Kumpulan Cerpen

By MarentinNiagara

102K 6.8K 1.9K

šŸ‘‹šŸ‘‹ Hi haii šŸ‘‹šŸ‘‹ berjumpah lagi kita šŸ’‹šŸ’‹ Bosen sama cerita panjang kek sinetron??? šŸ¤”šŸ¤” Lebih suka nonton f... More

šŸ’ Menantu Idaman Ummi ??
šŸ’ Aku Tikung Kau diSepertiga Malam
šŸ’ Perempuan disarang Penyamun
šŸ’ Cucu untuk Ibu
šŸ’ Semburat Bianglala di Puncak Rembangan
šŸ’ Cinta dan Setir Bundar
šŸ’ The Apple Of My Eyes
šŸ’ Istri Untuk Suamiku
šŸ’ Senja di Atas Kereta
šŸ’ Cintaku dan Duri Ikan
šŸ’ Boneka Cinta dari Arosbaya
šŸ’ Rona Lima Warna
šŸ’ Pembantu Baru Ibu
šŸ’ Keluarga Dokter
šŸ’ Bully
šŸ’ Jodoh Pasti Bertemu
šŸ’ Pasangan Sejiwa
šŸ’ Heal Your Heart
šŸ’ Surgaku, Dunia Akhirat
šŸ’ Pelabuhan Terakhir
šŸ’ Aku Cinta Ibu
šŸ’ Tiba-tiba, Kita?
šŸ’ I Long For You, Frian Ardiera
šŸ’ Bidadari Terakhir
šŸ’ Sein Kiri Belok Kanan
šŸ’ RESTU
šŸ’ Selamat Datang Cinta
šŸ’ Balada Cinta Bangsawan Andi
šŸ’ Mantan TKW (1)
šŸ’ Bianglala Senja
šŸ’ Radio Amatir
šŸ’ Why never be Honest?
šŸ’ Mantan TKW (2)
šŸ’ Maaf, Aku tak Memilihmu
šŸ’ UTANG
Berdamai dengan Masa lalu (1)
Berdamai dengan Masa Lalu (2)
šŸ’ Ndanda, Aku kangen!

šŸ’ Memantaskan Diri?

1.7K 172 157
By MarentinNiagara

story by @MarentinNiagara

Kosongkan pikiran dan jangan ingat cerita yang lain karena cerita ini terpisah dari yang lainnya.

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

✏️✏️

Kata orang tidak ada namanya sahabat antara seorang laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa. Apakah itu suatu kebenaran? Sepertinya hanya mereka yang pernah menjalin persahabatan seperti itu yang bisa menjawabnya.

Cerita ini berawal dari sebuah ketidaksengajaan, entah apa yang menyebabkan aku dulu bersedia mengantarkan kakak kostku yang kala itu dengan sengaja dan kelihatan sangat membenciku. Padahal aku merasa tidak pernah menyinggungnya ataupun berbicara yang tidak-tidak tentang dirinya.

Tapi hari itu dia membutuhkan bantuan untuk mendapatkan surat keterangan kelakuan baik sedangkan dia tidak bisa mengendarai sepeda motor. Sementara di kost tidak ada seorang pun yang lain karena sepertinya teman-teman yang lain masih berada di kampus.

"Aya, eh untung kamu datang. Bisa tolong anterin ke polres nggak sekarang?"

"Polres? Memangnya ada masalah Mbak Nina?"

"Aku butuh SKKB, tapi pipi nggak bisa anterin. Nah kamu kan bawa sepeda motor nih, bisa tolongin ya. Please," katanya.

"Tumben mas pipi nggak bisa anterin, Mbak Nina. Aku ke kamar dulu ya taruh buku habis itu kita berangkat." Selintas terpikir, kalau butuh saja bermuka manis. Lagian apa sih yang pernah aku lakuin kepadanya, bersinggungan saja aku nggak pernah lalu mengapa dia harus membenciku dengan menghasut anak-anak kost yang lain untuk ikut-ikutan membenciku.

Antonia Karenina, sebenarnya dia itu idola. Kakak tingkatku di kampus, saat aku masuk menjadi mahasiswa baru dia sudah mengerjakan skripsi dengan IPK yang membuatku menjadi iri. Mbak Nina memiliki kekasih bernama Irwinsyah Saputra dan dipanggil 'pipi' olehnya. Itu sebabnya kami pun jadi ikut memanggilnya mas pipi daripada mas Irwin.

Tidak berselang lama akhirnya aku sampai juga di polres mengantarkan kakak kostan yang sedikit 'aneh' menurutku.

"Mbak Nin aku tunggu di luar aja ya?"

"Makasih ya Dik Aya." Kalau butuh aja muka manis banget itu bahkan sampai memanggilku dengan sapaan 'dik', kalau lagi nggak butuh pedes banget mulutnya ngomongin aku di belakang.

Apa karena mas Andra yang katanya mantan dari sahabatnya sekarang lagi mendekatiku? Entahlah, aku juga nggak nyuruh Andra untuk mengikutiku. Salah siapa coba, mengapa harus aku yang menjadi kambing hitamnya. Lama-lama aku terima saja pernyataan cintanya si Andra untuk membuatnya semakin meradang seperti cacing kepanasan. Tapi apa untungnya buatku?

Aku membuka buku bacaan yang aku bawa dari kostan sambil menunggu mbak Nina yang sedang mengurus SKKB di kursi yang tersedia di dekat pos penjagaan petugas di dekat pintu masuk. Mengapa harus buku, karena saat itu belum marak dengan handphone, jikalaupun ada yang punya itu masih satu warna doang belum ada mode poliponik.

"Siang Ndan."

"Selamat siang," aku mendengar sapaan beberapa anggota kepada salah seorang diantaranya dengan panggilan 'ndan' hanya saja aku enggan memperhatikan lebih karena memang menurutku tidak ada yang indah untuk diperhatikan dan sebenarnya malas juga berurusan dengan mereka. Sampai akhirnya tercetus sebuah pertanyaan yang membuatku menjadi takut karena yang ditunjuk adalah sepeda motorku. "Ini sepeda motor siapa?"

"Itu Ndan, mbak yang duduk di kursi sambil baca buku."

"AG-L?" aku memang memperhatikan percakapan itu akhirnya dan setelah mata kami bertemu dalam satu titik mau tidak mau akhirnya aku pun tersenyum membalas senyumannya. Seseorang yang disapa 'Ndan' itu pun berjalan mendekat ke arahku.

"Dari Blitar ya?" aku mengangguk. "Kuliah?" aku mengangguk lagi. Sebenarnya tidak perlu memperkenalkan diri aku juga sudah tahu namanya dari plat nama yang terpasang di dada kanan seragam coklatnya, Faza L. Akbar.

"Faza," aku menerima uluran tangannya tapi entah mengapa bukan menyebutkan nama tapi malah menyebutkan lanjutan tulisan nama yang aku baca sekilas. "L. Akbar?"

"Lazuardi Akbar, lengkapnya Faza Lazuardi Akbar. Namanya siapa?" setelah itu aku baru tersadar belum menyebutkan nama, "oh maaf, Aya. Ghazwani Adyara."

"Motornya?" Polisi bernama Faza itu menunjuk motor yang memang aku parkir tidak di tempatnya. Takut sih tapi setelahnya aku bisa bernafas lega setelah mendengar kalimatnya. "Nggak sangka ketemu tetangga di sini."

"Maksudnya, Pak Faza dari Blitar juga?" dia mengangguk kemudian tersenyum dan percakapan kami mengalir begitu saja. Mungkin karena sama-sama berasal dari satu daerah yang sama hingga banyak obrolan yang nyambung.

"Jadi kamu seangkatan dengan Iwan, Robin, Fadli?" ternyata meski kami berbeda 5 tahun, Faza banyak mengenal teman SMAku.

"Kenal dengan mereka?"

