Mahram Untuk Najwa (END)

By sezeesan

7.3M 396K 11.1K

(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah w... More

CAST MUN (SPESIAL)
TRAILER MUN (SPESIAL)
PART 1~Bertemu Kembali~
PART 2 ~Mawar Putih~
PART 3 ~Tentang Fadlan~
PART 4 ~Dompet~
PART 5 ~Jihan~
PART 6 ~Cerita Tentang Aika~
PART 7 ~Lamaran Faiz~
PART 8 ~Permintaan Jihan~
PART 9 ~Jawaban~
PART 10 ~Berkorban~
PART 11 ~Pernikahan~
PART 12 ~Kehidupan Baru~
PART 13 ~Berbeda~
PART 14 ~Perjanjian Pernikahan~
PART 15 ~Kedatangannya~
PART 16 ~Foto~
PART 17 ~Alan dan Aika~
PART 18 ~Melepaskan~
PART 19 ~Ikhtiar~
PART 20 ~Fadlan dan Faiz~
PART 21 ~Berdamai Dengan Takdir~
PART 22 ~Cemburu~
PART 23 ~Hak Suami~
PART 24 ~Berbohong~
PART 25 ~Mencintai Najwa~
PART 26 ~Cinta~
PART 27 ~Dia Kembali?~
SPESIAL PART TAHUN BARU!!
PART 28 ~Prioritas Fadlan~
PART 29 ~Mengulang Masa Lalu~
PART 30 ~Melupakan Aika~
PART 31 ~Dekat~
PART 32 ~Imam~
PART 33 ~Aika dan Kenangan Bersamanya~
PART 34 ~Nostalgia~
PART 35 ~Menghapus Tentangnya~
PART 36 ~Malaikat Kecil~
PART 37 ~Dia Datang~
Part 38 ~Saatnya Untuk Pergi~
PART 39 ~Jawaban Allah~
PART 40 ~Berubah~
PART 41 ~Permohonan~
PART 43 ~Salah Najwa~
PART 44 ~Mencintaimu Karena Allah~
PART 45 ~Surat Untuknya~
PART 46 ~Gugatan Cerai~
PART 47 ~Menghilang~
PART 48 ~Nama~
PART 49 ~Lembaran Baru~
PART 50 ~Tentang Fadlan~
PART 51 ~Najwa dan Keluarga Kecilnya~
PART 52 ~Azzam~
PART 53 ~Maaf~
PART 54 ~Sedih dan Bahagia~
PART 55 END ~Senja dan Pertemuan Di Pantai Malimbu~
EXTRA PART 1 ~Rahasia Yang Belum Terungkap~
EXTRA PART 2 ~Kenangan yang tak ingin dikenang~
MUN 2 DAN MUSAFIR HASNA

PART 42 ~Selamat Tinggal~

94.7K 5.7K 282
By sezeesan


"Maafkan aku mas. Aku memang salah."

_Malaika Farida Najwa_

_ _ _

Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat. Aku seolah tak merasa jika sehari sudah terlewati begitu saja. Aku dan mas Fadlan sekarang tengah menikmati sore hari di lantai atas rumah kami, menunggu senja datang diujung langit. Sedari tadi fikiranku selalu berkecamuk tentang Jihan. Aku masih belum bisa melepaskan semua yang kumiliki sekarang. Aku tidak melepaskan mas Fadlan.

"Ada apa?" Mas Fadlan bertanya. Aku menggeleng, tak mau mengatakan apapun yang justru akan membuatku semakin merasa sakit.

Mas Fadlan meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat. Aku kaget dan refleks menarik tanganku yang digenggamnya. Namun genggaman tangan mas Fadlan terlalu kuat untuk bisa kulepaskan dengan tenagaku yang seadanya.

"Aku suka tanganmu, jadi jangan pernah melepaskannya." Mas Fadlan memperingati.

Kami diam cukup lama. Mas Fadlan sibuk memakan snack yang tadi sempat dibelinya. Sedangkan aku justru malah sibuk memikirkannya. Tanpa kusadari, tatapanku sudah tertuju pada mas Fadlan cukup lama. Aku segera menunduk saat ia menolah dan pandangan kami bertemu.

