My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Sentuh Aku, Gus!

151K 11.8K 1.3K
By Desisetia

Penuh sekali rasanya dadaku ini. Aku seperti dimasukkan ke dalam ruangan tanpa oksigen. Sesak tak terkira. Hatiku sakit seperti dijatuhkan dari gedung berlantai seratus, setelah itu terlindas truk, dan bagian yang hancur masuk ke selokan dimakan cacing-cacing tanah.

Allaah. Mengapa rasanya sesakit ini?

Entah sudah berapa kali Sugus membuatku menangis. Entah berapa tetes air mata yang terjatuh karenanya. Satu hal yang tidak Sugus ketahui dari rahasia wanita. Wanita mampu memberikan senyumannya kepada semua orang, tapi ia hanya memberikan air matanya kepada orang yang ia cinta.

Kali ini aku mengaku, aku telah mencintainya.

Tapi terlambat.

Dia lebih memilih wanita lain, dari pada aku.

Aku nggak menyalahkannya. Sama sekali tidak. Ini semua salahku. Benar-benar salahku.

Aku nggak bisa menjalankan tugasku sebagai istri. Aku terlalu egois. Aku sama sekali nggak peduli terhadapnya. Aku juga seolah membentengi diri agar nggak bersentuhan dengannya walau seinchi saja. Dan masih banyak lagi kesalahan yang kulakukan sehingga ia memilih pengganti.

Terlalu banyak kesalahanku padanya, apa pantas aku menahannya untuk tetap tinggal? Bagaimana pun juga ia berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik. Apalagi jika dibandingkan aku dengan Ning Aisyah, seperti langit dan bumi. Aku nggak ada seujung kuku pun darinya. Aku hanya bocah abege labil yang tidak tahu diri. Ya, Sashi Liem hanya sebatas pinggiran martabak yang nggak ada spesialnya dariku.

Setetes air dari langit jatuh mengenai hidungku. Pandanganku beralih ke depan, tepatnya pada danau yang berwarna hijau, tetesan air semakin banyak yang turun ke bumi. Kepalaku mendongak, langit dipenuhi awan hitam yang siap menumpahkan isinya. Kurasa semesta juga merasakan apa yang aku rasa. Semesta mengirim hujan agar aku bisa menangis tanpa ada seorang pun yang tahu.

Kepalaku terus menghadap ke langit. Membiarkan tetesan hujan terjatuh di wajahku. Meresapi bau petrichor yang dikirimkan melalui angin. Merelakan udara dingin menusuk tubuhku sampai ke tulang. Kini air mataku yang jatuh, telah menyatu dengan air hujan yang membasahi wajah.

Aku bisa mendengar suara lari orang-orang yang ingin menghindari hujan. Bahkan beberapa mereka juga menyuruhku pergi dari sini ke tempat yang lebih aman. Justru menurutku ini adalah tempat paling aman, karena aku bisa mengeluarkan sesuatu hal yang sangat menyesakkan dalam dada tanpa orang lain tahu.

"Sashi? Kok kamu di sini?"

Mendengar suara yang sangat familier buatku, sontak aku menghadap ke sumber suara. Ternyata Dwi.

Dwi langsung duduk di kursi, tepatnya berada di samping kananku tanpa takut tubuhnya basah.

"Kamu kenapa, Sas? Tadi aku liat kamu lari-lari sambil nangis ke tempat ini," ujarnya. Meski suaranya sedikit hilang karena terbawa hujan, tapi aku masih bisa mendengar.

Bukannya menjawab, aku semakin menangis. Semua ketakutanku terbayang seperti film yang ditayangkan.

Dia nggak banyak bicara lagi. Dia membawaku ke dalam pelukannya. Kemudian mengusap punggungku seperti seorang kakak yang menenangkan adiknya. Di balik punggung Dwi aku menumpahkan tangisanku bersama dengan air hujan yang membasahi tubuh kami berdua.

Sampai tangisku mereda, dia tak banyak bertanya tentang alasan kenapa aku menangis. Aku nggak ingin seorang pun tahu masalah rumah tanggaku ini. Biar sakitnya kurasakan saja sendiri. Karena tubuh kami sudah sama-sama dingin, dan bibir yang membiru, Dwi membawaku kembali ke asrama.

