My Coldest Gus

Galing kay Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... Higit pa

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Eksekusi

122K 13.4K 4K
Galing kay Desisetia

Semua mata tertuju padaku saat tuduhan itu melayang. Mereka menatapku seperti singa yang akan memangsa makanannya. Jujur, aku pun bingung, apa yang sebenarnya tengah terjadi.

"Kita harus laporin Sashi ke tim keamanan dan ketertiban," usul salah satu diantara mereka, yang sontak saja langsung aku sanggah.

"Tapi aku nggak mencuri," seruku membela diri. "Demi Allah aku nggak tau kenapa uang itu bisa ada dalam tasku."

"Klise banget alesannya, lagi pula mana ada maling ngaku!" timpal Maura yang diberikan anggukkan setuju oleh semua temanku. "Perlu kalian tau nih ya, Sashi dimasukkin ke pesantren ini karena kasus pacaran dan narkoba," lanjutnya lagi dan membuat gaduh seisi kelas. Ada yang berbisik, ada juga yang terang-terangan mencibir.

Pandanganku dan Fika bertemu. "Fik, gue nggak ngambil uang lo."

"Sorry, Sas, tapi uang itu ada di tas lo. Gua nggak bisa bilang apa apa lagi."

"Pacaran, narkoba, sekarang nyolong duit temannya. IPhone itu juga pasti hasil barang curian tuh," tuduh Maura bertubi-tubi. Rasanya aku mau sumpal mulutnya itu yang setajam silet.

"Mengenai iPhone, itu hadiah ulang tahun dari seseorang. Gue emang dimasukkin ke pesantren ini karena kasus pacaran dan narkoba, tapi yang pakai narkoba itu pacar gue, sedangkan gue nggak pakai barang haram itu!" jelasku yang sudah tersulut emosi.

Aku rasa nggak ada hubungannya antara uang yang ada di tasku dan masa laluku itu. Aku jadi kesal sendiri.

"Mana ada orang ngasih kado puluhan juta gitu. Kecuali kalo lo jual diri ke Om-om. Guys, jangan-jangan si Sashi udah nggak perawan."

Aku nggak bisa diginiin. Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju Maura yang tengah berdiri di samping Fika.

PLAK!

Tanganku terulur dengan mudahnya untuk menggampar pipi Maura.

"Jaga mulut lo itu sebelum gue sobek sobek!" ancamku padanya.

Ucapan Maura pada kalimat terakhirnya memang benar, tapi aku melakukannya dengan suamiku. Hubungan kami legal dimata Allah, bukan seperti tuduhannya yang bilang kalau aku jual diri. Aku nggak serendah itu. Perkataannya benar-benar menyayat hatiku.

Sepertinya Maura nggak terima aku tampar, wajahnya memerah dan rahangnya mengeras. Dua detik berikutnya dia balas menamparku lagi yang sontak menghasilkan rasa panas dan nyeri di sekitar wajahku. Telingaku pun sampai berdenging beberapa saat.

Belum sempat aku membalasnya lagi, dia lebih dulu menyerangku. Dia tarik jilbabku hingga kepalaku kebelakang, rasanya rambut yang ditutupi jilbab sampai tertarik hingga ke akarnya.

Aku balas menjambaknya lagi. Keributan pun terjadi. Walaupun aku rasakan ada tangan yang memegang tubuhku untuk memisahkan kami, tapi aku nggak peduli. Aku tetap membalas perlakuan buruknya padaku.

"Udah Sas, udah..."

Suara itu aku abaikan. Ini perihal harga diri. Aku nggak bisa membiarkan harga diriku diinjak-injak. Diberikan ilmu agama, ternyata nggak menjamin seseorang bisa menjaga lisannya dengan baik.

"STOOOOPPP! ADA APA INI? KENAPA RIBUT-RIBUT?!"

Suasana mendadak hening. Aku dan Maura yang awalnya saling serang pun melepaskan diri. Jilbabku nampak berantakan, begitu juga dengan jilbab Maura.

Ekor mataku melirik ke arah pintu. Di sana berdiri satu orang dari tim keamanan pesantren yang kuketahui bernama Maemunah. Selama ini dia lah yang paling ditakuti oleh santriwati karena ekspresinya yang menyeramkan juga suara sembilan oktafnya yang membuat gendang telinga hampir pecah.

"Hey kalian pembuat onar, ikut saya ke ruangan!" titahnya dengan nada dingin. Aku dan Maura saling tatap, tapi setelahnya kami membuang muka.

Di ruangan tim keamanan, aku dan Maura diizinkan untuk menceritakan apa yang terjadi. Di mulai dari versiku yang ketiduran di dalam kelas saat teman-temanku yang lain berada di lapangan. Nggak lupa juga aku membela diri bahwa aku bukan pelaku yang mengambil uang Fika. Selanjutnya Maura yang diberi kesempatan.

"Jadi saya dan teman saya Fika pergi ke kelas setelah pertandingan futsal selesai niatnya ingin mengambil uang untuk membeli air mineral di kantin. Kebetulan Fika cerita kalau hari ini dia habis mendapatkan transfer dari orangtuanya dan pagi tadi dia sudah menariknya dari mesin ATM. Saat Fika membuka dompetnya uang yang pagi tadi diambil sudah nggak ada. Akhirnya kami sekelas sepakat untuk bongkar tas satu persatu, dan uang itu ditemukan di dalam tasnya Sashi, sekaligus iPhone yang entah punya siapa."

"Saya tau saya sudah melanggar peraturan karena bawa handphone, tapi..."

"DIAM!" belum sempat aku menjelaskan, Maemunah itu sudah lebih dulu menginterupsi. "Saat kamu masuk ke dalam kelas beserta temanmu, di kelas itu ada siapa?" tanyanya pada Maura dengan sorot mata yang serius.

"Hanya ada Sashi yang sedang tertidur. Ini bukan pertama kalinya kelas kami kehilangan uang semenjak ada Sashi, teman satu kamarnya Sashi juga pernah kehilangan uang dengan jumlah lima ratus ribu rupiah."

Sontak saja aku terkejut mendengar penuturan itu. Sungguh itu fitnah. Aku sama sekali nggak pernah mencuri. Bunda selalu mengajarkan aku untuk nggak mengambil hak orang lain.

"Jangan ngadi-ngadi lo! Siapa temen sekamar gue yang lo maksud?" Karena terlalu kesal, di depan Maemunah pun aku menggunakan gue-lo. Jangan ditanya bagaimana ekspresinya, wajahnya itu jadi seperti ingin memakan manusia.

"Bisa kamu panggilkan orang-orang yang kamu maksud, temanmu yang kehilangan uang dan teman sekamarnya Sashi?" pinta Maemunah yang disetujui oleh Maura. Sejurus kemudian Maura pergi meninggalkan ruangan ini.

Tidak butuh waktu lama untuk Maura kembali. Ia datang bersama dengan Fika yang ada di belakangnya dan juga ... Leni? Mengapa Leni juga ikut ke tempat ini?

Otakku sudah nggak bisa berpikir lagi. Syok, sudah pasti. Mengapa Leni dan kedua sahabatku yang lain nggak pernah cerita apa-apa mengenai hal ini? Mengapa aku tahu baru sekarang?

Ya Allah, tolong aku.

"Apa benar kamu pernah kehilangan uang juga?" Kali ini Leni yang mendapat pertanyaan seperti itu. Pandanganku terus tertuju kepadanya yang dari awal masuk ke ruangan ini dengan menunduk.

"I...iya. Lima ratus ribu."

"Kapan waktu hilangnya?"

"Tiga hari sebelum ujian dilaksanakan."

Pernyataan Leni semakin memojokkanku. Kalau sebelum ini aku tahu uang Leni hilang, aku nggak keberatan untuk menggantinya, ya walaupun bukan aku yang mengambil uang itu.

Selanjutnya Fika yang diintrogasi. Sepertinya kali ini aku nggak akan selamat.

*****

Malu, sudah pasti. Saat aku dibawa paksa ke tengah lapangan dengan memakai kerudung dosa. Bahkan class meeting sempat terhenti beberapa menit. Para santriwati sibuk untuk memandangku dengan tatapan sinisnya.

Teman satu kelasku pun datang. Mereka datang bersama-sama dengan ketiga sahabatku yang aku sendiri nggak tahu bagaimana menjelaskan ekspresi mereka.

"Perhatikan semua yang ada di sini. Di depan kalian ini contoh santriwati yang tidak baik."

Maemunah berkata lantang di depan santriwati lain. Perkataannya itu sukses membawa harga diriku jatuh ke jurang paling dalam.

"Kalian semua tahu, pesantren ini sangat menjunjung nilai kejujuran. Kalau ada santriwati yang berlaku curang bahkan sampai mencuri uang temannya, maka kesalahannya tidak dapat ditolerir."

"Kamu, Sashi Liem," tunjuknya kepada diriku dengan menggunakan rotan di tangannya. "Silakan akui kesalahanmu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi."

"Kesalahan saya membawa handphone ke pesantren ini, saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi."

