Kumpulan Cerpen

By MarentinNiagara

102K 6.8K 1.9K

šŸ‘‹šŸ‘‹ Hi haii šŸ‘‹šŸ‘‹ berjumpah lagi kita šŸ’‹šŸ’‹ Bosen sama cerita panjang kek sinetron??? šŸ¤”šŸ¤” Lebih suka nonton f... More

šŸ’ Menantu Idaman Ummi ??
šŸ’ Aku Tikung Kau diSepertiga Malam
šŸ’ Perempuan disarang Penyamun
šŸ’ Cucu untuk Ibu
šŸ’ Semburat Bianglala di Puncak Rembangan
šŸ’ Cinta dan Setir Bundar
šŸ’ The Apple Of My Eyes
šŸ’ Istri Untuk Suamiku
šŸ’ Senja di Atas Kereta
šŸ’ Cintaku dan Duri Ikan
šŸ’ Boneka Cinta dari Arosbaya
šŸ’ Rona Lima Warna
šŸ’ Pembantu Baru Ibu
šŸ’ Keluarga Dokter
šŸ’ Bully
šŸ’ Jodoh Pasti Bertemu
šŸ’ Pasangan Sejiwa
šŸ’ Heal Your Heart
šŸ’ Surgaku, Dunia Akhirat
šŸ’ Pelabuhan Terakhir
šŸ’ Aku Cinta Ibu
šŸ’ I Long For You, Frian Ardiera
šŸ’ Bidadari Terakhir
šŸ’ Sein Kiri Belok Kanan
šŸ’ RESTU
šŸ’ Selamat Datang Cinta
šŸ’ Memantaskan Diri?
šŸ’ Balada Cinta Bangsawan Andi
šŸ’ Mantan TKW (1)
šŸ’ Bianglala Senja
šŸ’ Radio Amatir
šŸ’ Why never be Honest?
šŸ’ Mantan TKW (2)
šŸ’ Maaf, Aku tak Memilihmu
šŸ’ UTANG
Berdamai dengan Masa lalu (1)
Berdamai dengan Masa Lalu (2)
šŸ’ Ndanda, Aku kangen!

šŸ’ Tiba-tiba, Kita?

2.3K 205 36
By MarentinNiagara

a stories by MarentinNiagara

_Dari hujan aku belajar bagaimana caranya menerima qodar, meskipun berkali-kali jatuh namun dia tidak sekalipun mengeluh pada takdirnya._

✏✏

Mencintai itu bukan hanya sekedar ada, merelakan dan menemani. Sama sekali bukan, mencintai itu ibarat sebuah mata pisau. Jika benar kita menggunakannya akan sangat berguna namun jika salah pisau itu bahkan bisa membuat kita terluka dan mengeluarkan darah.

Aku kembali berpikir ulang, haruskah aku melakukannya? Oughhh, mencintai dalam diam. Tidak, tidak aku bahkan tidak menginginkan itu. Cinta itu bukan untuk di pendam tetapi harus diutarakan. Bagaimana mungkin dunia bisa bersinar dengan cinta yang tidak pernah tersampai? Tidak. Aku bukanlah Ali bin Abi Thalib yang dengan bungkamnya setia untuk menelan seluruh cinta untuk Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Hingga akhirnya semesta berpihak kepada mereka yang menyatukan dalam payung kehalalan di bawah kepakan sayap-sayap malaikat.

Allah, aku hanya manusia biasa layaknya Ali bin Abi Thalib. Hanya saja kini aku hanya berteman dengan seluruh hadist yang di tulis sahabat nabi dan tentunya Al Qur'an sebagai pedoman hidupku. Akulah Aly Mihran Ghazzal bin Munir Azhari, bukan sahabat rasullullah langsung tapi bersahabat dengan seluruh teladannya.

Mendapat amanah menjadi seorang pemimpin di perusahaan yang telah menaungiku selama lebih dari 10 tahun aku bekerja di sana. Di rumahpun sejatinya aku juga seorang pemimpin, dunia dan akhiratku bersama perahu yang ku nahkodai yang tersebut dengan nama keluarga.

Keluarga kecilku kini tengah oleng dengan hilangnya seorang penumpang. Ya, penumpang yang menjadi separuh nafasku. Enam bulan yang lalu, Allah mencintainya lebih dari kami mencintainya di dunia ini. Istriku, pre eklamsi menjadi cerita awal hingga akhirnya Izrail menjemputnya dengan penuh cinta. Saat si bungsu masih membutuhkan asinya dan si sulung mulai tumbuh dan menginjak akil balighnya.

Ya, seperti hujan yang tidak mengeluh kepada takdirnya meski berkali-kali jatuh seperti itulah yang kini ingin kulakukan. Membesarkan dua buah hatiku tanpa dia lagi di sisiku. Allah, aku mencintainya dengan segenap jiwaku.

"Bapak, kita tinggal dengan Uti?" suara Kanaya membuyarkan lamunanku.

"Eh, iya Sayang. Sementara kita tinggal dengan Uti." jawabku.

