My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan

121K 11.7K 979
By Desisetia


Sungguh wanita itu mampu menyembunyikan cinta selama 40 tahun. Namun tak sanggup menyembunyikan cemburu meski sesaat.

-Ali Bin Abi Thalib-

Hari demi hari aku semakin disibukkan dengan hapalan kitab, hapalan Qur'an dan Hadist, belum lagi belajar tambahan untuk persiapan olimpiade. Kegiatan rutin tersebut membuat kepalaku ingin meledak saja seperti balon hijau.

Tapi harus aku syukuri kesibukan membuat aku lupa dengan Sugus, terutama setelah kejadian malam itu. Sugus baru pulang dua jam kemudian setelah bersenang-senang dengan Ning Aisyah di luar sana. Sedangkan aku? Aku tetap tinggal di kamarnya menunggu si empunya pulang dengan perasaan yang carut marut. Coba kalian bayangkan, bagaimana perasaan seorang istri saat suaminya pergi dengan wanita lain? Sakit kan? Sakit bangeeeettt.

Malam itu saat Sugus sudah kembali ke kamar, aku pura-pura tertidur. Hanya pura-pura! Tolong ditebalkan dan digaris bawahi. PURA-PURA. Aku berharap Sugus membangunkanku dan kami kembali bercengkrama seperti sebelum datangnya Ning Aisyah. Tapi kenyataan yang terjadi adalah Sugus tidak membangunkanku sama sekali dan malah membiarkanku dalam posisi 'pura-pura tidur' sampai akhirnya aku benar-benar tertidur.

Sejak malam itu aku tidak lagi kembali ke ndalem. Entah sudah berapa hari aku tidak tahu. Kalau ada jadwal piket aku lebih sering memberi seribu alasan, asalkan aku nggak bertemu dengan Sugus.

"Sas kok Gus Omar jarang isi ceramah ya?" Pertanyaan Dwi sontak membuyarkan lamunanku. Sekarang ini kami memang sedang berada di masjid menunggu adzan Isya berkumandang.

"Mana aku tahu, Wi. Memangnya aku ini siapanya dia sih?" ketusku. Entah kenapa mendengar nama itu disebut emosiku jadi naik ke ubun-ubun.

"Kangen deh denger ceramahnya," bisik Dwi dan langsung mendapat toyoran dari Hani. Karena memang Dwi duduk di antara aku dan Hani.

"Istighfar, Ukhti," ingat Hani setelah berhasil melancarkan aksinya. Dwi hanya terkekeh tanpa suara sambil membekap mulutnya dengan mukena.

Aku sendiri masih bingung apa yang terjadi denganku. Kalau ada santriwati yang terang-terangan memuji Sugus di depanku macam Dwi tadi aku biasa saja. Tapi kalau sudah menyangkut Ning Aisyah, rasanya ada tangan tak kasat mata yang tanpa belas kasihan meremas hatiku di dalam sana. Duh, aku ini sebenarnya kenapa sih?

"Sandalku ketemu nggak, Sas?" tanya Dwi.

"Sebentar kucari dulu," jawabku seraya menyisiri tumpukkan sandal di hadapanku. Hani dan Leni juga sama, mencari sandalnya yang tertimbun dengan sandal santriwati lain.

"Kak Sashi, Kak Sashi!" Terdengar seseorang memanggil namaku dengan cepat, sontak saja aku langsung menghadap ke sumber suara.

"Iya, ada apa?" ternyata orang itu adalah Intan.

"Kak Sashi dicari Umi. Beliau bilang Kak Sashi diminta ke ndalem."

Umi mencariku? Ada apa, ya? Apa karena aku sudah tidak pernah lagi ke ndalem?

Aku mencoba tersenyum. "Yasudah, Tan. Makasih ya infonya."

"Sama-sama, Kak. Tapi jangan lupa ke ndalem ya. Ini amanah lho Kak dari Umi." Aku melayangkan senyum lagi, dan berusaha mengangguk. Intan langsung pergi setelah menerima jawaban dariku.

"Kenapa kamu disuruh ke ndalem, Sas?" tanya Dwi yang menenteng sandal di tangannya. Ternyata sandalnya itu sudah ketemu. Leni dan Hani juga sudah berdiri di dekatku. Mereka memandangku dengan penasaran.

Aku mengangkat bahu. "Nggak tahu aku juga."

"Yasudah sini mukena kamu kami yang bawakan ke kamar. Kamu ke ndalem saja ketemu Umi," tawar Hani tapi tak lantas aku setujui. Aku takut kalau ke ndalem ada sosok yang tidak ingin aku lihat. Membayangkannya saja sudah merinding seperti saat mendengar cerita setan Extra Joss di toilet santriwati.

