannya padamu terlebih dahulu? Ares itu tipe laki-laki yang-"
"Ssst! Aku tidak peduli. Meskipun Ares menolak, yang terpenting aku sudah menyatakan perasaanku," sela Luna.
Sena terdiam.
"Dulu, Ares pernah menyelamatkanku. Jadi, aku tidak peduli berapa kali dia menolak. Aku akan terus mengejar Ares. Sena, bantu aku ya? Kamu, kan, sahabatku dan saudara kembar Ares!"
Sena lagi-lagi menghela napas kemudian mengangguk. Senyum tipis terukir di bibir Sena. Ia mengusap puncak kepala Luna lembut. "Hubungi aku kalau Ares membuatmu menangis lagi."
Dada Sena menyesak tatkala teringat percakapannya dengan Luna saat di sekolah tadi, ia kembali menyentuh dadanya.
"Mas, sakit lagi? Saya hubungi rumah sakit, ya?"
Sena menggeleng seraya membuka mata, menatap Bibi Freya sayu. "Aku mau tidur sebentar di sini, Bi. Nanti pasti lebih baik. Bisa tolong ambilkan selimut, Bi?"
Bibi Freya mengangguk, ia melepas sepatu Sena kemudian menaikkan kakinya pada sofa. Mata Sena panas, lantas membuatnya memejamkan mata. Ponsel Sena bergetar, membuat Sena sedikit berjengit kaget.
Sena buru-buru merogoh ponsel dalam saku kemudian membuka kunci layarnya. Sena menerima panggilan dari Luna, ia tempelkan ponsel pada daun telinganya sambil berusaha beranjak duduk.
"Ada apa, Luna?"
Sena memasang lagi sepatunya kala mendengar isak Luna. Ia basahi bibirnya yang kering. "Luna? Kamu ada di mana?"
Tepat setelah Luna memberitahukan lokasinya, Sena beranjak berdiri. "Tunggu. Sebentar lagi aku ke sana."
Sena memutus panggilan, ia tekan dada kirinya yang berdenyut nyeri. Sena menekan ikon panggil pada kontak Ares.
"Mas Sena? Mas masih pucat, mau ke mana?"
Sena berdecak kesal kala Ares tidak menjawab panggilannya. Ia menatap Bibi Freya sekilas lalu berjalan pelan menuju ruang tengah seraya membuka aplikasi ojek online.
"Bi, kalau Ares pulang," Sena jeda kalimatnya beberapa saat kemudian menelan ludahnya susah payah. "Katakan padanya untuk menghubungiku."
Sena menggigit bibir bawahnya tatkala nyeri pada dada kirinya semakin terasa menusuk-nusuk.
"Katakan juga pada Ares dan ayah kalau aku ... minta maaf."
Berapa persen nih tingkat kekesalannya sama Luna?
Atau sama Sena yang begonya gak ketulungan kalo udah nyangkut soal Luna?