Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 3. Firasat

4.2K 636 88
By fuchsiagurl

Pukul sepuluh malam, Sena kembali ke rumah sakit.

"Dari mana saja sampai jam segini, Sena?!"

Mata Sena terpejam sesaat usai Aksa membentak. Sena membuka matanya perlahan, ia tatap lantai kamar rawat Ares.

Kantuk Ares seketika hilang, ia perhatikan Aksa yang berhadapan dengan Sena. Kepalanya berdenyut, pening di kepalanya masih belum reda, suhu badannya juga belum turun.

Aksa menghela napas kasar. "Saat keluar tadi, kamu membeli apa?"

Sena menggigit bibir bawahnya, ia menggeleng pelan. Sejujurnya, Sena membeli mie instan karena lapar, dan hanya membawa sedikit uang di sakunya. Sena sendiri baru ingat jika ia tidak diperbolehkan makan makanan cepat saji oleh dokternya. Sena benar-benar lupa karena kalap, ia langsung berhenti memakan mie instan cup yang ia beli dan makan di minimarket tatkala teringat daftar pantangan makanannya.

"Di mana botol obatmu?"

Sena memainkan jemarinya gusar, masih enggan menatap Aksa.

"Ada di rumah," cicit Sena.

"Kenapa bisa tertinggal? Ayah 'kan sudah bilang, bawa botol obatmu kemana-mana."

Sena mendongak, menatap Aksa yang masih menekuk wajah. Sena mengulum bibir. "Tadi 'kan terburu-buru kemari ... aku lupa membawanya."

"Ayo pulang," ujar Aksa seraya membalikkan badannya meraih kunci mobil yang ia letakkan di nakas rumah sakit. "Ares, ayah pulang ke rumah sebentar, ya. Setelah itu, ayah kemari lagi. Sebentar, kok."

Aksa membalikkan badan, ia langkahkan kakinya menuju pintu kamar rawat Ares. "Ayo, Sena. Lama sekali bengongnya. Ayah tunggu di mobil."

Sena menghela napas kala ayah menutup pintu. Tangan Sena terangkat menyentuh dadanya yang berdenyut nyeri. Sena menurunkan tangannya, berjalan menuju pintu kamar rawat Ares.

"Kak," panggil Ares.

Sena menghentikan langkah, ia menatap Ares yang kini sudah beranjak duduk di ranjangnya.

"Maaf. Karena aku ... Kakak sampai—"

"Bukan masalah," sela Sena, memotong ucapan Ares.

"Kalau aku mati ... Kakak akan baik-baik saja?"

"Ares."

"Iya, 'kan?"

"Ares!"

Ares menutup mulut rapat-rapat, dadanya berdenyut nyeri tiba-tiba. Netra Sena terpejam beberapa saat, kemudian Sena kembali menatap Ares. Dada Ares menyesak.

"Apa yang terjadi, sih, Ares?"

Ares menggeleng, enggan bercerita. Sena menghela napas, ia balikkan lagi badannya dan melangkah menuju pintu. Percuma saja, Ares tidak akan pernah berkeluh kesah padanya. Sena sudah lelah membujuk.

"Res," panggil Sena. Ares mendongak, menatap Sena yang masih menghadap pintu, ia genggam gagang pintu kamar rawat Ares kuat-kuat.

"Memang benar kalau aku sehat, maka kamu akan sakit. Begitu pula sebaliknya. Tapi, Res, sekali pun kamu mati, penyakit jantungku tidak bisa sembuh begitu saja."

"Kakak bisa pakai jantungku."

Sena lantas berbalik, menatap Ares. "Kamu benar-benar sudah bosan hidup, ya?"

"Sejak dulu, dokter sering berkata bahwa aku tidak lama lagi," ucap Sena seraya tersenyum tipis. "Maka dari itu, aku sebenarnya senang sekali sudah bisa bertahan sampai hari ini demi kamu, demi ayah."

"Kak ... jangan pergi."

"Res, bulan Dione itu bukan satelit Bumi. Dione itu satelit Saturnus dan sejak dulu memang tidak pernah hadir dalam langit Bumi. Tapi, bintang Antares selalu hadir di langit malam Bumi. Kalau kamu menghilang, langit akan kehilangan bintang paling terangnya, 'kan?"

Ares menunduk kala air matanya tiba-tiba luruh. Sena tidak mengiyakan kalimat Ares. Ia tekuk kaki dan memeluknya. Wajah Ares terbenam pada lutut, Sena menghela napas.

"Jangan meledak, Antares. Jangan hilang dari langit Bumi."