"Temen bola dulu sebelum pendidikan, dan karena penempatannya di sini jadi kami lama tidak sparing friendly match dengan mereka."

"By the way, nih pak komandan nggak kerja malah nemeni aku ngibril di sini?"

"Iya kerja, tapi memang kerjanya melayani masyarakat kan? Nggak ada salahnya juga nemani kamu di sini kan salah satu bentuk pelayanan juga."

Masalahnya yang butuh dilayani kan kakak kostanku, mengapa malah aku yang seolah butuh layanan. "Itu kakak kostmu sudah selesai belum urusannya?" Nah kan, pertanyaan yang nggak perlu aku jawab. Kalau sudah selesai pasti dia ada di sini. "Memangnya kalian ngekostnya dimana?"

Percakapan kami berakhir setelah mbak Nina muncul dan memperlihatkan amplop coklat kepadaku. Urusan selesai dan kami bisa pulang ke kost, itu artinya aku juga harus berpisah dengan 'teman' baruku.

Tidak ada cerita bertukar nomor HP karena memang aku tidak memiliki, Faza hanya tahu aku kost dimana dan nomor telepon kostanku saja. Hingga suatu malam saat aku sedang belajar di kamar, teman-teman kostanku berteriak dari ruang TV memanggil namaku. "Aya ada telpon."

Kulihat jam di dinding kamarku, sudah jam 20.45, siapa lagi yang telepon malam-malam begini. Langkah gontai mengarahkanku ke tempat telepon kostan tapi sebelumnya aku berkata, "terima kasih, Mbak."

"Hallo__" ah setelahnya aku terkikik mendengar suara, siapa yang menelponku dan berita apa yang aku dengar malam ini.

"Terus aku manggilnya apaan dong?" tanyaku. ------

"Oke__oke, tapi sudah malam ini Mas. Nggak mau aku keluar ntar nggak bisa masuk kostan. Lagian kok mendadak banget sih ngasih kabarnya?" ------

"Besok aja, lagian malam ini juga masih dinas kan? Gimana coba, salam aja deh sama anak-anak. Besok aku kuliah sore Mas. Pagi kan acaranya nanti aku coba ke sana kalau memang memungkinkan." -----

"Sip, yawes aku lagi ngerjain tugas nih. Selamat bekerja." Telepon pun terputus dan aku berniat untuk kembali ke kamar sayangnya sebelum naik ke kamarku aku sempat mendengar pertanyaan atau mungkin pernyataan yang tidak mengenakkan di hati.

"Telepon Andra ya Aya, seneng banget kelihatannya. Tapi masak sih, tadi aku ketemu Andra sama Anis loh sedang ngurus wisudanya Anis sepertinya, berdua mesra banget sepertinya mereka CLBK." Sebodo amat mau CLBK mau KBLC atau yang lainnya aku dan Andra nggak pernah ada urusan.

"Bagus dong mbak Nina kalau mereka balikan." Jawabku kecut kemudian meninggalkan mereka. Susah amat ngurusi urusan orang lain, kalau aku mah ogah.

Pagi harinya seperti biasa aku belajar masak bersama teman-teman kostku yang lain. Menunya sederhana, bikin bakwan jagung, rebus sayuran dan sambel terasi. Waktu masakanku sudah mateng dan siap santap ibu kost mendadak tergopoh-gopoh mendatangi kami.

"Aya, itu ada polisi nyari kamu di depan. Aduh jangan buat masalah, ibu nggak mau nama kostan di sini jelek gara-gara yang ngekost di sini ada yang memiliki masalah hukum sampai harus berurusan dengan polisi." Dengan kalimat histeris bercerita hingga membuat yang lain memandangku dengan penuh tanda tanya.

"Polisi? Saya nggak buat masalah apa-apa kok Buk. Memangnya__"

"Itu kamu dicari polisi di depan."

"Di depan?"

"Iya di rumah ibu, di ruang tamu." Lah kalau tamu kost kenapa ada di ruang tamu rumah ibu. Aku juga jadi deg-degan dan masih secepatnya segera membasuh muka berganti pakaian lalu menemui 'polisi' yang dimaksud oleh ibu kost sambil bertanya-tanya aku melakukan salah apa sampai harus dicari polisi, ada-ada saja.

Apa yang terjadi setelahnya, aku melihat seorang Faza Lazuardi Akbar yang masih mengenakan seragam dinas lengkapnya duduk manis di kursi ruang tamu ibu sambil berbincang dengan bapak kost. Astaghfirullah, aku pikir siapa ternyata Mas Faza yang mencariku.

"Loh Mas Faza, ngapain ke sini?"

"Oh, Aya sudah mengenal pak Faza?" tanya bapak kost.

"Eh maaf Pak, iya kebetulan mas Faza ini dari Blitar jadi kami sudah kenal sebelumnya."

"Oh, saya kira tadi kamu sedang bermasalah sampai harus dicari pak polisi."

"Aduh bapak ada-ada saja deh. Amit-amit jangan sampai urusan sama polisi karena ada masalah, Pak." Kemudian bapak kost meninggalkan kami dan aku pun mengajak mas Faza ke ruang tamu untuk anak-anak kost. "Lain kali kalau datang ke kost jangan pakai seragam deh mas, ibu kost heboh tadi manggil aku. Apalagi tadi langsung ke rumah utama."

"Yah aku nggak tahu kalau anak kost punya ruang tamu sendiri, makanya tadi ke rumah induk. Kamu juga nggak bilang pas aku telpon semalam."

"Lah mas Faza nggak bilang kalau mau kemari." Aku menjawab protesannya.

"Aku dari kantor loh ini langsung kemari."

"Uluh kesian amat, pantesan bau acem pasti belum mandi," ledekku.

"Sembarangan, aku sudah mandi tadi di kantor sebelum apel pagi." Katanya sambil mengelus perut ratanya "Lapar, Dik. Cari sarapan yuk?" kami memang baru tiga kali bertemu setelah satu bulan yang lalu aku mengenalnya. Ipda Faza L. Akbar, perwira polisi yang baru lulus taruna akpol satu tahun yang lalu. Tapi karena kedewasaannya dan sikap ngemongnya dia membuat kami sudah seperti kakak adik di negeri orang.

"Aku baru aja bikin sarapan, sayang nggak dimakan dong. Atau aku anterin mas Faza aja deh, ntar aku sarapan di sini setelahnya."

"Beneran kamu masak?" aku mengangguk. "Nggak percaya."

"Ya udah nggak maksa."

"No result is hoax. Bawa sini coba aku rasain sudah pantes belum jadi chef. Masak apa sih tadi?" tanya mas Fazza.

"Bakwan jagung, sayur lalap sama sambel terasi loh cuma, maklum kan anak kost."

"Nasi anget-anget enak tuh. Ayo cepet bawa sini, ngiler aku." Bukannya jadi makan di luar, aku dan mas Faza akhirnya sarapan di kostan. Melihatnya melahap makanan yang aku buat, nggak nyangka juga ternyata perwira polisi itu tidak pilih-pilih makannya.

"Enak apa doyan sih Mas?" tanyaku, aku saja belum habis eh dianya sudah nambah lagi sampai nasi yang seharusnya bisa buat makanku seharian tandas untuk sarapan kami berdua.

"Enak ini, ini kalau makannya di gubug pematang sawah jauh lebih enak. Nanti deh kalau pulang ke Blitar kita sempetin seperti itu." Kapan itu terjadi, halah kuliah juga mau semester 2 sudah pengen pulang aja.

Dan mas Fazza menyuruhku untuk mandi kemudian bertemu dengan teman-teman yang kebetulan akan sparing bola nanti sore di Stadion Notohadinegoro.

"Aya, pacarnya yah. Kirain ibu tadi bermasalah ternyata pacarnya toh. Lah terus si Andra gimana dong?"

