[taejin] ZOMBIE.ZIP

By teemaland

22.2K 3.5K 1.5K

Dunia bukan lagi tempat yang aman. Maka seorang ilmuwan yang bertahan, Kim Seokjin, berusaha menemukan cara u... More

Before we start ...
The Beginning
One Chance
Overwhelm
The Wolf
Converse High
Unfortunate Event
Secret Society
Hidden Plan
Familiar Face
Be With You
Explosion
Last Survivor
Be Our Guest
Unmated
Helping Hand
Flounder
Regret
Explain
Vaccine
Grateful
Success
Betrayal
Want
Longing
Dark
Experiment
Plan
Promise
Pleasure
Love
Safe and Sound
Author's Note

Company

962 170 35
By teemaland

Brak! Brak! Brak!

Seokjin membuka mata dengan cepat ketika mendengar ada sesuatu yang melompat-lompat di atap mobilnya. Jantungnya berdegup cepat akibat terbangun tiba-tiba, juga karena khawatir jika kedatangan sesuatu yang berbahaya.

Setelah menaikkan resleting jaket tempur, Seokjin menggamit senapan yang standby di sisinya. Ia keluar mobil dengan hati-hati, membuat membuat suara sesedikit mungkin.

Ckrek

Senapan teracung ke atap mobil dengan gerak cepat. Telunjuk sudah siap menarik pelatuk.

Namun, Seokjin terdiam di sana. Wajah terangkat menampakkan rasa bingung.

Seekor serigala berbulu gradasi antara hitam dan cokelat menatap lurus ke dalam mata Seokjin. Daripada serigala, sebetulnya Seokjin melihat hewan itu seperti anjing Pomeranian yang pernah dimiliki oleh ibunya dulu. Hanya saja hewan di hadapannya ini berukuran lebih besar seperti serigala biasanya dan Seokjin tahu betul dari baunya bahwa hewan kecil itu adalah serigala.

Seekor serigala omega.

Aneh.

Dua alis Seokjin bertautan. Senapannya turun perlahan. Saat Seokjin memiringkan kepala, hewan itu mengikuti. Dua mata berbinar itu menatap Seokjin lamat-lamat.

Tiba-tiba, dia melolong pelan di depan Seokjin satu kali. Lalu turun dari atap mobil untuk berjalan berseliweran di antara kaki Seokjin. Ketika Seokjin mundur untuk menghindar, serigala itu mengikuti. Tampak dari caranya menggerakkan hidungnya, ia mengendus Seokjin.

"Hei, stop!" Seokjin terus mundur tetapi hewan itu tak menyerah membuntuti meski Seokjin berkali-kali mengayunkan kaki seperti ingin menendang.

Hingga Seokjin terpaksa menggunakan suara alfanya, "Berhenti di sana!"

Suara yang disambung geraman itu seketika membekukan sang hewan. Serigala itu memeking pelan. Dua telinga terlipat ke belakang dan kepala menunduk pertanda patuh.

Seokjin menghembuskan nafas pelan. Ia perhatikan bagaimana serigala itu kerap mencuri pandangan namun ditundukkan kembali setiap tahu Seokjin memerhatikan.

Dilihat dari kondisinya, serigala itu tak tampak seperti ancaman. Seokjin pun menurunkan senapan dan berjalan menghampiri.

Serigala itu tersentak, tentu. Namun tak sampai berlari pergi. Ia diam ketakutan di tempat sampai Seokjin berjongkok.

"Maafkan aku yang meninggikan suara. Aku tak bermaksud menggunakan suara itu," ucapnya lembut. Senyuman pelan-pelan terukir di wajah tampannya.

Serigala tersebut masih tidak berani mengangkat pandangan. Namun, ketika sebelah tangan Seokjin terjulur untuk mengusap pucuk kepalanya, serigala tersebut langsung mengejar tangan Seokjin agar terus diusap.

