BEFORE

By Yamyamx

21.6K 21.1K 1.6K

RAMALAN => BEFORE SMA Tarumanegara mendadak digemparkan jeritan histeris! Bagaimana tidak? Sosok Darama P... More

PROLOG
Nomor 2 Kejutan Lanita
Nomor 3 Misi Pendekatan
Nomor 4 Perundingan Panjang
Nomor 5 Pembuangan Lanita
Nomor 6 Kesepakatan Bersama
Nomor 7 Panggilan Penting
Nomor 8 Sapaan Seseorang
Nomor 9 Jejak Kejahatan
Nomor 10 Menuju Konflik
Nomor 11 Pulang Bersama
Nomor 12 Tidak Suka
Nomor 13 Patah Hati
Nomor 14 Rama Bertindak
Nomor 15 Drama Palsu
Nomor 16 Tawuran Sekolah
Nomor 17 Kotak Bergembok
Nomor 18 Ada Kejutan
Nomor 19 Malam-malam
Nomor 20 Kalah Cepat
Nomor 21 Rama dan Zack
Nomor 22 Salah Sasaran
Nomor 23 Akhirnya Bangun
Nomor 24 Reka Ulang
Nomor 25 Perlindungan Ekstra
Nomor 26 Patah Hati Wattpad
Nomor 27 Menyingkirkan Teman
Nomor 28 Kakak Lanita
Nomor 29 Rumah Haidi
Nomor 30 File Yang Berharga
Nomor 31 Rasa Sakit
Nomor 32 Besok Harinya
Nomor 33 Perobohan Aula Belakang
Nomor 34 Berbeda Rasa
Nomor 35 Kepulangan Lanita
Nomor 36 Saksi Rahasia
Nomor 37 Dirundung Satu Sekolah
Nomor 38 Pembagian Kelompok
Nomor 39 Penyerangan Gunawan
Nomor 40 Kepergian Rama
EPILOG

Nomor 1 Kehidupan Rama

2K 1.7K 407
By Yamyamx

Sebuah meja berbahan dasar kayu jati berbentuk bundar tampak dilapisi taplak polos berwarna putih gading. Hiasan lilin diatur berada di tengah-tengah meja dengan menggunakan tempat yang membentuk menara segitiga, dua lilin di bawah dan satu lilin di atas dengan ukuran yang sama yaitu 15 cm.

"Dengar-dengar, ruangan ini mau dipakai keluarga Haidi, ya?" celetuk salah seorang pelayan dengan name tag Sarah.

Teman Sarah yang sedang mengelap piring dengan tisu menyaut, "Iya, si calon anggota dewan itu. Mantan suami Angela."

Sarah nampak tertarik membahas lebih lanjut. "Yang anaknya ganteng itu, kan? Adikku satu sekolah dengan dia lho. Ih, auranya nggak ketolong, gantengnya nggak manusiawi. Namanya kalo nggak salah---"

"Yang kerja tangan, bukan mulut," tegur perempuan paling tua di antara ketiganya. Sontak Sarah dan temannya itu langsung kembali melanjutkan pekerjaan.

Ada tiga perempuan berpakaian hitam merah di ruangan ini. Mereka tengah meletakkan piring berisi makanan lezat di atas meja, terdapat jenis seafood, pasta, olahan daging, sayuran segar serta buah-buahan. Berlanjut penataan peralatan makan berupa; jejeran sendok, garpu, dan pisau disusun di sisi kiri dan kanan piring dengan rapi. Gelas dengan kaki setinggi dua jari diisi air putih.

Penyusunan meja itu dilakukan di sebuah ruangan VVIP yang terdapat di restoran mewah ibukota. Ruangan ini dicat dengan warna coklat tua dengan mengikuti gaya elegan khas Eropa. Lukisan karya Van Gogh terpajang indah di dinding yang langsung menghadap meja. Empat lampu kuning keemasan tersebar di setiap sudut, menciptakan kesan hangat dan elegan. Di tengah ruangan sebuah lampu gantung sedang menjuntai, berada satu setengah meter dari atas meja. Setelah semua penataan meja selesai, ketiga pelayan itu pergi.