Kalau kalian bingung apa itu setan Extra Joss, itu lho setan yang hanya berwujud tangan tanpa badan yang muncul dari lubang septic tank. Mirip seperti ikon di iklan Extra Joss. Cerita itu sudah kudengar dari Dwi dan double Leha sewaktu kami bercerita tentang paranormal experience.

"Udah yuk ke kamar," ajakku pada mereka.

"Loh kamu nggak mau ke ndalem, Sas?" tanya Leni. Hani dan Dwi mengangguk menyetujui ucapan Leni barusan.

"Nggak. Udah ayo cepetan. Kan habis ini ada kajian kitab!"

Mereka menurut saja, dan kami langsung meninggalkan masjid menuju kamar.

Sampai di tengah perjalanan, sayup-sayup aku mendengar suara si kulit lengkuas dan temannya sedang membicarakan Sugus. Suara itu lama kelamaan semakin dekat hingga telingaku dapat dengan mudah menangkap pembicaraan keduanya.

"Kamu kata siapa kalau Gus Omar sakit?"

"Aku liat sendiri waktu Gus Omar diantar ke klinik pesantren."

Deg!

Sugus sakit? Sakit apa? Kenapa aku tidak tahu?

"Sas, kok bengong? Ayo cepetan!" Dwi mengejutkanku. Tanpa kusadari aku tertinggal teman-temanku.

Apa itu yang jadi alasan Umi memanggilku? Aku kan istrinya, sudah sepantasnya aku merawat suamiku yang sedang sakit. Seperti bunda yang dengan sabar mengurus ayah kalau ayah sakit.

Tapi kan Sugus sudah punya Ning Aisyah. Kehadiranku sudah tidak dibutuhkan. Kalau nanti aku ke sana, aku hanya jadi kambing congek yang melihat dua orang yang sedang kasmaran saja. Dan itu akan membuat perasaan yang nggak bisa kusebut namanya muncul kembali.

Semesta aku harus apa?

Tiba-tiba kepalaku menyetel ulang kejadian sewaktu aku sakit. Semuanya tergambar seperti film yang sedang ditayangkan. Sugus yang sedang menyuapiku, membantuku ke kamar mandi, dan tanpa merasa jijik Sugus membersihkan muntahanku. Dengan sabar Sugus merawatku, sangat jelas kelakuanku saat sedang sakit yang sangat merepotkan. Tapi lelaki itu nggak pernah mengeluh, ataupun memasang wajah lelah dan kesalnya menghadapiku.

Pernah suatu malam saat aku terbangun karena pingin pipis, bertepatan dengan Sugus yang lagi shalat malam. Posisinya duduk membelakangiku, sehingga Sugus nggak tahu aku terbangun. Sayup-sayup aku mendengar suaranya yang begitu lirih, namun mampu membuat hujan turun dari mataku yang kesejukannya mengalir ke seluruh tubuh hingga menyentuh relung hatiku paling dalam. Sugus sedang berdoa meminta kesembuhan untukku. Dan Sugus rela menggantikan posisinya denganku karena nggak tega melihatku kesakitan.

Kalian tahu? Doa adalah hadiah terindah yang diberikan seseorang kepada kita. Karena dia telah menyebut nama kita diperbincangan pribadi dengan Rabb-Nya. Dan Sugus telah memberikan hadiah terindah itu untukku.

Allahu Rabbi. Apa yang sudah aku lakukan padanya?

"Aku titip mukena, ya? Aku pingin ke ndalem bertemu Umi," pintaku pada Hani seraya menyerahkan mukena. Hani menerima dengan susah payah karena gerakanku yang tiba-tiba. "Makasih ya." Tanpa ia menjawab, aku sudah berbalik badan lantas berlalu pergi.

Aku berjalan setengah berlari ingin cepat sampai ke ndalem. Walaupun diperjalanan aku sempat diteriaki oleh santriwati lain, karena menubruk salah satu diantaranya, aku tetap tidak peduli. Hanya satu yang ada dalam pikiranku, yaitu seseorang yang kabarnya sedang sakit di ndalem sana.

Entah mengapa aku merasa perjalanan ke ndalem begitu jauh. Apa semesta sebercanda itu hingga mengulur waktu agar aku tidak bisa bertemu dengannya? Ayo semesta, untuk kali ini saja berdamailah denganku.

Pintu ndalem sudah nampak, tapi aku memutuskan berhenti sejenak untuk mengatur napas yang ngos-ngosan. Tidak lupa aku juga mengelap keringat sebesar biji jagung yang ada di pelipis. Fiuh! Aku pun langsung melangkahkan kaki menuju ndalem.