"Lantas sekolah Kakak bagaimana, Pak?" tanyanya sekali lagi.

"Ya pindah di dekat rumah Uti. Sabar ya Nak, Bapak tidak mungkin meninggalkanmu dan Dik Oomar sendiri di rumah sementara Bapak harus bekerja."

"Kakak bisa jagain Adik." jawabnya.

"Lalu kalau Kakak sekolah Adik dengan siapa di rumah?" tanyaku.

"Ada Bi Iyem di rumah."

Kehidupan memang harus berubah 180°, tapi sepertinya sulungku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kehilangan ibunya yang sesungguhnya bukanlah sesuatu hal yang mendadak. Sejak aku kehilangan anak keduaku bersamaan dengan itu pula dokter memvonis pre eklamsi yang berimbas ke fungsi ginjal yang tidak bisa sempurna lagi kerjanya. Itu enam tahun yang lalu, dan entah anugerah atau memang sudah qodarullah, dua setengah tahun yang lalu dia dinyatakan mengandung kembali dan lahirlah Oomar Sharim Maqil.

"Bapak sudah memutuskan kita akan pindah ke rumah Uti dan kalian bersama Uti. Sementara Bapak bekerja."

"Baiklah." ada rasa tidak puas tapi aku tahu anakku pasti akan menurut semua kata-kataku. Allah, aku titipkan seluruh jalan hidup dan cerita kami kepadaMu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti namun yang bisa kita lakukan adalah mengusahakan yang terbaik untuk semua hal.

"Aly, kamu kuat?" suara Ibu yang akan mengiring kepergianku. Semenjak aku menitipkan kedua anakku kepada beliau, setiap akhir pekan aku harus kembali ke kota dimana aku harus mencangkul sawah dan ladangku untuk memperoleh penghidupan kami. Ya, jarak kota tempatku bekerja dengan rumah ibuku tidak kurang dari 190 km. "Inshaallah, Aly nitip anak-anak ya Bu. Maaf seharusnya Aly bisa membahagiakan Ibu, tapi nyatanya kini justru merepotkanmu Bu."

"Tidak ada seorang Ibu yang merasa direpotkan oleh semua anak-anaknya. Kamu harus sehat, kuat, senyummu harus bisa membesarkan hati kedua permata hati Ibu."

"Iya Bu." entahlah, mengapa aku kini menjadi lelaki melow yang seringkali menangis jika mengingat semua jalan hidupku. Meski tidak meraung namun air mata sialan ini selalu saja jatuh disaat yang tidak tepat. Jelas aku tidak ingin terlihat lemah di depan Ibu. Aku tidak ingin membebaninya lagi, cukup dengan menitipkan kedua anakku. Bukan dengan air mata yang akhirnya jatuh setiap kali aku pamit untuk kembali ke kota tempatku bekerja.

"Carilah Ibu untuk mereka Nak."

"Ibu__?" kalimat macam apa itu yang tiba-tiba keluar dari bibir wanita yang telah melahirkanku. Bahkan pusara istriku masih belum kering mengapa Ibu memintaku mencarikan Ibu untuk mereka, itu artinya istri untukku. Tidak, aku belum siap untuk itu. Jatuh cinta, kewajiban dan tanggung jawab baru? Allah, cukup aku dengan takdirku hari ini yang memang harus ku lalui.

"Anak-anakmu butuh figur seorang Ibu. Percayalah kepada Ibumu ini, kamu akan kesulitan menjelaskan kepada mereka seorang diri manakala putrimu lebih nyaman bercerita kepada Ibunya daripada kepada Bapaknya." ucapnya lagi.

"Ada Ibu, apa yang harus aku takutkan?" senyum wanita ini sungguh menyembunyikan ribuan arti yang harus aku pecahkan. "Bukan hanya mereka yang membutuhkan Ibu, tapi kamu juga membutuhkan istri. Anak Ibu ini masih normal bukan? Ibu sangat mengerti kebutuhanmu sebagai seorang lelaki dewasa. Dan itu tidak bisa ibu berikan Aly."

"Astaghfirullah Bu." sumpah, bahkan aku belum berpikir ke sana. Ya, aku lelaki normal selayaknya mereka yang berkebutuhan akan hal itu tapi untuk sekarang aku belum memikirkannya, namun ibuku dengan sangat bijaksana menuntunku untuk tidak hanya egois dengan diriku sendiri namun juga untuk kedua anakku. Allah, malaikat tanpa sayap ini selalu kusebut dengan panggilan Ibu.

Aku lelah, aku pasrah, aku resah bahkan hatiku masih merasa gelisah. Dalam kungkungan doa yang tidak pernah terputus aku meminta restunya untuk melangkah. Apa yang telah Allah siapkan untuk takdirku di masa mendatang, aku pasrahkan dengan segala kerelaan hati.

Berbicara tentang sebuah pekerjaan, tidak akan pernah selesai sebelum kita mengakhiri dan menganggapnya selesai. Sama seperti kini, sebagai seorang supervisor pemasaran selayaknya aku berpindah dari satu kota ke kota yang lain sesuai dengan job desk pekerjaan dan daerah pemasaran di bawah tanggung jawabku.

