Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
BAB 33. Berkorban.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 2. Antara Sena dan Ares

5K 651 140
By fuchsiagurl

Kata mereka, saudara kembar memiliki ikatan emosi yang kuat satu sama lain. Omong kosong.

Sena dan Ares bahkan nyaris tidak pernah merasakan emosi yang sama. Jika Sena senang karena ia sehat, maka Ares akan sedih karena ia kesakitan. Rasa-rasanya sudah seperti hukum alam. Mitos. Bagi Sena, ikatan emosi antar anak kembar adalah mitos.

Aroma obat-obatan tercium pekat di hidung Sena. Ares dilarikan ke rumah sakit usai pingsan dalam keadaan demam dan tangan yang berdarah-darah. Saudaranya baru saja siuman dan Aksa sekonyong-konyong langsung menginterogasi Ares. Menggali berbagai alasan dan alibi Ares yang membuatnya sampai nekat menggores silet pada pergelangan tangan.

"Apa yang terjadi? Keluhkan semuanya pada Ayah, jangan sakiti dirimu sendiri," kata Aksa yang duduk di sisi ranjang rumah sakit, tepat di samping Ares yang masih terbaring.

Ah, Sena iri sekali. Rasa-rasanya tidak pernah Aksa seperhatian dan selembut itu padanya. Jika itu Sena, maka Aksa hanya akan mengomel, memarahinya.

Sena memainkan ponselnya, berpura-pura sibuk.

"Ares?" panggil Aksa.

Sena melirik, ditatapnya Ares yang tengah memijit pelipisnya.

"Antares."

Ares menghela napas. "Kepalaku sakit, Yah."

"Baik. Begini saja, Ayah tidak akan menghakimi. Cukup ceritakan apa terjadi dan Ayah akan mendengarkanmu sampai kamu selesai bercerita tanpa mengomentari," ujar Aksa.

Ares melirik Sena yang memperhatikan mereka. Keduanya beradu tatap. Sena mengulum bibir, lantas berdiri. Paham maksud tatapan Ares.

"Aku mau jalan-jalan sebentar," celetuk Sena, memecah hening.

Aksa menoleh pada Sena yang tengah memakai jaketnya. "Sudah malam. Mau ke mana?"

"Keluar sebentar."

"Duduk, Sena. Nanti sakit lagi kalau terkena angin malam. Bisa repot jika kalian berdua sakit bersamaan."

Sena menatap Aksa dalam diam. Ia tidak mengerti. Tidak ada yang salah dari kalimat sang ayah. Sena tahu, Aksa memang sangat sensitif mengenai kesehatan Sena. Tapi, kenapa rasanya masih menyesakkan?

"Percuma juga aku sehat kalau kalian pun tidak pernah sekali saja senang melihatku sehat."

Mereka, Aksa dan Ares selalu begini setiap Sena merasa lebih baik, setiap Sena tidak lagi mengeluh dadanya sakit. Tidak ada satupun dari mereka yang tersenyum bangga melihat Sena sehat.

"Sena, jangan memancing emosi Ayah. Tolong duduk saja," tukas Aksa cepat. Ia tatap Sena yang berdiri tidak jauh darinya.

Sena menautkan alisnya tidak suka. "Ayah dulu pernah berjanji kalau akan mengajakku keliling kota jika aku sembuh. Tapi, setiap tahun saat aku sembuh dan baik-baik saja, tidak pernah sekali pun ayah menepati janji. Jadi, aku jalan-jalan sendiri saja, ya? Aku bosan di rumah sakit."

"Sena, mengalah dulu dengan adikmu, ya? Ares sakit. Nanti bicara dengan Ayah. Sekarang duduk dulu, jangan keluar."

Sena mencebik kesal. Ia tatap Ares yang menatapnya sayu.

"Ya sudah, Ayah bicara saja dengan Ares. Aku tetap ingin keluar, mencari angin. Ares tidak akan bercerita jika ada aku."

Sena mengendikkan bahu, kedua netranya menatap Aksa lekat. "Ayah hanya perlu memilih. Menemani aku jalan-jalan, atau menemani Ares bercerita?"

Sena menangkap raut bingung yang Aksa tunjukkan sekilas. Ruang lengang beberapa saat, Ares menunduk, memainkan jemarinya gusar. Sena menghela napas sekali lagi.

"Ayah akan menemani Ares. Ayah tidak mau kehilangan anak ayah karena Ares sudah nekat melakukan percobaan bunuh diri."

Sena tersenyum kecut, ia lantas mengangguk mendengar jawaban Aksa. Sena menoleh pada Ares, memandangnya. Bahu Ares ditepuk pelan oleh Sena dan sontak membuatnya mendongak, menatap Sena.

Sena kembali mengalihkan pandangannya pada Aksa. "Kalau begitu, aku keluar dulu, Yah."

Ares mencicit. "Jangan pulang terlalu larut."

Sena menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran, mengisyaratkan kata 'oke'. Sena berjalan menuju pintu kamar rawat Ares, kemudian melangkah keluar.

***

Sena pernah putus asa menjadi seseorang yang sakit-sakitan, tidak pernah absen pingsan dan tidak pernah absen masuk rumah sakit sampai seluruh penjuru rumah sakit langsung waspada saat Sena masuk rumah sakit. Bukan waspada karena kondisinya kritis dan sekarat nyaris mati, bukan.