Dan masih banyak lagi, tapi enggan untuk menjawab aku hanya bungkam dan tersenyum menanggapi celoteh kekepoan mereka. Bukan artis juga harus mengadakan persconference untuk menjawab semuanya.

"Dik__bawa mobilku aja," ketika aku masuk masih terdengar suara mas Faza yang membuat teman kost yang ada di ruang TV menjadi senyum-senyum, entah mengejek atau meledekku, sebodo amat.

Setelah aku bersiap, akhirnya aku pamit kepada temen-temen keluar. Ada yang meledek, ada yang mencie-cie, ada yang entah apa yang lain. "Not, motormu nganggur kan, ntar pinjem buat ke perpus ya."

"Kontaknya ada di meja, To. Kunci kamarku aku taruh di kamarmu." Rita, anak HI seangkatan denganku lumayan baik, nggak suka nyinyir dan aku lumayan dekat dengannya meski tidak dekat banget. Entah bagaimana ceritanya dulu kami saling memanggil nama sapaan yang berbeda, Rito untuknya dan dia memanggilku dengan panggilan Menot.

Sejak itulah teman-temanku tahu bahwa aku memang deket dengan seorang polri tanpa mereka ketahui hubungan kami seperti apa yang sesungguhnya. Mas Faza tetaplah seorang perwira yang sangat disegani oleh anak buahnya, meski masih jadi perwira pertama namun aku salut, dia adalah pria yang begitu dekat dengan keluarga.

Itu terbukti saat kami sama-sama pulang dan aku berkesempatan bisa mengenal keluarganya lebih dekat. Bukan dari keluarga berlebihan seperti yang awalnya aku bayangkan. Keluarganya sederhana, empat bersaudara dan dia anak paling kecil yang sangat disayang oleh keluarganya. Yang lebih menyesakkan hati adalah ketika dia begitu sayang kepada ibunya yang sedang sakit karena strooke dan menyebabkan kelumpuhan sehingga harus mengenakan kursi roda untuk bisa bergerak kemana-mana.

Menjadi saksi bagaimana sang perwira ini menyuapi makan ibunya dengan penuh cinta membuatku meneteskan air mata seketika. Dia memang baik, apapun alasannya aku melihat sosok yang berbeda dari mas Faza dibanding dengan polisi-polisi yang lain.

Dekat, bukan berarti kami selalu bertemu setiap hari. Meski tidak jarang mas Faza ikut sarapan di kost ketika aku sedang masak. Atau dia yang membawa bahan masakan kemudian minta untuk diolahin dan akhirnya bisa kami nikmati berdua. Tapi hubungan kami tetap tidak berubah layaknya seorang sahabat, atau kakak dengan adik. Aku yang anak sulung begitu menikmati mendapatkan perhatian seorang kakak sedangkan dia yang anak bungsu memperlakukanku seperti seorang adik.

Hingga suatu ketika aku diajak ke acara reuni temanku dan berkenalan dengan seseorang. Arya Wijaya, anak teknik perminyakan di sebuah institut negeri yang cukup terkenal di Bandung. Berkenalan hingga akhirnya hati kami terpaut, aku akhirnya menjalin cerita bersama Arya.

Apakah Faza mengetahuinya? Jelas dan dia sangat menghormati untuk itu. Yang aku tahu bahwa karena pekerjaan dan persiapan untuk kenaikan pangkatnya mungkin membuat kami tidak bisa seintens dulu bertemu.

Sampai kejadian maut yang menjadi akhir sebuah takdir atas hidup Arya Wijaya. Faza juga datang untuk memberikan penghormatan terakhirnya. "Sabar, setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kamu harus tetap semangat melanjutkan cita-cita. Sebentar lagi kan mau ujian skripsi, doakan yang terbaik untuk Ary semoga selalu tenang di sana."

Aku hanya mengangguk dengan masih berlinang air mata.

Hingga di suatu malam menjelang tidur, aku mendapatkan kabar dari mas Faza. "Apa kabar adikku Ghazwani Adyara? Semoga selalu sehat ya. Eh aku mau kasih kabar sekaligus mohon izin untuk hengkang lebih dulu dari sini. SK mutasiku sudah turun, Dik. Aku dimutasikan di Polda Jatim dengan pangkat baru, Alhamdulillah sekarang sudah Iptu, kapan kita bisa bertemu sekaligus aku traktir untuk syukuran tentang ini. Tapi maaf bukan aku tidak mengerti kesedihanmu hanya saja sekali lagi hidup harus terus berjalan bukan?"

Aku menutup pesan singkat yang tidak tertulis secara singkat itu.

Hari ini, aku bertemu kembali dengannya untuk memenuhi undangan traktiran. Bukan hanya berdua, ada beberapa anggota yang telah datang di resto yang dipilihnya. Moving on Surabaya, yah aku selalu berdoa semoga mas Faza senantiasa diberikan kemudahan karier, kemurahan rezeki dan kesehatan.

Dan pada waktunya telah tiba, mas Faza telah menetap di ibu kota provinsi dengan pekerjaan baru.

Dan jeda bulan yang tidak lama akhirnya aku mulai mencari pekerjaan, mengikuti job fair dan mulai menggeliat untuk mempromosikan diri. Artinya juga aku harus sering-sering berada di Surabaya.

Drrrt, drrrt, drrrt.

"Dengan Ghazwani Adyara? Selamat anda lolos tes kualifikasi di walkin interview kemarin dan diminta kehadirannya besok lusa untuk mengikuti tes wawancara lanjutan di dua tempat. Pertama di cabang Kembang Jepun baru setelahnya di cabang Tanjung Perak." Seperti berkah tak berkesudahan menerima panggilan telepon tersebut. Aku bahkan sampai jingkrak-jingkrak saking bahagianya. Dan tak lama dari itu ada panggilan telepon juga yang memberitahukan bahwa aku juga diminta untuk tes wawancara di sebuah cabang syariah di Raya Dharmo.

Waduh, Kembang Jepun, Tanjung Perak, Raya Dharmo. Tuhan__aku tidak tahu harus dengan apa mencapai tempat itu. Jika tidak karena mas Faza menelpon untuk menanyakan kabarku aku pasti tidak ingat bahwa aku memiliki seorang kakak di Surabaya.

Nginep di rumah om yang berada di Sidoarjo selatan membuatku merasa ragu untuk bisa menemukan tempat itu dengan tepat. Mengingat mas Faza yang bersedia mengantarku juga belum faham benar seluk beluk kota Surabaya seperti apa. Sampai pagi hari tante memanggilku dan meminta untuk segera bersiap karena mas Faza sudah nangkring di sepeda motor di depan rumah omku.

"Pacarmu?" tanya tanteku.

"Siapa?"

"Itu cowok yang di depan, wajahnya mirip Ocha loh, kali aja tuh kalian berjodoh."

"Mas Faza sudah datang?" aku segera berlari ke depan untuk memastikan dan benar saja dia sudah duduk di atas motor. "Kok bawa motor, mobilnya kemana Mas?" karena setahuku mas Faza lebih sering menggunakan mobil ketika kami jalan bersama, alasannya simpel tidak ingin menyusahkanku untuk duduk di belakangnya hingga kami merasa kikuk.

"Kalau bawa mobil susah nanti, aku belum begitu hafal jalan di Surabaya. Nggak papa kan naik motor, hasil minjem temen juga soalnya." Honda NSR 150, motor sport fairing bermesin 2 tak sukses membawa kami untuk berkeliling mencari alamat yang diberitahukan dalam telepon kemarin.

"Mas tadi nggak ngantor?"

"Kemarin sudah izin, bela-belain demi nganter kamu ini sampai harus menghadap waka."

"Wakapolda?"

"Iya, sekalian untuk membicarakan pekerjaan lainnya sih." Jawabnya sambil tersenyum lalu dia mengusap kepalaku lembut. "Sarapan dulu yuk, kantornya belum buka. Kepagian tadi kita ke sini."