Aku harus bergerak sedangkan tubuhku masih belum memungkinkan untuk bisa melakukan lebih. Di belakang kemudi ini, kepalaku benar-benar berat dan akhirnya aku mengalah. Pagi ini aku memilih untuk mendatangi sebuah rumah sakit dan meminta seorang dokter untuk memberikan nutrisi atau vitamin yang bisa membuatku fit kembali. Karena tujuh bulan semenjak kepergian almarhumah istriku kondisiku benar-benar drop.

"Kami infus vitamin saja ya Pak? tidak lama, mungkin sekitar dua sampai tiga jam saja. Sekalian Pak Aly beristirahat sementara di IGD."

"Tapi bukan opname kan dokter?"

"Bukan. Hanya infus vitamin saja karena melihat tekanan darah Bapak masih dibawah normal. Itu juga yang menyebabkan Pak Aly merasa lemah dan lesu. Makan makanan yang kaya serat dan tentu cukup istirahat akan membantu memulihkan kondisi Pak Aly dengan segera." ucap dokter setelah menekan lengan kiriku untuk memasukkan jarum infus yang akan menghantarkan vitamin itu bersatu dengan aliran darahku.

Ah, membosankan sekali berbaring di bed IGD selama 3 jam ke depan. Senyumku terbit saat otakku mengingat seorang teman kuliahku yang tinggal di kota ini. Ah mengapa aku bisa melupakan wanita yang dulu sempat menarik simpatiku saat pertama kali kami di kumpulkan di stadion universitas saat maba. Ya Aiza Kirania. Teman yang sangat sulit diajak keluar sekedar minum teh atau menyeduh kopi bersama padahal kami tidak keluar berdua. Teman yang begitu kentara menarik hijab untuk sekedar berbincang dan bergurau bersama.

Entahlah, mengapa temanku satu ini begitu unik dengan ambisinya. Ya, yang ku tahu dia kini sudah menjadi pimpinan di tempat kerjanya. Terlihat sedari kuliah dulu, tidak banyak yang mengenal dia sebagai kalong kampus. Kegiatannya hanya kampus, kelas dan perpustakaan. Apa lagi?

"Aiza___" aku mencoba menghubunginya. Bersyukurlah dia menerimanya dan mengingatku dengan baik. Dua tahun yang lalu aku terakhir bertemu dengannya dan begitulah dia sibuk dengan pekerjaannya dan menemuiku di sela-sela dia harus membimbing anak buahnya.

"Aly, what's up?" jawabnya di seberang telepon.

"Memangnya kalau ada apa-apa saja aku nelpon kamu."

"Ah, bisa saja. Hei apa kabarmu? maaf untuk mendengar berita itu, sabar ya Al. Aku nggak bisa bicara banyak karena aku tahu semua pasti sulit untukmu__" suaranya begitu jelas terdengar di telingaku hingga aku memotong bicaranya sebelum dia berhasil menyelesaikannya. "Ya, itu sangat sulit untukku dan kini aku harus berbaring di IGD untuk menghabiskan infus satu ampul."

"Subhanallah, IGD lalu kamu___?"

"Hei, mengapa kamu terdengar seperti orang yang sedang khawatir seperti itu?" tanyaku. Menggelikan sekali mendengar suaranya yang sedikit khawatir saat aku menyebutkan IGD dan infus, rasanya aku pengen tertawa jika mengingat wajah seriusnya mengkhawatirkan keadaanku.

"Aku, hei aku__aku hanya merasa kamu sendirian disana. Lalu apa untuk opname?" nahkan, suaranya terdengar tergagap. Aku semakin ingin tertawa.

"Iya aku sendiri, memangnya kamu mau menemaniku di sini?"

"Aly__"

"Ya__? aku."

"Aduh semoga lekas sembuh deh Al. Maaf aku nggak bisa ke sana, masih ada urusan sedikit."

"Kerjaan?" tanyaku. Ah mengapa aku menjadi kepo seperti ini.

"Emmm, bukan, bukan tentang kerjaan. Aku sudah resign setahun yang lalu." jawabnya yang membuatku terkejut. Seorang Aiza resign dari pekerjaan yang membuatnya begitu membanggakan?

"Resign?"

"Yes, I'm. Sorry yah hari ini aku nggak bisa."

"Oke, aku bisa ngerti kamu dimana memangnya sekarang?" entahlah ada apa denganku, sekali lagi aku menanyakan keberadaannya kini.

"Ya lagi ada urusan sedikit. Ok deh Al, aku tutup dulu ya? Kapan-kapan kita sambung lagi. Kamu jangan capek-capek, semangat untuk sembuh. Nanti kalau semisal urusanku sudah selesai dan kamu masih disana aku temui kamu deh. Maaf banget ya." ucapnya sebelum dia benar-benar memutuskan untuk mengakhiri panggilanku.

Ya, wanita energik itu masih sama seperti dulu. Meski sedikit kaget mengapa dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya.

