Born To Love You [Terbit 28 J...

By IndahHanaco

1.1M 111K 3.3K

Pertemuan dengan Marsha melalui kejadian yang tidak terduga mengubah hidup Vincent ke arah yang tidak terduga... More

Ecletic
Mr. Poker Face
Follow Your Arrow
La La Latch
Breathe
Problem
Let It Go
Just The Way You Are
This Is Me
Yeah!
Glory of Love
Smells Like Teen Spirit
Fallin'
Ice Cream
Here I Go
I Do
You Rock My World
All 4 Love
Complicated Heart
Every Little Thing She Does Is Magic
Maybe I'm Amazed
Vincent
Marry You?
Disturbia
Scars To Your Beautiful
God Gave Me You
Close To Heaven
2 Become 1
A Whole New World
You and I
Love Hurts
Stay with Me

Hymn For The Weekend

38K 4.5K 85
By IndahHanaco

Vincent tak pernah merasa nyaman berbagi hal-hal yang sifatnya pribadi. Termasuk pada kedua adiknya, dengan siapa dia memiliki hubungan terdekat. Jadi, tentu saja permintaan Marsha itu sulit untuk dikabulkan.

Akan tetapi, sebelum menolak pun Vincent tahu bahwa gadis di sebelahnya ini akan mendesaknya hingga menyerah. Karena itu, dia memilih untuk tidak membuang-buang waktu. Namun, sebelumnya dia ingin mencari tahu sesuatu.

"Kenapa kamu berkesimpulan kalau aku ditinggal kawin?"

"Karena tadi Mindy bilang dia bodoh karena mau aja dirayu untuk ninggalin kamu. Apa susahnya ngambil kesimpulan dari kata-katanya?"

Masuk akal. Vincent pun merespons, "Dia ngajak aku nikah empat tahun lalu. Waktu itu, kami udah pacaran dua tahunan. Tapi, aku belum siap secara mental. Aku minta waktu dua atau tiga tahun lagi. Mindy nolak. Menurutnya, aku nggak berani berkomitmen."

"Kamu nggak tau dia selingkuh, ya?" tanya Marsha, blakblakan.

Pria itu mengangkat bahu. "Nggak pernah ada buktinya. Tapi, dia memang nikah nggak lama setelah kami putus. Cuma berjarak beberapa bulan. Itu bikin aku mikirin kemungkinan itu," balasnya jujur.

"Tadi, secara nggak langsung, Mindy sendiri ngaku kalau mereka memang selingkuh." Marsha menarik napas. "Semua yang dimulai dari perselingkuhan, nggak akan bertahan lama. Udah banyak banget contohnya."

"No comment," balas Vincent. "Aku nggak beneran tau situasinya kayak apa."

"Omong-omong, kamu patah hati banget ya, Vin? Makanya belum punya pacar setelah putus sekian lama."

Vincent membantah anggapan itu tanpa pikir dua kali. "Nggak ada yang namanya patah hati. Sedih sih iya, tapi cuma di awal-awal." Lelaki itu menoleh ke kiri, bertukar tatap dengan Marsha yang juga sedang memandangnya. "Soal nggak punya pacar, aku nggak mau maksain diri. Belum ketemu yang pas, mau gimana lagi?"

"Kamu sama Mindy memang nggak pernah ketemu setelah dia nikah?"

"Nggak. Aku bahkan sempat ngira kalau dia nggak tinggal di Bogor lagi," ucap Vincent. Mereka sudah sampai di tempat tujuan. Dia memarkir mobilnya dengan cermat sebelum mematikan mesin.

"Tadi temenku bilang, Mindy meluk kamu sambil nangis. Iya?" tanya Marsha lagi. Gadis ini begitu bersemangat menginterogasi Vincent. Namun, siapa yang bisa menyalahkannya? Yang terjadi di restoran tadi mengundang penasaran dan kesalahpahaman.

"Iya. Dan pas Rendy ngeliat, dia langsung narik Mindy dan memukulku." Vincent membuka pintu mobil. Dia dan Marsha harus menyeberang. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat gang sempit yang harus dilalui Marsha. Kali ini situasinya berbeda dengan saat pertama Vincent ke sini. Ada lampu jalan yang cukup memberi penerangan.