"Mau makan dimana, ini daerah Kya-kya loh, pecinan. Yakin makanannya halal?"

"Meski di sini pecinan, namun kata temenku banyak orang madura juga jadi banyak makanan yang halal. Atau mau ke arah Slompretan situ?" karena tidak tahu aku hanya bisa nurut saja yang penting tidak terlambat untuk kembali ke tempat dimana aku harus bersiap untuk diwawancara.

Sarapan bubur ayam sederhana di sebuah gerobak yang ada di Slompretan. Sederhana, murah, dan meriah karena pembelinya cukup ramai mungkin ini adalah bubur ayam paling enak di daerah ini sehingga ramai pembeli.

"Kok makannya dikit?"

"Aku kan nggak suka bubur, Mas."

"Tadi nggak bilang,"

"Nggak apa-apa. Sudah kenyang juga."

"Pasti karena nervous ini. Sudah tenang saja, yang penting percaya diri, jujur dan semangat untuk menjawab tapi harus tetap dijaga kesopanannya."

"Siap ndan, ada yang lain lagi?"

"Sekarang kamu tanya ke dalam, nanti kamu ke Tanjung Perak dianter sama mereka atau harus ke sana sendiri? Kalau kesana sendiri aku tungguin di sini kalau memang diantar mereka nanti kita bertemu di Tanjung Perak saja."

Wawancara yang sangat memuaskan, entah bagaimana hasilnya namun aku sangat yakin bahwa hari ini aku memberikan jawaban yang memuaskan. Masih pukul 14.15, aku sudah menelpon mas Fazza untuk menjemputku di Tanjung Perak dan mengantarku ke Raya Dharmo untuk wawancara akhir di cabang syariah. Mendapatkannya kembali namun tidak dengan sepeda motor, dia sudah menggantinya dengan mobil dan kembali mengenakan seragam dinasnya.

"Loh katanya tadi izin tidak ngantor?"

"Bukan tidak ngantor Dik, izin tidak ikut apel pagi. Makanya tadi bawa motor juga biar cepet kalau mau balik ke Polda."

"Lah kalau misalnya tadi harus nunggu?"

"Ya aku tungguin lah masa iya punya adik kecil ditinggalin sendiri, kasihan kan? Gimana kalau diambil orang, mana cantik pula." Aku tertawa ngakak. Di gombalin kakak sendiri rasanya seperti makan sayur tanpa garam, hambar.

"Terus nggak dihukum tuh nantinya?"

"Paling push up di lapangan 100 kali atau kalau tidak lari keliling lapangan."

"Waduh, jadi merasa bersalah."

"Kan buktinya nggak toh, oke tadi sudah maksi belum?"

"Sudah dapat tadi di cabang Tanjung Perak."

"Enak banget."

"Iya dong, orang cantik mah selalu dienakin."

"Percaya." Lalu dia diam dan fokus ke jalan di depannya. "Kita langsung ke Dharmo ini?"

"Iya sajalah, sudah keburu ini aku juga sudah diteleponin tadi."

"Siap, 10-8. Kita naik tol saja biar cepet."

Perjalanan kami memang unik, hubungan kami memang antik, mungkin jika barang sudah dimuseumkan saking unik dan antiknya. Ya, seperti itu, saling menyayangi, saling melindungi, saling mengasihi, tapi bukan sebagai pacar, bukan sebagai pasangan, mungkin hanya sebatas kakak dan adik saja. Atau mungkin bersahabat yang sudah seperti kepompong? entahlah. Jadi berpikir yang katanya tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa. Nyatanya kami adalah satu diantara sekian dari yang disangkal oleh orang. Tidak pacaran, tidak bermesraan, tapi saling mengasihi dan saling melindungi satu sama lainnya.

Tidak tanggung-tanggung, keakraban kami juga berentet kepada keluarga. Mas Faza sudah seperti anaknya ayah dan mama, atau kakak juga buat Ocha. Sementara aku juga sudah seperti adik bungsu di keluarganya. Bahkan kakak sulung mas Faza, mbak Ida sering menelponku untuk bertanya kapan bisa main ke rumah, ibu kangen katanya.

Diterima kerja setelah sekian lama melakukan segala macam tes, dan penempatan kembali ke kota asal. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa kembali tidur dengan memeluk mama tersayang

"Kemarin Faza kemari saat kamu tanda tangan kontrak kerja di Surabaya." Mama bercerita kepadaku.

"Oh pantes, pas aku telpon dia katanya nggak di Surabaya. Akhirnya ya aku naik angkutan umum ke Basra, Ma."

"Faza yang selalu anterin kamu kalau lagi tes di Surabaya ya Mbak."

"Iya, selalu dianterin sama mas Faza. Suka marah dia kalau aku naik bis atau angkota. Kemarin aja sampai minta maaf berulang kali karena memang tidak berada di Surabaya, aku juga mendadak sih Ma ngasih tahu kepadanya kalau mau OL di Kanwil."

"Dia baik, Mbak."

"Banget, meski kata orang polisi banyak minusnya kok sampai detik ini aku nggak ngeliat minusnya di mas Faza ya Ma."

"Kamu suka sama dia?"

"Maksud Mama?"

"Mbak, maaf kalau mama harus bicara begini. Mama tahu kepergian Ary masih membekas di hatimu. Sulit memang untuk melepaskan orang yang kita cintai, tapi hidup harus terus berjalan. Kamu tidak mungkin tetap stagnan dengan kondisi seperti ini."

"Tapi bukan berarti cepat menggantinya dengan figur orang lain."

"Kalau kamu nyaman, kalau dia bisa melindungimu, kalau dia bisa meyakinkan kamu untuk kembali mengecap bahagia, apa salahnya? Mamanya Ary pasti sangat mengerti."

Aku bingung harus bercerita atau tidak, masalahnya sekarang Hamzah juga sering menghubungiku. Dia bahkan sangat jelas mengatakan bersedia menggantikan posisi kakaknya jika itu bisa membuatku bahagia.

"Kamu kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"

"Mama tahu baik Hamzah kan?"

"Adiknya Ary?" aku mengangguk. "Hamzah kemarin mengatakan padaku bahwa dia bersedia menggantikan posisi mas Ary, menurut mama?"

"Dia masih kuliah kan?"

"Iya." Mama hanya diam tanpa berniat untuk memberikan pendapatnya tentang Hamzah Prawira.

"Berdoalah, semoga Allah selalu menunjukkan jalan yang baik untukmu."

"Aamiin, oh iya kemarin ngapain mas Faza kemari, Ma. Ada pembicaraan penting ya kalian? Atau mama minta anterin anak sulung buat belanja ke pasar seperti biasanya?" kebiasaan mama kalau mas Faza kerumah pasti akan mengajaknya ke pasar. Entah untuk belanja banyak atau sekedar belanja harian. Modus emak-emak yang membuatku geleng-geleng kepala. Dan parahnya, mas Faza iya-iya saja, merasa tidak keberatan justru malah menawarkan diri mengawal mama sampai membawakan keranjang belanjaannya.

Aku curiga, yang menjadi anak mama itu aku atau mas Faza sebenarnya.

"Adikmu masih sibuk sekolah, kamu juga susah banget kalau diminta anter mama ke pasar. Nah Faza selalu ayo aja kalau diajakin." Kan bener, mamaku memang benar-benar.

Aku sudah mulai bekerja, sebagai seorang teller di sebuah bank milik pemerintah. Pekerjaan yang menurutku memerlukan fokus yang tinggi karena jika aku meleng sedikit dan selisih maka aku harus menggantinya sendiri, itu yang menyesakkan.

