Lokapala Season 2 : Pahom Nar...

By JagatnataAdhipramana

16.5K 2.2K 199

"Tora ri Langi" Kata-kata yang dibisikkan entitas misterius kepada Denny itu masih gelap dan tak dapat Denny... More

Cover
Chapter 14 - LANUN
BAB 14.1 : TURNAMEN
BAB 14.2 : TUBARANI
BAB 14.3 : EXPLOIT
BAB 14.4 : MAYAT
BAB 14.5 : Mr. Bi991e
CHAPTER 15 : KARAENG BANING
BAB 15.1 : TIDAK SESUAI RENCANA
BAB 15.2 : ANDI PANGERANG NINGAI RI TAMPARANG (PANGERAN YANG DIKASIHI LAUT)
BAB 15.3 : AMPA RAWALLANGI (DAN TERPANDANG DI BAWAH LANGIT)
BAB 15.4 : KABUR
CHAPTER 16 : TAKEOVER
BAB 16.1 : KEPUTUSAN TETTA
BAB 16.2 : BERAKSI
BAB 16.3 : ORIENTASI
Galeri Ilustrasi
[LOKAPEDIA : CHAPTER 16]
CHAPTER 17 : BATU BERTANGKUP
BAB 17.1 : LELUCON KOSMIK YANG HAKIKI
BAB 17.2 : ORANG HILANG
BAB 17.3 : MENELUSUR MASA LAMPAU
BAB 17.4 : BATU BERTANGKUP
BAB 17.5 : BATU TERBELAH
BAB 17.6 : TELANLAH AKU SAMPAI BATAS KEPALA
[LOKAPEDIA: CHAPTER 17]
Chapter 18 : KODE BURA
BAB 18.1 : DITEMBAK
BAB 18.2 : SARIPUTTA
BAB 18.3 : CEMBURU
BAB 18.5 : PACAR GEBETANMU DIKEJAR MONYET BESAR!
BAB 18.6 : AKU MASIH SAYANG KAMU, TAPI AKU NGGAK MAU JADI ORANG KETIGA
Special Chapter 2: Hell Week
BAB 1 : EVAL!
BAB 3 : TEMARAM
BAB 4 : TERCERAI BERAI
BAB 5 : SELAMAT!
[Lokapedia : Special Chapter 2]
Sneak Peek Chapter 19
CHAPTER 19 : LIMAN
BAB 19.1 : IBU SAKIT
BAB 19.2 : MENTHONG
BAB 19.3 : PATAHKAN SIHIRNYA
BAB 19.4 : SAUR SENGGURUH
BAB 19.5 : BALI TARTAR!
Lokapedia Chapter 19
CHAPTER 20 : OURANG MEDAN
Bab 20.1 : Ourang Medan
Bab 20.2 : Stand-Up Comedy
Bab 20.3 : Tondi
Bab 20.4 : Ihutan Naipospos
Bab 20.5 : Perbatasan
Bab 20.6 : Poerba dan Sitanggang
Lokapedia Chapter 20
CHAPTER 21 : HAMAN PARDIDU
Bab 21.1 : Haurisa da Silva
Bab 21.2 : Adeo da Silva
Bab 21.3 : Jasad Yang Terbakar
Bab 21.4 : Haman Pardidu
Bab 21.5 : Pengungkapan
Lokapedia Chapter 21

BAB 2 : HELL WEEK

211 34 0
By JagatnataAdhipramana

Hutan Rimba AJ, 09.00 WITA

Andi terbangun diiringi kercipan burung dan suara tonggeret. Sinar matahari tampak begitu menyengat, kepalanya terasa pusing dan hendak bangun pun rasanya ia tak sanggup. Namun ia kemudian ditarik paksa untuk bangun oleh seseorang.

"Bangun Prajurit!" Andi kenal suara itu, itu suara Panji

"Siap Komandan!" refleks Andi langsung ambil posisi sigap dan memberi hormat.

Lalu pelan-pelan matanya bisa menatap sekelilingnya. Mereka berada di sebuah hutan rimba dengan dipenuhi aneka jenis tanaman dan pohon-pohon berkayu keras. Tampak sebuah jalan setapak yang mulai tidak tampak karena rerumputan di sekitarnya sudah lebat dan ia juga melihat lima anggota Lokapala yang lain tampak berkumpul di bawah sebuah pohon besar. Wajah mereka semua seperti penuh tanda tanya kecuali Panji dan Regina.