Gawaiku bergetar sesaat setelah Aiza menutup panggilanku. Sebuah pesan singkat yang membuat mataku membulat sempurna. Sepertinya Aiza salah mengirimkan pesan kepadaku hingga aku sedikit berpikir apa maksud pesan yang salah terkirim ini.

Aiza Kirania
Mohon maaf Pak Ismail saya sudah di loket pendaftaran gugatan. Bisa menemui disini saja, karena saya tidak ingin menghadiri sidang mediasi supaya semuanya bisa berjalan cepat.

Gugatan dan mediasi? mengapa otakku terhubung dengan kalimat 'perkara halal namun tidak disukai oleh Allah.' Mengapa?

Tak lama kemudian Aiza menarik pesan yang telah terlanjur ku baca. Astaghfirullah, ada apa dengan temanku satu ini. Mengapa ini begitu mengejutkanku? Pertama resign, kedua pendaftaran gugatan, ketiga sidang mediasi. Allah, rencana apalagi ini?

Tanganku tidak lagi bisa terhenti. Nomor terakhir keluar dalam gawainya membuatku berniat untuk menekannya sekali lagi. Persetan dengan kesibukannya, aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang aku pikirkan salah.

"Hallo Ai" suaraku setelah panggilan kami tersambung. Tidak ada suara lagi setelah dia mengucapkan satu kata maaf. Hanya suara isak tangis yang begitu menyayat hatiku, sungguh teman kuliahku itu kini sedang menangis pilu di ujung gawainya dan aku, apa yang bisa ku lakukan selain mendengar isakannya. Allah, sekali lagi aku baru menyadari bahwa air mata itu bukan hanya aku sendiri yang memiliki.

"Kamu kenapa?" hanya gelengan kepalanya yang kulihat sambil kedua tangannya saling memegang. Aku tahu ada resah di dalam hatinya. Bergelung di pemasaran membuatku sedikit bisa membaca bahasa tubuh orang-orang yang kutemui, termasuk dengan wanita yang kini duduk di depanku.

"Apa yang bisa kubantu?"

"Tidak terimakasih."

Haruskah aku memaksa? dia bukan siapa-siapaku. Tapi mengapa hati kecilku ingin sekali membantunya? Ingin sekali mengentaskannya dari kesulitan dan kegelisahan yang entahlah begitu nampak di raut mukanya yang kini telah bersimbah dengan air mata. Sedalam apakah luka yang telah menggores hatinya hingga membuatnya terpuruk seperti ini?

"Andai aku bisa menyentuh dan memelukmu pasti sudah kulakukan dari tadi. Sayangnya aku tidak bisa dan itu tidak mungkin. Ceritakanlah mungkin akan sedikit mengurangi beban di hatimu." ucapku.

"Tidak, aku masih punya Allah untuk bercerita."

Saat tersulitpun dia masih bungkam menutup kesedihannya. Inikah jawaban do'a yang telah dilangitkan seorang Ibu?

Aku? tentu saja menemui seseorang yang bernama Ismail di pengadilan agama yang mungkin bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaanku. Tidak lama, aku mendapatkannya meski itu bukan dari bibir Ismail karena aku sangat paham bagaimana kode etik profesinya.

Disinilah aku sekarang, pengadilan agama untuk mengikuti sidang perceraian teman kuliahku. Dia bukan siapa-siapaku tapi seolah aku berada dalam lingkungan yang mengharuskanku ada di sana. Tidak ada perdebatan harta gono gini atau hak asuh anak.

Aku tahu mereka belum dikaruniai seorang anak diantara keduanya. Namun tentang gono gini? ah lagi lagi aku tercengang ketika pengacara yang bernama Ismail itu berbicara mewakili temanku yang saat ini tidak menghadiri sidang putusan ini. Hanya ingin semuanya cepat selesai.

Ya, beberapa kali dulu aku melihat rumah mewah dan juga kendaraan bahkan mobil sport yang diposting temanku itu di laman sosmednya. Mengapa itu tidak dimasukkan ke dalam gugatan?

Lebih mencengangkan lagi perpisahan mereka terjadi hanya karena masalah keturunan. Allahu Robbi, rezeki itu merupakan amanah yang terkadang bisa menguras air mata di sidang seperti ini. Lunglai kakiku melangkah, mendengarkan putusan. Bahkan aku telah bicara dengan Pak Ismail, biarkan aku yang menyelesaikan segala urusan finansial dengannya. Aiza, biarlah dia mengobati luka hatinya dengan caranya. Aku yakin dia wanita mandiri yang cukup tangguh. Pun dengan problem solving, yang aku yakin dia mampu untuk mengurai segala kepenatan yang ada di dalam hatinya.

Dan semenjak itu, aku tidak lagi menampakkan batang hidungku dihadapannya. Cukup, ku ketahui bahwa dia kini telah sendiri. Dan aku? aku harus terbang ke luar pulau jawa karena pekerjaanku memanggil disana. Surat mutasiku telah turun dan secepatnya aku harus menapakkan kakiku di pulau komodo.