Sena ini disuntik saja takut sampai pernah menjambak rambut Aksa. Perawat pun juga pernah ditendang Sena karena mereka menginfus Sena yang masih sadar. Dokter juga pernah menerima omelan Sena.

"Dokter apa tidak kasihan saya sesak begini? Dokter tega sekali, saya jadi seperti ikan dan bla bla bla," omel Sena saat itu. Dokternya terlambat datang karena harus mengurus pasien lain, dan Sena langsung mengomel panjang lebar saat dokter masuk ke ruangannya meski omelannya dibarengi dengan sesak.

Ada kalanya pula, Sena rasanya sangat putus asa karena tidak kunjung sembuh dan ayahnya pernah berkata bahwa ia akan mengajak Sena berlibur jika Sena sehat dan sembuh. Aksa pernah berjanji jika mereka bertiga akan berlibur bersama. Sena pun seketika termotivasi untuk sembuh. Selama ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah sakit dan jarang sekali pergi jauh seperti Ares dan teman-temannya.

Akan tetapi, sampai detik ini hal itu tidak pernah ayah tepati.

"Mengalah dulu dengan adikmu, ya, Sena?"

Mengalah, mengalah, mengalah. Selalu itu yang ayah ucapkan. Sena tahu, ia tidak boleh berharap banyak karena hanya ia yang akan sakit jika jatuh nantinya. Akan tetapi, Sena pun tidak bisa memungkiri jika ia sangat berharap bahwa ayah menepati janjinya.

Lagipula Sena tidak tahu apa yang terjadi dengan Ares dan tidak pernah mau tahu karena Sena sudah terlanjur jengkel pada Ares karena Aksa selalu mementingkan Ares. Selalu Ares, Ares dan Antares.

Sena melangkah menyusuri trotoar di bawah penerangan temaran lampu jalan. Klakson berbunyi, polusi dari motor dan mobil mengepul, Sena sampai sesekali terbatuk. Ia mengedarkan pandang, meniti tangga jembatan dan memandang pemandangan kota Bandung dari Skywalk Cihampelas yang dibangun di atas jalan raya Cihampelas. Sena berdiri di depan pagar pembatas, menatap gemerlap lampu yang menyala di malam hari dari bangunan-bangunan di kota Bandung.

Sena mengatur napasnya yang sudah mulai terengah-engah. Saking kesalnya pada Aksa dan Ares, Sena sampai tidak sadar sudah berjalan sejauh satu kilometer dari rumah sakit.

Udara Bandung terasa dingin malam ini. Sena merapatkan jaketnya, membasahi bibir yang kering.

Sena mendongak, menatap langit malam. Ada bulan dan bintang di atas sana. Malam ini, bulannya penuh, menyita seluruh fokus untuk menatap bulan yang terasa lebih cantik dengan corak abu-abu pada tubuhnya ketimbang bintang yang berserakan di langit dan terlihat redup.

"Ayah akan menemani Ares. Ayah tidak mau kehilangan anak ayah karena Ares nekat bunuh diri," kata Aksa.

Sepanjang berjalan di trotoar sampai kemari, Sena memikirkan kalimat sang ayah. Ia memutarnya berulang kali di otak dan menerka maksud dari Aksa.

Jika Aksa tidak mau kehilangan Ares karena saudara kembarnya itu nekat bunuh diri, apa Aksa tidak keberatan kehilangan Sena?

Sesak. Sena menggeleng. Tidak mau lagi memikirkan hal seperti ini. Ia benci jika otaknya mulai berpikir demikian. Rasaya menyebalkan, dadanya serasa ditekan kuat. Menyakitkan.

Melihat bintang dan bulan di langit malam, Sena jadi berpikir; sebenarnya, siapa yang paling redup di sini?

Bulan Dione yang hanya mengandalkan cahaya matahari untuk bersinar, atau bintang Antares yang sedang sekarat dan tengah mengandalkan bahan bakar terakhirnya untuk bertahan agar tidak meledak dan hilang?

Namun, Sena tahu pasti jika jam dinding yang mati karena habis baterainya masih bisa diselamatkan dengan mengganti baterainya dengan baterai yang baru. Sama halnya seperti perasaan lelah dan putus asa yang bisa diganti dengan semangat baru di keesokan harinya.

Tetapi, jantung yang detaknya terhenti tidak bisa diganti dengan jantung baru yang masih berdetak sekalipun.

Sejatinya meski berbeda, Sena dan Ares memiliki kesamaan dalam hal ini. Lantas, siapa yang akan kalah terlebih dahulu?

Sena dengan penyakit jantung bawaannya atau Ares dengan keinginannya untuk bunuh diri?

Continue Reading

You'll Also Like

3.9M 230K 59
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
1.5K 226 27
IPA 1 punya cerita. [sequel Our Stories] *** Tentang tiga cowok famous di SMA Supernova...
547K 37.4K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
21K 3.7K 61
Devano anggara adalah adik kakak yang sama sama memiliki sifat keras kepala dan bertindak sesuka hati yang berujung sebuah penyesalan.