******

Aku mendengar semuanya, saat Hani dan Leni terus bertanya-tanya pada Dwi mengapa aku menangis. Mereka juga sempat bertanya langsung padaku, tapi bibirku ini tetap terkunci rapat. Otakku nggak bisa merespons sekitar, ia hanya bekerja mencari cara bagaimana agar Sugus tetap menjadi milikku. Hanya milikku.

Bahkan saat jam makan malam pun, aku nggak berniat mengambil makanan. Setelah sholat, aku kembali bergegas ke kamar.

Bagaimana mungkin aku bisa berbagi suami dengan wanita lain? Bagaimana mungkin aku bisa melihatnya menyentuh dan bermesraan dengan istrinya selain aku? Sungguh, aku hanya wanita biasa. Aku bukan istri-istri Nabi yang punya kesabaran tanpa batas.

Allah, maafkan aku yang begitu egois?
"Sas, kamu makan malam dulu. Setelah itu minum obat. Kayaknya badan kamu demam, Sas." Itu kata Hani yang aku jawab dengan gelengan kepala.

Ah iya! Aku tahu. Aku tahu bagaimana caranya mempertahankan Sugus. Aku akan kembali ke titik awal.
Aku bangkit, lantas menyambar jilbab di lemari. Tidak mungkin aku memakai jilbab yang tadi ku pakai, karena sudah basah kuyup dan sudah kutaruh di tempat pakaian kotor.

"Kamu mau kemana, Sas?" tanya mereka saat aku mendekat ke arah pintu.

"Mau keluar. Aku sudah tahu bagaimana caranya menyelesaikan masalahku."

Tentu saja tempat yang aku datangi adalah ndalem. Selain di ndalem nggak ada lagi tempat yang aman agar semuanya nggak tahu masalah ini. Secara otomatis, kakiku melangkah ke kamar Sugus. Aku harap si empunya ada di sana.

Setelah aku masuk ke dalam, tak ku temukan batang hidungnya. Aku memanggil-manggilnya dengan suara kencang, bahkan sampai serak, tapi Sugus tetap nggak ada.

Sugus benar-benar pergi dariku.

"Guuus. Gus Omar!"

Aku benar-benar sudah terlambat.

Jangan-jangan malam ini, Sugus dan Ning Aisyah akan melaksanakan akad. Makanya ia nggak ada di kamar.
Yaa Rab.

Aku memukul dada yang terasa sesak. Tubuhku sampai ambruk ke lantai karena saking lemasnya. Esok pagi seperti hari kiamat untukku.

"Guuuuss, hiks, hiks."

"Sashi?"

Tunggu dulu.

Itu suara Sugus.

Aku menoleh ke arah pintu, di sana berdiri seseorang yang tadi ku panggil-panggil namanya. Aku sampai mengucek kedua mata berkali-kali, takut hanya ilusi semata.

"Kamu kenapa, Sas?" Sugus berjalan mendekat. Tubuhku lantas bangkit, kemudian berlari ke arahnya. Tepat di depannya, aku bersimpuh di kakinya.

"Maafin Sashi, Gus. Maaf," ucapku dengan tangis tak terbendung. Seketika semua kesalahanku padanya terbayang. Sungguh, aku ini memang istri yang durhaka.

"Hey, kamu kenapa?" Kedua tangan Sugus berada di bahuku. Dia mengangkat tubuhku agar posisiku tidak bersimpuh lagi. "Ayo bangun."

Aku menurut. Kini kami sudah berhadap-hadapan.

"Gus lakukan sekarang juga," tukasku dengan setengah memerintah.

Kening Sugus mengerut membentuk gelombang. Pertanda ia belum mencerna ucapanku.

"Malam ini Sashi ingin menjalankan kewajiban sebagai istri Gus. Silakan ambil hak Gus sebagai seorang suami."

Sugus masih menampilkan ekspresi yang sama. Ck. Lola alias loading lama!

Tanpa berpikir panjang lagi, aku membuka jilbab serta atasan baju muslim yang kini hanya menyisakan tanktop hitam. Kulit lengan atasku langsung terasa dingin karena terkena AC. Kemudian rok yang menempel di pinggang, aku turunkan ke bawah hingga menyentuh lantai. "Ayo sentuh Sashi, Gus. Ayo sentuh aku!"

"Sashi ingin jadi istri Gus sepenuhnya. Sashi nggak mau Gus berpaling ke wanita lain!"