Kesibukan baru yang berusaha kunikmati perlahan membuat komunikasiku dengan lingkungan semakin sedikit. Aku jarang bersosialisasi dengan lingkungan, dan memilih untuk melanjutkan kuliah pasca sarjana di akhir pekan dan harus ke luar kota membuat kegiatanku nyaris seperti orang yang tidak mengenal tetangga. Bekerja berangkat pagi pulang petang, capek bekerja kemudian langsung beristirahat, setiap hari dari senin hingga jumat. Sabtu pagi sebelum matahari muncul menuju stasiun untuk bersiap menuju bangku kuliah sampai minggu siang. Bagaimana bisa aku bersosialisasi dengan lingkunganku?

Hampir satu tahun berselang kegiatan itu masih juga sama. Menikmatinya, karena dengan begitu lambat laun aku bisa mengikhlaskan kepergian mas Ary dan mungkin menerima sosok lain untuk hidupku di masa datang.

Hingga datang seseorang dengan seragam polisi berdiri di hadapanku untuk melakukan setoran tunai. "Selamat siang, transaksi setoran bapak Ary__" terjeda sebentar lalu aku melanjutkan kalimatku kembali "__aduta Baskara. Uangnya dua puluh juta, saya hitung di mesin untuk diperhatikan bersama."

Dia tersenyum mengangguk memperhatikan hitungan uang di standing machine yang ada di belakang kursiku.

"Dua puluh juta, pas uangnya Pak Arya."

Sesuai dengan SOP layanan aku menyelesaikan transaksi dengan mengkonfirmasikannya kembali kepada nasabah. Setelah itu baru kegiatan kami benar-benar selesai. Jangan lupakan senyum 313 yang selalu diingatkan disetiap refreshing service yang kami dapatkan.

Aku tersenyum sebelum mengucapkan salam terakhir setelah melihatnya selesai menuliskan sesuatu di note yang ternyata diberikannya kepadaku.

"Ini nomer telpon saya mbak Aya, sebenarnya ingin menanyakan pembukaan tabungan tapi sepertinya costumer servicenya sedang ramai."

Bukan hanya nomer telepon yang aku dapatkan di note yang ditulisnya ketika aku sedang melakukan tugasku untuk menangani transaksinya.

'Mohon berkenan untuk makan siang bersama.'

Entah kebetulan atau sudah garis suratan. Aku bersedia makan siang bersama dengan Arya Baskara setelah dia berkali-kali menitipkan pesan pada anggota yang bertugas sebagai penjaga bank di tempatku bekerja.

"Kasihan itu mbak Aya, sudah tiga kali ini loh nitip pesen buat ngajak makan siang. Mas Ary baik kok orangnya, aku jamin deh. Lagian cuma makan siang kan?"

Bosan diolokin akhirnya aku mengiyakan dan ternyata, makan siang itu menjadi pembuka jalan untuk kami menjadi lebih dekat. Ary sering datang berkunjung ke rumah, bahkan beberapa kali aku dijemput berangkat ke kantor sebelum dia apel pagi.

Sering mengirimkan buket bunga, coklat dan entah apalagi ke kantor sampai membuat kepala cabangku yang cool berceletuk kala briefing pagi. "Tidak masalah dekat dengan siapa pun asal tidak menimbulkan conflict of interest, sehingga kita bisa bertindak yang tidak sesuai dengan pakta integritas lembaga. Perusahaan kita juga sudah GCG, sehingga saya ingatkan kembali untuk tidak menerima apapun juga dari nasabah yang akhirnya nanti akan menjadi boomerang untuk pegawai itu sendiri." Deg, sepertinya ucapan itu ditujukan secara khusus untukku, pasalnya hampir setiap hari Ary mengirimiku dengan gift-gift kecil yang sebenarnya juga tidak aku makan sendiri. Teman-teman yang lain juga kecipratan juga.

Hubungan kami berjalan dengan begitu indah. Seringnya Ary ke rumah juga membuat kedua orang tuaku bertanya tentang sebuah keseriusan. Karena sepertinya memang waktunya telah tepat untuk membicarakan semuanya.

Aku masih berpikir untuk tidak terlalu terburu-buru tapi sepertinya tidak dengan kedua orang tuaku. Hingga membuat Ary sedikit jengah akan hal itu.

"Masalahnya kalau kamu setiap hari jalan bersama dengan Ary, apa yang akan dibicarakan tetangga tentang kamu? Berpikirlah sampai ke sana." Repot amat sih ayah dengan ucapan tetangga, mereka juga akan selalu seperti itu dengan atau tanpa kita melakukan apa-apa. Berbuat baik dibicarakan berbuat tidak baik pun juga justru semakin dibicarakan. Selama tidak melewati batasan harusnya dengan dua tangan yang kita miliki, cukup dengan menutup kedua telinga kita untuk tidak mendengar cibiran mereka, tidak mungkin bukan dua tangan yang kita miliki bisa menutup mulut mereka yang mencibir kita.

"Ay, besok kamu berangkat kantor sendiri ya. Aku tidak bisa menjemputmu."

"Apel pagi dimajukan?"

"Bukan, besok ada tamu dari polda jadi harus siaga.

"Hah__, bisa minta pengawalan nggak? besok kami harus remise ke BI."

"Ajuin saja, pasti ada petugasnya. Kamu besok yang berangkat?"

"Nggak tahu, paling Iwan atau Hendro. Kasihan drivernya kalau aku yang ikut ngangkat uang sendirian nanti."

"Ary__mengenai permintaan ayah aku pikir ada benarnya. Bukan karena terganggu oleh omongan tetangga tapi pacaran lama-lama juga nggak ada untungnya."

"Aya aku kan sudah bicara kepadamu. Aku masih ingin berkarir, tidak ingin menikah buru-buru."

"Kamu pikir aku juga mau? setidaknya sebagai anak kita menghargai keinginan orang tua." Selalu dan selalu, jika membicarakan masalah ini ujungnya akan seperti ini. Bertengkar dan Ary memilih untuk pergi meninggalkanku. "Sebaiknya kita break untuk beberapa saat, coba dipikir ulang bagaimana baiknya."

Dan seperti biasa setelah briefing pagi kami selalu bersiap, two minute before schedule. Masih juga buka salon untuk memperbaiki penampilan, mbak Titin memintaku untuk pick up service ke salah satu nasabah prioritas karena harus transaksi pagi.

"Mbak Aya, tolong ke antar uang ke cik Fu Ing dan bu Gomulia."

"Waduh mbak nggak ada polisi, ini mereka juga pasti masih apel. Gimana dong."

"Minta persurat ke GA saja nanti sekalian untuk pengawalan remise BI, jemput mereka ke kantor dulu ya baru balik dan antar uangnya."

"Kalau masih apel?"

"Di tungguin saja daripada pak bos manyun." Fix, aku berangkat ke polres setelah membawa surat permohonan pengawalan anggota untuk kegiatan perbankan.

Turun dan menyerahkan ke bagian min Shabara hingga terdengar suara memanggilku saat anggota baru selesai melaksanakan apel pagi.

"Dik Aya__" aku menoleh saat mendengar suara yang tidak asing lagi di telingaku. Suara yang sudah lama tidak pernah aku dengar dalam hari-hari terakhirku.

Teringat kembali cerita Ary tentang tamu dari polda dan ternyata tamu itu adalah Faza.

"Mas Faza bertugas di sini?" agak asing memang memanggilnya dengan sapaan mas saat berseragam dan seluruh anggota memanggilnya dengan sapaan 'Ndan'. "Kok nggak cerita kalau sudah mutasi di polresta?"

Dia lalu tersenyum dan seperti biasa mengusap kepalaku sebelum akhirnya dia bercerita. "Bukan mutasi, hanya mengantarkan tim paminal untuk memeriksa rutin anggota."

"Memangnya mas Faza sekarang di paminal?"

"Bukan, kebetulan yang harusnya tugas sakit jadi aku cuma mendapingi komandan saja."

"Kan sudah komandan juga," kemudian kami tersenyum bersama dan tanpa sadar percakapan ringan itu serta bahasa tubuh kami menjadi perhatian beberapa anggota yang lain.

