Born To Love You [Terbit 28 J...

By IndahHanaco

1.1M 111K 3.3K

Pertemuan dengan Marsha melalui kejadian yang tidak terduga mengubah hidup Vincent ke arah yang tidak terduga... More

Ecletic
Mr. Poker Face
La La Latch
Breathe
Problem
Hymn For The Weekend
Let It Go
Just The Way You Are
This Is Me
Yeah!
Glory of Love
Smells Like Teen Spirit
Fallin'
Ice Cream
Here I Go
I Do
You Rock My World
All 4 Love
Complicated Heart
Every Little Thing She Does Is Magic
Maybe I'm Amazed
Vincent
Marry You?
Disturbia
Scars To Your Beautiful
God Gave Me You
Close To Heaven
2 Become 1
A Whole New World
You and I
Love Hurts
Stay with Me

Follow Your Arrow

47.8K 5K 104
By IndahHanaco

Vincent mengantar Marsha pulang ke tempat indekosnya di kawasan Batutulis. Sepanjang perjalanan, gadis itu berusaha mengajaknya mengobrol. Salahkan Vincent yang tak pernah tumbuh menjadi seseorang yang supel. Berbeda dengan adik-adiknya, terutama Taura.

"Apa kamu selalu menjawab 'ya' atau 'nggak' doang tiap kali diajak ngobrol?" kritik Marsha.

Vincent menoleh ke kiri, menyadari nada kesal pada suara gadis itu. "Apa kamu selalu secerewet ini?"

"Wuih, galak!"

Vincent meralat, "Bukan galak. Tapi kamu harus paham satu hal. Nggak semua orang bisa sesantai kamu pas ngobrol sama orang yang baru dikenal."

"Kenapa? Takut sesuatu?"

"Kenapa harus takut?" balas Vincent, tak paham.

"Manalah aku tau. Aku, kan, cuma nanya."

Seharusnya, Vincent bisa menghadapi Marsha dengan baik. Dia memiliki seorang ipar yang mirip Marsha dalam hal kecerewetan dan keingintahuan. Dominique, istri Hugo.

"Kamu nggak asyik. Nggak bisa diajak bercanda," kata Marsha lagi. Gadis itu baru saja meminta Vincent menepi.

"Kamu tinggal di mana?" tanya Vincent setelah menghentikan mobil. Dia mengabaikan komentar Marsha. Memangnya gadis itu berharap dia bisa melucu seperti para komika?

Marsha membuka sabuk pengamannya. "Tempat kosku nggak jauh dari sini. Di gang itu," tunjuknya ke seberang.

Vincent menyipit melihat gang yang gelap itu. "Apa nggak ada jalan lain yang terang. Kalau ...."

"Biasanya ada lampu jalan, kok! Mungkin bohlamnya putus dan belum diganti. Di sini aman. Kejahatan di sini cuma sebatas buang sampah nggak pada tempatnya atau pipis sembarangan." Marsha membuka pintu mobil. "Makasih banget udah nolongin aku hari ini, Vincent. Makasih juga udah mau nganterin aku pulang."

Vincent ikut keluar dari mobilnya. Marsha memandangnya sembari mengernyit. "Aku anterin kamu ke tempat kos," putusnya.

"Nggak usahlah, cuma sekitar lima puluh meter dari sini, kok!" tolak Marsha. Gadis itu sudah bersiap menyeberangi jalan. Tangan kanannya melambai. "Dah, Vincent. Jangan terlalu serius jadi orang. Ntar gampang bisulan."

Gadis ini sok tahu dan agak menyebalkan. Mungkin bisa juga dianggap kurang sopan. Namun, Vincent memilih untuk mengabaikan semua kata-katanya. Dia cuma ingin memastikan Marsha tiba di tempat indekosnya malam ini. Mumpung dia sudah berada di sini. Selanjutnya, bukan urusan Vincent.

"Aku nggak mau nanggung. Tadi udah nolongin kamu dari dua laki-laki mesum. Sekalian aja nganterin kamu ke tempat kos," balasnya kalem. Dia mengekori Marsha menyeberang jalan.

"Bukan karena penasaran pengin tau tempat kosku?" Marsha mendadak berbalik saat mereka nyaris memasuki gang. "Kamu nggak naksir aku atau pengin nguntit, kan?"

Vincent terpaksa ikut berhenti karena tak mau menabrak Marsha. Gadis ini imut dan menggemaskan, sepanjang tidak membuka mulut. Bibirnya mungil, rambut legam lumayan panjang yang diikat satu, tulang pipi menawan, dagu runcing, mata sayu, hidung mungil.

"Aku nggak pernah naksir cewek yang baru kukenal. Aku juga punya terlalu banyak kerjaan dan nggak akan punya waktu untuk jadi penguntit siapa pun. Aku cuma mau mastiin kamu nggak diajak laki-laki hidung belang lagi untuk threesome."

"Astaga! Kamu bisa juga ngomong panjang ternyata." Marsha berpura-pura kaget. "Okelah, kuhargai niat baikmu. Lewat sini."

Marsha sudah kembali melangkah. Vincent mengikutinya. Mereka sedang menyusuri gang sempit yang gelap.