Melihat Sugus masih diam saja, aku lantas menaikkan tanktop untuk membebaskannya dari tubuhku. Tapi belum sempat sepenuhnya terbuka Sugus menginterupsi.

"Jangan! Jangan lakukan itu!" teriak Sugus.

"Kenapa? Gus jijik sama Sashi?" Kepala Sugus menggeleng. "Lalu apa? Apa alasannya kalau bukan jijik?! Kenapa Gus nggak mau menyentuh Sashi, sedangkan Gus lebih memilih wanita lain yang menyenangkan Gus di ranjang?!"

Wajahku memanas lagi. Kurasakan pipiku lembab karena air mata mulai menetes yang semakin lama semakin deras.

Aku nggak tahu dengan cara apalagi mempertahankan pernikahanku. Aku bingung bagaimana caranya agar Sugus kembali padaku. Ya Allah, ya Rabbi, sungguh aku menyesal nggak pernah memperlakukannya dengan baik.

Kemudian kurasakan sebuah kain menyelimuti lengan atasku yang sempat terbuka. Ternyata Sugus yang melakukannya dengan menggunakan selimut. Lantas tubuhku di dudukkan di pinggir petiduran.

"Kamu ini sebenarnya kenapa? Kenapa tiba-tiba jadi begini?" tanyanya setelah aku merasa lebih tenang dan tentunya ia sudah memakaikan bajuku lagi.

"Ada juga Sashi yang tanya, kenapa Gus nggak mau nyentuh Sashi?!"

Sungguh aku merasa terhina. Aku sudah melucuti rasa maluku sampai ke jurang paling dalam. Tapi malah berujung penolakan.

Sugus merubah posisinya menjadi berlutut, kini tinggi tubuh kami sejajar. Ia sempat mengusap wajahnya sambil menarik napas dalam, setelah itu kedua tangannya yang besar memegang tanganku dan menguncinya.

"Dengerin saya Sashi." Sugus bersuara lagi. Kali ini terdengar serius. Tatapannya yang setajam elang mengunci mataku agar tetap menatapnya. Sugus nggak mengizinkan pandanganku berlari ke kanan dan ke kiri. "Kamu tahu pelacur?" Aku mengangguk.

"Pelacur melayani pelangganya di ranjang tanpa peduli bagaimana perasaannya. Belum tentu ia senang dengan apa yang dilakukan, belum tentu ia menikmati setiap perlakuan yang diterimanya.

Kalau saya mau, saya bisa meminta hak saya sebagai suami sejak malam pertama kita. Meski pernikahan kita hanya siri, tapi itu sudah sah menurut agama, dan sudah dihalalkan hubungan suami istri. Tapi kamu itu bukan pelacur, Sashi. Kamu itu istri saya. Kamu wanita yang harus saya hormati. Yang harus saya muliakan. Saya akan melakukannya saat kamu sudah siap. Saat kamu sudah sepenuhnya mencintai saya. Sehingga kita benar-benar menikmatinya tanpa ada unsur keterpaksaan."

Aku langsung melesak ke dalam pelukannya. Menangis tersedu-sedu hingga rasanya air mata ini sudah habis.

"Ka—kalau begitu, ke—kenapa Gus mau menikah lagi?" tanyaku yang masih dalam dekapannya.

"Menikah lagi?" Sugus malah bertanya.

Aku merenggangkan pelukan, tapi kedua tangan masih berada di balik tubuhnya.

"Kata siapa?"

"Gus sendiri yang bilang." Aku merengut. Aku sadar laki-laki yang menikahiku ini tidak muda lagi. Tapi masa iya Sugus sudah pikun. "Tadi sewaktu kalian ngumpul di ruang tamu, Umi tanya ke Ning Aisyah kapan akan menikah. Terus Gus yang jawab 'secepatnya, Umi'. Begitu"

"Jadi kamu nguping pembicaraan, hm?" tanyanya sambil menoel-noel ujung hidungku. Aku mengangguk malu. "Pantas saja. Saya sampai bingung kok ada yang buang medali emas ke ndalem." Ish, Sugus malah menggodaku.

"Itu nggak sengaja jatuh."

"Sudah nguping pembicaraan, nggak tabayyun dulu lagi."

"Hah maksudnya?"

"Kamu salah paham, Sayang." Wush pipiku terasa panas dipanggil sayang. Sugus pintar sekali cari-cari kelemahanku. "Saya dan Aisyah itu nggak boleh menikah, karena kami adik kakak," terangnya.