"Maaf Komandan, di mana kita sekarang?" tanya Andi pada Panji.

"Duh!" Regina tampak menepuk jidatnya, "Beta kenapa lupa sama aturan dasar? Satu tim harus satu komando satu rasa!"

"Eeeehhhh???" reaksi Sitanggang paling heboh, "Ta-tapi kita kan sudah selesai jalani masa-masa itu?"

"Tapi kita dapat orang baru kan sekarang," sahut Panji sembari menunjuk Andi.

"Eee maaf sekali senior-senior semua, bisa jelaskan kita ini ada di mana dan dalam situasi apa nggak?"

"Prajurit, sudah ko baca itu buku panduan sampai lunas?" tanya Ignas kepada Andi.

"Be-belum Kopral," jawab Andi takut-takut. Ia memang sempat disuruh membaca sebuah buku yang tebalnya hanya 40 halaman sampai habis tapi karena terlalu sibuk disuruh-suruh maka Andi belum sempat membacanya.

"Kita disuruh hell week sekali lagi ya?" sahut Nara.

"Bagi kita ini yang kedua, bagi dia ini yang pertama," ujar Panji sembari menunjuk ke arah Andi., "Andi sudah paham kau soal hell-week?"

Andi menggeleng, "Tidak, apa itu hell week Sersan Mayor?"

Kelima Lokapala itu memandang Si Andi dengan tatapan campuran antara kasihan, sebal, jengkel, dan kecewa.

"Sitanggang, jelaskan ke dia dengan bahasa yang mudah dia mengerti," ujar Regina.

Sitanggang tampak turun dengan malas dari sebuah batu besar yang ia duduki kemudian ia dekati Andi dan berkata, "Prajurit Satu, kau pernah main game RPG kan?"

Andi mengangguk dan Sitanggang melanjutkan, "Nah ini ceritanya level rekan-rekanmu sudah level 20 tapi levelmu masih level 5. Bos di misi berikutnya punya level 30. Kira-kira bagaimana caranya supaya kamu dan rekan-rekanmu nggak mampus waktu lawan itu bos?"

"Saya ikut rekan-rekan saya naikin level!" jawab Andi cepat, sebagai sesama maniak game bahasa Sitanggang tentu saja lebih mudah diterima Andi.

"Nah, sekarang kondisi kita sama Lae! Level Lae terlalu rendah sementara level kita sudah tinggi, tapi Kroda tak akan pilih-pilih lawan, jadi Unit Lima putuskan kita semua harus bantu Lae naik level ... dengan latihan bertahan hidup seminggu di hutan."

"Oooh begitu ... senior-senior bantu saya naik level sementara saya ... eh tunggu ... seminggu?!!!!" Andi terbelalak.

"Yap Lae, seminggu di hutan, beralaskan tikar dan untungnya ada selimut dan makanan. Tapi dari yang aku lihat makanan kita hanya cukup untuk 5 hari saja. Yang artinya untuk 2 hari kita harus cari makan sendiri."

Andi hanya bisa melongo. Seumur hidup belum pernah dia tidur di alam terbuka. Kegiatan pramuka rutin saat SD dan SMP pun dia sering bolos dengan berbagai alasan, apalagi kalau ada perkemahan. Andi jadi ngeri sendiri membayangkan apa saja yang akan menimpanya jika dia sampai tidur di tengah hutan malam-malam apalagi tanpa tenda sebagai peneduh.

"Bawa barangmu Prajurit!" Regina melemparkan sebuah ransel besar ke arah Andi yang langsung membuat Andi oleng karena tas itu berat sekali, mungkin ada 10 kg beratnya.

"Jalan dan ikuti kami! Jangan sampai tertinggal!" begitu Panji memberi perintah.

Andi hanya termenung, ia menangkap kesan bahwa rekan-rekannya ini entah kenapa memendam rasa sebal terhadap dirinya. Tapi ... yah ... memang Andi tidak terlalu dekat dengan mereka. Meski sudah hampir sebulan berkenalan dengan lima anggota Lokapala ini, Andi merasa sangat sulit membaur dengan mereka berlima. Ada semacam jurang pemisah lebar yang dia dan mereka berlima. Meski Ignas dan Panji tampak relatif berusaha mendekati Andi namun mereka berdua kini tampak menaruh rasa sebal yang besar pada Andi.

"Ada masalah kah, Prajurit?" Ignas bertanya pada Andi.

"Eeee tidak-tidak!" Andi lekas cepat-cepat berlari menyusul kelima Lokapala lainnya.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya berhenti di antara rerimbunan pohon mereka akhirnya tiba di sebuah gubuk kecil yang tampak dibangun seadanya dari papan kayu dan rotan. Lantainya tampak sudah reyot dan gubuk itu hanya dapat menampung tiga orang saja. Di dalamnya Panji yang masuk untuk memeriksa isi gubuk itu terlebih dahulu menemukan sebuah karung yang bertuliskan : PERBEKALAN.

Panji kontan saja langsung menarik karung itu keluar gubuk dan Ignas yang kebetulan membawa sebuah pisau lipat langsung berinisiatif membuka tali rafia yang mengikat ujung karung itu dengan simpul mati.

"Sepatu bot!" ujar Ignas ketika melihat isi dari karung itu.

"Ada berapa?" tanya Panji.

"Enam!"

"Bagikan ke semua!"

"Hei Pratu Andi! Ini sepatu pakai!" Ignas langsung melemparkan sepasang sepatu bot ke arah Andi.

Andi menangkap sepatu itu dan mendapati namanya ditulis dengan spidol di salah satu sisi sepatu bot karet itu.

"Segera pakai saja, perjalanan masih jauh dan ini sudah hampir hujan. Jalanan bakal licin di depan sana."

"Kita tidak istirahat dulu Kopral?" tanya Andi pada Sitanggang.

"Karena Lae belum paham aturannya, biar aku beritahu : kita harus keluar dari hutan ini maksimal 7 hari. Jika kita bisa keluar dari hutan ini sebelum itu, maka itu bagus tapi jika kita keluar dari hutan ini lebih dari 7 hari maka kita harus jalani hell week lagi di lain kesempatan. Tak ada yang boleh tertinggal! Kalau ada yang tertinggal satu saja maka kita semua kena hukum dan hell week harus dijalani sekali lagi!"

Wajah Andi kini tampak pucat, dengan takut-takut dia bertanya, "Apa saja medan yang ada di depan kita Kopral?"

"Pastinya medan pegunungan, lembah, sungai, dan mungkin juga danau kecil. Tapi jangan lupa kataku tadi, kita tidak punya makanan untuk tujuh hari dan setiap hell week tidak sama. Kadang ada hell week yang medannya mudah, tapi kadang ada pula yang medannya sulit. Kalau kita beruntung makanan kita akan cukup, tapi jika tidak maka kita mungkin harus berburu."

"Berburu apa?"

"Ignas? Lae lihat hewan apa saja di sini sepanjang jalan tadi?"

"Di sekitar ini belum ada hewan yang bisa kita buru untuk makan Sitanggang, Tapi jika kita masuk makin dalam ke hutan mungkin saja ada."

"Tapi di tengah hutan biasanya cuma ada babi hutan," Regina menimpali, "Dan itu artinya Panji, Sitanggang, dan Andi tidak bisa makan."

"Kita masih bisa tangkap ikan di sungai kan?" Panji memijit-mijit dagunya, tampak cemas.

"Jika hutan rimbanya seperti ini, yang kita temukan dalam hutan paling hanya mata air, Sersan Mayor," sahut Nara, "Tidak akan ada sungai yang cukup besar untuk ikan hidup di sana."

"Ada buah-buahan dan daun yang bisa kita makan kan dalam hutan? Kita bisa makan itu saja," Andi mengajukan usul tapi yang ia dapati malah keheningan.

"Masalahnya .... Pratu Andi ... tidak ada satupun dari kami yang tahu mana buah dan daun yang bisa dimakan," ujar Panji.

"Kami tidak pernah bisa memahami jenis flora di tempat hell week diadakan. Segala peralatan modern seperti ponsel pintar dan kamus digital bahkan komunikator pun tidak diperbolehkan. Kita juga tidak diberi kesempatan mengobservasi tempat ini terlebih dahulu," sambung Regina.

"Lagipula kalau kita orang salah makan daun lalu keracunan maka kita dalam masalah. Di ransel perbekalan kita ini cuma ada ransum makan untuk 5 hari, kompor dan peralatan masak sederhana, tali tambang dan peralatan panjat tebing, pakaian ganti 2 setel. Tak ada obat sama sekali," sambung Ignas.

"Kita juga belum tentu dapat obat di pos berikutnya," ujar Panji, "Nara, kamu gimana? Sudah cukup percaya diri dengan kemampuan mengobat belum?"

"Kita dikirim kemari tanpa bantuan Usana sama sekali dan Usana rekan kita juga sengaja menutup kontak batin dengan kita. Aku tidak berani jamin aku bisa temukan tanaman obat yang cocok kalau ada yang sakit atau keracunan karena pengetahuanku juga masih terbatas," jawab Nara.

"Jangan lupa soal batas waktunya. Kita hanya disuruh jalan ke arah utara sampai bertemu pos akhir. Masalahnya kita belum dapat peta dan kita juga tidak tahu jalan ke utara itu sejauh apa?"

"Tapi kita kan bukan Kopassus atau Denjaka kan? Jadi kita tidak harus jalan ke utara sampai 500 km kan?" timpal Sitanggang.

"Belum tentu sih, kita memang bukan Kopassus atau Kostrad tapi ...," Panji tampak ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan bicaranya, "Pokoknya kita hari ini berjalan ke utara sejauh yang kita bisa. Sekarang kita makan dan minum dahulu, tapi ingat, hemat-hemat minumnya karena belum tentu di depan nanti kita ketemu mata air!"

******

Setelah memanaskan makanan menggunakan kompor surya mini yang ada di tas milik Nara, mereka berenam menyantap ransum milik mereka masing-masing sebelum melanjutkan perjalanan. Kali ini medan yang menyambut mereka lebih menantang. Jika sebelumnya medan hanya berupa hutan rimba dengan jalan setapak yang nyaris lenyap namun relatif datar, sekarang medannya adalah turunan dan tanjakan. Laju mereka berenam mulai melambat karena dua faktor, pertama bawaan yang berat dan tanah pijakan yang gembur mengalasi turunan atau tanjakan yang curam sehingga jika tidak hati-hati melangkah bisa terperosok atau tersungkur atau lebih parah lagi cedera.

"Ignas! Kamu di depan!" Panji memberi perintah pada Ignas untuk naik lebih dulu ke puncak sebuah bukit dan karena Ignas adalah Lokapala dengan fisik paling kuat dan terlatih mendaki medan apapun Ignas langsung sampai di puncak bukit tanpa rintangan yang berarti.

"Andi berikutnya!" Panji kembali memberi perintah.

Andi tampak menuruni dan menaiki medan itu dengan kikuk karena ia tidak terbiasa membawa beban berat sambil beraktivitas fisik tapi Ignas lantas berseru, "Berikan tas ko orang punya, Pratu Andi!"

Andi melepaskan tasnya dan menyerahkan tasnya pada Ignas yang turun sedikit dari puncak bukit sambil membungkuk guna mencegah dirinya jatuh merosot kembali ke dasar lembah. Ignas dengan cepat meraih tas Andi, berlari kembali ke atas lalu kembali ke bawah dan menolong Andi supaya bisa naik. Kemudian sesudah Andi sampai di atas Lokapala yang lain berturut-turut mendaki bukit curam itu dengan bantuan Ignas dan Andi.

"Lanjut?" begitu Ignas bertanya ketika semua rekannya sudah sampai di atas bukit.

"Ya, tentu! Masih utara," ujar Panji setelah memeriksa kompasnya untuk memastikan arah.

"Lebih baik kita cepat, hujan sudah hampir turun!" ujar Nara.