Berselang 10 menit kemudian muncul seorang pria dewasa memakai tuxedo berwarna abu-abu. Rambutnya rapi, kerutan di sudut matanya tampak samar, tapi auranya masih tampak seperti pria berkepala tiga. Dari belakang pria tadi, muncullah anak berumur 18 tahun, tinggi badannya mencapai 175 cm, bentuk wajahnya kotak, dan sama sekali tak memiliki sedikit gurat kebahagiaan tentang makan siang hari ini. Dari bentuk hidung dan matanya menurun dari pria berjas abu tadi.

Pintu yang masih terbuka kembali menampilkan perempuan paruh baya  berumur kisaran 38-an, nampak cantik mengenakan gaun berwarna biru gelap selutut berbahan moscrepee. Rambutnya pendek berwarna hitam pekat sebahu bergelombang. Punya wajah tirus dari hasil meng-conceler yang justru menciptakan tulangnya pipi terlihat.

Terakhir masuk adalah seorang laki-laki muda yang memakai earphone sembari bermain ponsel. Bibirnya bergerak-gerak mengikuti lagu yang ia dengar. Kakinya yang panjang langsung mengambil tempat dan duduk duluan di kursi tanpa harus menunggu orang lain mempersilakan. Tidak sopan. Namun, tidak ada yang peduli. Anak lelaki berumur 17 tahun ini punya lesung pipi yang muncul ketika ia sangat gembira, dan itu terjadi sekarang.

"Ayo duduk, Sal." Suara berat dan sedikit serak dari Aldigo Haidi muncul. Pria berumur 44 tahun itu mempersilakan Salsa, yang tengah mengagumi ruangan ini, dengan tersenyum tipis.

"Kamu emang pinter cari ruangan. Aku suka," kata Salsa, wanita karier yang punya segudang talenta di dunia bisnis fashion dan interior. Bibirnya yang diberi polesan lipstik berwarna cherry tersungging ke atas. Bokongnya menduduki kursi di samping sang putra yang tersenyum bahagia karena bermain ponsel.

"Baguslah kamu suka." Helaan napas leganya keluar, hampir saja ia takut kalau seleranya ini ditolak oleh Salsa. Kepalanya sedikit menoleh ke kiri, samping Salsa. "Bagaimana menurut kamu, Zack?"

Merasa terpanggil, lelaki yang dipanggil Zack itu mendongak dari ponsel yang sudah membuat bibirnya tersenyum sejak tadi. Mata lelaki ini mematut ruangan dengan menilai. "Lumayan. Om kayaknya udah hapal banget, tahu lah selera pemuas perempuan."

Hening selama 2 detik. Salsa tiba-tiba tertawa, memukul paha Zack hingga berbunyi karena bertemunya kulit dan kulit, itupun tidak terlalu keras karena Zack memakai celana jeans.

"Zack emang suka becanda. Biasa. Anak baru gede." Mata Salsa melirik pada sang anak kemudian berbisik, "Jaga ucapan kamu."

Zack tampak acuh. "Bilang aja Mama suka sama Om ini karena dia deket sama pangeran Arab. Mama kan suka berlian di sana. Lumayan kan, dapat dia, dapat juga berlian plus onta!"

Salsa kembali tertawa, kini tangannya mencubit paha Zack hingga membuat lelaki itu mengaduh sampai menekuk tubuhnya. Kejadian itu tidak luput dari dua pasang mata di depan mereka. Zack berusaha memindahkan tangan sang ibu dari pahanya. Salsa menatap pria berjas abu itu dengan menyesal. "Maaf ya, Digo. Anak ini belum aku suntik rabies, makanya gini deh," kelakarnya untuk memecah suasana.

Digo hanya mengangguk. "Aku maklum. Setidaknya dia mau mengungkapkan pendapatnya." Matanya melirik ke sisi kiri. "Tidak diam daritadi."