"Apa aku terlalu tampan sehingga kamu menatapku seperti itu?" Mas Fadlan mengangkat salah satu sudut bibirnya. Aku bergerak menjauh, namun mas Fadlan justru semakin memangkas jarak diantara kami.

"Kenapa? Apa kamu tidak suka digoda?"

"Tidak!" Aku menjawab cepat. Mas Fadlan terkekeh.

"Apa kamu ingat saat kita melihat senja di pantai malimbu, Najwa?" Mas Fadlan mengganti topik pembicaraan kami. Aku tentu masih mengingat kenangan itu. Tentang bagaimana mas Fadlan bercerita saat kami masih bersama. Ketika aku menjadi Aikanya, dan dia menjadi Alanku.

"Iya mas."

"Aku sebenarnya sudah menyukaimu sejak lama Najwa, tapi aku masih belum menyadarinya. Saat kita berada di pantai Malimbu itulah, aku menyadari perasaanku." Mas Fadlan menatapku lekat. Aku berusaha menahan debaran jantungku yang sudah tak karuan karena ucapannya.

"Aku mencintaimu Najwa." Mas Fadlan melanjutkan kalimatnya. Dia pernah mengutarakan hal yang sebelumnya. Namun kali ini ada sesuatu berbeda yang kurasakan. Seolah mas Fadlan ingin membuatku benar-benar percaya dengan perasaanya.

"Bu—bukankah mas mencintai Aika dan Jihan?" tanyaku. Nama Jihan meluncur tanpa bisa kutahan. Padahal mas Fadlan sudah mengingatkanku untuk tidak menyebut nama Jihan lagi. Namun aku masih bingung dengan semuanya. Mas Fadlan tiba-tiba saja bersikap seolah ia membenci Jihan padahal mas Fadlan dulu mengatakan Jihan adalah wanita yang istimewa baginya.

"Aku memang mencintai Aika dan... pernah berusaha mencintai Jihan." Intonasi suara mas Fadlan berubah saat menyebut nama Jihan.

"Jadi apa mas sudah mencintai Jihan sekarang?"

Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang hal itu. Mas Fadlan mengatakan jika ia pernah berusaha mencintai Jihan. Itu artinya mas Fadlan pernah tidak mencintainya. Lantas kenapa mas Fadlan menganggap Jihan istimewa? Aku tentu bingung dengan pernyataannya yang belum jelas.

"Aku tidak mencintainya dan tidak akan pernah mencintainya," jawab mas Fadlan yakin. Tanpa sadar, aku sudah meremas ujung hijab ku. Mas Fadlan mengatakan seolah ia membenci Jihan. Lalu bagaimana jika aku mempertemukan mereka lagi? Bagaimana reaksi mas Fadlan jika aku melakukan itu?

"Kenapa mas?"

Mas Fadlan mengambil pasir pantai dan menggenggamnya. Ia membuka genggaman tangannya, membuat pasir pantai itu jatuh terbawa angin.

"Karena aku tidak ingin mencintai wanita seperti dia."

Aku hanya diam. Fikiranku tentang mas Fadlan dan Jihan berkecamuk menjadi satu. Apa yang akan aku kulakukan sekarang? Aku berada ditengah-tengah dua orang dengan perasaan yang berbeda. Mas Fadlan sekarang sudah tidak memiliki perasaan kepada Jihan sedangkan Jihan masih sangat mencintai mas Fadlan. Jihan ingin bersama dengan mas Fadlan lagi, namun mas Fadlan tidak mau melihat Jihan apalagi hidup bersamanya.

"Apa mas akan kembali bersama Jihan?" Aku bertanya, Mas Fadlan menatapku dengan alis bertaut.

"Tentu saja tidak Najwa, aku kan sudah bilang kita akan terus bersama."

"Be—berarti mas benar akan membatalkan perjanjian pernikahan kita?"

"Apa kamu meragukanku?" Mas Fadlan balik bertanya.

Aku diam, tidak berani menjawab pertanyaannya. Aku bisa melihat kejujuran dalam tatapan mata mas Fadlan. Namun aku masih belum bisa mempercayai semuanya. Mas Fadlan mencintaiku adalah sesuatu yang sangat besar. Itulah yang kuinginkan sejak dulu. Mas Fadlan mencintaiku sebagai Najwa, bukan sebagai Aika. Dan sekarang semuanya benar terjadi.