Seokjin tidak bisa untuk tidak mengeluarkan bunyi tawa kecil. Usapan ragu-ragu itu berubah menjadi usapan sungguh-sungguh. Dua tangan Seokjin mengusap pucuk kepala dan daerah lehernya. Terlebih ketika serigala itu melolong ringan sebagai tanda suka. Ekornya menepuk-nepuk tanah, menyalurkan kebahagiaan.

Seokjin tertawa lagi. Manik keemasan serigala itu tampak berbinar-binar. Ketika Seokjin berhenti mengusap, serigala itu memajukan wajahnya untuk mengendus.

"Wow. Hati-hati dengan itu." Seokjin mendorong hewan itu ketika hidung gelapnya sampai di leher. "Meski aku adalah manusia, mengendus leher seseorang adalah hal sensitif," tegurnya dengan senyuman. Seokjin menyentuh hidung serigala itu dengan telunjuk, tidak ingin sampai menyakiti si serigala.

"Lagipula, dari mana kau datang? Dimana pack-mu?" Seokjin bangkit berdiri dan berjalan ke mobil. Serigala itu mengikuti di belakang kakinya.

Seokjin menghela nafas. Mata tertuju pada jam digital di dalam mobil. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi lewat sepuluh menit.

"Sepertinya tidak akan ada yang datang," ia bergumam sambil melihat sekeliling yang sepi. Baru kemudian pintu mobil dibuka.

Seokjin mengangkat pandangan dan serigala kecil barusan sudah duduk manis di kursi penumpang. Tampak senyuman(sepertinya senyuman) di wajahnya.

Kening Seokjin seketika mengerut. "Siapa bilang kau boleh masuk? Keluar."

Mimik bahagia hewan di hadapannya langsung berubah sedih. Dua telinga kembali terlipat ke belakang. Mata menghadap Seokjin dengan tatapan memelas.

Manusia itu langsung memalingkan wajah. "Jangan melihatku seperti itu. Aku akan pergi ke tempat yang sangat jauh dan aku tidak mau bertanggung jawab jika kau terpisah dari pack-mu."

Kali ini serigala itu menjatuhkan dagu ke jok mobil, pertanda ia tidak mau pergi.

"Aku akan pergi ke puncak gunung Taebaek. Itu sangat jauh." Seokjin berusaha meyakinkan.

Namun, reaksi sang serigala yang tampak sumringah setelah Seokjin menyebutkan nama gunung Taebaek bukanlah hal yang Seokjin kira. Ia melolong keras-keras dari dalam mobil. Buru-buru Seokjin membuatnya berhenti.

"Hei, apa yang kau lakukan? Kau bisa membocorkan keberadaan kita pada para zombi itu!"

Bukannya berhenti, serigala itu melolong lagi. Terpaksa, Seokjin gendong serigala itu keluar.

"Dengar, aku tidak bisa--Hei!!"

Setelah menginjak tanah, serigala itu malah melesat masuk ke mobil lagi dan kembali duduk di tempat semula. Senyuman terplester di wajahnya.

Seokjin menatap dengan pasrah. Lalu ia putuskan untuk masuk mobil dan menguncinya.

"Aku akan berangkat dan kau tidak boleh menyesal jika terpisah dengan kelompokmu. Mengerti?"

Serigala itu membalas dengan lolongan, kali ini tidak terlalu keras. Seokjin hanya menggelengkan kepala tak habis pikir. Setelah menyalakan mobil, mereka pun melaju ke jalur atas, mendaki gunung menuju puncak Taebaek.


***


Sulit untuk mendaki ketika serigala di dalam mobil tak bisa diam. Terlebih ketika hewan itu mencakar-cakar jendela, meminta agar dibuka. Tapi Seokjin tidak memberi. Ia mencoba fokus untuk menyetir di curamnya tebing dan gelapnya hutan.