******

Perkiraan Nara tepat sekali. Baru satu jam berjalan, hujan turun dengan lebatnya membasahi bumi. Lantai hutan yang penuh dengan akar pohon dan lumpur itu kini menjadi semakin licin dan sulit untuk dilalui. Andi sudah merasa kepayahan mengikuti rekan-rekannya tapi ia tidak berani bertanya selain pada Sitanggang yang berjalan paling belakang bersama dia.

"Kopral, hujan lebat seperti ini kenapa kita jalan terus?"

"Lae pernah dengar orang berteduh di bawah pohon lalu pohonnya roboh karena angin kencang atau pohonnya tersambar petir nggak?" sahut Sitanggang.

"Tapi medannya berat, Kopral! Jarak pandang kita juga terbatas."

"Berteduh di sini pun tak akan bisa kita lakukan Prajurit," timpal Regina yang berjalan di depan Sitanggang, "Kita tidak punya tenda soalnya!"

"Jadi kita harus bagaimana Sersan?" tanya Andi.

"Terus berjalan sampai kita ketemu tempat berteduh. Hati-hati saja kalau berjalan. Masih untung kita tadi diberi sepatu bot di pos pertama."

Hujan makin lebat menggila dan setelah lama berjalan dalam kondisi berbasah-basah, Nara secara tiba-tiba mencengkeram lengan Panji yang berjalan paling depan.

"Ada apa?" Panji berbisik karena jika sudah melakukan hal itu Nara biasanya merasakan suatu bahaya dan Panji memilih percaya saja pada Nara karena remaja perempuan itu adalah orang paling bisa diandalkan ketika menelusuri hutan rimba.

"Hutannya terlalu sepi," ujar Nara

"Karena hujan mungkin," Ignas menanggapi.

"Bukan Ignas, ada sesuatu yang ganjil di sini. Tidak ada kadal dan tupai sama sekali sejak kita bangun di tempat ini. Bahkan jika hutan ini bukan hutan rimba yang masih perawan sekalipun harusnya selain burung dan serangga ada tupai, atau kadal, atau bajing atau monyet."

"Hujannya juga aneh kupikir-pikir," sahut Sitanggang, "Ini kan masih musim kemarau?"

"Ignas, kamu masih bawa Kómòcánòk?" tanya Panji.

"Tidak, sepertinya diambil dahulu oleh Bapa-Bapa Unit Lima!"

"Tapi kamu masih bisa lempar batu sampai jarak jauh Ignas?"

Ignas tersenyum lebar, "Masih bisa Sersan Mayor!"

"Regina?" Panji kembali memberi perintah dan Regina langsung menimpali, "Ya, aku mengerti!"

Regina langsung menitipkan barangnya kepada Nara lalu memejamkan matanya dan mengkonsentrasikan kekuatan yang dia miliki untuk melakukan satu hal : mendeteksi keberadaan manusia lain selain mereka berenam di hutan rimba ini.

Ada orang di timur kita. Jaraknya kira-kira 400 meter dari tempat kita!" ujar Regina.

Ignas langsung memutar-mutar tangannya lalu mengalirkan kekuatannya ke dalam batu yang ia genggam kemudian batu itu pun melesat bak peluru segera sesudah lepas dari tangan Ignas. Sebentar kemudian terdenngar suara dentuman dari kejauhan yang kemudian diikuti semacam gelombang kejut yang membuat semua dahan pepohonan di rimba itu saling bergesekan seperti digoyang angin ribut bahkan beberapa dahan tampak patah dan beterbangan.

Enam muda-mudi itupun menunggu beberapa saat, mengantisipasi adanya serangan balasan dari orang yang dilempar batu oleh Ignas. Namun hutan rimba tetap hening bahkan beberapa saat kemudian awan mendung yang menggelayut di atas mereka perlahan sirna dan hujan pun reda. 

Continue Reading

You'll Also Like

16K 1.2K 34
bacaa aja
2.7M 224K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...
54.6K 6.1K 131
Sinopsis,   Buku sejarah mengatakan: Dewa Perang Lu Xiyun sangat berbakat dan bertempur dengan tenang dan tegas. Dia memimpin tentara federal untuk m...
127K 10.4K 18
Teresa Cloudia, karena kecelakaan yang merenggut nyawanya, ia masuk ke sebuah novel yang dibacanya. Menjadi seorang tokoh antagonis bukanlah keingi...