"Kenapa Mindy meluk kamu, Vin?"

Vincent tak segera menjawab. Setelah mereka menyeberang, barulah dia merespons. "Aku pun nggak tau sama sekali. Aku sama kagetnya kayak Rendy. Tapi, laki-laki itu merasa nggak perlu nanya dulu. Tinjunya yang langsung bicara."

Mereka menyusuri gang sempit itu. Vincent berjalan di belakang Marsha. Keduanya sempat berpapasan dengan tiga orang pria yang menyapa gadis itu dengan penuh semangat, lalu bercie-cie saat tahu Vincent adalah teman Marsha. Lelaki itu hanya menjadi penonton saat Marsha membalas godaan itu dengan santai. Gadis ini pandai bergaul.

Saat hampir berbelok ke tempat indekos yang dihuni Marsha, giliran seorang remaja pria yang mencegat mereka. Marsha kembali digoda karena pulang bersama Vincent. Gadis itu merespons dengan tawa geli sembari mengingatkan cowok kurus itu agar segera pulang.

"Kayaknya kamu kenal semua orang ya, Sha," komentar Vincent.

Marsha mendorong pintu pagar setinggi bahunya dengan tangan kanan. "Namanya udah jadi tetangga selama empat tahunan, wajar kalau kenal."

"Sejak tinggal di Bogor, kamu udah kos di sini? Nggak pernah pindah?"

"Nggak. Ngapain pindah kalau udah ketemu tempat yang nyaman?"

Marsha memimpin jalan, mereka melewati halaman sempit dengan paving block. Di depan mereka, ada dua bangunan yang saling berhadapan. Di sebelah kanan, sudah jelas deretan kamar-kamar yang disewakan. Tidak terlihat aktivitas dan deretan kamar kos berlantai dua itu. Hanya ada satu pintu yang terbuka. Letaknya paling dekat dengan gerbang. Sementara bangunan di sebelah kiri, sudah pasti rumah tinggal yang cukup luas. Kemungkinan besar rumah si induk semang.

"Itu ruang tamu khusus untuk anak kos di sini. Kamu tunggu di situ ya, Vin? Biar kuambilin es batu untuk ngompres pipimu." Gadis itu menunjuk ke depan. "Kamu masuk aja, nggak ada siapa-siapa di sana. Kamarku di lantai bawah, selisih tiga kamar dari ruang tamu," beri tahunya.

Vincent menurut. Dia memasuki ruang tamu yang dimaksud Marsha. Dindingnya dicat putih, dilengkapi dengan seperangkat kursi rotan berlapis bantalan empuk yang dimaksudkan untuk kenyamanan. Ada sebuah televisi yang diletakkan di atas meja, diapit oleh dua buah lemari pajangan bermodel identik.

Laki-laki itu duduk di kursi berdudukan tiga. Dia masih belum benar-benar bebas dari kekagetan karena apa yang terjadi di Trend tadi. Tak pernah bersua dengan Mindy selama empat tahun, mendadak situasi menjadi buruk sekaligus memalukan karena perempuan itu bereaksi berlebihan. Vincent tidak tahu alasan Mindy memeluknya dan menangis tersedu-sedu.

Akan tetapi, jika diingat lagi kata-kata perempuan itu yang ditujukan kepada suaminya, Vincent menemukan sedikit petunjuk. Tampaknya, Rendy sering memukul istrinya. Tadi, pria itu sama sekali tidak membuat bantahan saat Mindy menyinggung masalah itu. Jika memang demikian situasinya dan Mindy menyesali pernikahannya, Vincent tak bisa melakukan apa pun. Dia cuma bisa bersimpati kepada mantan kekasihnya.

Pertemuan dengan Mindy memang membuat Vincent harus menerima tinju dari pria pencemburu yang penuh prasangka. Akan tetapi, ada sisi positif yang tak terbantahkan. Vincent sudah melupakan Mindy. Tak ada lagi perasaan apa pun yang memercik saat dia melihat perempuan itu. Bahkan saat Mindy memeluknya. Itu fakta yang melegakan. Kini, Vincent bisa benar-benar yakin bahwa Mindy tak memberi efek jangka panjang karena meninggalkannya.