Tentu, Seokjin melihat beberapa satwa liar yang hidup di hutan. Namun, ia memang tidak bertemu dengan siapapun lagi. Gunung itu seolah tersegel. Meskipun tampak aman untuk penelitian, Seokjin tak bisa untuk tidak curiga pada keadaan. Suasananya begitu sepi.

Dua jam berlalu dan Seokjin sudah bisa melihat bagaimana mobilnya sudah mendaki hampir ke puncak. Namun, wajahnya pucat pasi saat melihat ada asap.

Asap hitam mengepul dari balik pepohonan, mirip seperti asap api unggun.

"Manusia?" ia berbisik.

Seokjin putuskan untuk tidak menyetir lebih lanjut. Ia tahu ia sudah sedikit lagi menuju puncak jadi tidak akan masalah jika ia berjalan kaki dari sana. Saat mobil berhenti, serigala di sampingnya melolong keras.

"Hei, hei, hei! Diam!" Seokjin menutup paksa mulut serigala itu dengan panik. Meski ia di dalam mobil dan lolongan serigala itu pasti tidak akan begitu terdengar, Seokjin tetap waspada.

"Jangan melolong seenaknya!" Seokjin mengeja tiap kata dengan marah. "Aku tahu kalian melolong untuk berkomunikasi. Tapi untuk sekarang, bukan waktu yang tepat!"

Serigala itu langsung menunduk tanda bersalah. Tanpa memedulikan hewan itu, Seokjin keluar dengan senapannya. Serigala itu langsung mengikuti meski Seokjin tidak minta. Ingin dimarahi lagi pun Seokjin sudah lelah. Ia juga tidak bisa membuat banyak suara.

Senapan terangkat. Seokjin berjalan melewati pohon-pohon menuju tebing puncak yang curam. Namun, kabut misterius tiba-tiba menghalangi pandangan.

Sesuatu jelas ada yang tidak beres.

Seokjin sudah sangat siap. Ia waspada akan sekelilingnya. Ia perhatikan tiap suara, tiap desau yang muncul memenuhi telinganya.

Di belakang masih membuntuti adalah serigala itu. Meski Seokjin melangkah berhati-hati, serigala itu malah berjalan dengan riang hingga melewati Seokjin. Seolah ia pergi tanpa beban dan tahu kemana jalan yang harus diambil.

"Hei, kau! Kembali!" Seokjin setengah berteriak. Namun, serigala itu tidak melihat ke belakang. Ekornya hilang tertelan kabut.

"Sial," Seokjin mengumpat. Ia terus berjalan ke depan. Ini bukan daerah yang ia kenal sehingga Seokjin tak bisa menahan getaran kakinya.

Hingga ia sampai di ujung hutan, kabut menghilang secara perlahan. Pelan-pelan, pemandangan di belakang kabut pun terungkap.

Seokjin langsung membulatkan matanya. Senapan otomatis turun. Pemandangan di hadapannya betul-betul membuat Seokjin menganga.

Sebuah pemukiman. Ada sebuah desa di sana. Dan di sana penuh dengan... manusia.

Seokjin sampai harus berkedip berkali-kali. Rumah-rumah dari kayu berderet rapi. Manusia-manusia di sana terlihat sehat dan waras. Kehidupan yang aman, damai, dan tentram. Seolah tak pernah ada ancaman dalam hidup mereka.

Mungkin secara sekilas, desa itu terlihat normal. Namun, memang tak bisa dipungkiri bahwa desa itu berbeda dari desa biasanya. Di sana tidak ada perempuan maupun anak-anak kecil. Setidaknya itulah yang Seokjin lihat. Yang ada hanyalah pria-pria muda dengan kisaran umur seperti Seokjin yang sedang berjibaku melakukan kegiatan rutinitas harian seperti beternak dan mencuci baju.

Meski begitu, Seokjin tak bisa untuk tidak merasa emosional. Selama tiga tahun, tiga tahun, Seokjin tak pernah bertemu dengan manusia manapun selain manusia yang telah terinfeksi virus. Selama ini ia hidup dalam kesendirian, mengabdi untuk negara dan meninggalkan semua keluarganya untuk meneliti. Ia bahkan tidak tahu apakah keluarganya masih hidup atau tidak.

Terpana dengan pandangan di hadapannya, Seokjin tak perhatikan ketika serigala barusan berlari kencang menuju mulut desa dan bertemu dengan seseorang di sana.

"Tae!" panggil pria yang dihampiri oleh si serigala.

Pria yang tidak terlalu tinggi, rambut keemasan, dan bibir tebal. Kulitnya putih bersih dan terawat. Benar-benar berbeda dengan manusia-manusia zombi yang ia temui di kota. Dari wangi tubuhnya, Seokjin tahu bahwa dia adalah seorang Omega.

Namun, memang sedikit aneh karena hawa Omega yang pria itu keluarkan seperti sejenis dengan Omega yang si serigala punya.

Serigala itu melompat ke arah pria tersebut hingga jatuh ke tanah. Hewan itu menjilati wajahnya dengan semangat, membuat si pria tertawa geli. Seokjin memerhatikan sambil mendekat pelan-pelan.

Hingga matanya bertemu dengan pria itu.

Senyum di wajah pria itu seketika lenyap. Ia berdiri dengan sigap. Wajahnya sulit diartikan. Mungkin campuran antara terkejut dan... ketakutan.

"Halo?" pria itu menyapanya lebih dulu. Suaranya sumbang seketika. Mungkin efek terkejut. Tapi pria itu ikut mendekat pelan-pelan.

Serigala yang dipanggil Tae barusan berlari ke arah Seokjin, melompat-lompat kecil di dekat kakinya dan menggesekkan kulitnya ke celana Seokjin. Seokjin hampir menendang si serigala jika tak ingat bahwa ada manusia di depannya.

"Hai," Seokjin balas menyapa. Tak disangka bahwa ada getaran dalam suaranya. Sejujurnya, Seokjin merasa gugup. Ia benar-benar sudah lupa bagaimana rasanya bicara dengan manusia.

"Apakah kau..." pria di hadapannya menyipitkan mata. "Apakah kau dari bawah?"

Mungkin maksud 'dari bawah' adalah dari bawah gunung. Seokjin langsung menjawab, "Iya."

Pria itu terkesiap. Mata membulat besar dan mulut ditutup dengan sebelah tangan. Ia terkejut. "Oh, astaga. Bagaimana bisa kau sampai di sini?"

"Aku... aku ke sini menggunakan mobil. Mobilku diparkir tak jauh dari sini," jawab Seokjin.

"Oh, astaga." pria di hadapannya menyibakkan poni. Nampaknya ia masih tidak percaya. Sebetulnya Seokjin juga merasakan hal yang sama, tetapi ia tidak begitu menunjukkan.

"Apakah... apakah kau salah satu orang yang selamat? Berapa lama kau di sana? Apakah kau membawa teman?"

Seokjin tersenyum kecil. "Aku bertahan di kota selama tiga tahun. Aku... aku adalah ilmuwan yang ditugaskan untuk mencari vaksin. Tapi aku kehabisan pilihan, jadi aku berniat memindahkan laboratorium ke atas sini. Aku... aku pun terkejut ternyata masih ada yang..." Seokjin menunjuk keseluruhan desa. "... selamat."

"Oh, ya ampun. Kau sendirian?"

Seokjin mengangguk sebagai jawaban. "Tapi aku menemukan... Tae ini di bawah. Jadi aku tidak begitu kesepian." ia tersenyum, mengusap pucuk kepala sang serigala dan membuatnya mendengkur bahagia.

"Oh, namanya Kim Taehyung." pria itu memperkenalkan. "Dia memang sering bermain ke bawah yang merupakan tempat terlarang bagi kami." pria itu memicingkan mata pada si serigala, membuat hewan itu memalingkan wajah karena merasa dimarahi. "Tapi aku senang jika dia bisa membawa teman baru ke sini. Beruntung jika tidak ada apapun yang terjadi padamu."

Senyumnya kembali. Seokjin membalas senyumnya dengan kikuk. Sebelah tangan yang memegang senapan mendadak berkeringat. Ia tak mempertanyakan mengapa serigala itu punya nama keluarga karena itu bukan hal terpenting sekarang.

"Namaku Park Jimin. Senang bertemu denganmu." Pria itu memperkenalkan dirinya sendiri, sebelah tangan terjulur untuk bersalaman.

"Kim Seokjin." Seokjin menerima tangannya. Perasaan hangat menghamburi dadanya. Ia lupa rasanya bersentuhan dengan manusia lain. Dan sekarang ia merasakan, rasanya menyenangkan.

"Alfa?" Jimin menyunggingkan senyum kecil.

"Ya," jawab Seokjin malu-malu.

"Kau disambut dengan hangat di sini, Kim Seokjin-ssi. Lebih baik kita pergi bertemu dengan pimpinan pack sekarang. Mereka harus tahu tentang kedatanganmu."

"Ah, oke. Terima kasih."

Ketika jabatan tangan keduanya lepas, rasa kulit Jimin di tangannya membekas. Ia tak dapat menahan senyuman haru. Ia bersyukur masih banyak orang-orang yang selamat.

Ia pun mengekor Jimin memasuki desa. Serigala yang bernama Taehyung barusan juga ikut. Sambil berjalan, Seokjin merasakan tatapan-tatapan masyarakat desa padanya. Seokjin membalas tatapan mereka sambil memerhatikan sekitar. Desa mereka sederhana, tetapi Seokjin tahu bahwa mereka adalah penduduk yang bahagia. Seokjin betul-betul penasaran bagaimana bisa mereka melewati wabah di sini.

Ia juga melihat banyak serigala di sana. Seokjin menaikkan alis. Mungkin serigala merupakan hewan sakral atau hewan yang mereka pelihara di rumah. Namun, jumlahnya memang terlalu banyak untuk sekadar peliharaan. Seokjin penasaran, tetapi tidak begitu ingin tahu.

Ketika tatapannya tertuju ke depan, matanya otomatis memicing ke arah leher Jimin yang berjalan di depan. Seokjin tidak mau menjadi orang skeptis pada orang baik, tetapi nampaknya ia melihat ada tato aneh di sana.

Selain mating bite mark, di sana terdapat seperti sebuah angka. Namun, Seokjin tak bisa membaca jelas angka itu karena sedikit tersembunyi di balik pakaiannya.

Seokjin pun memilih untuk diam dan terus mengikuti Jimin menuju sebuah bangunan yang tampak seperti balai desa. Mereka masuk ke dalam menuju ruangan yang tertutup dan Jimin membuka pintu tanpa mengetuk.

"Namjoon," Jimin memanggil.

Di dalam ruangan, ada dua orang laki-laki alfa yang duduk di sebuah meja sidang. Seorang bertubuh jangkung, lesung pipi yang dalam, dan tubuh kekar. Satu orang lagi bertubuh lebih ramping, tetapi hawa alfa yang ia keluarkan sangatlah dominan. Hidungnya mancung dan tulang pipi tinggi. Kesimpulan yang Seokjin dapatkan adalah dua orang alfa itu sangatlah tampan.

Keduanya berdiri saat bertemu tatap dengan Seokjin. Jelas sekali mereka tahu bahwa Seokjin bukan berasal dari sana. Seokjin menelan ludah. Mungkin gen alfa Seokjin memanglah kuat dan perkasa, tetapi menghadapi dua orang alfa yang juga dominan bukanlah hal yang Seokjin suka.

"Siapa ini?" tanya alfa yang lebih jangkung. Matanya memicing. Dari baunya, sepertinya dia adalah pimpinan pack yang Jimin sebut barusan. Dari tubuh Jimin juga menguar bau yang sama.

"Orang dari bawah. Seorang ilmuwan. Dia bilang kondisi di bawah sudah tidak baik sehingga dia naik ke sini. Dia bertahan selama tiga tahun."

"No shit," sahut alfa yang lebih ramping. Dua tangan terlipat dan mata membulat lebar. "Benarkah?"

"Ya, begitulah." Seokjin tersenyum kecil. Senapannya ditunjukkan.

"Siapa namamu, Alfa?" tanya pria yang lebih jangkung barusan.

"Kim Seokjin," jawab Seokjin. Pria yang bertanya berjalan lurus sampai berhenti tepat di hadapannya. Seokjin sampai harus menengadah. Pria itu memandang Seokjin dari atas sampai bawah.

"Jimin bilang kau adalah ilmuwan. Apakah kau... sedang berusaha mencari obat?"

"Ya," jawab Seokjin tanpa ragu. "Di kota sudah tidak aman dan sumber daya juga terbatas. Aku terpaksa naik."

Pria itu beralih pada alfa di belakang yang masih melipat dua tangannya. Mereka bertukar tatap, seolah sedang berkomunikasi dengan bahasa yang tak dimengerti siapapun. Sampai kemudian pria jangkung itu menatapnya lagi.

"Namaku Kim Namjoon dan dia adalah Jung Hoseok. Kami adalah pimpinan pack di sini," katanya memperkenalkan diri. Seokjin mengangguk-angguk paham walau sebetulnya ia merasa terintimidasi.

"Kau ingin tinggal di sini?" tanyanya.

"Um, aku tidak tahu sebelumnya jika ada desa atau pemukiman di sini sehingga aku belum punya rencana ingin tinggal dimana," jawab Seokjin jujur.

"Kau harus menjadi anggota pack ini, jika ingin."

Seokjin berkedip atas itu. "Apa?"

"Jika ingin tinggal di sini, kau harus menjadi anggota pack. Jika tidak, kami harus mengusirmu, Bung." Hoseok di belakang menjelaskan. Entah mengapa Seokjin merasa tatapan Hoseok padanya tidak begitu ramah.

Seokjin menatap Hoseok, Namjoon, dan Jimin bergantian. Lalu ia berkata, "Aku tidak memaksa, sebetulnya. Aku bisa pergi dari sini, jika kalian tidak suka dengan pendatang."

"Pergi kemana? Seluruh puncak ini adalah tertori kami dan kau jelas-jelas tidak aman di bawah sana." Hoseok bicara lagi. Seokjin bersumpah Hoseok sedang mengintimidasinya. Hawa alfa dominannya menguar, mengganggu indera penciuman Seokjin. Seokjin mengernyit tak suka.

"Kalian memaksaku untuk bergabung? Di hari pertama aku muncul?"

"Itu aturannya. Kami tak bisa sembarangan membiarkan orang lain masuk," jawab Namjoon kemudian. Ia tampak lebih tenang daripada Hoseok.

"Tak.. tak bisakah kalian memberiku waktu? Aku tidak bisa serta merta memberikan diriku untuk kalian. Kita baru bertemu kurang dari sejam yang lalu!"

"Dia benar." Jimin angkat bicara. Dua tangannya terlipat. "Kau tidak bisa memaksanya langsung bergabung sekarang juga. Dia ke sini sebagai seorang ilmuwan, bukan serigala yang butuh induk. Benar, kan?"

Seokjin menelan ludah. "Benar. Aku... aku janji aku bukan ancaman."

Lagi-lagi Namjoon dan Hoseok bertukar pandang. Sepertinya mereka sangat was-was dengan orang baru. Seokjin mengira kasus seperti dirinya nyaris tak pernah terjadi.