"Aku sebe—"

"Apa kamu mencintaiku, Najwa?" Mas Fadlan memotong ucapanku dan langsung mengajukan pertanyaan itu lagi

"Kali ini aku hanya butuh jawaban iya atau tidak," jelas mas Fadlan. Ia pasti sudah lelah menanti kepastian perasannya kepadaku. Aku sudah menggantung perasaan mas Fadlan cukup lama.

"Aku masih—"

Cup

Tubuhku membeku saat mas Fadlan tiba-tiba saja menciumku tepat dibibir. Aku bisa merasakan bibirnya menyentuh bibirku dibalik cadar.

"Jika kamu tidak merasakan apapun sekarang, itu artinya jawabanmu adalah tidak."

Aku merasa seperti ada sesuatu yang berteriak di dalam diriku. Seperti kebahagiaan dan sakit. Aku tentu merasakan sesuatu saat ia menciumku tiba-tiba. Sesuatu yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

"Ma—mas tidak seharusnya—"

"Izinkan aku membuka cadarmu Najwa."

Mas Fadlan lagi-lagi memotog ucapanku. Kali ini aku tidak bisa bereaksi apapun. Mas Fadlan mengingatkanku dengan kejadian malam itu. Saat ia memintaku untuk membuka cadar.

Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi denganku. Aku sama sekali tidak bergerak saat mas Fadlan mendekat. Laki-laki itu sekarang hanya terpaut beberapa jengkal denganku. Tangannya sudah memegang ujung cadarku. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Mas Fadlan membuatku bisu.

Cadarku perlahan mulai terangkat. Aku dan mas Fadlan saling menatap dengan perasaan yang menggebu-gebu. Aku ingin mendorong tubuh mas Fadlan, namun sesuatu seperti menahanku untuk tidak melakukannya.

Tolong hamba-Mu ya Allah, aku tidak ingin mas Fadlan mengetahui identitasku sekarang

Aku berdoa dalam hati. Saat cadarku sudah setengah terbuka, hujan tiba-tiba turun. Aku dengan cepat menjauhkan diri dari mas Fadlan. Aku memegang cadarku dengan erat.

"Maafkan aku, Najwa." Mas Fadlan meminta maaf. Aku melangkah mundur saat ia mencoba mendekatiku.

"A--aku--"

Aku berlari meninggalkan mas Fadlan. Meninggalkannya bersama sakit dan kekecewaan yang tersimpan dalam hatiku.

~MUN~

Aku menatap sajadah dengan fikiran yang berkecamuk tanpa henti. Sejak kejadian di lantai atas sore kemarin, aku tak pernah memunculkan diri di depan mas Fadlan. Aku mengurung diri di dalam kamar, takut jika dengan melihatnya lagi aku kembali mengingat kejadian itu. Aku bahkan tidak jadi membawa mas Fadlan bertemu dengan Jihan hari ini. Bagaimana aku bisa membawa mas Fadlan bertemu Jihan? Sedangkan aku dan mas Fadlan tengah berada berada pada hubungan yang kurang baik.

Tok tok tok

Ketukan pintu terdengar saat aku baru selesai menunaikan shalat maghrib. Kulipat sajadah lalu berjalan ke arah pintu tanpa melepas mukena terlebih dahulu. Aku fikir mbok Asrih yang datang, namun ternyata seseorang yang tak kuharapkan berdiri di depan pintuku justru berada disana.

"Najwa." Mas Fadlan memanggil namaku. Ia langsung masuk dan menutup pintu tanpa bertanya apakah aku mengizinkannya masuk atau tidak.

"A—ada apa mas?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Aku melihat ke arah benda berwarna hitam di kepala mas Fadlan. Laki-laki itu masih memakai peci. Itu artinya mas Fadlan langsung datang kemari setelah selesai menunaikan shalat maghrib.

"Aku ingin memperbaiki semuanya," jelas mas Fadlan. Ia berjalan mendekat ke arahku. Aku sontak mundur untuk menjauh darinya.

"Aku minta maaf Najwa," Mas Fadlan menatpku lekat, "aku seharusnya tidak bertindak gegabah dengan mencoba membuka cadarmu," lanjutnya.

"A—aku sudah melupakannya mas, ja—jadi mas tidak perlu minta maaf." Aku berdusta. Tentu saja aku tidak bisa melupakan kejadian itu dengan mudah.

"Lalu kenapa kamu tidak menatapku?"

Aku berusaha menahan kegugupan yang melanda diriku. Aku memberanikan diri untuk menatap mas Fadlan. Sedari tadi aku memang menunduk karena tidak berani melihatnya.

"Aku mengaku salah atas apa yang kulakukan kemarin sore Najwa, tapi aku tidak berbohong dengan alasanku melakukannya. Aku benar-benar mencintaimu."

Mas Fadlan berjalan mendekat ke arahku. Aku tidak bisa mundur lagi karena tubuhku sudah menyentuh dinding.

"Tolong jangan mengatakan itu mas," jelasku.

"Jangan mengatakan apa, Najwa?"

"Jangan katakan mas mencintaiku."

"Tapi kenapa?"

"Karena aku tidak bisa menjawabnya!" Aku berteriak. Baru kali ini aku berani berteriak seperti itu kepada mas Fadlan. Aku tidak pernah meninggikan suara saat berbicara dengannya, namun kali ini aku sudah tidak tahan lagi. Mas Fadlan memaksaku untuk melakukannya.

Tok tok tok

"Non, ada tamu yang datang."

Pintu kamarku diketuk. Mbok Asrih memberitahu jika ada tamu yang datang. Dia pasti tidak mendengar perdebatan kami dari luar. Aku segera menghapus air mataku yang entah sejak kapan sudah turun. Aku membuka mukena dan meletakkannya di meja.
Mbok Asrih nampak kaget ketika melihatku dan mas Fadlan keluar kamar bersama.

"Maaf non, mbok nggak tahu kalau non sama tuan sedang bersama di dalam."

"Nggak papah mbok. Kita cuman ngobrol sebentar," potongku.
Mas Fadlan melirik ke arahku sekilas. Aku berusaha untuk tetap menjauh darinya. Termasuk dalam kontak mata.

"Siapa yang datang mbok?" Mas Fadlan bertanya.

"Wanita tuan. Katanya sih dia sahabat non sama tuan," balas mbok Asrih.
Aku berfikir sebentar. Apa Zahra yang datang? Tidak mungkin. Wanita itu sekarang tengah liburan bersama suaminya ke Bali. Atau dia yang datang?

Mas Fadlan langsung berjalan ke arah ruang tamu. Aku mengekorinya dari belakang.

"Mas Fadlan!"

Suara itu. Aku sangat mengenalnya.

"Jihan?" Mas Fadlan menyebut nama itu. Nama seseorang yang memenuhi pikiranku selama seminggu terakhir. Dia benar-benar datang untuk menemui mas Fadlan. Dia datang ke rumah karena aku tidak membawa mas Fadlan menemuinya.

Jihan tiba-tiba saja berlari dan memeluk mas Fadlan. Aku melangkah mundur untuk menjauh. Mas Fadlan yang mengetahui pergerakanku dengan cepat melepaskan pelukan Jihan. Ia menatapku sekilas.

"Apa yang kamu lakukan Jihan? Istriku melihatnya."

Jihan melihatku dengan tatapan tidak suka. "Aku merindukanmu mas," ucapnya.

"Kapan kamu kembali?" Mas Fadlan bertanya. Aku masih setia menjadi pendengar.

"Beberapa hari yang lalu," jawab Jihan.

Mas Fadlan mengerutkan kening. "Kenapa kamu datang kesini?"

Karena aku tidak membawamu kepadanya mas

"Mas seharusnya bertanya kepada wanita di samping mas itu. Dia yang tahu alasan kenapa aku datang kemari," jawab Jihan.

Mas Fadlan melihat ke arahku. Aku hanya menunduk. Semua yang terjadi sekarang benar-benar diluar dugaanku. Aku tidak pernah menduga Jihan akan datang ke rumah dan menemui mas Fadlan seperti ini.

"Apa yang sudah kamu lakukan Najwa?" Mas Fadlan bertanya.

"Aku tidak—"

"Aku sudah memberikannya waktu seminggu untuk membawamu kepadaku lagi mas, tapi dia tidak pernah melakukannya." Jihan memotong ucapanku. Dia tidak memberiku waktu untuk berbicara.

"Sekarang kamu sudah menemuiku kan, jadi kamu harus pergi." Mas Fadlan memberikan respon yang sudah kuduga. Dia memang tidak menyukai Jihan.

"Ma—maksud mas apa? Aku datang karena aku ingin bertemu dengan mas." Intonasi suara Jihan merendah. Dia pasti kaget mendengar mas Fadlan memberikan respon seperti itu.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Kulihat mata Jihan berkaca-kaca. Aku merasa bersalah karena sudah membawanya pada situasi seperti ini.

"Kita sudah bertemu bukan? Jadi pergilah." Mas Fadlan berbalik. Ia hendak pergi, namun Jihan memegang tangannya.

"Mas masih marah padaku?" Suara Jihan bergetar. Air matanya sudah keluar.

"Tidak. Aku tidak marah. Aku hanya kecewa," balas mas Fadlan.

"Aku minta maaf mas. Aku juga pergi karena—"

"Karena kamu sakit. Kamu mengidap HIV," potong mas Fadlan. Jihan nampak terkejut dengan ucapan mas Fadlan. Intonasi suara laki-laki itu berubah menjadi lebih tinggi.

"Mas tahu kan, aku—"

"Sudahlah Jihan. Kamu tidak perlu melanjutkan kebohonganmu lagi." Mas Fadlan menaikkan salah satu sudut bibirnya.

"Ma—maksud mas apa?"

"Selama ini kamu berbohong. Kamu tidak pernah sakit apalagi mengidap HIV."

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Apa Jihan benar berbohong tentang penyakitnya?

"Aku tidak berbohong mas. Aku—"

"Kamu selama ini ada di Malaysia," potong mas Fadlan. Ia tidak mengizinkan Jihan untuk menjelaskan apapun.

"Apa yang mas katakan tidak benar. Aku selama ini pergi berobat mas." Jihan berusaha membela diri.

"Kamu sudah pulang ke Indonesia tiga bulan yang lalu. Kamu bahkan datang ke acara pernikahan Zahra. Dan kamulah yang mendorong Najwa hingga jatuh ke kolam."

Satu persatu hal yang tidak kuduga mulai terungkap. Aku masih tidak mempercayai semua ini. Apa Jihan seburuk itu hingga menipuku selama ini? Apa seseorang yang kulihat dalam pernikahan Zahra itu benar adalah Jihan? Jika iya, kenapa Jihan tidak memberitahuku ketika kami bertemu tempo hari?

"Mas salah paham," ucap Jihan. Raut wajahnya berubah, nampak khawatir.

Mas Fadlan mengambil ponselnya dan memperlihatkan sebuah video rekaman kamera CCTV. Video itu memperlihatkan detik-detik sebelum aku jatuh ke dalam kolam. Di dalam video itu memperlihatkan bahwa aku tidak jatuh karena terpeleset, melainkan ada seorang wanita yang mendorongku dari belakang. Dan wanita itu adalah Jihan. Aku langsung menutup mulut, tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat.

Tatapan Jihan berubah. Ia juga kaget ketika melihat rekaman CCTV itu.

"A—aku nggak bohong mas." Jihan menekankan jika dirinya memang tidak salah. Namun mas Fadlan tidak bergeming. Ia masih menatap Jihan dengan ketidaksukaan.

"Berhentilah menipu siapapun Jihan. Aku tidak sebodoh itu sehingga langsung mempercayai alasanmu meninggalkan pernikahan kita dan meminta Najwa untuk menggantikan posisimu sebagai pengantin hanya karena sebuah penyakit mematikan yang tiba-tiba saja kamu idap. Kamu dokter yang profesional Jihan. Kamu tidak mungkin membiarkan jarum suntik sembarangan masuk ke dalam tubuhmu."

