My Coldest Gus

Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... Еще

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum

139K 14.1K 4.7K
Desisetia

Rasanya air mataku ini sudah kering akibat menangis semalaman. Aku hanya terbaring lemah di petiduran karena dampak luka ditanganku ini membuat tubuhku demam. Ditambah semalam aku sama sekali nggak bisa tertidur, setiap akan memejamkan mata suara Maemunah yang mempermalukanku di depan umum menggema di indera pendengaranku.

Hatiku semakin hancur lebur saat mengetahui bahwa Leni, sahabatku ikut terlibat dan menambah parah kondisiku. Padahal sama sekali bukan aku yang melakukannya. Perasaanku semakin remuk redam saat nggak ada satu pun dari mereka yang percaya ucapanku. Walaupun sudah aku katakan yang sejujurnya tetap saja bukan kenyataan yang mereka percayai, melainkan keyakinannya sendiri.

Luka di telapak tangan ini membuat mobilitasku terhambat. Aku nggak bisa melakukan apa-apa. Bahkan saat mengambil wudhu setengah mati aku menahan rasa sakitnya. Bisa terbayang kan bagaimana rasanya saat aku melakukan aktivitas lain?

Suhu tubuhku meningkat, tapi yang aku rasakan malah menggigil. Oleh karena itu aku eratkan lagi selimut yang ada di tubuhku.

Jangan sampai Sugus tahu perihal ini. Aku takut kalau ia termakan fitnah itu dan nggak mempercayaiku. Aku takut sekali.

Sepertinya semesta benar-benar nggak berpihak padaku. Selain sakit kepala akibat terlalu banyak menangis, deman, cenat-cenat di bagian telapak tangan yang membuat seluruh tubuhku ikut nyeri, ternyata perutku juga ikut merasakan penderitaan. Aku baru menyadari kalau dari kemarin belum kemasukan nasi sesuap pun. Perutku hanya terisi seliter susu full cream yang ada di kulkas.

Aku bangkit dengan perlahan dan langsung merasakan pusing. Dengan berjalan tertatih-tatih, aku menuju dapur. Benda pertama yang aku datangi adalah kulkas. Aku membuka benda berbentuk balok itu dengan ujung jari telunjuk yang tidak ada lukanya.

Stok makanan di kulkas lumayan banyak. Aku rasa sebelum pergi Umi menyiapkan terlebih dahulu. Akan tetapi dengan kondisi seperti ini nggak mungkin aku membuat sesuatu. Sedangkan kalau harus pergi ke kantin rasanya terlalu malu saat berpapasan dengan santriwati yang lain. Aku harus bagaimana?

Akhirnya aku putuskan untuk membuka rice cooker, dan di sana masih tersisa nasi. Aku hanya makan nasi saja tanpa lauk agar perutku nggak sakit lagi.

Selama makan aku meringis akibat luka yang ada di telapak tangan. Ayah, Bunda, tolong Sashi...

Setelah makan aku mencari obat demam di kotak P3K, untungnya ada benda yang aku cari di sana. Ini pertama kalinya aku minum obat tanpa dihaluskan. Rasanya seperti masih nyangkut di tenggorokkan walau sudah minum banyak.

Kali ini aku bisa terpejam untuk beberapa saat, mungkin karena tubuhku sudah terlalu lelah.

Aku bisa merasakan kehadiran seseorang. Entah sudah berapa lama aku terpejam, aku nggak tahu. Saat membuka mata, hal pertama kali aku lihat adalah senyum Sugus. Berulang kali aku mengedipkan mata, karena demam aku jadi bubur alias halusinasi.

Bayangan Sugus mengelus kepalaku, tapi anehnya begitu nyata. Begitu tangannya turun dan menyentuh keningku bayangan itu bertanya, "Kamu demam?"

Aku mengangguk. Padahal itu hanya bayangan. Sugus nggak mungkin secepat itu kembali, ia bilang akan di sana selama satu minggu.

Aku membawa tangan bayangan Sugus dari kening ke pipi. Hangatnya dapat kurasakan mengalir ke seluruh wajah. Tangan itu bergerak hingga meraih tanganku.