Lagipula, pack? Yang Seokjin ketahui tentang nenek moyangnya, pack terakhir ada pada abad 19. Sungguh mengejutkan mengetahui ada sebuah pack yang masih eksis di abad ini.

"Oke," Namjoon beralih pada Seokjin lagi setelah berbincang tanpa suara dengan Hoseok. "Kau boleh tinggal di sini tanpa menjadi pack kami dengan dua syarat."

Seokjin terdiam, mendengarkan.

"Pertama, serahkan semua senjata yang kau punya pada kami. Kau harus buktikan bahwa kau tidak berbahaya jika kau bukan ancaman. Kedua, kau dilarang membawa manusia yang sudah terkontaminasi dari bawah untuk percobaanmu dan tidak bisa pula menggunakan satu pun anggota kami menjadi serigala percobaanmu. Kau harus cari cara lain."

"Aku bisa lakukan itu." Seokjin menaruh senapannya di atas meja. "Sisanya ada di mobilku."

"Bagus. Jimin yang akan membimbingmu selama di sini. Dia sudah ditandai jadi aku tidak akan khawatir membuatnya dekat-dekat dengan seorang alfa." Namjoon tersenyum miring dan memukul bokong Jimin. Yang dipukul memekik seketika. Seokjin langsung melotot.

"Aku juga tidak tertarik. Terima kasih." Seokjin melipat dua tangan di depan dada. Mata menatap galak Namjoon dan Jimin yang tampak sedang saling menggoda. Seokjin betul-betul tidak butuh melihat itu. Sementara Hoseok di belakang sana sudah bisa duduk di kursinya kembali dan tertawa geli.

"Hei. Tidak sopan. Aku omega yang cantik. Aku tersinggung jika kau tidak tertarik." Jimin menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga.

"Lalu apa? Kau ingin aku menerkammu?" Seokjin mengangkat dagu.

"Um, tidak. Aku sudah punya cukup alfa. Ayo, aku tunjukkan dimana kau bisa tinggal!" Jimin melangkah keluar lebih dulu. Seokjin di belakang hanya memutar bola mata dengan malas. Dari baunya, Seokjin sudah tahu Jimin tidak hanya punya satu alfa, tapi dua. Dan dua alfa itu adalah yang ada di dalam ruangan barusan.

Setelah Jimin dan Seokjin pergi, serigala bernama Taehyung hendak mengikuti lagi. Namun, Namjoon bersiul di tempatnya, membuat Taehyung berhenti.

"Tae, jangan terlalu sering berada dalam bentuk itu. Itu bisa membuatmu sakit," tegurnya dengan senyuman simpul.

Serigala itu tidak menoleh maupun menggerakkan telinganya tanda tertarik. Ia hanya diam. Setelah tahu Namjoon takkan berkata apa-apa lagi, ia bergegas pergi dengan empat kaki kecilnya, mengejar Seokjin.


***


To be continued.



Aku sangat mengapresiasi kalo temen2 bisa komentar and tell me what'd you think about this!
Kritik dan saran juga ditunggu, yaa hehe

See u next chapter^^

Continue Reading

You'll Also Like

135K 6.1K 39
Tamat!! Sebelum baca wajib vote, comen, share, dan fallow Seorang wanita yang lelah akan hidupnya didunia yang kejam pada dirinya, tapi malah dipe...
758K 73.1K 32
Yang aku pikir, aku akan berakhir disurga.. Namun kenyataannya, aku terbangun didunia yang aneh.. Yaitu dunia immortal! Nama ku Nayra Oswald, aku seo...
736 116 7
Setelah presentasi, alpha/omega mendapatkan mark bertuliskan nama soulmatenya di tubuh mereka. Nama itu adalah belahan jiwa yg ditakdirkan. Fated mat...
111K 6.7K 34
Cerita tentang Nunung, yang terpaksa menjalani profesi sebagai pemandi mayit, menggantikan mamah mertuanya, Sumini. Berbagai kejadian ganjil ia temui...