Salsa menolehkan kepalanya pada lelaki 18 tahun yang sejak tadi menyaksikan perbincangan tak bermanfaat itu seraya terus meminum air putih di gelas. Terlihat dari rautnya terbaca bahwa ia bosan dan enggan makan bersama mereka. Untuk itulah, Salsa memulai bicara padanya agar lebih dekat. "Ah iya, aku malah lebih suka loh, sama anak pendiam kayak Rama, malah makin ganteng."

"Dia memang ganteng kayak aku." Digo berucap datar walau nadanya tampak sombong, badannya gelisah membenarkan jas abunya. Salsa tertawa, sudah tua, tapi masih cemburu kalau dibandingkan dengan anak semata wayangnya.

"Ya udah, kita mulai makan aja yuk," ajak Salsa memegang garpu dan sendok. Tersenyum lebar agar acara makan siang ini bisa berhasil untuk mempererat hubungan mereka berempat.

Pertemuan hari ini jelas bukan makan siang biasa. Perempuan bernama Salsa yang telah mendekati keluarga Haidi selama beberapa bulan belakangan mulai gencar untuk makin mendekat. Contohnya saja sering jalan bersama ayahnya keluar kota, sampai suka ikut dalam acara keluarga. Padahal statusnya juga tidak jelas.

Setelah beberapa bulan, Salsa memberanikan diri membawa anaknya hari ini. Makan siang bersama, alasan yang dibuat demi menutupi fakta bahwa sebenarnya akan ada pengumuman. Digo dan Salsa sering terlibat dalam kerjaan, dan tidak mungkin mereka mengadakan ini untuk bisnis. Tidak lain tidak bukan, sepasang insan itu pasti akan mengumumkan sesuatu. Sekarang ataupun nanti.

Ponsel disimpan di atas meja dekat piring, Zack melipat kedua tangan di meja dan tatapan matanya menyelidik ke arah Rama, seperti robot yang tengah memindai objek, serius dan teliti. Salsa dan Digo asik makan dan mengobrol soal cita rasa makanan restoran bintang 5 ini.

"Oh, jadi ini yang bakal jadi saudara tiri aku? Sengak banget mukanya." Zack terkekeh dengan pandangan remeh.

Seketika suasana ruangan itu hening. Salsa dan Digo bergeming. Padahal tidak ada hawa menegangkan yang patut ditakuti, namun nada bicara Zack yang mulai menyalakan api dan perlahan menyodorkan ke sumbu inilah yang membuat khawatir. Perlahan, tapi akan terbakar pada waktunya.

"Mama liat deh mukanya." Zack menunjuk wajah lelaki di depannya dengan tangan turun naik. "Muka-muka kriminal, tukang cari masalah, gonta-ganti pacar, dan bila mungkin gonta-ganti kamar. Ups, ajarannya siapa tuh?"

BRAK!

Salsa dan Digo langsung menoleh pada Rama yang membanting keras kaki gelas di meja. Anak ini memang diam saja sejak tadi, bukan berarti telinganya mati fungsi. Ucapan Zack atas dirinya benar-benar tak beradab.

"Jangan marah," ucap Digo memperingati. "Zack hanya becanda."

Tawa Zack kembali keluar. Salsa mempelototinya untuk diam, tapi anak badung ini masih saja tertawa.

"Aduh, kram perut gue." Lelaki ini duduk tegak lagi. "Om tahu aja aku becanda. Jangan baper dong. Be-can-da."

Rama menuangkan lagi air putih di gelasnya. Salsa sudah kehilangan selera makan karena ingin segera menggantung anaknya di roftoop perusahaannya biar dimakan burung elang kesayangannya.

"Woho..., kakak tiri kok marah." Zack tertawa renyah. "Emang bener apa yang gue bilang?"

Tak ada jawaban. Digo meminum air putih dan berkata, "Sudah. Mari kita lanjut makan dessert saja."

"Benar. Zack pesanin kue ya, biar tambah manis omongannya." Tanggap Salsa dengan senyum lebar agar bisa mencerahkan suasana di ruangan ini.

"Yoi, cupcake krimnya harus banyak ya, Om! Kasih serbuk emas biar mama bisa timbang," seloroh Zack seenak jidat.

"Jangan tanggepin." Salsa cengengesan menatap Digo dengan tangan bergerak mencubit paha anaknya.

Digo mengangguk dan mulai memanggil pelayan lewat intercom.

Diam-diam disela itu, Zack mencondongkan badan ke arah Rama sembari mengusap bekas cubitan maut. "Bokap lo keknya jago ngehibur mama gue. Pengalaman ya, ngehibur cewek lain?"

Mata Rama mulai terangkat, meringsek masuk ke dalam netra Zack yang gelap, tak ada cahaya bahagia. Lelaki itu hampir sama dengan dirinya. Membenci.

"Tutup mulut lo," desis Rama yang menyerupai ancaman.

Zack masih saja tersenyum. Kembali ia berbisik, "Kenapa? Tersinggung kalo gue juga bilang bokap lo penuh sensasi karena kerjanya mendesah sama cewek la---"

Rama meloncat dari kursi dan langsung menghajar Zack. Serangan tiba-tiba itu tak bisa dicegah. Salsa sampai menjauh dengan kaki membeku. Zack dan Rama terjatuh ke lantai. Meja makan berantakan, kursi yang diduduki Zack jatuh. Ruangan penuh kehangatan itu seketika saja hancur berantakan.

Digo membelalakan mata melihat anaknya memukuli Zack dengan membabi buta. Rama memukul berulang kali wajah Zack sembari mengumpat, "Bangsat!"

Zack sampai tak dibiarkan melawan sedikit saja, lelaki itu terkapar di bawah Rama dengan bibir sobek dan hidung berdarah. Inilah yang ia tunggu dan cari. Pertikaian, amarah, kebencian, dan tentunya pembatalan pengumuman. Harusnya Rama bisa tersulut sejak tadi, jadi ia tak akan mengucapkan kata murahan seperti itu dan tentunya menyelamatkan wajah tampannya ini.

"RAMA!" Digo segera menarik Rama menjauh dari Zack. Sekuat tenaga ia mendorong anaknya itu ke sudut ruangan. Sorot matanya menunjukkan kemarahan karena perkelahian harus terjadi di sini. Rama masih saja ingin menyerang lagi dengan menendang kakinya. "Sudah! SUDAH!"

Sedangkan Salsa yang mulai bisa tenang langsung membantu Zack berdiri. Mengusap darah di wajah anaknya.

"Jaga omongan lo!" Tunjuk Rama memperingati karena masih emosi. Dadanya naik turun, keringat bercucuran di kening dan leher sampai kaos hitam yang melapisi tubuhnya mencetak dadanya, juga tak lupa sorot mata tajam yang begitu terbakar.

Zack menoleh pada ibunya yang tak terbaca rautnya itu seperti apa. "Mah, kayaknya kita perlu cari kakak tiri yang agak sopan. Dan juga calon bapak yang bener."

PLAK!

Tamparan kecil menghantam pipi anak itu. Bila omongannya selalu tidak digubris, mungkin tangan yang berbicara. "Diam, Zack!"

Suasana lengang beberapa detik. Rama melepaskan diri dari Digo, menepis tangan pria itu dari lengannya. Perlahan, sorot mata Rama mulai melunak. Ia melihat Zack memegang pipinya sembari menatap Salsa bengis.

"Kamu udah bikin malu, Mamah! Pergi kamu!" Usir Salsa menunjuk pintu, kehabisan kesabaran menghadapi Zack yang tidak ada kapoknya berulah.

"Nah gitu dong, ngusir daritadi. Jadi nggak perlu mukaku bonyok kayak gini." Tanpa merasa bersalah, Zack justru tersenyum bangga. Zack segera merapikan kemejanya yang kusut, mengambil ponselnya di meja lalu keluar dari ruang makan VIP tersebut dengan santai tanpa beban. Lirik lagu kembali dia senandungkan, dia lupa bahwa bibirnya terluka, tapi masih saja bersikap seperti tak ada yang terjadi.