"Kamu orang yang total, ya? Kalau udah nolongin orang, penginnya sampai maksimal," simpul Marsha. "Walau aku sebal karena kamu selalu ngejawab seadanya pas ditanya, tapi kamu ...."

"Kayaknya aku punya daftar dosa yang panjang, ya?" Vincent menukas. "Kita belok ke kanan atau kiri?"

Mereka sudah hampir mencapai ujung gang. Marsha tak menjawab, hanya menunjuk ke kanan. Setelah itu, tak ada komentar berisi kritikan dari gadis itu, membuat Vincent cukup keheranan.

"Ini tempat kosku." Marsha berhenti. Dia mengerling ke kanan. Ada bangunan dua lantai yang memanjang, dengan banyak pintu. Gadis itu benar, tempat indekosnya tidak jauh.

"Lain kali, kamu harus lebih hati-hati." Vincent menarik napas. Dia ingin mengingatkan gadis ini agar lebih bijak memilih pakaian saat keluar rumah di masa depan. Namun, laki-laki itu menahan diri. Dia berharap kejadian hari ini memberi pelajaran berharga untuk Marsha.

"Maaf, kalau aku ngoceh nggak jelas sejak tadi. Ini kebiasaan jelek kalau lagi nggak bisa fokus." Marsha mengangkat kedua tangannya. Vincent melihat jari-jarinya yang bergetar. Pemandangan itu membuatnya terkelu. Namun, dia juga tak tahu cara menenangkan gadis ini.

"Tadi, pas di kantormu, aku udah tenang. Tapi waktu kita lewat tempatku tadi berdiri sebelum didorong ke got, mendadak takut lagi. Trus jadi mikir, gimana kalau tadi kepalaku menghantam sesuatu atau aku sampai cedera parah semisal patah tulang? Gimana kalau laki-laki tadi beneran sampai menggerayangiku?"

Laki-laki itu menelan ludah sebelum bicara. Dia mencoba memikirkan kalimat bernada menenangkan yang akan diucapkan Hugo atau Taura jika berada dalam posisi seperti dirinya saat ini.

"Kamu udah aman sekarang. Ketakutan-ketakutan tadi sama sekali nggak terjadi," kata Vincent, bernada membujuk. "Sekarang, mending masuk kamar dan istirahat. Yang udah lewat, jangan dipikirin lagi."

Marsha menatapnya sungguh-sungguh. "Makasih ya, Vin. Untuk semuanya. Tapi saranku tadi tetap berlaku. Jangan terlalu serius jadi orang. Ntar gampang bisulan."

Vincent akhirnya tertawa kecil. Dia melirik jam tangan, menyadari bahwa sudah sangat terlambat untuk mendatangi kencan yang diatur ibunya. "Oke. Saranmu kuterima. Sampai ketemu lagi kapan-kapan, Marsha."

***

Salindri ternyata serius dengan niatnya untuk menjodohkan Vincent dengan putri teman baiknya. Perempuan itu marah saat Vincent tak datang di acara makan malam itu. Vincent beralasan dia terlibat insiden di jalan tanpa menjelaskan lebih detail.

Tak mau menyerah, Salindri mengatur kencan kedua yang terpaksa didatangi Vincent. Masih dengan ancaman yang sama, memindahkan Ratna sebagai asisten Vincent jika pria itu menolak. Kali ini, Vincent mendapat dorongan tambahan dari ayahnya.

"Ikutin aja maunya Mama sekali ini, Vin. Biar kamu nggak diancam melulu. Cuma makan malam doang. Kamu akan baik-baik aja," gurau Julian.

Hari Sabtu itu, Vincent berkendara menuju sebuah restoran di area Pajajaran, Trend. Ibunya mengubah taktik, memilih akhir pekan dan bukan hari kerja. Vincent yang memang sepanjang hari berada di rumah saat akhir pekan kecuali ada keperluan, tak punya alasan untuk mengelak.

Salindri sudah memesankan tempat untuk putranya. Vincent akan makan malam dengan gadis cantik bernama Kassandra. Mereka sudah berbincang via ponsel. Foto yang ditunjukkan Salindri pun menarik hati. Laki-laki normal mana yang tak menyukai perempuan cantik? Namun, pesona fisik saja takkan cukup.

Trend menyediakan pasta. Padahal, Vincent lebih menyukai makanan sunda. Namun, ibunya yang memiliki selera berbeda itu tentu memandang bahwa restoran sunda bukan tempat kencan yang pantas. Vincent memilih untuk tak menentang keputusan Salindri.

Vincent langsung mendatangi meja penerima tamu yang ada di dekat pintu masuk. Semua tamu yang ingin mencicipi hidangan di Trend, harus mendaftar terlebih dahulu.

"Selamat malam, Pak. Saya Marsha, ada yang ...." Si penerima tamu berhenti. "Vincent?"

Lelaki itu mengangkat alis, mencoba mengingat gadis belia di depannya. Setelah beberapa detik, barulah dia menyadari jika sedang berhadapan dengan gadis yang ditolongnya kurang dari dua minggu silam. Kali ini, Marsha merias wajahnya meski tidak mencolok, membuat Vincent tak langsung mengenalinya.