Tiga bulan berlalu, kepulanganku ini memang rutin kulakukan. Selain karena ingin sekali memeluk dua malaikat kecilku aku harus menghadiri meeting yang dilaksanakan di ibukota provinsi tempat Ibu dan anak-anakku tinggal. Rasa rindu atas keluarga kecilku dulu membuat tanganku bergerak lincah membuka album foto yang telah lama tersimpan di lemari.

Ya, aku membuka lembar demi lembar penggalan perjalanan hidupku yang sempat terabadikan lewat lembaran warna yang menampakkan wajahku dan juga orang-orang yang begitu berarti dalam perjalanan hidup yang telah kulalui.

Sekolah, mondok, bahkan saat kuliah. Ah, iya foto cetak ini diambil bukan dari kamera digital seperti jaman now. Dulu aku mengambilnya dengan menggunakan kamera analog yang masih membutuhkan roll film. Hingga tanganku terhenti saat mataku kembali melihat foto yang sepertinya sudah lama sekali terlupakan.

Mengenakan toga adalah kebanggaan tersendiri sebagai seorang mahasiswa. Benar, dulu aku berjuang dengan sepenuh tenaga untuk bisa mengenakan baju hitam kebesaran dengan topi segi lima khas yang memiliki kuncir yang bisa dipindah tempatnya ini. Namun mengapa justru mataku membulat manakala melihat siapa wanita yang sedang berfoto denganku dengan pose yang yah, sedikit intim. Tangan kanannya melingkar di lengan kiriku. Aiza Kirania, satu-satunya wanita yang kulihat berfoto denganku dalam satu frame yang hanya ada kita berdua disana. Selain tentunya fotoku dengan almarhumah istriku.

Ah, aku bahkan melupakan foto ini. Mengapa hari ini tiba-tiba seolah ada bisikan untuk menggerakkan tanganku membuka album foto ini?

"Bapak, mengapa wanita itu tidak sholat sedangkan dia muslimah berjilbab? Apakah pakaian yang dia kenakan hanya sebagai penutup saja bukan pencerminan atas apa akidah yang dia yakini?" baru kurasakan apa yang dulu pernah disampaikan Ibu. Aku jelas tahu apa yang di maksudkan Kanaya, namun untuk menjelaskan secara gamblang tentang itu aku masih membutuhkan bantuan seorang wanita. Allah, haruskah aku melangkah lebih jauh untuk melengkapkan setengah agamaku kembali?

Apalagi pagi ini hatiku menjadi melow saat si bungsu mulai bisa berbicara dan mengucapkan kata Ibu tapi dia menunjuk Ibuku. Tidak, beliau bukan Ibu tapi Uti anakku.

"Bapak, aku ingin ziarah ke makam Ibu. Bapak ada waktu? antarkan aku ya Pak." itu permintaan Kanaya saat kami sedang duduk berdua di ruang keluarga.

"Sekarang?"

"Iya."

"Baiklah, Ayo."

Kami berdoa dengan khusyuk di samping pusara istriku tercinta. Kanaya hanya diam sambil tersenyum pilu saat memandang makam ibunya. Sesaat aku hanya terdiam kemudian mengajaknya berdiri untuk meninggalkan makam secepatnya karena doa telah kami panjatkan. Namun tiba-tiba hatiku kembali terenyuh saat Kanaya mulai bercerita.

"Ibu, Naya menang lomba memasak. Harusnya kemarin bersama Ibu karena lomba itu diadakan sekolah saat hari Ibu. Tapi Ibu sudah pergi ke syurga, jadi Naya lombanya di temani Bulik Diah. Ibu jangan sedih ya, Naya cinta Ibu. Naya juga kangen Ibu. Ibu baik-baik di sana ya sampai ketemu Naya, Bapak dan Dik Oomar lagi. Jangan nakal, karena Naya juga janji nggak akan jadi anak nakal demi Ibu. Ibu tunggu kami di syurga ya." ucap Kanaya yang sekaligus menyentil relung hatiku yang pilu.

"Kakak kangen sama Ibu?" pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak perlu aku tanyakan karena sebelumnya aku telah mendengarkan itu diucapkan dengan jelas dari bibir Kanaya saat berada di pusara ibunya.

"Iya Pak."

"Ibu sudah pergi."

"Kakak tahu itu. Allah sayang kepada Ibu kan Pak, seperti kita sayang kepada beliau?"

"Lebih Sayang. Allah lebih menyayangi Ibu melebihi sayangnya kita kepada Ibu." kulihat dia terdiam sambil terus berjalan menuju rumah Ibu yang juga Utinya hingga bibirku bergerak dengan cepat. Melebihi kemampuan otakku untuk menghentikannya. "Kalau Kakak punya Ibu baru, kira-kira mau nggak?"

"Ibu baru?" kepalang tanggung, mengapa bibirku dengan sangat lancang menanyakan itu kepada anakku yang mungkin hatinya masih terluka?

"Apakah dia akan menyayangi kita?" tanyanya ketika langkahnya tergenti dan akupun akhirnya juga membalikkan badanku untuk memastikannya.

"Pasti."