Jihan diam. Dia tidak memberikan pembelaan apapun. Air matanya sudah jatuh hingga membasahi pipinya yang mulus. Aku hanya bisa mendengar tanpa bisa berbuat apa-apa. Semua kebenaran ini datang terlalu tiba-tiba. Aku masih sulit untuk bisa menerimanya begitu saja.

"Apa kamu mencintai Najwa mas?" Jihan bertanya dengan suara yang lirih.

Mas Fadlan menatap ke arahku. "Iya, aku sangat mencintainya."

Tangis Jihan langsung pecah. Ia terduduk di atas lantai. Ketakutanku benar terjadi. Mas Fadlan mengatakan kebenaran tentang perasaannya terhadapku kepada Jihan. Wanita itu menghapus air matanya dengan cepat. Ia berdiri dan menatap mas Fadlan dengan tatapan yang menyiratkan luka.

"Apa mas tahu alasanku berbohong hingga meminta Najwa untuk menggantikan posisiku sebagai pengantinmu?"

Mas Fadlan mengangkat salah satu alisnya. "Aku tidak perduli."

"Mas harus perduli karena alasanku melakukannya adalah karena dia." Jihan menunjuk ke arahku. Perasaanku mulai tidak karuan.
Mas Fadlan mengerutkan kening. "Maksud kamu apa?"

Jihan berjalan dengan cepat ke arahku. Tatapan kami bertemu beberapa saat hingga suatu hal yang tak kuduga terjadi begitu saja. Jihan menarik cadarku hingga terlepas. Aku langsung menutup wajahku dengan tangan.

"Jihan!" Mas Fadlan berteriak.

"Lihat dia mas! Lihat siapa dia sebenarnya! Dia adalah alasan kenapa aku berani berbuat hingga sejauh ini."

Jihan menarik tanganku hingga kini wajahku benar-benar dilihat olehnya. Mas Fadlan akhirnya melihat wajahku setelah sekian lama aku menutupinya. Aku tidak mengharapkan ia mengetahui kebenaran tentangku dengan cara seperti ini.

"A—Aika?" Mas Fadlan menyebut nama itu. Aku menutup mata. Rahasiaku sudah terbongkar.

Jihan tertawa. "Dia sangat pintar mengelabuimu kan mas? Dia yang menjadi alasan kenapa mas selalu menghindar ketika aku mengatakan bahwa aku mencintai mas. Dia yang membuat mas menangis setiap malam karena melihat foto kalian. Dia sahabatku Najwa yang ternyata adalah Aika kesayanganmu mas."

Air mataku keluar. Pernyataan Jihan membuatku kecewa pada diriku sendiri. Aku sudah melukai dua orang sekaligus. Jihan dan mas Fadlan. Aku memberanikan diri untuk menatap mas Fadlan. Laki-laki itu terus menatapku. Dia pasti tidak mempercayai semua ini.

"Maafkan aku mas," ucapku lirih. Mas Fadlan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Matanya memerah. Ia menangis.

"Ka—kamu benar Aika?" Mas Fadlan bertanya padaku.

"Tentu saja dia Aika mas! Dia—"

"Diam!" Bentak mas Fadlan. Jihan langsung teridam karenanya.

"Aku hanya ingin Najwa yang menjawab," ucap mas Fadlan.
Aku menatap mas Fadlan dengan rasa bersalah yang teramat sangat.

Aku mengangguk. "Aku minta maaf mas. Aku—"

"Katakan saja apakah kamu Aika atau tidak!" Suara mas Fadlan semakin tinggi.

"Iya aku aku Aika mas."

Mas Fadlan terduduk di atas lantai. Ia menutup wajahnya. Aku merasa sangat bersalah karena telah membuatnya menangis.

"Kalian sudah berhasil menipuku. Kalian menang dan aku kalah." Mas Fadlan terkekeh dengan air mata di pelupuk matanya.

Aku menggeleng. "Mas tidak—"

"Diam Aika! Diam!"

Tangisku semakin deras. Mas Fadlan baru saja memanggilku Aika. Namun kali ini ia tidak memanggil nama itu dengan penuh sayang. Mas Fadlan marah. Dia sangat marah.

"Pergilah Jihan, jangan pernah kembali lagi dalam kehidupanku." Mas Fadlan meminta Jihan untuk pergi.