"Kamu mau nonton TV?" Marsha melewati ambang pintu dengan sebuah baskom berukuran sedang.

"Nggak usah."

Marsha duduk di sebelah kanannya setelah meletakkan baskom yang ternyata berisi es batu di atas meja. Gadis itu membuka lipatan sapu tangan, menaruh beberapa potong es batu di atasnya. "Kompres dulu pipimu," sarannya sembari menyerahkan saputangan pada Vincent.

Lelaki itu menurut. Dia menempelkan saputangan berisi es batu di pipi kanan bagian bawah. Rasa dingin pun segera menusuk kulitnya. Sementara bibir Vincent masih berdenyut nyeri, tapi bukan masalah besar.

"Kamu mau pesan apa, Vin?" Marsha menggulir ponselnya.

"Tiba-tiba kok malah kepengin nasi goreng ya, Sha," ucap Vincent tanpa pikir panjang.

"Di sebelah kosan ada yang jual nasi goreng enak, Vin. Tapi nggak banyak pilihannya. Cuma ada tiga menu. Nasi goreng teri, rendang, dan sayuran."

"Nasi gorengnya pakai rendang?" Alis Vincent terangkat. Dua menu lainnya cukup familier untuknya.

"Bukan daging rendang utuh kayak di restoran padang, sih. Tapi pakai bumbu rendang doang. Kecuali nasi goreng ikan asin, yang lain dikasih suwiran ayam, timun, dan acar. Semua dilengkapi telur mata sapi. Tapi aku biasanya minta telurnya didadar," urai Marsha.

Seketika, perut Vincent terasa kian lapar. Dia pun membuat pilihan tanpa pikir panjang. "Aku mau nyoba nasi goreng rendang. Minumnya es teh manis."

"Oke. Aku milih nasi goreng ikan asin." Gadis itu menggoyangkan ponselnya di depan Vincent. "Aku telepon dulu, biar lebih cepat."

Vincent bersandar di tempat duduknya dengan saputangan berisi es batu menempel di wajah. Ruang tamu itu tergolong sederhana tapi lumayan nyaman. Tidak banyak perabotan di tempat itu. "Tempat ini sepi banget," gumam Vincent setelah Marsha selesai menelepon.

"Orang-orang di sini selalu sibuk pas akhir pekan gini. Ada yang kerja, pacaran, atau balik ke rumah orang tua."

"Jam berapa aku harus pulang?"

"Maksimal jam sebelas."

"Kamu sering pulang ke Bali?" tanya Vincent, ingin tahu. Dia sedikit mengubah posisi tubuh sehingga bisa leluasa bicara sambil menatap Marsha. Gadis itu baru saja meletakkan gawainya di atas meja.

"Jarang. Kecuali ada keperluan mendesak, aku cuma pulang tiap tiga bulanan. Pas libur semester pun aku nggak terlalu lama di sana." Marsha menghadap ke arah Vincent, melipat kakinya di atas kursi. Gadis ini terlihat belia sekaligus ceria. Seakan tak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa menyusahkannya. Tebakan Vincent, mungkin umur mereka berselisih sembilan atau sepuluh tahun. Anehnya, Marsha tetap terasa cocok menjadi temannya.

"Kenapa milih kuliah di Bogor? Kenapa nggak di Jakarta, Jogja, atau Bandung?"

"Karena ketiganya adalah tujuan yang terlalu mainstream." Marsha tertawa kecil. "Becanda, Vin! Aku suka Bogor dan betah di sini. Aku nggak terlalu cocok dengan kehidupan kota besar kayak Jakarta."

Makanan yang mereka pesan akhirnya datang. Aromanya membuat perut Vincent tergelitik. Dia belum pernah menyantap nasi goreng dengan bumbu rendang, makanya lelaki itu penasaran. Ketika mencicipi makanan itu, cita rasanya cukup mengejutkan dalam arti positif. Karena ternyata Vincent menyukai nasi goreng rendang itu.

"Enak?" selidik Marsha.