"Kalau Bapak mau dan Adik senang, Kakak setuju." apa katanya? kalau Bapak mau dan adik senang? itu artinya aku harus telah mendapatkan lampu hijau dari anak-anakku.

Menikah kembali? jauh dari pemikiranku namun aku akan melakukan itu. Bukan semata egois untuk kebutuhanku namun aku tahu, kedua permata hatiku membutuhkan sentuhan wanita yang bisa mereka sebut sebagai Ibu. Meski tidak akan pernah bisa menggantikan sosok Ibu yang telah membuat mereka ada di dunia ini. Hanya setidaknya figur seorang ibu mereka dapatkan dari perempuan yang nanti dipilihkan Allah untuk melengkapkan kami. Wallahualam bishawab, akupun belum tahu siapa wanita yang mungkin bisa aku kenalkan kepada mereka kelak.

Rinai hujan yang membasuh bumi malam ini menghadirkan harum petrichor yang menusuk indra pembauku. Bersamaan dengan gelegar petir dan kilatan cahaya yang membuat semesta terlihat menghitam berbalut dengan kumpulan awan pekat di atas mega.

Kami menikmati malam sambil menyesap kopi di atas cangkir yang sedari sepuluh menit yang lalu telah tersaji. Berbicara ringan hingga bualan penuh kekonyolan untuk mengakrabkan keluarga menjadi agenda rutin. Hingga gawaiku bergetar dan membuatku tergerak untuk meraihnya. Membukanya sesaat setelah mengetahui siapa empu pengirim kabar itu.

'Alhamdulillah jazakhallah khair, Al. Untuk semua yang dulu pernah kau lakukan guna membantuku, Pak Ismail memberitahukan semuanya kepadaku setelah akta cerai aku pegang. Afwan jika aku baru memberimu kabar.'

Bibirku kembali melengkung ke atas. Jika ingatanku tidak keliru sekarang pasti telah selesai masa iddah teman kuliah yang pernah kubantu ini.

"Kapan kamu ada waktu aku ingin bertemu?" ucapku saat kami telah tersambung dalam panggilan telepon.

"Kamu?"

"Iya." jawabku singkat.

"Jangan sendiri, aku tidak ingin terjadi fitnah diantara kita. Aku janda sekarang." katanya lagi yang membuat bibirku kembali melengkung.

"Aku juga seorang duda. Ok aku tidak sendiri, bagaimana kalau besok?"

"Besok? Kamu dimana sekarang?"

"Di rumah Ibu."

"Rumah Ibumu kesini itu 170 km."

"Tidak masalah Aiza. Besok bisa?" pintaku.

"Baiklah, kampung coklat sebelum dhuhur bisa?" tanyanya.

"Inshaallah. Ok, tunggu jam 10.00 aku akan sampai disana."

Selepas sholat subuh pagi ini aku telah berada dalam sebuah mobil bersama kedua anakku. Kulihat raut bahagia saat aku mengatakan bahwa aku akan mengajak mereka berwisata ke kampung coklat.

"Ada apa saja Pak di sana?" tanya Kanaya yang sedari semalam telah kuberitahu dan dia begitu excited untuk perjalanan kami pagi ini.

"Ada banyak permainan di sana. Nanti Kakak coba ya, dan___" kataku menggantung.

"Dan__?"

"Kita akan bertemu dengan Bunda Aiza, teman Bapak dan Ibu saat kita masih kuliah dulu. Kakak nanti bisa menanyakan kepada Bunda Aiza mengapa wanita berjilbab tidak melaksanakan sholat."

"Buna?" ini suara si bungsu yang mulai mengikuti ucapanku untuk memanggil Aiza dengan panggilan Bunda. Biarlah Allah memberikan jalannya. Aku hanya berikhtiyar untuk membuatnya menjadi ada.

Anggukan kepalaku cukup untuk menjawab pertanyaan mereka sambil kuelus kepala mereka satu persatu.

Empat setengah jam berlalu, aku sudah masuk di wahana wisata edukasi yang berada di kota Aiza tinggal. Sesuai dengan janji yang telah kami buat, aku tahu dia telah menunggu kami. Dan sesuai dengan janjiku aku tidak sendirian menemuinya, 'supaya tidak terjadi fitnah.'

Wanita yang sedang duduk dengan gamis berwarna merah dan jilbab lebar itu membelakangi kami. Tangannya masih sibuk memainkan gawai yang ada di hadapannya. Ah iya, Aiza salah satu temanku yang suka sekali bermain kata-kata. Maksudku adalah dia begitu puitis merangkai kata-kata indah menjadi sebuah kalimat. Bahkan sebuah cerita yang kadang bisa membuat orang tertawa bahkan dengan menangis secara bersama-sama.

"Itu, Bunda Aiza. Panggil dia Nak, ayo kita ke sana." awalnya mereka malu dan seolah enggan untuk melakukan namun setelah aku mengatakan bahwa Aiza sangat menyukai anak-anak dan paling suka dipanggil 'Bunda' maka seketika mereka menuruti perintahku.

"Bunda Aiza."