"Apa kabar, Sha. Kamu kerja di sini? Udah lama?" Vincent mengulurkan tangan kanan.

"Belum. Baru semingguan. Kerja sambil nunggu jadwal wisuda." Marsha tersenyum lebar. Giginya cukup rapi. "Udah pesan meja, Vin?"

"Udah. Atas nama Vincent dan Kassandra."

Marsha membolak-balik sebuah buku tebal sembari bersiul. "Makan malam bareng pacar, calon istri, atau klien, nih?"

Vincent malah berujar, "Apa semua tamu bakalan ditanya hal yang sama atau cuma aku doang?"

Marsha mengangkat wajah. "Maaf, itu pertanyaan bodoh dan nggak profesional. Aku belum terbiasa."

Kurang dari satu menit kemudian, Marsha menunjukkan meja yang akan ditempati Vincent. Marsha mengenakan seragam seperti karyawati lain, rok biru cerah dan blus putih berleher tinggi. Bedanya, rok gadis itu lebih pendek dibanding yang dikenakan pegawai lain.

"Silakan, Pak," Marsha menarik salah satu kursi dengan sikap profesional. "Bapak udah mau memesan sekarang?"

"Nanti aja," balas Vincent.

Tak lama setelah Marsha meninggalkan mejanya, Kassandra pun tiba. Perempuan sebaya Vincent itu diantar Marsha ke mejanya. Vincent buru-buru berdiri untuk menyambut tamunya. Dengan luwes, Kassandra maju dan mencium kedua pipi Vincent. Berhubung dia termasuk laki-laki kolot, tindakan itu membuatnya sempat membatu.

Setelahnya, acara makan malam itu menjadi siksaan bagi Vincent selain menu yang memang kurang digemarinya. Padahal, pasangan kencannya adalah perempuan cantik dengan penampilan memikat. Akan tetapi, obrolan mereka begitu membosankan. Kassandra banyak bertanya tentang pekerjaannya, padahal Vincent tak tertarik membahas topik itu.

Jika ada saran untuk membahas pekerjaan pada kencan pertama, tolong jangan diikuti begitu saja. Karena itu bukan saran yang cerdas, paling tidak untuk Vincent. Dia mencintai pekerjaannya, tapi menghabiskan waktu luang untuk memperbincangkan hal itu, sungguh tak tertahankan. Situasi memburuk saat Kassandra mulai membahas silsilah keluarganya yang disesaki banyak nama top. Mulai dari politikus hingga atlet.

Karenanya, Vincent nyaris melakukan sujud syukur saat Kassandra menerima telepon dan membuat perempuan itu harus meninggalkan restoran sebelum hidangan penutup tersaji. Dari obrolan yang ditangkap Vincent, tampaknya Kassandra terjerat hubungan yang belum sepenuhnya selesai dengan seseorang.

"Maaf banget ya, Vin. Aku ...."

Vincent mengibaskan tangan kanannya. "Tenang aja. Rahasiamu aman. Aku juga cuma nurutin desakan Mama."

Perempuan itu tersenyum lebar. Saat Kassandra hendak mencium pipinya lagi, Vincent mundur. Dia benar-benar tak nyaman dicium oleh perempuan asing. Sebut dia bodoh, Vincent tak keberatan.

Sebelum meninggalkan Trend, dia bertemu Marsha lagi. Gadis itu masih berdiri di depan meja penerima tamu yang tinggi.

"Pacarnya kenapa duluan, Vin? Lagi berantem, ya?" tanyanya ingin tahu. Gadis itu lupa bersikap formal, tapi Vincent tak mengoreksinya.

"Yang tadi itu bukan pacarku," ralat Vincent. "Kamu sampai jam berapa, Sha?"

"Satu jam lagi. Kenapa? Mau nganterin aku pulang?" guraunya.

Pertanyaan Vincent tadi hanya dimaksudkan untuk basa-basi. Namun, kelakar Marsha malah membuatnya tergoda.

"Oke, kutunggu. Dengan catatan, kamu rekomen resto sunda yang enak," responsnya tanpa pikir panjang.

Marsha melongo. "Bukannya barusan kamu udah makan?"

"Udah. Tapi nggak habis. Aku nggak demen pasta." Vincent menatap Marsha. Gadis ini adalah antitesis dari semua kaum hawa yang dikenalnya. "Gimana?"


Lagu : Follow Your Arrow (Kacey Musgrave)

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 380K 89
"Mas Arya, jangan sedih! Saat aku besar nanti, aku pasti akan lebih cantik dari Mbak Indah. Dan aku akan mencintai Mas Arya sampai aku setua oma." 19...
1.5M 106K 50
Araya Maharani menyadari rasa ketertarikan kepada sepupunya, Aditya Dewangga. Pemuda tampan yang sayangnya memiliki sikap yang buruk sehingga dipinda...
3.6M 73.3K 47
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
120K 5.8K 37
Menguatkan Cinta dengan Bersama Melupakan Cinta karna Takdir sang pencipta. (Muhammad Faizan Zayyan Al-Gifari)