"Sashi?" Umi terkejut dan memasang wajah hampir tidak percaya dengan keberadaanku. Beliau tersenyum seraya mendekat.

"Umi apa benar S-Gus Omar sakit?" tanyaku tanpa basa basi. Sontak Umi pun mengangguk.

Benar ternyata Sugus sedang sakit. Entah mengapa aku tidak rela. Rasa khawatirku meluap ke permukaan.

"Sekarang Gus di mana, Mi?"

"Di kamar, Nak."

Setelah aku mengucapkan terima kasih, aku pun izin pamit ke kamar. Dengan hati-hati aku membuka pintu, pandanganku tertuju pada seseorang yang sedang berbaring di atas ranjang dengan mata yang terpejam sempurna.

Semesta kenapa aku nggak tega melihatnya seperti ini? Mengapa juga hatiku berteriak, 'Wahai Allah segeralah angkat penyakitnya, dan pindahkan saja kepadaku'. Mengapa semesta, mengapa?

Inilah saat-saat yang paling aku benci. Tanda tanya besar muncul di kepalaku, tapi aku tidak bisa menjawabnya. Ternyata lebih mudah menjawab seribu soal olimpiade matematika dari pada persoalan ini.

Tubuhku terduduk di pinggir ranjang secara perlahan, agar Sugus nggak merasa terusik. Entah kekuatan dari mana satu tanganku terulur menyentuh wajahnya yang terasa panas di kulitku. Tanpa terasa mataku memanas dan rintik hujan mulai jatuh hingga tenggelam di sudut bibir. Lantas aku segera menyekanya.

Lemah banget aku ini, dikit-dikit mewek.

Pintu kamar berdecit, ternyata Umi yang datang. Wanita yang kini sudah jadi orangtuaku juga itu membawa nampan berisi nasi serta lauk pauk dan segelas air.

Umi meletakkannya di atas nakas, dan memberi isyarat bahwa Sugus belum makan malam.

"Terima kasih, Umi," lirihku.

Umi mengangguk seraya tersenyum. Kemudian Umi mendekat ke arah Sugus dan mengusap kepalanya. "Gus makan dulu, yuk."

Sugus mengeram, sekali lagi Umi memperlakukan Sugus sama. Baginda Raja Pluto itu membuka matanya perlahan.

Welcome in the Earth the king of Pluto. Sudah lelah kan perjalanannya? Mari istirahat di buminya Sashi.

"Umi tinggal, ya," ucap Umi padaku yang sebelumnya mewanti-wantiku agar Sugus memakan makanan dan juga obatnya.

"Iya, Umi."

"Hai," sapa Sugus dengan suara seraknya. Sugus berusaha bangkit lantas aku segera membantunya meski ya nggak seberapa, karena kekuatannya jauh dari kekuatan yang aku punya.

"Gus sakit apa?" tanyaku saat posisinya sudah duduk. Kuperhatikan wajahnya sekali lagi, terlihat kuyu dan pucat.

"Saya cuma kelelahan saja," jawabnya mencoba tersenyum dan mengusap kepalaku yang masih tertutup jilbab. "Sudah lama ya kita tidak bertemu."

Eh! Sugus mengecup puncak kepalaku. Oh tidak!

"Maaf ya, Gus, Sashi sibuk persiapan untuk olimpiade," ucapku. Padahal yang benar aku nggak suka kalau Sugus berdekatan dengan Ning Aisyah. Tapi mana mungkin aku berkata seperti itu?

"Waaah Bidadari kecil saya ini pintar ya ternyata."

"Apasih," lirihku menyanggah ucapannya. Tapi seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang di perutku hanya karena ucapan Sugus.

"Gus makan ya biar Sashi yang suapin."

"Saya bisa makan sendiri," elaknya.

"Pokoknya Sashi suapin!"

Akhirnya Sugus mengalah. Dalam hati aku ingin tertawa melihatnya. Sugus menurut saja seperti anak kecil yang diomeli ibunya.

"Anak pintaaall," pujiku saat Sugus sudah menghabiskan makannya. "Sekalang minum obatnya ya, Dek. Mau di gelus nggak?"

"Memangnya saya kamu, minum obat harus dihaluskan."

"Iiih nyebelin!" Sugus menyindirku. Aku memajukan bibir lima senti menahan kesal. Untung saja Sugus sedang sakit, kalau tidak, pahanya itu sudah memerah akibat cubitan mautku.

"Becanda, jangan marah ya Bidadari kecil."

Malam ini aku menghabiskan waktu bersama Sugus hingga hampir tengah malam. Padahal Sugus sedang sakit. Tapi aku paksa ia tertidur cepat malah tidak mau.

"Sudah mengantuk?" tanyanya. Aku mengangguk. "Tidur di sini saja ya?" Aku mengangguk lagi. Malam ini aku mirip kerbau yang dicucuk hidungnya. Menurut saja apa yang Sugus pinta.

Aku sudah bersih-bersih, sudah memakai minyak telon juga. Jadi aku merebahkan tubuh di sampingnya.

Ini hanya perasaanku saja atau benar sih? Aku merasa ada sepasang mata yang memperhatikanku. Aku lirik saja manusia dari Pluto di sampingku ini, dan benar saja Sugus sedang menatapku lekat-lekat.

Buatku salah tingkah saja.

Akhirnya aku merubah posisiku, membelakanginya. Sugus malah memelukku dari belakang seraya berucap, "Jangan jauh-jauh, saya suka wangimu. Mirip seperti bayi."

"Yasudah, cium saja bayi."

"Kapan?" tanyanya.

"Kapan apanya?"

"Kapan kita punya bayi?"

"Guuuuusss."

Sugus terkekeh dan semakin merekatkan tangannya di perutku. Semoga saja Sugus nggak mendengar detak jantungku yang sedang melompat lebih tinggi.

Malam ini aku benar-benar diculik oleh Baginda Raja Pluto. Dibawanya aku keliling angkasa, hingga kembaranku saja merasa iri dengan memasang wajah senyum terbaliknya di langit sana.

*****

Setelah Subuh, aku memutuskan berkutat di dapur. Rencananya pagi ini aku ingin membuat Sugus sarapan bubur. Kalian nggak perlu khawatir aku akan meracuni Sugus, karena aku sudah bertanya resepnya kepada Umi.
Pesantren ini benar-benar merubahku dari Sashi yang manja menjadi Sashi yang mandiri. Dulu saat masih di rumah boro-boro aku mau masak, apalagi sampai mencuci baju dengan tanganku sendiri. Apa-apa Bunda. Apa-apa Bunda. Tapi keadaan yang menuntutku harus mandiri, kalau tidak, siapalagi yang mau mengerjakan. Iya, kan?

Bubur sudah jadi. Aku tinggal memindahkannya ke mangkuk dan meraciknya seperti yg Umi bilang. Dari tampilannya sih terlihat lezat, aku yakin rasanya juga. Sashi gitu loh.
Bubur ini adalah makanan pertama yang aku buat dengan tanganku sendiri untuk Sugus. Semoga ia menyukainya. Apalagi ini semacam kejutan. Sugus nggak tahu aku membuatkan ini untuknya.

Aku membawa semangkuk bubur ke ruang tamu, sepertinya tadi Sugus berkata ingin duduk di sana. Dan ternyata benar, Raja Pluto sedang di sana seraya membaca buku yang entah apa.

Baru saja aku ingin menyusul Sugus ke sana, tapi langkahku sontak terhenti. Ning Aisyah datang dengan membawa piring dan segelas teh.

"Gus ini sarapannya," ucap Ning Aisyah yang terdengar sampai ke telingaku.

"Makasih, Ning." Sugus menerima pemberian Ning Aisyah itu dengan senang.

Pandanganku sontak saja beralih pada mangkuk berisi bubur yang ada di tanganku ini. Untuk apa aku membuatnya? Untuk siapa aku membuat ini, sedangkan yang ingin aku beri lebih senang menerima dari wanita lain. Ternyata apa yang aku lakukan ini sia-sia. Tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya sama sekali.

Aku taruh saja mangkuk itu di meja dapur. Biarlah bubur yang aku buat dengan susah payah, yang mungkin rasanya tidak seenak makanan buatan Ning Aisyah dimakan tikus.

Semesta dia yang jahat, atau aku yang terlalu banyak berharap?

Di dalam sana ada rasa sakit yang tidak bisa aku jelaskan.

*****

Holaaaa.

Akhirnya Sugus sama Sashi bisa muncul juga.
Mohon maaf sebelumnya, aku nggak bermaksud gantung cerita ini. Jadi selain ada deadline dari dosen, aku juga kena WRITERS BLOCK. susaaah banget pengen ngelanjutin cerita ini.

Semoga suka ya sama part ini.

Ditunggu komen sama votenya.

Terus dukung Sugus sama Sashi yak, jangan dilupain cerita ini walau lama upnya wkwkwk.

Happy reading all

Lup ❤

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 459K 58
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
69.9K 11.9K 24
Pernikahan seperti apa yang kamu impikan? Menikah dengan seseorang yang kamu cintai dan mencintaimu? Dikarunia putra dan putri yang menggemaskan dan...
132K 10.4K 39
"Yayah! Mau kan jadi Yayah benelannya Aila?" tanya Aira dengan begitu gemas. Fadhil tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala gadis kecil di gen...
527K 64.3K 18
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...