"Aaarrgh!" teriakku kesakitan saat bayangan Sugus mencoba untuk menggenggamku. Aku terbangun dan duduk, bayangan Sugus menatapku penuh keheranan.

"Kenapa?" tanyanya.

Tunggu dulu, kalau hanya halusinasi saja, mengapa terasa sakit saat tangan kami bergenggaman? Mataku berkedip berkali-kali, tapi bayangan itu masih ada, nggak menghilang.

"Gus?" Bayangan itu menatap ku aneh. "Ini beneran Gus?"

"Kamu kira saya siapa?"

"Sashi kira Sashi lagi halusinasi."

Sugus terkekeh. "Udah minum obat deman, hm?" tanyanya saat kekehan berakhir.

"Udah. Untuk pertama kalinya Sashi minum obat nggak digerus. Abisnya tangan Sashi sa—" aku menggantungkan kalimat. Dasar Sashi bodoh! Jangan sampai Sugus tahu, kalau tahu bisa-bisa ia juga nggak percaya padaku.

"Tangan kamu kenapa?" Tuhkan, Sugus malah penasaran. Sontak aku langsung menyembunyikan kedua tanganku di belakang tubuh.

"Mana coba, saya mau lihat tangan kamu," pintanya. Aku menggeleng dan tetap menyembunyikannya. "Tunjukkan atau saya marah." Dua hal yang sulit dilakukan. Tapi Sugus menatapku dengan mata elangnya yang tajam. Aku nggak berani macam-macam kalau Sugus sudah memandangku seperti itu. Tak pelak aku ulurkan kedua tanganku di hadapannya.

"Astagfirullah! Kenapa bisa begini?" Ia terkejut. "Kamu ini kenapa sebenarnya?"

"Sashi dapat hukuman," akuku dengan takut. Pasti Sugus malu karena aku selalu bikin ulah.  "Sashi dihukum karena mencuri." Aku hanya menunduk nggak berani menatapnya, apalagi melihat ke matanya.

"Mencuri?" tanyanya tak yakin. "Lihat saya Sashi, kamu beneran mencuri?"

Bukannya melakukan apa yang Sugus pinta, aku malah tetap menunduk seraya menahan air mata yang akan tumpah.

"Sashi mencuri uang 2 juta milik teman Sashi."

"Rasanya nggak mungkin kamu melakukan itu. Lihat saya Sashi." Daguku diangkat dan sontak kami saling berpandangan. "Bilang, apa yang sebenarnya terjadi."

Air mata merebak akibat aku nggak kuasa menahannya. Apa nanti setelah bicara jujur, Sugus akan mempercayaiku?

"Sashi nggak tau apa-apa. Sashi ketiduran di kelas, dan pas Sashi bangun tiba-tiba teman sekelas Sashi kehilangan uang dan uang itu ada di dalam tas Sashi."

"Lalu kamu diapakan sampai bisa seperti ini?"

"Sashi dibawa ke lapangan dan dipermalukan di sana. Setelah itu tangan Sashi dipecut sama rotan."

Sugus terdiam. Aku nggak tahu apa yang ada di pikiran Sugus. Pasti ia juga sama seperti yang lain, nggak mempercayaiku.

"Ya Allah..." Sugus nggak berkata apa-apa lagi, ia hanya menarikku ke dalam dekapannya.

"Sashi sungguh nggak melakukannya, Sashi nggak mencuri, Gus."

"Saya tahu itu... Saya percaya kamu."

Air mataku merebak juga. Perkataan Sugus membuat ambyar. Pasalnya selama ini nggak ada satu orang pun yang percaya padaku, tapi saat ini Sugus sebaliknya.

Aku menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Sugus. Apalagi saat bayangan itu kembali muncul. Air mata yang selama ini aku tahan dan kusimpan sendiri akhirnya bisa jatuh juga.

"Saya minta maaf nggak bisa menjaga kamu," ucap Sugus setelah aku berhenti menangis dan tersisa hanya sedu sedan. Suara Sugus ikut bergetar dan itu membuat air mata yang tinggal sisa kembali turun.