"Buna"

"Bunda, apa kabarnya?" kataku ditengah keterkejutannya saat suara Kanaya dan juga Oomar menyebutnya dengan panggilan Bunda.

Matanya berkaca-kaca saat memandangku seolah meyakinkan apa yang dia dengar tidak keliru.

"Kak, ayo kenalan." perintahku kepada si sulung.

"Bunda Aiza, aku Kakak Naya."

"Buna__" Oomar yang masih belum jelaspun ikut bersuara kemudian bibir Aiza bergerak. "Ini pasti Adik Oomar."

Tidak butuh lama kedua anakku berada dipelukan wanita yang memutuskan untuk berjalan sendiri karena dia belum juga bisa menghadirkan buah hati di dalam keluarganya dulu. Aiza menciumi keduanya seolah mereka telah mengenal satu dengan lainnya sejak lama hingga hadirku seolah tersisih dengan kebahagiaan mereka bertiga. Kanaya yang sangat merindukan ibunya dengan penuh semangat bercerita, sedangkan Oomar yang dengan antengnya berada di pangkuan wanita itu. Aiza yang jelas begitu merindukan hadirnya seorang anak. Oughhh, hatiku tiba-tiba menghangat melihat pemandangan super romantis ini.

Kembali aku mengingat sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepadanya. Sebuah amplop coklat kini berada di hadapannya. "Apa ini?"

"Bukalah, dan kamu akan mengetahui apa yang ada di dalamnya." pintaku.

Tangannya bergetar membuka amplop itu dan betapa terkejutnya saat dia melihat foto wisuda kami dulu.

"Ini__? Ini bukan rekayasa kan?"

"Apa untungnya buatku merekayasa."

"Pasti banyak ya yang foto seperti ini denganmu dulu." ucapnya sambil tersenyum hambar.

"Kamu dan almarhumah istriku."

"Maksudnya?" tanyanya.

"Aku foto berdua dengan wanita dalam satu frame ya hanya denganmu dan almarhumah istriku." kenyataannya memang seperti itu. Kami tidak terlalu dekat dulu bahkan tidak satu kelas meski satu jurusan yang sama selain itu kita juga beda konsentrasi. Jadi wajar kalau dia terkejut mendapati foto itu. Jangankan dia, aku sendiripun terkejut melihatnya.

Tapi yang mungkin akan kembali teringat bahwa dia adalah wanita pertama yang ingin aku kenal saat maba. Dan perkenalan kami tercipta di stadion universitas saat hendak keliling kampus untuk mengenalkan wawasan wiyata mandala.

"Sepertinya aku juga punya foto kita berdua Al." ucapnya ragu-ragu.

"Iyakah? wisuda juga?"

"Bukan, saat Yudusium di fakultas. Coba nanti aku cari albumnya, semoga masih ada."

Dan pertemuan kali inipun harus berakhir saat hari menjelang sore. Hanya saja heranku mengapa Kanaya seolah enggan untuk pulang.

"Kakak kenapa?" tanya Aiza saat melihat mendung pekat di muka Kanaya.

"Besok kita nggak bisa cerita lagi ya Bun?"

"Besok?" tanya Aiza sekali lagi.

"Besok masih hari minggu Bun, Kakak masih libur. Atau Bunda ikut kita pulang ke rumah Uti?"

Biarlah Allah bersama rahasianya membuka kembali mahligai hati yang akan kembali tercipta. Bersama ribuan bintang di langit yang bisa menyenandungkan malam melalui luapan mimpi yang kini menjadi harapan putri sulungku.

"Mengapa Bunda tidak mau ikut kita pulang Pak?" tanya Kanaya saat mobil yang kami tumpangi telah berada di setengah jalan menuju pulang

"Ya, dia kan teman Bapak bukan keluarga kita. Jadi tidak boleh ikut kita pulang."

"Biar jadi keluarga bagaimana caranya?" tanya sulungku.

"Jadi keluarga?"

"Iya."

"Jadi ibunya Kakak."

"Lalu mengapa Bapak tidak menikah dengan Bunda Aiza supaya dia bisa menjadi ibunya kakak dan adik? Bisa ikut kita pulang ke rumah Uti. Kakak suka sama Bunda Aiza." ucapnya ringan seolah tanpa beban.

Tak lama berselang aku menerima pesan masuk dari Aiza. Sebuah foto, benar sesuai dengan ucapannya dia juga memiliki foto kami berdua saat yudisium dan astaghfirullah penampilanku. Ingin rasanya aku menutup muka dengan kedua tanganku. Mengapa penampilanku begitu amburadul seperti itu, kemeja putihku telah keluar dari celana hitam yang ku kenakan. Dasi hitam yang kupakai juga sudah tidak rapi lagi, terlebih jas almamater yang kukenakan kedodoran. Allahu, milik siapa itu dulu yang ku kenakan. Lebih mengesankan lagi bahwa di belakang foto kami ada wajah almarhumah istriku yang juga ikut melihat ke kamera. Semesta berpihakkah?