Rama mulai menatap Digo, ayah yang telah ia kenal sejak menatap wajahnya saat tidur. Sosok yang menjaganya sampai sekarang dan membantunya hidup. Dari sekian banyak hari dan lautan manusia, kenapa harus Salsa yang pria itu inginkan dan Zack sebagai anak yang akan menjadi saudaranya kelak. Sungguh mengesalkan. Kalau saja sosok ibu tidak menghilang dari keluarga Haidi, mungkin hari ini tidak ada yang melecehkan ayahnya dan Rama tak akan mengotori tangannya. Namun, Rama telah melakukan itu dan semua karena satu orang.

"Dasar anak nakal! Udah gila kamu!" Digo meluapkan kemarahannya, bukan hanya masalah ini, bahkan masalah lain yang tentunya tentang Rama yang tidak patuh.

"Mending Papa tanya sama wanita ini segila apa anaknya," acuh Rama kesal.

"Rama!"

"Nggak usah nikah lagi." Rama mengucapkan itu dengan tegas. Yang dia lakukan selanjutnya adalah pergi dari ruangan ini, restoran ini, dan rasanya ingin menghilang saja dari bumi. Tanpa ada kata pamit atau alasan.

Salsa mengusap wajah, perlahan tangannya naik ke atas menyapu rambut. Ia melihat Digo yang sama kacaunya. Meja makan itu menjadi saksi bisu bahwa dua keluarga yang hendak bersatu ini tak direstui oleh anak-anak. Penghalang terkuat yang tidak akan mudah dirobohkan.

Sedangkan di luar ruangan VVIP itu, Rama sudah berada di dalam lift, hendak menuju lantai 1 menunggu pintu terbuka dengan rahang menegang. Ia benar-benar menyesal telah hadir di pertemuan ini. Harusnya Rama tak percaya begitu saja kalau Digo akan mempertemukannya dengan sang ibu dengan syarat ikut makan siang.

Betapa bodohnya Rama, sudah berumur 18 tahun, tapi pandai dibohongi. Kena bujuk rayu sedikit, terlena begitu saja. Apalagi ini datangnya dari Digo, ayahnya sendiri, yang telah berkoar sejak dulu kalau suatu saat akan mempertemukannya dengan sang ibu

Pintu lift akhirnya terbuka, Rama keluar dengan begitu cepat karena muak berada di dalam lift sembari mengingat sang ayah. Rasanya ia ingin tidak terlahir dari hubungan intim antara kedua orangtuanya.

Sibuk bertengkar dengan diri sendiri, Rama sampai menabrak bahu seorang perempuan bergaun selutut putih sampai terjatuh. Bukannya menolong atau sekedar meminta maaf, Rama makin menjauh.

Perempuan yang ditabrak itu berdecak keras karena pakaiannya jadi kotor. "Aduh, tuh orang jalan nggak pake mata kaki apa? Woi, kurang ajar banget!"

"Lanita!" Seseorang memanggil.

Kepala Lanita menoleh. Ia tersenyum cerah karena telah menemukan kekasihnya. Kedua kakinya perlahan mengangkat tubuhnya untuk menyapa lelaki tinggi dengan earphone di telinga.

"Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Lanita.

"Habis ada pertemuan keluarga. Biasa, bahas perjodohan."

"Kamu dijodohin?"

"Bukan aku, sayang. Yuk ah, makan!" Tangan Lanita sudah digandeng menuju ke salah satu meja di dekat taman.

***

Menurut kalian nih ya, cerita ini seru gak? Kalo seru aku lanjut kalo gak seru aku lanjoooottt.

RAMA ASTAOGEEE GANTENG PISAN IIIHH:V:)))

Salam Yam

Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.7M 91.5K 54
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
434 141 32
"Tapi nyonya, Tuan sama Nyonya Amora memang masih hidup Nyonya," ucap sang pembantu pelan agar tidak terdengar oleh gadis kecil itu, ia memang juga t...
552 422 18
cover by pinterest ⚠️Follow dulu sebelum membaca Menceritakan tentang dua remaja bernama JIWA dan RAGA. Jiwa adalah anak tunggal, berasal dari kelua...
114K 12.1K 103
Dunia tidak hanya diisi oleh hal-hal buruk. Maka tersenyumlah! Work ini berisi kumpulan kisah lucu islami yang ringan dan penuh hikmah. Dikutip dari...