"Tapi mas—"

"Pergi!" Teriak mas Fadlan. Aku refleks menutup telinga. Mas Fadlan semakin meninggikan suaranya. Jihan menatapku dan mas Fadlan bergantian. Ia langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Tinggallah sekarang hanya aku dan mas Fadlan dalam ruangan yang terasa menyesakkan ini.

Hujan perlahan mulai turun. Kami hanya diam. Suara hujan menjadi nyanyian dalam sepi yang menggapai rasa. Mas Fadlan berdiri. Ia berusaha untuk tetap tegar disaat aku sendiri tidak kuat menahan rasa sedihku.

"Berhentilah menangis," ucap mas Fadlan. "Jangan membuatku semakin membencimu," tambahnya.
Aku berusaha untuk berhenti menangis tapi itu sangat sulit.

"Maafkan aku mas, aku bisa jelasin semuanya."

"Aku tidak membutuhkan penjelasan apapun darimu Ai—Najwa."

"Maafkan aku mas." Aku tidak akan pernah berhenti meminta maaf padanya. Aku memang salah kepada mas Fadlan karena sudah berbohong padanya selama ini.

"Kamu pantas minta maaf," ucap mas Fadlan.

"Aku salah mas. Aku sudah—"

"Aku tidak ingin mendengar apapun lagi." Mas Fadlan memotong kalimatku.

"Lupakan apapun yang aku katakan. Mulai sekarang aku akan berhanti mencintaimu. Aku akan melupakan perasaanku."

Tidak. Aku tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Aku akan pergi. Jangan pernah mencariku atau menungguku."

Aku menggeleng dengan cepat. "Ja—jangan pergi mas."

Mas Fadlan terkekeh. "Kamu sangat egois Najwa."

Iya. Aku sangat egois mas. Aku tidak ingin kamu pergi.

"Tolong mas. Dengarkan penjelasanku. Aku—"

"Selamat tinggal Aika."

Mas Fadlan menatapku beberapa saat sebelum akhirnya pergi keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang. Mas Fadlan menerobos hujan dan masuk ke dalam mobil. Tangisku semakin menjadi ketika mengingat ini adalah kali terakhirku bertemu dengannya. Mas Fadlan akan pergi.

Aku menerobos hujan. Aku berlari mengejar mobil mas Fadlan yang sudah keluar gerbang. Mobil itu pergi dengan cepat. Aku berhenti ketika hujan semakin menderas dan mas Fadlan sudah menghilang. Aku menangis. Ingatanku berputar pada kejadian dimana mas Fadlan beberapa kali mengutarakan perasaannya padaku. Sakit kurasakan ketika mengingat bagaimana ekspresinya ketika melihat wajahku.

"Maafkan aku mas."

Air mataku menyatu bersama hujan. Aku terduduk di jalan dengan ditemani kegelapan. Cahaya samar-samar terlihat. Mesin mobil terdengar semakin mendekat. Arahnya berlawanan dari arah kemana mas Fadlan pergi. Aku tahu cahaya itu bukan dari mobil mas Fadlan. Tapi aku tidak pergi. Tenagaku sudah habis. Untuk berdiripun aku tidak kuat apalagi jika harus menghindar dari kematian yang mungkin sebentar lagi akan menghampiriku.

Selamat tinggal mas. Maafkan aku

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 1.5K 49
[END] "Menyukai mu sama seperti mendapatkan nilai sempurna dalam Matematika, sikapmu yang rumit dipahami dan mustahil untuk dimiliki."- Sabila Anast...
170K 15.5K 27
Tahap revisi🪄 Di pending dulu re-update nya yaa♡ [SEQUEL AFIKA!!] "Satu rumah sama lo bikin gue muak aja tau, nggak!!?" "Ya terus gue harus apa!!?" ...
396K 12.8K 22
"Apa serunya pelajaran sejarah? Masa lalu itu dilupain, bukan dikenang"-Putra. *** Copyright © 2018 by Aqilarifqa_
18.1K 791 53
Jodoh itu di tangan Tuhan... Of course... Cinta tak harus memiliki... Munafik.. Cinta akan tumbuh karena terbiasa... Oh ya? Amira memiliki kisah cint...