Sekali lagi aku bukanlah Ali bin Abi Thalib. Aku adalah Aly Mihran Ghazzal bin Munir Azhari, yang tidak akan menyimpan dalam diam kata hatiku. Tidak, aku harus mengucapkan dan memperjuangkannya.

Kini aku telah menunggu jawaban itu. Tidak ingin menundanya lebih lama lagi. Cinta? mungkin belum ada diantara kami namun bukan berarti tidak mungkin untuk ditumbuhkan bukan? Hal mudah, aku pernah menyimpan rasa kepadanya jauh sebelum aku dekat dan memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan dengan almarhumah istriku dulu. Ya, sejak di stadion universitas itu. Aku melihat Aiza sebagai seorang wanita dewasa yang bukan hanya sebagai seorang teman namun juga orang yang mungkin bisa aku cintai.

Bumi komodo pagi ini, satu jam selisih wilayah membuat kami terhubung dalam sambungan jarak jauh tanpa kabel.

"Ai, tidak ada yang salah dengan takdir. Mungkin ini jawaban dari Allah aku bukan menerima musibah tetapi anugerah dengan Allah mengatur pertemuan kita setelahnya."

"Mas Al, aku bahkan baru selesai dengan iddahku dan belum memikirkan untuk menjalin hubungan dengan seorang pria." ya, kini dia memang telah fasih memanggilku dengan embel-embel Mas setelah tahu bahwa aku lebih tua empat tahun darinya.

"Will you marry me?" ucapku. Tidak harus menikah sekarang kalau malu karena baru selesai iddah. Kita bisa menikah tahun depan yang terpenting adalah sebuah komitmen bahwa kita setuju untuk bersama. Aku juga tidak akan menganggunya dengan kata berpacaran layaknya anak SMA. Cukup setujui dan aku akan menjaga segalanya.

Tidak pernah terjawab hingga akhirnya satu tahun berlalu, kini.

Tangan kananku mengepal kencang bersama seorang ayah yang akan menitipkan putrinya menjadi pelengkap imanku.

"Ya, Aly Mihran Ghazzal bin Munir Azhari. Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka Aiza Kirania Binti Husain Akbar alal Mahri alati ibadah. Hallan."

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur. Hallan." jawabku dengan satu helaan nafas.

Masjid Ar Rahman, menjadi saksi janjiku menggetarkan arsy kembali. Menyebut nama seseorang untuk melengkapkan ibadahku dan bersama berjalan bergandengan tangan meraih surgaNya.

Allah begitu mencintai hambaNya, mencintai dengan cara yang tidak pernah disangka bagaimana caranya dengan nalar manusia. Ya, mungkin sebelum ujian berat itu sesungguhnya Allah telah memberikan pondasi di dalam hati setiap hamba. Memberikan penawar yang tidak pernah kita tahu bagaimana akhirnya.

Khusnudzon billah, berbaik sangkalah kepadaNya. Karena sungguh Dia lebih tahu dari apa-apa yang tidak kamu tahu.

Jika akhirnya mendadak sebuah kalimat diantara kami. 'Tiba-tiba, kita?' Ya, aku dan kamu serta kedua anakku yang berubah menjadi kita. Bersama akan kita arungi. Mengenai keturunan, Allah yang mengatur segalanya. Dalam doaku selalu berharap bahwa akan ada pelangi seusai hujan turun.

"Aku berjanji untuk membuatmu bahagia hingga kamu terlupa bagaimana caranya bersedih dan menangis. Ana uhibbuki fillah, istriku." ucapku saat kami menghabiskan malam yang begitu panjang diantara dengkuran halus Kanaya dan juga Oomar yang tidak ingin berpisah sedetikpun dengan Bunda barunya.

"Ahabbakalladzi ahbabtani lahu. Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karenaNya."

Dalam semesta dan perjalanan hidup manusia. Allah telah menentukan qodar kita 50.000 tahun sebelum semesta diciptakan. Dalam mega server Lauhul Mahfudz itulah semua telah terencana dengan begitu baiknya. Sebaik Allah memberikan rahmatNya untuk memasukkan kita semua ke dalam syurgaNya.

Lalu ingatlah selalu firmanNya dalam Ibrahim ayat 7. __la in syakartum aziidannakum wala in kafartum inna 'adzaabii lasyadiidun. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmatKu, maka sesungguhnya azabKu sangatlah pedih.

✏ -- the end -- ✏

Blitar, 02 Maret 2020

Mana yang nulis, yang nulissss inihhhh mana???? 😂😂😂😂

Silakan kirim ke email author ke
marentin_niagara@yahoo.com

Akan saia publish tentunya melalui proses editing typo tanpa mengurangi isi cerita.

Berminat untuk gabung?
Ayo...ayooo...ayoooooo 😍😍😍

  

Continue Reading

You'll Also Like

211K 590 48
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
978K 4.1K 9
Kocok terus sampe muncrat!!..
132K 654 15
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...
Amora (END) By Mia

General Fiction

3.7M 181K 71
Amora Lendari terbangun di sebuah kelas dengan orang-orang asing di sekitarnya. Kepanikanya bertambah saat mendapati wajahnya dan tubuhnya yang beru...