"Komandan balok dua apalah artinya diantara sekian banyak komandan berbintang di polda." Dia kembali terkekeh kemudian aku bertanya. "Nggak ingin balik ke daerah saja, Mas? Setidaknya ada jabatan yang pasti untuk yang katanya 'komandan balok dua' itu. Bisa jadi kanit loh kalau di sini."

"Doakan ya, ini sudah lobi-lobi. Mau deket kamu atau kamu mau deket aku. Hahahaha," akhirnya aku juga harus kembali ke realita untuk menyerahkan surat permohonan pengawalan.

Lupa jika memiliki teman dekat yang juga berdinas di tempat yang sama. Ah sudahlah bukankah semalam dia memintaku untuk break. Aku juga tidak melakukan apa pun, tidak ada yang salah bukan hanya karena berbincang dengan sesama polisi.

Mas Faza mengirimiku pesan yang mengatakan bahwa dia mengantarkan makan siang untukku melalui kurir. Tidak bisa menemaniku makan siang karena tugasnya masih belum bisa ditinggalkan dan tidak enak hati jika harus menolak ajakan wakapolres untuk makan siang bersama. Masalahnya karena dia menitipkan itu kepada anggota yang lain untuk mengantarkannya ke kantorku, ah berita itu mengalahkan kecepatan cahaya di kalangan sejawat Ary.

Salah apa aku ya Rabb, hingga akhirnya menerima fitnah tak beralasan itu. Aku dan mas Faza memiliki hubungan dibalik Ary? Kejam sekali mulut mereka bicara tanpa tahu apa yang terjadi diantara kami sebenarnya.

"Siapa namanya?" aku bungkam saat mas Faza bertanya seperti itu. Tidak ingin masalah semakin melebar jika nanti bisa jadi menimbulkan sanksi indisipliner jika mas Faza tidak bisa menahan diri.

"Lagian dari dulu kita juga seperti ini. Makanya kamu segera nikah Mas, biar mereka tidak salah paham terus."

"Nikah? Emang beli kacang goreng menikah semudah itu, Markonah?"

"Nah gara-gara gitu doang loh sampai ada yang bilang orang ketigalah. Yang dibilang aku nggak setialah."

"Kok jadinya marah kepadaku?"

"Bukan marah ke kamu, aku cuma cerita."

"Ceritanya datar saja nggak usah pakai nada begitu, mentang-mentang penyanyi ankap."

"Apaan itu ankap?"

"Antar kampung." Kudengar mas Faza tertawa renyah dan berkata kembali. "Memutuskan untuk menikah itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai laki-laki harus bertanggung jawab loh. Kamu ingin nikah dinas?"

"Maksudnya?" bukannya menjawab pertanyaanku dia malah bertanya yang lain lagi.

"Mau dinas biasa atau yang pakai pedang pora?" pertanyaan apa sih ini. Otakku mendadak buffering mendengarnya. Jangankan untuk mengerti membayangkan saja tidak pernah. Menikah dengan kemegahan pedang pora? Mungkin itu sangat membanggakan, tapi tidak semua orang kan memiliki kesempatan menikah dengan kemewahan ala militeri seperti itu.

"Pedang pora sama siapa? calonnya saja belum kelihatan hilalnya." Mas Faza terkekeh mendengarnya lalu meminta izin mematikan sambungan telepon karena kami harus beristirahat mengingat hari sebentar lagi akan berganti.

Anganku berpikir, mencoba membandingkan. Mengapa sikap ayah sangat berbeda kepada mas Faza dan juga kepada Aryaduta, keduanya sama-sama anggota polisi. Apa karena mas Faza tidak sekaku Aryaduta atau karena alasan yang lainnya. Ayah tidak pernah memintaku menikah dengan cepat dengan mas Faza, ah iya aku lupa. Memang ada hubungan apa aku dengan mas Faza, Aya, Aya, mengapa otakmu menjadi bolot. Tentu saja ayahmu tidak bisa membandingkannya karena selama ini Faza menganggapmu sebagai adik dan tidak lebih dari itu.

Hubunganku dengan Aryaduta memang sedang kritis, entahlah. Saat aku berusaha untuk sembuh dari keterpurukan menemukan sosok yang aku pikir bisa menggantikan nama Arya Wijaya di hatiku. Nama yang sama tidak akan menjamin perilaku orang juga sama, dulu Arya Wijaya begitu memperlihatkan rasa cintanya kepadaku, bahkan ketika ayah meminta serius pun dia mengiyakan dengan meminta sedikit waktu karena harus mengurus kelulusan dan pekerjaannya sebelum akhirnya takdir Allah mengambil semua rencana itu.

Jika pada akhirnya aku bertemu dengan Ary yang baru nyatanya memang tidak sama. Aku tidak bisa juga menggunakan standar Arya Wijaya kepada Aryaduta Baskara, mereka adalah dua sosok yang berbeda dan itulah sebabnya aku memilih untuk pasrah dengan arah hubungan kami.

Masalah fitnahan dengan mas Faza belum juga kelar. Aku kembali dipertemukan dengan teman SMAku yang kebetulan sedang kehilangan ATM dan mengurusnya di kantor cabang tempatku bekerja.

"Fariz__"

"Aya__ loh kerja disini juga, wah kebetulan dong. Kok bisa barengan sama Iwan. Gimana ceritanya? SMA satu kelas loh kalian selama 3 tahun, kerja satu kantor, gimana nggak cinlok itu? Hati-hati Iwan hatimu bisa menjadi tawanan seorang Ghazwani Adyara."

"Ndan, gimana kalau kamu saja yang jadi tawanan hatinya." Gubrak, olokan receh ala SMA yang akhirnya membuat kami bertiga pecah. Fariz Hardian Bagaskara, teman SMA yang kini berdinas di pangkalan udara Adi Sucipto Yogyakarta.

"Kapan ini reuni lagi?" tanya Fariz yang dijawab gelengan oleh Iwan.

Saling bertukar nomer telepon dan apa yang terjadi akhirnya. Beberapa pertemuan antara aku dengan Fariz pun sampai juga di telinga Ary.

"Aku tahu, mungkin kamu telah menemukan yang lain yang jauh lebih baik daripada aku. Kamu lagi dekat dengan seorang Iptu di polda kan? Atau sekarang sudah jalan bareng dengan seorang Letda udara? sedangkan aku, hanya polisi bintara yang tidak akan memakai melati nantinya." Aku melongo mendengarnya. Hanya sekali loh aku makan siang berdua dengan Fariz, kabarnya sudah membahana seperti ini.

"Aku ingin kita benar-benar break." Bukan masalah break yang Ary ucapkan toh aku juga sudah mempersiapkan hati dengan baik meski masih beberapa waktu aku mengunjungi seorang psikolog untuk sharing masalahku yang sempat dinyatakan depresi karena kepergian Arya Wijaya.

"Ok, tapi aku ingin menyampaikan kepadamu tentang dua hal. Pertama, aku mengenal mas Faza jauh sebelum aku bertemu bahkan mengenalmu. Dia yang menjadi saksi bagaimana aku berjuang, kuliah, mengantarku mengikuti banyak tes di Surabaya, dan selalu support saat aku sakit sekalipun. Dia baik kepada ayah dan mama, aku juga mengenal baik keluarganya. Kami berdua memang sudah seperti saudara. Jadi menurutku sangat wajar jika aku memanggilnya Mas, mengingat usianya lima tahun diatasku dan dia memanggilku dik. Mengenai Fariz, ya Letda Fariz Hardian Bagaskara. Dia adalah temanku SMA, kami pernah makan siang bersama. Bukan di tempat yang sepi juga tidak sembunyi-sembunyi. Sejauh ini kami masih berteman baik, sama seperti aku berteman baik juga dengan Iwan. Kalau hanya sekedar makan siang berdua yang jadi masalah, mengapa tidak sekalian saja aku digosipkan dengan Iwan, Hendro, Agus, Mas Erwin. Aku juga sering makan siang bersama mereka bahkan kadang bergantian. Pergaulan laki-laki dan perempuan memang ada batasnya dan aku tahu batasan itu masih boleh dilakukan atau tidak diperbolehkan. Jika kamu makan siang dengan PNS ketika kamu sedang berdinas atau mungkin bertemu teman lama lalu mengajak makan pun juga tidak masalah. Hanya makan doang kan? Kecuali kalau setelah makan lanjut acara intim berdua itu yang tidak diperbolehkan." Panjang sekali aku bicara hingga membuatnya jengah, mungkin.