Pelukan kami terlepas. Sugus meraih tanganku untuk melihat kondisinya. "Luka ini yang akan jadi saksi kelak di akhirat nanti, kalau saya tidak bisa melindungi istri saya sendiri. Saya suami yang lalai."

Mendengar hal itu tak pelak aku menggeleng, aku nggak setuju dengan apa yang ia ucapkan. "Sashi yang akan bersaksi bahwa Gus sama sekali nggak bersalah. Kejadian itu terjadi begitu saja dengan cepat, dan itu bukan salah Gus."

"Pantas saja perasaan saya nggak enak setelah kita chatting, ditambah kamu juga nggak bisa dihubungi, Ternyata sesuatu yang buruk terjadi."

"Handphone Sashi disita, makanya Sashi nggak bisa angkat telepon Gus. Sashi minta maaf ya, Gus."

"Saya yang minta maaf nggak bisa menjaga kamu," lirihnya seraya mengecup puncak kepalaku.

Sugus membawaku ke rumah sakit. Kami bertemu dengan dokter spesialis kulit yang akan menangani luka di telapak tangan ini. Sugus berpesan kepada dokter supaya luka ini nggak berbekas.

Setelah diperiksa dan diberikan obat, tanganku dipakaikan perban. Dokter bilang jangan terkena air terlebih dahulu karena penyembuhannya akan lama.

"Saya akan resepkan obat, nanti bisa diambil di apotek rumah sakit," ucap dokter perempuan itu dengan ramah. Tangannya dengan lihai menulis di atas kertas. "Untuk perbannya kalau bisa diganti setiap 2 hari sekali ya, Pak," pesan dokter disela-sela menulis. Wajahku langsung pias saat dokter menyebutkan obat yang diresepkan terdiri dari obat oles dan obat oral.

Sugus menoleh ke arahku lantas tersenyum samar. "Saya siap menghaluskan setiap kamu mau minum obatnya."

"Adeknya belum bisa minum obat ya?"

"Iya dok. Istri saya memang nggak bisa minum obat, harus dihaluskan lebih dulu," cerita Sugus kepada dokter yang dibalas dengan kekehan setelah sebelumnya sempat terkejut saat mendengar kata istri.

Setelah menerima resep dan mengucapkan terima kasih, kami meninggalkan ruang praktik dr. Marwah. Kemudian kami berjalan untuk menuju apotek yang letaknya ternyata nggak begitu jauh dari tempat parkir mobil. Ada sekitar 10 orang yang menunggu obat, aku menunggu di kursi paling ujung sedangkan Sugus menaruh resep bersama tumpukkan resep lain, lalu setelahnya ia duduk di sampingku.

Kami saling diam, nggak ada yang memulai pembicaraan. Sepertinya Sugus sedang memerhatikan orang-orang yang lewat untuk ke toilet atau suster yang kadang keluar-masuk ke ruang praktik spesialis anak. Aku lihat rahang Sugus masih mengeras seperti sedang menahan sesuatu, ia juga banyak diam—Sugus memang pendiam, tapi setelah memiliki istri sepertiku jadi sedikit berkurang— tapi diamnya kali ini berbeda.

Tanganku terulur untuk mengusap lengan atasnya. Ia menoleh lantas tersenyum. Kali ini tarikan bibir itu sudah lepas, nggak seperti tadi, tertahan. 

"Sashi baik-baik saja, Gus," ucapku seraya masih mengusap lengannya. Aku tahu Sugus khawatir, aku tahu Sugus juga merasa bersalah, tapi kejadian ini di luar kuasanya. Aku menyandarkan kepala ke lengannya sedangkan ia balas meniup telapak tanganku yang tertutup perban.

Pikiranku melayang lagi ke kejadian itu. Siapa yang menaruh uang itu di tasku? Siapa yang tega memfitnahku? Dan kenapa Leni tiba-tiba mengaku kalau ia sempat kehilangan uang belum lama ini? Aku jadi pusing membayangkannya.

Padahal Leni sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Mengapa ia juga ikut terlibat?