***

Ares adalah seorang model. Dengan jumlah pengikut nyaris lima puluh ribu di sosial media, Ares memang cukup terkenal. Jumlah pengikutnya meningkat drastis saat Ares terpilih menjadi duta putra-putri pelajar se-Bandung. Ares juga sudah bisa menghasilkan uang sendiri, hasil dari menjadi model untuk endorse berbagai jenis produk. Berbeda dengan Sena yang malah menghabiskan uang Aksa dengan operasi sana operasi sini.

Antares bersinar sangat terang sekali, ketimbang Dione yang harus mengemis cahaya pada matahari dan tidak pernah terlihat di langit Bumi.

Benar, bukan?

Sena meletakkan ponselnya pada meja nakas kamar. Ia baru saja membuka akun sosial media milik Ares. Sejak beberapa bulan lalu, Ares memang sedikit sensitif. Sena sering tidak sengaja melihat tangan Ares terdapat luka bekas sayatan.

Omong-omong, Aksa meninggalkannya sendirian di rumah dan kembali memutar mobil untuk menemani Ares. Lagi-lagi begitu. Sena terkadang masih sebal karena hal seperti ini. Aksa memperlakukan Sena dan Ares dengan berbeda. Kendati demikian, sampai sekarang Sena masih mencoba untuk mengerti sang ayah walau terkadang Sena masih merasa tidak adil.

Sena memilih untuk mengesampingkan perasaan irinya pada Ares. Ia lebih tertarik untuk memikirkan perkataan Ares tadi di rumah sakit ketimbang perasaan irinya. Sena rasa, keinginan Ares untuk bunuh diri bukan hanya sekedar ingin mendonorkan jantungnya dan membuat Sena sehat. Ada hal lain, Sena yakin. Akan tetapi, sampai sekarang Sena tidak tahu masalah apa yang Ares tutup-tutupi.

Sena lagi-lagi menghela napas seraya menarik selimutnya. Matanya terpejam, pikirannya menjelajah, kenapa aku harus dilahirkan jika harus penyakitan begini dan diperlakukan berbeda oleh ayah?

***

Sehari setelahnya, Ares diperbolehkan pulang ke rumah pada pagi hari saat Sena sedang sekolah. Mereka bersekolah di sekolah yang sama, namun kelas mereka berbeda. Sementara itu, Aksa langsung kembali bekerja usai mengantar Ares pulang.

Ares sendirian di rumah, ditemani bibi pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah mereka.

"Mas Ares ingin makan apa?"

"Apa saja, Bi."

Ares beranjak duduk, memainkan ponselnya dan melihat komentar-komentar sosial medianya. Ares menyentuh dadanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia tiba-tiba teringat Sena.

Ares terdiam beberapa saat, ia letakkan punggung tangannya pada leher. Ares memindah tangannya, ia sentuh dahinya sendiri. Suhu badannya sudah turun, Ares sembuh.

Ares menyentuh dadanya sendiri, ia menggeleng pelan —berusaha menepis pikiran buruk di kepala— dan meletakkan ponselnya.

Sena sering berkata bahwa ikatan emosi dan telepati di antara anak kembar itu tidak ada. Namun, Ares sebaliknya. Ia percaya akan mitos itu. Jika Sena tidak merasakannya, maka Ares selalu merasakannya.

Ares sering memiliki firasat seperti beberapa sekon lalu apabila Sena tidak sedang dalam keadaan baik meski mereka sedang berjauhan. Ares membuka kunci ponselnya lagi, mengirim pesan pada teman yang satu kelas dengan Sena.

Ares
Sena masuk UKS lagi?

Luna
Hebat. Sudah seperti cenayang.
Iya, Sena masuk UKS. Dia tiba-tiba sesak dan mengeluh dadanya sakit.

Continue Reading

You'll Also Like

3.1K 533 32
Belum di revisi, masih acak-acakan 🙇 Hidup sebagai harapan keluarga bukanlah keinginan seorang Kang Raein, sebetulnya ia tak ingin mengemban tugas y...
171K 17.6K 38
[TELAH TERBIT] Sendu sembilu merengkuh semesta luas yang sedih melihat seorang pemuda bernama Raflie Adhinata Bhanu Jaya Kusuma. Seperti angin, dia a...
107K 8.5K 31
Ayya adalah siswa baru di SMA Century, sekolah yang paling dibenci oleh Ayya karena di sana dia selalu dibully oleh semua orang. Dan yang lebih parah...
RALD By Shofi Annisa

Teen Fiction

24.2K 2.9K 43
Kadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi