Kumpulan Cerpen

By MarentinNiagara

102K 6.8K 1.9K

šŸ‘‹šŸ‘‹ Hi haii šŸ‘‹šŸ‘‹ berjumpah lagi kita šŸ’‹šŸ’‹ Bosen sama cerita panjang kek sinetron??? šŸ¤”šŸ¤” Lebih suka nonton f... More

šŸ’ Menantu Idaman Ummi ??
šŸ’ Aku Tikung Kau diSepertiga Malam
šŸ’ Perempuan disarang Penyamun
šŸ’ Cucu untuk Ibu
šŸ’ Semburat Bianglala di Puncak Rembangan
šŸ’ Cinta dan Setir Bundar
šŸ’ The Apple Of My Eyes
šŸ’ Istri Untuk Suamiku
šŸ’ Senja di Atas Kereta
šŸ’ Cintaku dan Duri Ikan
šŸ’ Boneka Cinta dari Arosbaya
šŸ’ Rona Lima Warna
šŸ’ Pembantu Baru Ibu
šŸ’ Keluarga Dokter
šŸ’ Bully
šŸ’ Jodoh Pasti Bertemu
šŸ’ Heal Your Heart
šŸ’ Surgaku, Dunia Akhirat
šŸ’ Pelabuhan Terakhir
šŸ’ Aku Cinta Ibu
šŸ’ Tiba-tiba, Kita?
šŸ’ I Long For You, Frian Ardiera
šŸ’ Bidadari Terakhir
šŸ’ Sein Kiri Belok Kanan
šŸ’ RESTU
šŸ’ Selamat Datang Cinta
šŸ’ Memantaskan Diri?
šŸ’ Balada Cinta Bangsawan Andi
šŸ’ Mantan TKW (1)
šŸ’ Bianglala Senja
šŸ’ Radio Amatir
šŸ’ Why never be Honest?
šŸ’ Mantan TKW (2)
šŸ’ Maaf, Aku tak Memilihmu
šŸ’ UTANG
Berdamai dengan Masa lalu (1)
Berdamai dengan Masa Lalu (2)
šŸ’ Ndanda, Aku kangen!

šŸ’ Pasangan Sejiwa

1.9K 199 25
By MarentinNiagara

a stories by @MarentinNiagara

✏✏

"Aku tidak memiliki ayah, Bu Guru. Dia jahat kepada kami, Ummiku seringkali dipukulnya. Aku benci."

Hati siapa yang tidak teriris mendengarkan siswa SD kelas 1 yang menjawab dengan begitu polos. Mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya mengenai sosok seorang ayah.

Haruna Shafira, anakku. Haru, bukanlah anak yang suka berbicara kasar. Dia anakku dan aku melimpahinya dengan kasih sayang yang berlebih karena aku tahu bahwa sedari dia kecil dia tidak pernah menerima bagaimana rasanya sebagai seorang anak yang tumbuh normal di lingkungan keluarga yang bahagia. Sekalinya dia tahu, suamiku Andika Prahapsa telah berperilaku kasar kepadaku. Maafkan ibumu nak, seharusnya engkau tidak harus melihat apa yang telah dilakukan ayahmu untuk menyakiti ibu.

20 Mei 2008
"Sebenarnya Ayah kurang menyukai pilihanmu. Siapa itu namanya?"

"Andika, Ayah."

"Seandainya Arya bersedia untuk mengikuti akidah kita. Ayah lebih suka dengan Arya dibandingkan dengan Andi." kata Ayah dengan sejujurnya.

Arya Nugraha, mantan kekasihku yang akhirnya harus kuputuskan karena kita memang berbeda akidah. Aku tidak mungkin mengikutinya dan meninggalkan keluargaku. Begitupun dengannya yang tidak bersedia mengikuti aliranku. Kita memutuskan berpisah dengan sebuah kesepakatan bahwa akan tetap menjalin silaturahim dan menghormati keputusan masing-masing.

Bekerja di sebuah butik, memasang manik-manik dan juga finishing gaun pesanan beberapa orang penting menjadi kesibukanku setiap harinya. Hasilnya alhamdulillah, bisa mencukupi kebutuhan perut dan juga sedikit tabungan untuk masa depanku.

Hingga suatu ketika HPku bergetar dan berbunyi. Nomor asing, entahlah beberapa hari terakhir ini memang sering masuk nomor asing yang menelponku. Tidak mungkin langganan butik karena yang di tampilkan di web ataupun pamflet promosi bukanlah nomor HPku.

Hingga telingaku bising mendengar dan tanganku meraihnya diantara kesibukanku berjibaku dengan jarum dan beberapa mutiara swaroski yang harus kupasang untuk mempercantik gaun pesanan pelanggan ini.

"Hallo___" suaraku terdengar mengawali percakapan kami.

Dan terdengarlah suara pria yang berbicara panjang lebar. Sesekali aku bergidik, entah apa maksud si pria ini. Sudah jelas dia mengetahui jika sambungan teleponnya salah sambung ke orang lain. Namun justru mengajakku berkenalan.

Dari sanalah aku mengenalnya dengan nama Andi. Ya Andi yang akhirnya menawarkan diri untuk masuk ke hatiku setelah dengan susah payah aku menghapus nama Arya sebagai orang yang istimewa di sana.

26 Januari 2008
"Boleh kita bertemu, Cin?"

"Maksudnya apa?" jawabku yang akhirnya juga bertanya kepadanya. Apa tujuan kami bertemu nantinya.

"Emang kamu sudah puas kita hanya telpon-telponan seperti ini?" ucapnya.

Sedari itu membuatku malas untuk meladeninya. Aku tidak menyukai laki-laki yang seperti itu. Meneror melalui telepon dan yah berapapun banyaknya telepon tidak lagi pernah kuangkat jika HPku bergetar dan berteriak muncul namanya. Puluhan SMSpun akhirnya semakin menambah derita untuk HPku. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka pada suatu ketika aku tidak ada pekerjaan akhirnya kuangkat juga panggilannya.

Kami putuskan akhirnya bertemu di daerah Fatmawati. Supaya dekat dengan rumahku setelah aku pulang bekerja.

Malam itu akhirnya kami bertemu. Pria dengan tinggi 170 cm dan berambut ikal itu menemuiku dan memperkenalkan namanya. Tidak ada yang istimewa, biasa saja menurutku di pertemuan pertama itu.

"Kamu akhirnya mau ketemu juga. Apa alasannya yang membuatmu akhirnya bersedia bertemu denganku?" tanyanya di awal percakapan kami.

"Tidak ada salahnya bukan menambah teman."

"Ouhhh, teman__"

Sekilas ada rasa tidak suka dengan pernyataanku di wajahnya namun aku mengabaikan itu. Hingga pertemuan itu harus kami akhiri dan akhirnya kami pulang dengan sepeda motor kami masing-masing.

Entah ini kesialan atau memang peringatan dari Allah untuk tidak melanjutkan, ban sepeda motorku yang semula baik-baik saja tiba-tiba kempes.

Malam itu juga aku harus menemukan tukang tambal ban. Karena memang sudah malam dan sebenarnya sangat tidak baik wanita sepertiku harus pulang malam seperti ini.

Kudapati seorang tukang tambal ban tapi ya itu, berhubung sudah malam dia bersedia membantuku dengan catatan aku juga mau membayarnya lebih mahal dari biasanya. Okelah, demi kebaikan semuanya. Dan yang membuatku tercengang Andi yang kala itu membantuku justru mengatakan. "Cintya, pake uangmu dulu ya untuk nambal bannya. Besok aku ganti."

Pria ini, harusnya aku peka dari awal. Tadi ketika di kasir aku yang membayar semua makanan kami dan tidak sedikitpun dia berusaha untuk membantuku. Sekarang? Ah, pria macam apa yang sekarang bersamaku ini?

08 Agustus 2008
"Saya terima nikahnya Cintya Harumi binti Sunandar Hadipratiknyo dengan maskawin tersebut diatas dibayar tunai."

Resmi sudah aku menyandang sebagai Ny. Andika Prahapsa. Setelah aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku tentang siapa dia dan bagaimana kami nanti kami akan melalui hari kami kedepan.

Bahagia, tentu saja aku merasakannya. Menjadi pengantin baru, merasakan yang selama ini belum pernah aku rasakan sebelumnya. Namun lagi-lagi ingatanku kembali ke pesta pernikahanku beberapa jam yang lalu.

"Bahagia selalu ya calon mantu yang gagal. Langgeng sampai maut memisahkan." suara sahabat ayah yang sebenarnya sebelum pernikahanku dengan Andi bermaksud untuk menjodohkan aku dengan putranya, Mahesa Yudhistira. Kakak kelasku sewaktu SMA dulu. Kulihat Mas Yudhis hadir di pesta pernikahanku namun dia memilih untuk menjaga jarak terhadapku. Aku hanya tersenyum mendengar gurauan sahabat ayah itu kemudian fokus dengan kebahagiaan dan rasa haru di dalam dada.

Seminggu kemudian kami memutuskan untuk mengontrak rumah. Saat mertuaku mengatakan menyetujui supaya Andi juga tidak mengandalkan orang tua saja. Bisa mandiri dan bertanggung jawab. Tidak hanya mainan melulu. Demi Allah, aku tidak pernah berpikir buruk tentang suamiku.

Hari pertama, hari kedua hingga satu bulan berlalu kami masih bahagia hingga akhirnya aku melihat Andi yang pagi itu bersantai di rumah. Ada apakah gerangan dengan suamiku ini?

"Kamu kok masih dirumah Mas?"

"Iya, aku berhenti kerja." jawabnya.

"Maksudnya?"

"Kontrak kerjaku habis."

"Ya sudahlah, sementara di rumah dulu sambil nyari info dimana ada lowongan kerja." jawabku sebelum akhirnya kutinggalkan dia sendiri di rumah kontrakan kami karena aku harus berangkat kerja.

Dan itulah sebenarnya awal petaka rumah tangga kami.

Lima bulan dari kejadian itu, Andi belum bekerja sehingga aku harus lebih giat lagi untuk bekerja karena ada dua perut yang harus makan setiap hari di rumahku. Aku selalu mendoakan supaya suamiku bisa kembali bekerja sehingga aku tidak pontang-panting memeras keringat dan mengencangkan ikat pinggangku.

"Aku ngojek saja ya? Tapi aku pake motor kamu karena motorku suka ngadat. Nggak enak nanti sama pelanggan kalau di tengah jalan ngadat."

"Terus aku berangkat kerja bagaimana?"

"Nanti aku antar."

Tidak ada yang memalukan dengan pekerjaan halal menurutku. Aku mengizinkan, karena memang kami membutuhkan uang dan mengojek bukanlah pekerjaan yang hina. Mungkin dengan dia menghasilkan pendapatan aku tidak akan bingung lagi membayar kontrakan rumah, membayar listrik dan lainnya. Semoga ini merupakan jalan yang diberikan oleh Allah kepada kami.

Seminggu ini akhirnya aku diantar dan dijemput oleh suamiku. Rasanya berbeda memang, berangkat sendiri dengan diantarkan suami, merasa diperhatikan. Ya Rabb, perhatian sekecil ini sudah membuat hatiku berbunga-bunga.

"Cin, kamu berangkat sendiri ya."

"Loh, kamu memang mau kemana?" tanyaku.

"Aku ada langganan untuk nganterin anaknya sekolah di komplek ujung jalan sana. Kamu naik angkot saja. Butikmu dilewati kan?"

Baiklah lagi-lagi aku mengalah. Sepeda motorku dipakai dia dan aku harus mengeluarkan uang lebih untuk naik angkot pulang pergi setiap harinya. Sepeda motornya? Entahlah, sejak dia memakai sepeda motorku untuk mengojek, aku tidak melihat sepeda motornya lagi di rumah. Mungkin sedang di betulkan di bengkel.

Bekerja itu tentu akan menghasilkan uang. Tapi sayangnya pekerjaan suamiku ini tidak membantuku sama sekali. Bukan, bukan aku tidak mensyukuri pemberiannya. Namun justru aku tidak pernah menerima hasil kerjanya. Apa kabar dengan pekerjaannya selama ini?

Hingga cekcok dan pertengkaran kecil mewarnai alur rumah tangga kami. Bahkan tak segan-segan Andi melayangkan tangannya untuk memberi tanda merah di tubuhku saat keinginannya tidak bisa aku turuti. Allah, aku tidak menyukai pria yang ringan tangan seperti ini.

21 Juli 2010
Entah aku harus bahagia atau justru bersedih dengan alat tes kehamilan yang kini sedang ku pegang. Dua garis merah, itu menandakan bahwa kini di rahimku sedang tumbuh buah cintaku bersama Andi. Bahagia, tentu saja. Setiap orang yang memutuskan untuk membina rumah tangga pasti akan menginginkan hadirnya seorang putra namun dengan kondisi kami? Aku tidak tahu apakah Andi juga akan bahagia menerima kehamilanku. Tidak hamil saja dia menganggapku merepotkan apalagi jika nanti aku ngidam atau ingin dimanja olehnya.

Baiklah, sepertinya memang aku harus mencoret kata ngidam dan ingin dimanja olehnya. Aku harus bisa mandiri dan tidak merepotkannya supaya anak yang aku kandung bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Hingga Haruna kulahirkan, mungkin bisa dihitung dengan jari sebelah tanganku berapa kali dia mengantarku periksa kandungan. Beruntunglah bayiku sehat dan baik-baik saja di dalam. Sepertinya dia tahu jika ibunya harus kuat.

Adanya Haruna diantara kami bukan membuatnya semakin dewasa dan memperhatikan kami. Dia justru semakin merongrongku. Berapapun uang yang kuberikan kepadanya pasti akan dia habiskan dalam sekejab mata. Ada saja alasannya, bahkan sepeda motorku yang dipakenya untuk mengojek dulu sudah dijualnya dan aku tidak pernah tahu kemana uang hasil penjualan itu.

Kini, aku bisa membeli sepeda motor yang baru lagi. Tapi lagi-lagi sepeda motor itu dipakenya kembali. Sedangkan aku harus setia setiap pagi berkencan dengan sopir angkot untuk membelah jalanan ibukota.

Pertumbuhan Haru, yang sengaja aku titipkan kepada ibu mertua. Lagi-lagi karena alasan pekerjaan dan uang yang menjadi topik utama. Bayiku montok, lahir dengan berat 3.2 kg namun setelah satu bulan dirawat ibu mertuaku anakku menjadi kurus kering bahkan berat badannya bukannya nambah justru malah menurun.

Aku pulang ke rumah mama dan membawa Haru. Melihat Haru aku tahu mama menangis melihat keadaannya hingga beliau meminta supaya Haru di asuh olehnya. Maafkan anakmu Ma, di sisa hidupmu yang seharusnya bisa engkau pakai untuk beristirahat masih juga aku repotkan untuk mengasuh Haru. Sedangkan aku kembali sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.

Hingga Haru berumur tiga tahun. Aku baru mengetahui bahwa Andi memiliki wanita lain. Itupun tanpa sengaja aku mengetahuinya ketika aku harus oper angkot karena ban angkot yang kutumpangi meletus di jalan sebelum aku sampai butik.

Kedua mataku yang menjadi saksi bagaimana suamiku membonceng wanita dengan begitu mesranya. Sambil bercanda dan tertawa. Seperti itukah layaknya tukang ojek dengan pelanggannya, bulshit.

Air mataku langsung meleleh seketika itu. Aku ingin mengkonfrontasi langsung namun apalah dayaku, kondisiku tidak mungkin mengejarnya.

Allah, mengapa masalah ini begitu kompleks dengan testpack bergaris dua yang aku pegang pagi ini. Aku hamil anak kami yang kedua di saat suamiku sedang menjalin hubungan dengan wanita lain. Terkutuklah engkau dengan syaiton-syaiton nan bengis.

Aku berusaha untuk bertanya padanya. Siapa wanita itu sayangnya bukan jawaban yang kuperoleh tetapi dia memilih untuk pergi meninggalkanku. Meninggalkan kami, aku, Haruna dan anak yang sedang aku kandung.

"Siapa dia Mas?"

"Tidak perlu tahu siapa dia. Kamu selalu sibuk dengan semua urusanmu."

"Aku sibuk karena bekerja. Untuk kita. Harusnya kamu sebagai laki-laki menafkahiku tapi apa yang terjadi justru kamu menerima nafkah dariku." Plak, tangan kekarnya tergambar di pipi kiriku. Dalam tangisku aku memeluk Haru yang melihat pertengkaran kami. Ya Allah, aku salah harusnya aku lebih bisa menekan dan menahan semua ini di depan Haru.

Kepada siapa lagi aku berlari saat duaniaku benar-benar runtuh. Kedua kakiku tak lagi mampu menopang hayiku yang semakin hati semakin merapuh. Rasanya Allah memang begitu mencintaiku hingga cobaan ini datang bertubi-tubi untuk menguatkan janyung dan hatiku.

Bolehkan aku merintih sekali lagi Rabb, mengharapkan belas kasihMu. Mengharapkan dekapanMu dan menyentuh kembali relung hatiku dalam sebuah kesakitan yang begitu nestapa menggerogotinya.

Hingga aku tahu bahwa Andi telah menikahi wanita yang dulu sering diboncengnya. Aku? Aku bahkan digantung dan tidak pernah dinafkahinya. Hingga suatu ketika Haru sakit dan harus opname. Mengesampingkan rasa maluku aku mendatangi rumah mertuaku untuk Haru karena sedari kemarin dia mengigau memanggil ayahnya.

"Jangan Haru yang dijadikan sebagai alasan. Bilang saja kamu kangen ingin bertemu dengan Andi. Ngga perlu anak dijadikan tameng buat alasan kamu mau ketemu sama ayahnya. Jadi perempuan ngga usah kegatelan deh, pake alesan anak sakit, biarin aja sakit beneran." kata istri baru Andi saat menerima kedatanganku.

Aku memohon supaya Andi bersedia datang untuk menjenguk anaknya, tapi ternyata apa yg aku dapat? istri barunya bilang, anak jangan dijadikan alasan buat ketemu. Air mataku meleleh seketika. Bukan, bukan karena itu aku meminta Andi menjenguk anaknya. Haru memang sakit dan dirawat di rumah sakit, Ya Rabb, kalimat itu begitu menghujam jantungku.

Tidak sampai disitu, ibu mertuaku datang dan berkata. "Pulang saja ngga usah bohong lagi, ngga usah ngarepin Andi lagi, sudah sana pulang ngga usah kesini lagi."

Tiba-tiba Yanti adiknya Andi berkata, "Tutup saja pintunya Bu. Ngapain ngurus orang kaya gitu."

Braaaakkkkkk, pintu tiba-tiba ditutup dengan suara yang begitu keras. Ya Rabb, dosa apa yang telah aku lakukan dulu.

Tak lagi kudiamkan. Aku harus secepatnya bertindak. Mengikhlaskan kepergian Andi dan menata kembali kehidupanku.

Aku yang akhirnya memilih untuk tinggal dengan Mama. Yang kini berputar di otakku adalah, mengapa peristiwa yang terjadi pada orang tuaku harus aku alami? Kedua orang tuaku memilih untuk berpisah saat aku duduk di bangku SMA. Dan sekarang sepertinya memang aku akan berjalan menuju kesana. Astaghfirullahaladziim.

Kubaca istighfar berkali-kali untuk menenangkan hatiku. Haru yang harusnya tumbuh menjadi anak yang normal harus merasakan juga apa yang aku rasakan dulu di usianya yang tentu belum mengerti apa artinya sebuah perpisahan.

Apakah ini balasan yang harus kuterima karena dulu aku menolak untuk dijodohkan orang tuaku dengan Mahesa Yudhistira?

Air mataku meleleh disetiap sujud sepertiga malamku.

"Lu ya perempuan goblok." Kata Ivan Gunawan saat tanpa sengaja mendengar curhatku ke pegawainya. Kala itu aku mengambil gaun darinya untuk menyelesaikan pemasangan payetnya.

Iya memang aku bodoh, aku goblok, aku masih berharap Andi mau berubah meskipun kenyataannya tidak mungkin lagi.

"Mikir dong lu, mau sampe kapan lu jadi perempuan kolot yang masih mau disakitin. Mending lu hidup ama anak lu. Buang tuh laki kaya gitu, apa lu mau gue kenalin ama supir gue tuh kalo lu masih butuh laki-laki mah." tambah Ivan Gunawan setelahnya. Tuhan, galak bener omongan Igun ini tapi memang bener kenyataannya. Ah Igun yang baik dan perhatian.

Dalam kesedihanku akhirnya aku memutuskan untuk ikut dengan Pakdeku bersama Haru ke Pacitan. Suasana berbeda mungkin akan membuat hatiku menjadi lebih baik.

Ini pertama kalinya aku pergi ke Pacitan, ternyata kota ini benar-benar menunjukkan keindahan panorama alamnya. Sayangnya akses jalan menuju kesana belumlah sebagus dengan indahnya pemandangan. Jalan yang masih rusak menjadi pemandangan yang jauh dari kata sempurna.

Hingga berkali kali aku harus memegangi perutku saat mobil yang kami tumpangi beberapa kali hatus masuk ke lubang besar di jalan karena sudah tidak mungkin lagi untuk memilih yang lain.

Satu bulan berada di Pacitan ternyata harus menjadi takdir perpisahanku dengan anak yang belum bisa aku lihat. Siang itu, aku terjatuh saat hendak mengambil air. Kakiku terpeleset dan aku jatuh terduduk.

Darah merah segar mengalir di kakiku setelahnya. Dan dua jam setelah itu, janinku dinyatakan meninggal di dalam kandungan.

'Maafkan ibumu anakku.'

Dua tahun berlalu dan aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Haruna harus sekolah, dan aku juga harus bekerja kembali. Tidak mungkin selamanya aku harus bersandar kepada Pakde.

Beruntunglah bahwa butik tempatku bekerja dulu masih membutuhkan tenaga dan menerimaku kembali. Terus terang aku tidak memiliki apapun untuk hidupku kedepan. Tidak memiliki tabungan dan juga bekal untuk masa depan Haru.

Kini setelah usia Haru 6 tahun, aku memilih untuk memasukkannya di SD. Putriku ini termasuk anak yang cerdas sehingga di usianya yang belum genap 7 tahun dia sudah bisa menulis, membaca dan berhitung. Itu juga yang membuatku memasukkannya lebih dini.

Hingga peristiwa Haru yang tidak mau bercerita tentang ayahnya karena dia adalah sosok yang berbuat jahat kepada kami, di dengar oleh kedua telinga Mas Yudhis yang memang menjadi pengajar di SD dimana Haru bersekolah.

"Haru, kenapa bilang seperti itu?"

"Haru tidak mau memiliki ayah yang jahat Pak Guru. Haru lebih baik tidak memiliki ayah." jawab Haru dengan polosnya.

"Jika Haru mau, Pak Guru bersedia menjadi ayah Haru."

Dan entah bagaimana perjanjian antara Mas Yudhis dan anakku Haru terjadi. Hingga akhirnya membawa Mas Yudhis menamuiku untuk mengatakan bahwa dia bermaksud mewujudkan mimpi Haruku.

"Aku tidak memiliki uang sepeserpun untuk mengurus perceraianku dengan Andi, Mas."

Tidak ada jawaban darinya. Meski aku tahu bahwa kami, maksudku aku dan Andi tidak mungkin bersama lagi karena dia sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku. Namun secara hukum negara?

Katakanlah aku matrealistis atau apapun itu. Hingga akhirnya aku mengucapkannya, Ya Allah aku merasa seperti pelacur yang menjual diriku.

"Jika mas Yudhis menginginkan itu, tolong bantu aku untuk biaya perceraianku dengan Andi." setelah mengucapkannya air mataku langsung meleleh sempurna. Aku malu Ya Rabb.

Seminggu kemudian kedua orang tua Mas Yudhis datang ke rumahku untuk menemui Ayah dan Mama.

"Mana buku nikahmu Cin. Biar Yudhis yang mengurus semuanya." kata ayah Mas Yudhis kepadaku.

"Anakku itu sudah cacat, Mas. Dia pernah gagal ditinggal sama suaminya tanpa status yang jelas. Sama bercerainya namun jika itu karena kematian rasanya lebih terhormat. Cerai hidup itu akan menjadi bahan pertimbangan. Pasti ada kekurangan mengapa bisa gagal. Yudhis, pikirkan terlebih dulu jangan karena kasihan kepada Cintya yang sekarang menjadi seperti ini dan kamu menikahinya justru menjadi hinaan. Lebih baik ngga usah, aku udah malu karena dulu Cintya menolak waktu dijodohin denganmu namun sekarang justru kamu yang bersedia menerimanya dan mengurus semua keperluannya." kata ayah kepada ayahnya Mas Yudhis dan Mas Yudhis juga yang sukses membuat air mataku terjun bebas.