"Kok bisa? Kan orang tua Gus dan Ning Aisyah beda. Lagi pula setahu Sashi Gus itu anak satu-satunya. Kok bisa jadi adik kakak?"

Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk bulan sabit yang bersinar menyinari malamku. "Itu karena kami saudara sepersusuan. Dulu saat Aisyah lahir, Uminya nggak bisa mengeluarkan asi. Kebetulan Umi sedang menyusui saya yang waktu itu berusia satu tahun. Ya sudah Umi mendonorkan asinya pada Aisyah."

"Jadi saudara sepersusuan itu nggak boleh nikah, Gus?"

"Yaps. Bidadari kecil saya ini memang pintar."

"Jadi Ning Aisyah akan menikah dengan siapa, Gus?" tanyaku penasaran.

"Dengan sahabat saya. Ransi," jawabnya.

Alhamdulillah ya Allah, aku jadi lega.

"Ceritanya ada yang cemburu nih?" lagi-lagi Sugus menggodaku. Ish bikin malu saja. "Jawab nggak atau saya cium?" tawar Sugus seraya mendekatkan tubuhku padanya. Ternyata tangan Sugus juga masih berada di balik tubuhku.

"Tadi katanya nunggu Sashi siap. Gus nggak mau maksa Sashi."

"Tadi juga ada yang rela buka baju buat di—"

"Yaak! Jangan diterusin, Gus." Bibir Sugus langsung ku bekap dengan tangan. Lantas kurasakan benda lembut dan basah di telapak tanganku.

"Ish Gus jorok!!!" Aku melepas tanganku dari bibirnya. Jorok banget Sugus itu. Masak tanganku di jilat sama lidahnya. Ewh.

Sugus malah ketawa-ketawa nggak berdosa. Puas banget sepertinya membullyku.

"Haduh perut saya kram!" Ucapnya setelah tawa terhenti. Sugus memegangi perutnya sendiri. "Sini sini cium kening dulu."

Dengan suka rela aku sodorkan kening padanya, dan bibirnya langsung mendarat mulus di sana. Bisa aku rasakan kecupan hangat dan lembut itu, sekaligus rasa geli dari bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya.

Eh eh, sepertinya Sugus minta lebih. Sudah dikasih hati, malah minta jantung dan ampela. Matanya memandangi bagian lembut yang ada di wajahku. Apalagi kalau bukan bibir.

Herannya aku nggak bisa berkutik untuk sekedar melarang atau menjauhkan tubuhnya dariku. Aku membeku seperti habis disiram air es. Wajah Sugus semakin mendekat hingga napasnya menerpa pipiku. Hidung kami pun sudah saling bersentuhan dan...

"Hatchim!"

Percobaan mengambil ciuman pertamaku akhirnya gagal pemirsa. Aku bersin saat kurang dari satu senti lagi milik kami bersentuhan. Dan jeb jeb jebreeet! Sugus harus coba lagi.

Ck ck ck! Seperti hologram Ale-Ale. Maaf anda kurang beruntung.

"Alhamdulillah."

Mata Sugus mendelik menatap tak suka saat tubuhnya sudah menjauh.

"Adab bersin kan memang harus mengucap hamdalah, Gus." Kurasa Sugus salah paham. Ia kira ucapan hamdalah itu karena our uwu-uwu nggak jadi.

"Yarhamukillah."

Sugus berdiri. Ia mengusap wajahnya berkali-kali. Sepertinya jijik deh karena terkena cairan bersinku.

"Maaf Gus, tadi Sashi hujan-hujanan," ucapku tanpa merasa berdosa.

******

Udah kan? Udah nggak penasaran lagi kan sama hubungan Ning Aisy dan Sugus? Hihihiii.

Happy reading to my luvvv *kasih finger love*

Continue Reading

You'll Also Like

46.7K 2.1K 27
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
53.8K 6.4K 109
【 NOVEL TERJEMAHAN 】 ⚠️ CH1 - CH64 (DIEDIT). ⚠️ CH65 - CH108 (DALAM PROSES PENGEDITAN). Penulis: 云初棠 Status: Lengkap (108 chapter) Deskripsi: Xie Qin...
6.7M 472K 59
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
6.8M 960K 52
[SEQUEL OF A DAN Z] Tumbuh dewasa tanpa kedua orang tua dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar, terlebih harus menjadi sosok orang tua untuk k...