Sebenarnya tidak perlu menceritakan kita kepada orang lain, yang suka tidak peduli yang tidak suka juga tidak akan percaya jadi percuma saja. Namun aku lega telah mengatakannya, setidaknya itu kebenaran yang ada sekarang.

Jika pada akhirnya roda berputar dan membuatku bisa menjadi dekat dengan Fariz apakah itu salah Ary atau mungkin salah Faza. Tentu saja bukan, rasa itu mengalir karena sebuah kenyamanan dan semua itu datang tidak dengan cara yang instan. Pasti melewati proses yang akhirnya membawa kami pada sebuah kenyataan untuk mempersatukan cita-cita bersama.

"Dik, aku mutasi ke polres Tulungagung." Sebuah kabar gembira aku terima dari sahabat rasa kakakku.

"Wah selamat dong, gimana traktir di Blitar saja ya Mas."

"Boleh aku juga mau bilang sesuatu sama kamu."

"Sama aku juga."

"Apa itu?"

"Nggak seru dong kalau diomongin sekarang. Kapan mas Faza mulai dinas di sana?"

"SK turun per tanggal 1 bulan depan tapi inshaallah akhir bulan aku sudah di Tulungagung kok. Persiapan untuk sertijab."

"Memangnya di Tulungagung dapat jabatan apa?"

"Sementara di amanahi untuk memegang Kanit Dikyasa Sat Lantas."

"Alhamdulillah, ganti seragam dong."

"Bukan ganti seragam, cuma kopel tali kur dan topinya jadi berubah menjadi putih."

"Abang tukang susu." mas Faza tertawa mendengar ledekanku tentang sepeda motor polisi lantas yang identik dengan dua box di belakangnya yang seringkali kusebut sebagai kotak susu.

"Sampai ketemu di rumah ya." Aku pun menceritakan kepindahan mas Faza kepada Fariz dan sekaligus memintanya untuk bisa pulang ketika mas Faza mengajak makan kami sekeluarga. Setidaknya aku bisa mengenalkan mas Faza kepada Fariz demikian pula sebaliknya.

Dan akhirnya kesempatan itu terjadi juga. Aku bisa dengan sangat bahagia memperkenalkan mas Faza kepada Fariz. Memujinya di depan Fariz dan kami membaur dalam suasana hangat yang membahagiakan.

"Mas, makasih loh dulu sudah repot-repot anterin Aya untuk tes ini itu."

"Ah sudahlah, seneng juga lihat Aya sekarang selalu tersenyum. Jaga adikku ya Riz, hatinya suka rapuh jadi jangan buat hatinya terluka."

"Inshaallah, Mas."

"Eh iya, kemarin mas Faza mau ngomong sesuatu kepadaku selain mutasi ini. Apa hayo?" ditengah kehangatan itu tiba-tiba aku mengingat janji dan bertanya kepadanya. Antara lupa, tidak menyangka aku akan bertanya atau memang dia benar-benar terkejut yang seketika merubah raut mukanya yang berbinar bahagia menjadi sendu. Apakah aku salah?

"Bicara, bicara apa Dik?" jawabnya menjadi kaku. Dan suasana menjadi hening karena kami terdiam semuanya.

"Sudahlah itu tidak penting, yang penting sekarang kamu bahagia, aku bahagia dan kita semua bahagia." Mencoba kembali menghangatkan suasana yang mendingin tiba-tiba. Hingga kami berenam tertawa bersama lagi meski aku sekarang tahu ada yang coba disembunyikan oleh mas Faza dariku. Apakah itu? Kepo.

Jodoh, hidup, mati seseorang itu adalah takdir yang maha kuasa. Tidak ada yang tahu semua cerita itu akan bermuara kemana. Sebanyak apapun usaha seseorang untuk berikhtiar menanti jodohnya jika Allah tidak berkehendak akhirnya cerita itu juga tidak menghasilkan happy ending yang memuaskan pelakunya.

Harusnya aku menunggu atau harusnya dia lebih peka. Yang pasti kata seharusnya itu adalah bentuk dari penyesalan yang memang tidak pantas untuk diucapkan dan diperdebatkan. Miscommunication yang akhirnya membawa cerita baru dalam perjalanan hidupku.

Memilih untuk berhijrah secara perlahan setelah hampir setengah tahun berlalu tanpa ada kabar dari seorang Fariz Bagaskara membuatku terpaksa harus merelakan, ditambah ada pihak keluarga yang memang sempat berkata yang membuat hatiku semakin sakit.

"Ini nikah loh Mbak."

"Iya ayah, Aya tahu ini nikah. Selama ini sudah berusaha untuk mencari tapi mungkin caranya keliru makanya Allah tidak mempertemukan kami dalam suatu kebaikan. Jika memang caranya seperti ini, mungkin dengan ini Allah akan menunjukkan siapa yang memang pantas untuk menjadi menantu ayah. Lagian nantinya juga ayah yang memberikan restu atau tidak." Aku mengantarkan CV taaruf kepada ustad yang biasa membimbingku untuk mengkaji ilmu agama di masjid.

Dan benar saja setelah beberapa lama akhirnya aku dihubungi oleh ustadzah untuk mengikuti pengajian pra nikah sekaligus akan dipertemukan dengan ikhwan yang bersedia untuk mengenalku lebih dekat.

Terkejut, haru, speechless, bahkan hampir menangis di tempat manakala ikhwan yang dimaksud adalah seorang ikhwan yang telah aku kebal sebelumnya. Sambil memberikan CV dari ikhwan tersebut pak ustad yang juga suami dari ustadzah yang telah menghubungiku memberikan pengantar singkat. Sebuah perkenalan jika memang membawa kebaikan bisa untuk diteruskan dan jika memang tidak ada kecocokan maka tidak ada salahnya tetap menjalin ukhuwah sesama umat muslim.

"Maaf, Aya aku juga baru tahu beberapa hari yang lalu dari Ustad Danu."

"Tidak apa-apa aku malah baru tahu hari ini, karena Ustadzah Aisya tidak menceritakan apapun."

"Jadi bagaimana?" tanya Ustad Danu.

"Saya lihat CV dan bicarakan dengan orang tua dulu, Ustad. Saya memang telah mengenal mas Aan sebelumnya tapi ya begitu__" ucapanku menggantung yang disambut oleh senyuman oleh ikhwan yang kusebut dengan nama Aan. Ash Andromeda al Hubeyshi, temen dekat dari suaminya Sandrina yang merupakan teman satu kantorku. Kami berkenalan di rumah Sandrina ketika suaminya sedang sakit dan mas Aan datang untuk memeriksa keadaannya.

Dan ternyata garis jodohku tertulis bersamanya, Ash Andromeda. Setelah berputar-putar mencari dan juga berusaha untuk memantaskan dirinya ternyata pria keturunan timur tengah itu yang akhirnya dipanggil daddy oleh satu putra kami.

"Dad, kemarin diajak main ke rumah tante Diandra. Main bola sama mas Hirmas dan adik Arfin. Daddy kapan kita main bola di stadion, adik sudah bosen di rumah terus."

"Bund, kemarin habis dari mas Faza kah?" tanya suamiku.