"Saya memang kasihan dengan Haru, Ayah. Namun terlebih bukan karena kasihan kepada Cintya. Saya menginginkannya sebagai seseorang yang mendampingi hidup saya kedepan." itu yang aku dengar dari mulut Mas Yudhis.

Allah, rasanya duniaku berhenti berputar. Aku malu, malu dan malu.

Dari uang Mas Yudhislah akhirnya seluruh urusan pengadilan agama terselesaikan dengan baik. Aku sah menjadi janda dengan status sesungguhnya.

"Alhamdulillah." harusnya aku bersedih tetapi tidak, aku justru merasa terbebas dari tekanan batinku selama ini.

Aku yang masih sibuk bekerja membuat Haru menjadi semakin dekat dengan Mas Yudhis. Bahkan dari permintaan Harulah yang membuaku akhirnya memutuskan untuk menerima Mas Yudhis di bulan ke 9 aku menjadi janda.

"Papa Yudhis, akhirnya menjadi ayahku Ummi. Alhamdulillah, akhirnya Haru memiliki ayah yang baik."

Aku mencium kedua pipinya setelah dia mengatakan itu kepadaku tepat di hari Mas Yudhis menjawab ijab dari ayahku. Ya, Mas Yudhis telah resmi menjadi suamiku. Pria yang pernah aku tolak karena perjodohan yang dilakukan atah dan sahabatnya itu kini telah menjadi imamku.

"Mas, mengapa tidak menikah? 9 tahun itu bukan waktu sebentar loh." kataku sambil bercanda disela-sela percakapan kami. Sebenarnya aku juga ingin mengetahui apa yang menjadi alasannya tidak menikah.

"Belum ada yang mau." hanya itu yang selalu alu dengar dari bibirnya setiap kali pertanyaan yang sama aku ulang untuk kutanyakan.

Juni 2018
Tanganku berselancar di dunia maya. Membaca novel menjadi hobby baruku. Dan tanganku terhenti di sebuah judul yang sepertinya tidak sinkron dengan gambar cover yang aku lihat. Khitbah kedua, mengapa ada stetoskop dan orang berbaring disana? Bukankah khitbah itu berarti lamaran.

Aku membacanya, tidak dari depan melainkan dari tengah dan see air mataku mengalir deras saat membaca bagaimana Qiyyara menyerahkan mobil jonda jazz merah kepada mantan suaminya yang dianggap sebagai harta gono gini padahal Andrian sendiri tahu bahwa mobil itu diperoleh dari keringat Qiyyara. Dan ternyata stetoskop itu adalah milik Ibnu, suami Qiyya yang pada akhirnya membuat baper ibu-ibu di dunia orange.

Aku kembali mengingat Mas Yudhis suamiku. Dia bukanlah dr. Ibnu yang bisa membuat baper semua ibu-ibu. Guru SD yang memiliki tinggi 173 itu justru membuat baper di hatiku dengan semua yang pernah dilakukannya padaku. Bagaimana caranya untuk menyentuh hatiku hingga membuatku jatuh cinta kepadanya.

Bagaimana dia yang bisa mengembalikan kepercayaanku kepada kaum adam yang sepertinya telah aku sama ratakan ceritanya.

Ya, Mas Yudhis yang telah dua tahun ini menjadi suamiku. Semoga bukan hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat nanti Allah menetapkannya menjadi pasangan sejiwaku.

'Aku mencintaimu karena Allah dengan kesungguhanku, Mahesa Yudhistira.'

✏ -- the end -- ✏

Blitar, 11 November 2019

Mana yang nulis, yang nulissss inihhhh mana???? 😂😂😂😂

Silakan kirim ke email author ke
marentin_niagara@yahoo.com

Akan saia publish tentunya melalui proses editing typo tanpa mengurangi isi cerita.

Berminat untuk gabung?
Ayo...ayooo...ayoooooo 😍😍😍

Continue Reading

You'll Also Like

1M 3.3K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... šŸ™šŸ™šŸ˜Š
39.4K 2.2K 24
"Hari ini, saya menutup pintu ke masa lalu saya... Membuka pintu ke masa depan, ambil napas dalam-dalam dan melangkah untuk memulai bab berikutnya da...
619K 19.5K 71
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

31.8K 6.6K 24
hanya fiksi! baca aja kalo mau