My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Bucin Detected

241K 15.3K 4.5K
By Desisetia

Kalo lagi bener mah Sashi kalem banget yak, kayak foto di mulmed atas. Padahal aslinya mah...
Dudududuuuu

Happy reading
.
.

Matahari sudah nggak malu lagi menampakkan wujudnya. Cahayanya masuk melalui celah jendela. FYI, saat aku bangun tidur, tangan Sugus melingkar erat di pinggangku dan menjadikan tubuhku bantal gulingnya. Tapi ternyata ada yang lebih posesif dari pada itu, yaitu kasur yang nggak memperbolehkan aku beranjak meninggalkannya semenjak selesai shalat Subuh. Dengan bergelung selimut, aku hanya memerhatikan Sugus yang tengah tadarus di sampingku.

Begitu bodohnya aku hingga nggak mengenali suara suami sendiri. Mendengar suara merdunya saat membaca kitab suci Al-quran, betah saja aku kalau seharian di kurung di sini.

Setelah shalat Subuh, aku sempat menghapal setengah lembar Al-quran, dan muraja'ah hapalan yang kemarin, tentunya dengan bantuan Sugus. Tadinya aku ingin langsung kembali bergelung selimut, tapi Sugus bilang kalau ingin menghapal Al-quran, harus konsisten. Walaupun hanya sedikit, hapalanku bertambah hari ini.

Aku melirik jam dinding, hampir pukul setengah delapan pagi dan tepat saat itu Sugus menyudahi tadarusnya. Ia menyimpan Al-quran di atas nakas. Sudut bibirnya tertarik saat ia tahu aku mengamatinya, lantas tangannya terulur mengusap kepalaku.

"Mau sarapan di luar, atau di sini saja?" tanyanya.

Aku merubah posisi dari yang tadinya berbaring, menjadi duduk menyender di kepala ranjang seperti apa yang Sugus lakukan.

"Mager banget, Gus." Satu tanganku melingkar di tubuhnya mencari kehangatan. Sepertinya tengah malam tadi turun hujan, makanya udara begitu dingin. Tapi 'sepertinya' yaa, entahlah, aku nggak begitu memperhatian sekitar. Fokusku hanya tertuju pada suamiku saja.

"Sini cium dulu biar nggak mager." Sugus ingin meraih wajahku namun aku segera membuang muka.

"Nggak mau. Sashi nggak mau keramas lagi, Gus. Dingin," tolakku.

Ia terkekeh. "Saya cuma mau cium, bukan mau berbuat sesuatu yang bikin kamu mandi junub." Astagfirullah. Pakai diperjelas segala. Sontak saja wajahku memanas akibat mengingat kejadian semalam. Benar-benar ya, Sugus.

"Oh ya, sudah paham tata caranya?"

Aku mengangguk, "Sudah."

"Yaaah." Terdengar suara helaan napas kecewa. Sepertinya aku tahu nih modus-modusnya Sugus. Ia berharap aku belum paham dengan tata cara mandi wajib, agar selalu bisa membersihkan diri bersama setelah kami melakukannya.

Aku cubit perutnya yang liat. "Modus!"

"Itu bukan modus, Sayang. Itu sunah. Sayyidatina Aisyah Radiyallahu Anha berkata, "Aku mandi bersama Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam dari satu tempayan, dan kami sama-sama mengambil air dari tempayan tersebut." -HR. muslim- Kemudian ia melanjutkan, "Faedahnya seperti kita ini, apabila sang istri belum bisa melakukan tata cara mandi janabah, maka suami yang mengajarkannya."

"Sashi kan belajar Safinatun Najah nya belum sampai situ."

"Makanya saya yang ajarkan. Anggap saja kamu learning by doing."

Okay siap. Nanti saat belajar Safinatun Najah dan Qurrotul Uyun aku sudah expert karena telah dipraktikkan langsung.

Masya Allah begitu sempurnanya Islam, sampai hal-hal paling rahasia sekalipun sudah diatur sedemikian indahnya.

"Masih sakit?" tanyanya seraya menyampirkan rambutku ke belakang telinga. Lagi, wajahku memanas ditanya seperti itu. Aku menunduk sambil mengangguk, menggigit bibir karena terlalu malu.

"Sedikit, Gus," jawabku lirih. Aku hanya merasa nggak nyaman di bagian paling rahasia.

"Maaf." Entah sudah berapa kali aku mendengar kata itu keluar dari bibirnya. Padahal sudah aku jelaskan, kalau aku nggak masalah karena menurut artikel yang aku baca semalam memang seperti itu.

"Nggak apa-apa, Gus."

Sugus mendekatkan wajahnya ke telingaku, lantas ia berbisik, "Terima kasih menjadikan saya yang pertama."

*****

Aku mematut diri di depan cermin meja rias. Jilbab ungu yang kemarin aku beli dengan Sugus sudah terpasang sempurna. Selanjutnya aku ingin mencoba memakai liptint, karena setelah ini Sugus ingin mengajakku keliling. Aku nggak mau Sugus terlihat sedang jalan dengan mayat hidup karena bibirku yang pucat.

Aku membuka tutup liptintnya, kemudian menguar bau wangi permen Sugus. Kali ini permen Sugus benaran ya, bukan Sugus suamiku itu. Segera aku aplikasikan liptint itu ke seluruh bibirku.

Warnanya sangat bagus, membuat kulitku terlihat lebih cerah.

"Cantik banget, sih."

Hampir saja aku terlonjak kaget saat tiba-tiba Sugus berada tepat di belakangku. Padahal tadi ia masih ada di kamar mandi.

"Gus ngagetin Sashi aja, deh."

Kalau diperhatikan baju kita matching juga karena sama-sama berwarna hitam. Hari ini Sugus memakai kaos polos dengan tampilan kasual. Bener nggak sih, kalau cowok pakai baju hitam ketampanannya semakin meningkat? Apa aku saja yang merasa seperti itu saat melihat Sugus hari ini?

"Sudah siap?" tanyanya. "Kang Amri sudah di depan tuh."

"Kang Amri?"

"Yang akan mengantar kita keliling tempat ini. Dia teman kecil saya, sekaligus sudah saya anggap sebagai kakak sendiri."

Aku ber-O ria seraya mengangguk mengerti. Setelahnya kami keluar dari villa ini. Dan benar saja, laki-laki yang aku taksir berusia 30 tahun sudah menunggu di depan pintu. Ia tersenyum melihat kedatangan kami.

"Kang ini Sashi, istri saya." Sugus memperkenalkan aku padanya. Aku menangkup tangan ke dada lantas memasang wajah ramah dan menyebutkan namaku.

"Amri, Ning," ucapnya menyebut namanya sendiri dengan logat Sunda yang kental. "Hayuk atuh ke mobil, saya sudah tidak sabar mengantar pengantin baru ini."

"Kang!" protes Sugus sambil terkekeh. Ia menepuk pundak Kang Amri. Setelah itu diam-diam Sugus meraih tanganku, lantas membawanya dalam genggaman. Sugus juga membantuku saat akan menaiki golf car yang akan mengantarkan kami berkeliling tempat ini.

Kang Amri duduk di depan sebagai pengemudi, sedangkan aku dan Sugus duduk di kursi belakangnya.

"Sewaktu dapat kabar kalian menikah, saya sempat kaget lho," ujar Kang Amri setelah golf car ini mulai berjalan. "Karena Gus baru banget pulang ke Indonesia dari Yaman," lanjutnya lagi.

Biar aku tebak, pasti Sugus cerita pada Kang Amri mengenai pernikahan kami. Oh iya, mereka kan teman dekat, pasti Sugus memberitahunya.

"Satu hari saya di Indonesia kami menikah, Kang." Sugus menanggapi.

"Maaf ya Ning saya nggak bisa datang, waktu itu pekerjaan banyak sekali," ujarnya lagi terdengar sendu.

"Iya Kang nggak apa-apa." Kali ini aku yang bersuara. "Lagi pula kami menikah juga mendadak sekali. Yang penting nanti resepsinya datang ya, Kang." Saat mengatakan itu aku menoleh ke arah Sugus, dan ia juga melakukan hal yang sama. Sugus tersenyum, ibu jarinya mengusap lembut lenganku.

"Insya Allah, Ning, Insya Allah," ucapnya excited sekali. "Saya teh senang sekaligus kaget aja denger Gus menikah, pasalnya dia nggak pernah cerita lagi ta'aruf sama perempuan mana. Biasanya apa saja diceritakeun sama saya, saat di Yaman pun begitu. Kami intens sekali berkirim email."

Nggak tahu saja Kang Amri ini bagaimana aku bisa menikah dengan Sugus. Karena kecelakaan, cuy. Kalau saja Umi nggak mendapati kami seranjang berdua, pasti nggak akan terjadi.

"Dia nggak pernah curhat urusan perempuan. Padahal mah yang deketin banyak banget, Ning. Dari teman sekolah, teman kuliah, anak pengusaha, anak pemilik pesantren, tapi ya dihempas saja gitu sama Gus satu itu."

Sugus terkekeh mendengar ucapan Kang Amri. Ternyata mereka memang sedekat itu. "Ya gimana, nggak ada yang sreg."

"Terakhir kali Gus cerita soal perempuan kalau nggak salah waktu usianya lima belas tahun. Saya sampai ingat banget, karena itu pertama dan terakhir ia bercerita tentang kaum hawa. Sampai akhirnya Ning Sashi datang."

"Iya kah? Bagaimana ceritanya, Kang?"

"Waktu itu Gus galau, apa yang dia rasakan itu rasa suka seperti laki-laki dan perempuan pada umumnya, atau hanya rasa simpati saja. Pasalnya perempuan yang dia ceritakan itu berusia lima tahun," cerita Kang Amri seraya terkekeh. Tapi hal itu malah mengganjal hatiku. Perempuan yang diceritakan itu berarti cinta pertamanya Sugus saat ia berusia remaja.

Begitulah wanita, kepo mengenai pasangannya, setelah tahu akan kebenarannya malah sakit hati. Lebih baik sejak awal nggak usah bertanya saja.

"Kang saya belum cerita soal itu sama Sashi lho." Sugus melepas genggaman tangannya, entah mengapa aku merasa kehilangan. Tapi detik berikutnya tangan itu melingkar ke pinggangku dan membuat tubuhku semakin dekat dengannya.

Kang Amri juga banyak bercerita soal masa kecilnya dengan Sugus. Ternyata dulunya mereka bertetangga. Kang Amri masuk pesantren tanpa sepeser uang pun, lalu ia mengabdikan dirinya jadi abdi ndalem. Karena Kang Amri ini pintar, makanya oleh Pak Kiyai disekolahkan hingga lulus kuliah, sampai akhirnya jadi orang kepercayaan untuk mengatur bisnis pesantren.

Yang bekerja di tempat ini juga kebanyakan lulusan dari pondok tempat aku menuntut ilmu. Meski ada beberapa yang dari luar, sih. Cerita mereka hampir sama dengan Kang Amri, bedanya hanya Kang Amri itu teman masa kecilnya Sugus.

"Nah kita sudah sampai di kandang sapi," ucap Kang Amri seraya menghentikan golf carnya.

"Mau ke sana?" tanya Sugus dengan lirih.

Aku mengangguk, penasaran bagaimana sapi-sapi itu memproduksi susu.

Akhirnya aku dan Sugus berjalan ke kandang sapi yang di dalamnya ada begitu banyak hewan berkulit putih-hitam itu. Kang Amri mengikuti dari belakang. Beberapa orang yang sedang memerah sapi juga menyapa kami dengan sopan.

Aku dan Sugus berjalan semakin jauh ke dalam. Aku rasa Kang Amri sudah nggak mengikuti kami dari belakang. Kami memilih sapi yang nggak ada pekerja sedang memerah, alias yang kosong.

"Sebelum diperah sapi diberi makan dulu," jelas Sugus mengambil dedaunan. Aku pun ikut melakukan gerakannya.

"Memangnya kenapa, Gus?" tanyaku. Sapi ini lahap sekali memakan makanan dari aku dan Sugus.

"Supaya air susunya banyak." Aku ber-O ria. "Mau coba perah?" Aku mengangguk. Akhirnya kami berjongkok di samping tubuh sapi.

"Maaf ya sapi, kita grepe-grepe kamu," izinku terlebih dahulu.

"Moooo," jawab sapinya. Sugus yang di sampingku terkekeh.

"Perhatikan ya." Sugus mengambil ancang-ancang. "Cara perahnya dari atas ke bawah seperti ini." Ia mulai melakukan gerakan memijit bagian tubuh sapi yang mengeluarkan susu—aku malu menyebutkan namanya ya gengs— Nggak lama, air susu mengalir.

Sekarang aku yang mencoba dengan mengikuti gerakan yang Sugus contohkan. Tapi susu yang keluar nggak sebanyak milik Sugus. Memang butuh teknik khusus kali ya, apalagi aku belum terbiasa.

"Kalau sapi bisa bicara pasti manusia udah dituntut sama sapi, Gus."

"Lho kenapa?"

"Kasihan sapi digrepe-grepe banyak orang."

Sugus tertawa, "Ngaco." Untung saja aku hanya digrepe-grepe suami sendiri.

"Sabar ya, Sapi." Aku mengelus-gelus badannya. Tentunya dijawab dong oleh sapi, dia bilang "Mooo" yang panjang.

"Ih itu apa?" Sugus menunjuk sesuatu di belakangku. Aku yang penasaran menoleh ke arah yang ditunjuknya, tapi nggak ada apa-apa. Ketika posisiku ingin kembali ke awal, tiba-tiba aku rasakan benda lembut milik Sugus menempel di pipiku. Ternyata itu cuma modus saja, supaya ia bisa menciumku.

"Guuus, nanti dilihat orang," protesku. Kan malu kalau sampai ada yang melihat.

"Aman."

"Tetap saja malu. Nanti sapi melihat, terus dia iri. Karena selama ini dia cuma digrepe-grepe tapi nggak pernah dicium."

"Mooooo," kata sapi membenarkan.

"Dari tadi gemes saya sama kamu," ucap Sugus dan selanjutnya aku rasakan kecupan di atas kepalaku.

*****

Selamat membaca.

Kemungkinan ini part terakhir Sashi di bulan Ramadhan. Kita ketemu lagi di Syawal ya temen temen. Supaya aku dan kalian bisa fokus di sepuluh terakhir Ramadhan ini.

Tetep semangat puasanya. Jaga kesehatan juga yaa.

Jangan lupa kasih vote dan komen yang banyak yaa.

Luvvv ❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

92.9K 4.3K 46
⚠️ FOLLOW SEBELUM BACA ⚠️ Ayasha Humaeera Rayzille, seorang gadis berusia delapan belas tahun. Ayasha adalah seorang gadis yang jarang mendapati kasi...
59.3K 2.2K 28
Serpihan cinta Gus Al dan Ning Syafa yang berakhir abadi🌹 Sebuah perjanjian yang membuat dua insan di persatu kan dalam ikatan suci pernikahan, yang...
37.5K 1.7K 26
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
2.5M 294K 68
ZINNIA : CINTA TANPA KOMA Novelnya masih bisa dipesan📌 ≪•◦ ❈ ◦•≫ Fyi: alurnya masih berantakan, yang rapi versi novelnya. Gak maksa kamu buat baca...