Ia berdecih. Aku tahu bukan itu perkataan yang ingin ia dengar. Ia ingin aku mengakui bahwa aku yang mencuri. Tapi aku nggak bisa mengakui apa yang nggak aku perbuat.

Keringat di pelipisku mengucur dengan derasnya karena matahari yang menyorot di tengah siang hari ini. Kakiku terasa pegal akibat berdiri terlalu lama, perut keroncongan karena aku belum makan siang, dan juga tenggorokkanku kering, sepertinya aku dehidrasi.

Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.

"Mana tanganmu?"

Aku mengulurkan kedua tangan ke depan, ia melanjutkan titah kalau aku harus membuka telapak tanganku. Maka aku ikuti saja maunya.

"Apa kesalahan kamu?" tanyanya lagi.

"Kesalahan saya membawa handphone."

CTAK!

"Aaargh!"

Tanpa aba-aba rotan itu melayang ke telapak tanganku. Rasanya perih dan sakit apalagi saat mengenai tulang.

"Apa kesalahanmu?"

"Saya membawa handphone."

Lagi, rotan itu kembali melayang. Dan terus begitu kalau aku nggak mau bilang bahwa aku lah yang mencuri.

Saat ini entah sudah berapa kali rotan melayang di telapak tanganku. Kini tanganku sudah dipenuhi dengan garis garis bekas rotan bahkan kulitku sampai terkelupas hingga mengeluarkan darah segar. Rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuhku yang gemetaran.

Bunda, Ayah, Sugus tolongin Sashi. Sashi nggak kuat lagi. Aku hanya bisa menjerit dalam hati karena tenggorokkanku rasanya kelu.

Aku nggak boleh menangis. Aku harus kuat. Aku nggak sudi mengakui apa yang nggak pernah aku lakukan, apalagi tuduhan mencuri itu.

"Ampuuuun, sakiiiit... Ampuuun," racauku. Namun Maemunah si bengis ini masih memukul tanganku dengan rotannya.

Kepalaku terasa pusing, bumi seperti berputar putar. Pandanganku menggelap, selanjutnya aku nggak tahu apa yang terjadi.

******

Ini kali ke dua aku dibawa ke UKS karena pingsan. Saat aku tersadar ketiga sahabatku sudah ada di samping petiduran.

"Sashi kami minta maaf nggak bisa bantu kamu," ucap Dwi yang mewakili ketiganya. Leni juga minta maaf karena merasa bersalah, akibat pengakuannya hukumanku semakin berat.

Tubuhku masih lemas, ditambah sakit disekujurnya. Tapi hatiku lebih sakit karena difitnah yang bukan bukan. Dan lebih parahnya lagi, nggak ada satu orang pun yang percaya padaku.

Kalau saja Sugus ada di sini, mungkin hal itu nggak akan terjadi. Kalau saja aku ikut dengannya, mungkin aku nggak akan merasakan kesakitan bertubi-tubi ini.

"Sashi, kamu sudah siuman?" Ustadz Abas masuk dari balik bilik. Ia mendekat ke arah petiduran. "Maaf saya nggak tahu kalau kamu mendapat hukuman seperti ini. Saya sangat khawatir, Sashi."

Aku memaksa tersenyum. "Sashi nggak papa, Ustadz."

Aku mencoba bangkit. Aku ingin ke ndalem. Aku nggak ingin bertemu siapa-siapa dulu.

"Biar saya bantu, Sashi," Ustadz Abas menawarkan bantuan. Aku sangat berterima kasih untuk hal itu, namun aku tolak.

Sejurus kemudian, aku pergi dari UKS. Meninggalkan ketiga sahabatku dan Ustadz Abas di sana.

Sesampainya di ndalem, aku masuk ke kamar yang biasa aku dan Sugus tempati. Sengaja lampu kamar nggak aku nyalakan. Dalam kondisi yang gelap seperti ini aku bisa menangis sekencang-kencangnya karena nggak ada orang yang dapat melihat. Sesuatu yang aku tahan sejak tadi, akhirnya tumpah. Seperti gumpalan awan hitam yang mendung kini sudah mengeluarkan isinya. Aku duduk meringkuk di bawah petiduran.

Sendiri, sepi, dan sakit, itulah yang aku rasakan saat ini.

****

To be continue...

Happy reading ❤

Mana nih tim gercep Sushi? Wkwkwk

Jangan lupa vote dan komennya yaa






Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

427K 36.1K 38
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
37.8K 1.7K 26
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
117K 11.5K 45
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
69.6K 11.9K 24
Pernikahan seperti apa yang kamu impikan? Menikah dengan seseorang yang kamu cintai dan mencintaimu? Dikarunia putra dan putri yang menggemaskan dan...