"Iya mampir, tapi nggak ketemu sama beliau. Cuma ketemu sama Mbak Di dan dua jagoan mereka."

"Acara apa?"

"Ituloh, kemarin Ayah telat perpanjangan SIM. Aku sempet ketemu sama mas Faza sehari sebelumnya terus telepon mbak Di, disuruh main ke rumah mereka. Ya sudah ngajak adik aja, lagian juga sudah lama kan dia dikurung di rumah terus Dad."

"Kapan ketemu mas Faza, tumben komandan tidak menelponku. Biasanya langsung info kalau ketemu atau main ke rumah ayah."

"Mungkin repot dad, kemarin habis ketemu juga langsung OTW ke kejaksaan kok. Nggak tahu verifikasi apa gitu, ada kasus baru agak berat sepertinya."

"Masih di reskrim?"

"Masih, kemarin saja ketemu nggak pakai seragam. Duh tuh orang masih aja nggak berubah."

"Masih suka berantem pasti." Aku tertawa saat mendengar kalimat suamiku. Bagaimana tidak, aku dan mas Faza itu ibaratnya Tom and Jerry. Mas Aan dan Mbak Diandra juga sudah mengetahui bagaimana perangai kami sedari dulu.

"Kok bisa telat sih Dik, itu punya HP bagus buat apa coba?" tanya mas Faza saat kami bertiga bertemu di kantin polres beberapa hari yang lalu.

"Loh ayah kan yang ulang tahun aja lupita, nah aku apalagi. Kemarin juga ingatnya sudah siang Mas, itu kan aku langsung telepon kamu. Telepon setengah satu siang, bagian SIM juga sudah tutup oneng."

"Aku oneng kamu apaan dong?"

"Kakaknya oneng." dia kemudian tertawa dan ayah pun ikut tertawa bersama kami.

"Yah, ini nggak bisa perpanjangan. Si oneng ini sing salah, Yah. Nggak mau mengingatkan. Orang tua kan memang sering lupa ini anak nggak malah ngingetin malah ikutan lupa juga. Bisa jadi hari ini tapi baru bisa di proses di gelombang kedua." Mas Faza berkata seperti ingin menjitakku karena aku menjahilinya.

"Oke deh Mas, nitip ayah untuk urusin itu ya, aku mau bocan dulu."

"Eh ini bocah gendeng nggak ada akhlak. Woi, ini aku arep nyambut gawe." -- anak gila aku mau bekerja --

"Ealah gaweanmu nggur keloyongan wae loh." -- kerjaanmu hanya jalan-jalan saja --

"Mana ada begitu?"

"Ada buktinya ora seragaman."

"Ancen aku ora tau seragaman meneh oneng, semenjak ora nganggo kopel ro tali kur putih. Bocah." -- memang tidak mengenakan seragam lagi setelah tidak di lantas lagi -- Mulai kan Tom and Jerry beraksi. Samapai ayah ambil suara untuk melerai, "mulai kenal biyen sampe tuwek pancet ae eyel-eyelan. Ora peduli panggonane neng ngendi." -- dari kenal sampai setua ini masih saja suka ribut masalah kecil dan nggak peduli dimana tempatnya -- Dan kita ngakak bertiga.

"Judulnya kan ngerjain anak ayah yang hilang dan bertemu di acara tali kasih indosari."

"Sembarangan, dari dulu emang anaknya ayah, kamunya aja yang di kode nggak nyambung-nyambung. Sampe ilang semuanya."

"Maksudnya apaan sih pak, kok gue mendadak buffering."

"Lah bener kan ya Yah, dari dulu Faza emang anaknya ayah. Kamunya aja selalu ngajakin perang makanya ilang semua seperti anak yang hilang." Ngeles bajaj. Mas Faza kembali tertawa sebelum akhirnya kutinggalkan mereka berdua.

"Kalian berdua ini kalau sampai anak-anak kalian lihat. Oh, ternyata om dan tantenya masih suka meributkan hal sepele bagaimana coba?"

Aku tetap berlalu meninggalkan mereka karena ingin ke belakang sampai pada akhirnya ketika aku kembali eh si komandan sudah pegang gitar dan mereka berdua menyanyi bersama. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba aku nimbrung aja dan ikut bernyanyi bersama mereka.

Tuhan
maafkan diri ini, yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya
Namun,
apalah daya ini, bila ternyata sesungguhnya aku terlalu cinta,
dia

Oh, ayahku sudah gaul loh bisa nyanyi itu bareng-bareng. Kita bertiga akhirnya tertawa bersama dan tawa itu berhenti saat aku tiba-tiba terdiam. Melihat ibu-ibu mengenakan seragam berwarna merah muda itu membuatku mengingat peristiwa kecut saat diajak mbak Diandra ikut pertemuan ibu-ibu bhayangkari. Waktu itu Hirmas masih kecil dan aku belum memiliki baby.

Awalnya enjoy saja ikut mbak Diandra, main bersama Hirmas hingga akhirnya suara bu waka mengagetkan kami.

"Loh ini siapa, kok nggak pakai seragam?" Spontan dong mbak Diandra bilang, "ini baby sitternya Hirmas, Bu."

Maksudnya bercanda tapi ternyata bu waka menganggapku jadi baby sitternya Hirmas beneran. Sampai beliau bilang, "aduh Bu Faza hati-hati punya baby sitter bening begini. Jangan pernah ninggalin bapak berdua di rumah dengan baby sitter."

Astaghfirullah, mbak Diandra baru sadar kalau candaannya tadi dikira beneran oleh bu waka. Nahloh, makan tuh candaan. Makanya hati-hati kalau bicara dan akhirnya dia meminta maaf untuk meluruskan dan semuanya tertawa.

"Kenapa kamu manyun begitu? Masih inget jadi baby sitter ya?"

"Asyeemm__"

"Kamu kenapa sih harus resign? Ingat nggak waktu itu aku bela-belain anter kamu sampai kena punisment di kantor."

"Ya nggak diizinin sama suami gimana dong."

"Kenapa dia milih kamu yang memang pegawai kalau ujungnya disuruh resign. Dan lagi ini setelah 9 tahun kerja."

"Ya kok tanya aku, tanya saja sama yang bersangkutan. Lagian capek juga sih mas, berangkat pagi pulang malam."

"I know it is not you. Tell me why?"

"Nothing."

"I'm not believe that. Something wrong with you and him?" aku tersenyum lalu dia berkata, "jangan buat aku menyesal tidak segera bersikap sedari awal."

"Am I wrong?"

"No, you aren't but I make a big mistake in my life begin."

"Time flies so fast. And we know we must walk into the way as Allah want us to do better than before. I choose that, that is all."

Dan begitulah cerita kami. Dulu kami berdua selalu bilang berusaha untuk memantaskan diri. Sampai kini pun juga tetap selalu memantaskan diri untuk pasangan kami masing-masing.

Mengenai persahabatan antara laki-laki dan perempuan dewasa? Tidak berusaha untuk menutupi, nyatanya sampai kini kami bahkan masih seperti saudara. Lalu apa yang perlu disangkal lagi, bisa kok nyatanya bersahabat. Asal kita bisa membawa dan menempatkan diri. Aku ya tetap aku, si Jerry yang selalu menggoda Tom kalau mas Fazza ada dan itu sudah menjadi rahasia umum.

Mas Faza? Jangan tanya aku bagaimana hatinya kepadaku, hanya dia dan Allah yang tahu apa yang sebenarnya pernah dirasakan pada hubungan kami selama ini. Dan sejauh ini kami berusaha untuk saling menghormati, bagaimana dengan kalian? Sudah berhasil memantaskan diri?

✏️ -- the end -- ✏️

Blitar, 05 September 2020

Continue Reading

You'll Also Like

460K 16.8K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI šŸš«] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
53.7K 4.7K 63
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.
25.7K 4.9K 22
Edisi BeckFreen...
3.7M 77.4K 49
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...