"Gus kenapa ya kalau kita sudah berusaha berbuat baik ke orang, tapi masih saja dijahatin? Sashi jadi mikir percuma dong kalau gitu, tadi saja Sashi nggak usah berbuat baik ke dia."

"Sstt nggak boleh ngomong gitu. Justru kita harus selalu berbuat baik."

Jawaban Sugus aneh! "Walaupun dibalas sama kejahatan?"

"He'em. Kita nggak tau mana amal yang akan membawa ke surga, dan mana dosa yang akan menyeburkan kita ke neraka. In ahsantum, ahsantum li angfusikum. Jika kamu berbuat baik, itu artinya kamu berbuat baik pada dirimu sendiri. Wa in asa'tum fa lahaa. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri. Perbuatan baik atau buruk yang kita lakukan, akan berbalik ke diri kita masing-masing.

Misal kamu berbuat baik ke si A, mungkin bisa saja bukan si A yang langsung membalas kebaikanmu, tapi Allah. Bisa berupa pahala, bisa berupa Allah kirimkan orang baik di sekelilingmu."

Cerita dengan Gus, sama seperti cerita sama Bunda. Niat ingin curhat malah diceramahi. Untungnya namaku sudah dipanggil, Sugus bangkit untuk mengambil obatku dan kami lantas pulang.

*****

Selama ada Sugus aku nggak boleh ngapa-ngapain sendiri. Mulai dari makan disuapi, minum diambilkan, bahkan sampai mandi dan memakai pakaian, Sugus yang melakukannya. Malu sih, tapi mau bagaimana lagi? Lagi pula ia sudah melihat semuanya.

Sekarang aku sudah seperti anak bayi yang dipakaikan bedak oleh mamanya kala sore hari. Bedak yang ditaburkan ke wajahku oleh Sugus terlalu tebal, hingga wajahku persis seperti mochi. Sedangkan orang yang melakukannya entah di mana. Setelah rapi, aku malah disuruh istirahat dan ia pergi begitu saja meninggalkan aku sendiri di kamarnya yang besar.

Karena merasa bosan di kamar, akhirnya aku keluar dan berjalan menuju ruang tamu. Langkahku terhenti saat mendengar percakapan dua laki-laki yang sedang mengobrol, aku mengintip dari sekat perbatasan ternyata orang itu adalah Sugus dan Pak Zaid.

"Bagaimana kalau tangan istri saya sampai cacat, Pak? Apa pelakunya mau tanggung jawab?" Begitu ucapan Sugus yang terdengar berapi-api. Aku nggak tahu awal mula percakapan mereka.

"Mohon maaf Gus kalau saya lancang. Bagaimana kalau Ning Sashi memang benar melakukannya?" Bahkan Pak Zaid yang notabenenya teman ayah saja percaya dengan fitnah itu.

"Saya tahu benar bagaimana istri saya. Saya sudah memberikannya kartu yang isinya lumayan banyak. Tapi dia nggak pernah pakai. Kalau dia pingin sesuatu pun pasti bilang ke saya." Dengan mati-matian Gus membelaku disaat semua orang memandangku sebelah mata. Aku nggak tahu, bagaimana kalau Allah nggak kirimkan Sugus ke dalam hidupku.

"Terlepas siapa yang mencuri, harusnya oknum keamanan itu bisa lebih tabayyun. Apa yang dia lakukan adalah sebuah pelanggaran. Harusnya tuduhan mencuri itu didiskusikan terlebih dahulu dengan para Ustadzah atau pengurus pesantren lainnya, bukan malah menghakimi orang seenak udelnya."

"Iya, Gus. Saya minta maaf atas kejadian ini. Saya benar-benar lalai sampai tidak tahu apa-apa."

"Begini saja, Pak, saya minta tolong pada Pak Zaid untuk memasang cctv ke seluruh penjuru pesantren. Saya kasih waktu lusa harus sudah selesai. Saya tidak mau kejadian serupa terjadi lagi pada santriwati lainnya."

"Na'am, Gus. Saya akan segera melakukannya."

"Terima kasih ya, Pak."

Belum sempat Pak Zaid menjawab, ada suara langkah kaki mendekat diikuti dengan salam. Suaranya membuat jantungku memompa lebih kencang. Bayangan dia berteriak di tengah lapangan yang sedang mempermalukan aku kembali muncul. Kakiku sampai bergetar hebat hanya karena mendengar ia berbicara.

"Santriwati bernama Sashi itu dari awal masuk sudah membuat masalah, Gus. Mulai dari dia yang tertangkap basah ingin kabur, bertengkar dengan teman satu kelasnya, dan sekarang kasus pencurian. Makanya saya langsung memberikan hukuman."

Dia nggak sadar kalau orang yang sedang dibicarakan ada di sini. Satu atap dengannya. Aku tahu, dulu aku sering melakukan kesalahan, tapi untuk kali ini aku benar-benar nggak melakukannya.

Karena nggak tahan mendengar Maemunah berbicara, dan sepertinya akan mengganggu kesehatan mentalku. Aku memilih masuk dan bersembunyi di kamar. Aku nggak mau mendengar apa apa lagi. Terlebih suara Maemunah yang menggelegar seperti toa rusak.

*****

Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian itu, aku nggak tahu lagi apa yang terjadi. Sugus juga nggak cerita, dan aku nggak enak untuk bertanya. Aku masih berdiam diri di ndalem sehingga nggak tahu kabar di luar seperti apa.

"Oh ya, tadi saya sudah bicara dengan Abi dan Umi via telepon. Mereka bilang saya nggak papa di sini, karena kamu lebih membutuhkan saya," ucap Sugus. Saat ini kami sedang berada di ruang tamu, Sugus membantu membalut tanganku dengan perban. "Paling nanti saya ke sana buat jemput mereka saja."

"Tapi Sashi beneran nggak enak sama Umi dan Abi. Harusnya kan Gus ikut mereka kontrol pembangunan pesantren di sana."

"Nggak papa. Saya kan sudah sering bolak-balik ke sana."

"Terima kasih ya, Gus." Terima kasih sudah ada untuk Sashi. Lanjutku dalam hati.

"Sama-sama." Sugus membawa kedua tanganku ke wajahnya. "Cepat sembuh ya, Sayang," lanjutnya seraya mengecup tanganku yang sudah diperban satu persatu.

BRUKK!!

Aku mendengar benda yang terjatuh dari arah luar pintu. Sepertinya Sugus juga mendengar tapi nggak ia hiraukan.

Mataku menangkap sebuah bayangan melalui jendela. Sugus nggak melihatnya karena ia berada di posisi membelakangi jendela. Aku izin pamit untuk melihat apa yang ada di balik pintu, Sugus melarangnya tapi aku keukeuh memaksa karena penasaran.

Saat sudah berada di luar, aku menemukan sebuah spidol papan tulis tergeletak di lantai. Dan saat aku menoleh ke kanan, aku melihat seseorang tengah berlari menjauhi ndalem. Orang itu memakai kerudung berwarna ungu, yang sepertinya sangat familier bagiku.

Rasa penasaran yang membuatku mengejarnya. Untuk apa malam malam seperti ini ia ada di ndalam? Padahal ini sudah masuk jam malam. Sebentar lagi, aku yakin tim keamanan akan berpatroli.

"Hey tunggu!!"

Orang itu tetap berlari sekencang mungkin tanpa menghiraukan aku yang memanggilnya. Tapi beberapa saat kemudian ia terjatuh, akibat tersandung sesuatu. Aku pun berlari mendekat, dan betapa terkejutnya aku bahwa orang itu adalah....

"Dwi? Wi ngapain kamu di sini?" Aku mencoba untuk menolongnya supaya bangun, namun tanganku segera ditepis. Hingga lukaku terasa sakit.

"Nggak usah sok baik kamu, Sas," serunya yang membuatku kebingungan.

"Maksud kamu apa, Wi."

"Kamu ini sebenarnya siapa?"

"A... Aku Sashi."

"Kamu siapa, hah?" Dwi berteriak. Baru kali ini aku melihatnya marah. Hingga aku nggak mengenali bahwa orang yang ada di hadapanku ini adalah sahabatku. "Kenapa gara-gara kamu tim keamanan sampai dipecat? Kenapa kamu sering sekali di ndalem? Kenapa kamu sampai berpelukan sama Gus Omar? Dan tadi, kenapa Gus Omar manggil kamu dengan sebutan sayang?"

Dwi mendorongku hingga tubuhku terhuyung ke belakang.

"Wi, aku bisa jelasin."

Mata Dwi menyorot marah. Dwi seperti orang kesurupan. Aku mengamati sekitar, kami berdua berdiri di lorong sekolah, hanya berdua, nggak ada siapa-siapa.

"Dasar kamu perempuan murahan! Kamu tahu aku mencintai Gus Omar, kenapa kamu malah merebutnya dariku?!"

"Aku nggak merebutnya dari kamu. Aku nggak merebut Gus Omar dari siapapun."

"Perempuan jahat!" Lagi Dwi mendorong tubuhku berkali kali, hingga tubuhku menabrak dinding. "Lihat nanti apa yang akan aku lakukan sama kamu!"

"Wi istigfar wi, kita ini sahabat. Kamu sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri."

"Sahabat?" Dia tertawa. "BULSHIT! KAMU YANG SUDAH MENGHANCURKAN PERSAHABATAN KITA."

"Aku ini istrinya Gus Omar. Makanya aku sering nginap di ndalam. Apa aku salah melayani suami aku?"

Ekspresi Dwi semakin marah. "BOHONG!! AKU NGGAK PERCAYA." Dwi tertawa lagi. Kali ini jenis tawa yang menakutkan. "Bagaimana rasanya aku terror setiap hari? Bagaimana rasanya dituduh mencuri? Bagaimana rasanya dipecut rotan? Hahaha itu semua nggak sebanding sama apa yang kamu lakukan ke aku! Itu semua nggak sebanding sama sakit yang aku rasakan!"

"Ja... Jadi kamu yang melakukannya, Wi?" Sungguh aku nggak menyangka.

"YA, SIAPA LAGI?"

"Wi..."

Dwi berjalan mendekat.Ya Allah aku takut Dwi akan berbuat hal nekat lainnya. Bagaimana ini ya Allah? Mana kami hanya berdua saja di sini. Aku mohon lindungilah aku.

Sebelum Dwi berbuat hal konyol lebih jauh, dengan merapalkan bismillah aku mengambil jurus seribu bayangan. Aku lari sekencang mungkin hingga sampai ke ndalem. Napasku terengah-tengah. Biasanya aku paling malas pelajaran olahraga karena harus lari, tapi untuk kali ini the power of kepepet aku lari seperti atlet lari berkilo-kilo meter.

"Sashi kamu kenapa?" Sugus muncul tiba-tiba dan mengejutkan aku. "Saya mencari kamu kemana-mana tapi nggak ada."

"Gus Sashi takut." Aku memeluknya. Kemudian suara sirine patroli milik tim keamanan terdengar, Sugus mengajakku masuk ke ndalem.

******

Hellaaawww

Sashi hadir lagi, ada yang kangen aku? Ups 😂

Tebakan siapa yang bener kalo Dwi yang nerror? Cung coba?

Jangan protes kedikitan ya, ini udah hampir 3000 kata loh. Kalo bisa vote dan komen yang banyak yak 😜

Happy reading...

Продолжить чтение

Вам также понравится

41.4K 5K 84
Adeeva Humaira Laskar Khaizuran. Seorang wanita yang jauh dari kata agama dan tidak mengenal apa itu agama, selain tidak ada niat untuk berubah dia j...
1.1M 107K 48
MALING JAUH-JAUH!! Hanya sebuah kisah singkat seorang gadis berumur 20 tahun yang mengorbankan dirinya untuk melunasi hutang pamannya. bagaimana kela...
RAY TRANSMIGRASI Cally

Духовные

143K 10.9K 37
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
525K 66.2K 33
SEQUEL OF 'Astagfirullah, sabrina!' ‼️ baca dulu cerita emak bapaknya, biar paham sama alur. konflik mereka masih berkaitan . Tentang sepasang insan...