"He-eh." Vincent menelan makanan yang memenuhi mulutnya. "Punyamu juga kayaknya enak."

"Mau nyobain, Vin?" Marsha mendekatkan piringnya ke arah Vincent.

Lelaki itu mengangkat sendoknya. "Nggak apa-apa?"

"Kalau apa-apa, aku nggak bakalan nawarin," balas Marsha lugas.

Tanpa berpikir dua kali, Vincent mengulurkan sendoknya dan memenuhi benda itu dengan nasi goreng ikan teri. "Ini juga enak banget, Sha," pujinya setelah mengecap rasa makanan yang memenuhi mulutnya.

Marsha tersenyum lebar. "Aku beruntung karena tinggal di dekat warung nasi goreng paling enak sedunia," guraunya. "Kalau mau lagi, ambil aja ya, Vin."

Tawaran itu terdengar janggal jika berasal dari orang lain. Vincent pun takkan pernah menyentuh makanan seseorang yang baru ditemuinya sebanyak tiga kali. Namun, semua itu tak berlaku jika sudah terkait dengan Marsha. Alasannya? Entahlah. Vincent tidak memiliki alasan rasional.

"Eh, tadi kamu bilang kalau memang mau berhenti dari Trend. Berarti, andai tadi aku nggak ke sana, mungkin kita nggak bakalan ketemu lagi, ya?" tanya Vincent tiba-tiba, saat teringat petikan obrolan mereka tadi.

"Belum tentu juga. Mungkin setelah wisuda, aku bakalan mampir ke kantormu. Pamit sebelum balik ke Ubud. Kamu kan pernah nolongin aku," balas Marsha. Mendadak, gadis itu meletakkan piring ke atas pangkuan dan meraih gawainya yang berada di atas meja. "Mumpung ingat, aku minta nomor hapemu ya, Vin. Berapa?"

Vincent melisankan nomor ponselnya tanpa ragu. Marsha mengulangi angka yang disebut lelaki itu sekali lagi, lalu menelepon Vincent. Begitu terdengar nada dering, gadis itu menghentikan panggilan teleponnya.

"Simpan nomorku ya, Vin. Siapa tau suatu hari nanti kamu butuh untuk diselamatkan dari suami yang cemburu," guraunya.

Vincent meletakkan piringnya yang sudah licin ke atas meja. "Aku nggak butuh diselamatkan," bantahnya. Dia meraih gelas berisi es teh manis. Bogor cukup gerah malam itu, minuman yang dipesan Vincent menyegarkan tenggorokannya.

"Nggak usah gengsi gitu, kenapa? Aku nggak masalah kalau jadi penyelamatmu, kok! Biar ada kesibukan." Marsha terkekeh geli. Kini, giliran gadis itu meletakkan piringnya di atas meja. Nasi goreng Marsha sudah habis juga.

Gadis itu kembali menyodorkan saputangan berisi es batu setelah Vincent mengembalikan gelasnya ke atas meja. "Lain kali, jangan biarin ada yang mukul kamu, Vin," ucapnya, terdengar serius. "Cakep-cakep gini kalau jadi bonyok, kan sayang banget."

Vincent tak tahu alasan kenapa wajahnya seakan terbakar karena kata-kata Marsha.


Lagu : Hymn For The Weekend (Coldplay)

Continue Reading

You'll Also Like

242K 15.5K 17
Terkenal sebagai selebgram dengan jutaan pengikut, Lovely Anatasya Gunadhya menerima tawaran menjadi brand ambassador e-commerce nomor 1 di Indonesia...
631K 47.4K 36
Orang-orang bilang kalo Airin beruntung mendapatkan Nino, cowok ganteng dengan aura bad boy itu mampu membius banyak perempuan dengan sekali senyuman...
4.2M 219K 36
[COMPLETE] Sinopsis : Bertemu, berkenalan, saling jatuh cinta kemudian menikah. Klise, tapi manis. Semua mengatakan bahwa pernikahan adalah akhir da...
1.1M 112K 41
[Ambassadors' Pick: July 2022 oleh Wattpad AmbassadorsID] Ava Rayna Tsabita begitu kaget saat manusia es yang beberapa hari ini hanya bisa didengarny...