My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Cemburu Menguras Hati

112K 10.5K 558
By Desisetia

Aku menghentikan langkah di dekat pendopo untuk menetralkan segala rasa yang berkecamuk dalam dada. Kenapa ada rasa nggak rela melihat pemandangan itu? Kenapa rasanya begitu menyakitkan melihat Sugus dipeluk wanita lain? Bahkan rasa sakitnya melebihi saat Sugus membentakku waktu itu.

Kenapa semesta? Aku harus mencari jawabannya kemana? Sungguh yang aku rasakan saat ini benar-benar menyiksa.

Alan saja nggak pernah berbuat seperti ini padaku. Alan saja selalu bisa menjaga hatiku. Kenapa Sugus nggak bisa? Atau di matanya aku ini nggak penting karena hanya seorang anak kecil? Lihat saja nanti, aku akan perlihatkan pada Sugus kalau aku ini sudah besar. Aku sudah dewasa dari yang Sugus kira. Lihat saja nanti!

Kejadian menyakitkan itu sungguh membuatku nggak konsen melakukan apa-apa. Kajian kitab, muraja'ah, bahkan untuk sekedar makan malam saja rasanya enggan. Sampai-sampai ketiga temanku bingung, aku ini kenapa.

"Kamu sakit ya, Sas?" tanya Hani yang sudah kesekian kali. Omong-omong dia sudah kembali ke pesantren lagi, sehari sebelum aku sampai ke tempat ini.

Iya, sakit hati!

Tentu saja ucapanku barusan hanya dalam hati saja. Nanti urusannya akan panjang kalau sampai terucap dari bibirku.

"I'm fine, kok. Cuma capek aja selama di perjalanan nggak bisa istirahat," bohongku. Padahal selama dalam perjalanan, aku tertidur pulas.

"Yaudah kamu langsung istirahat aja. Toh juga nggak ada tugas buat besok," saran dari Dwi, Leni dan Hani mengangguk menyetujui.

Sebenarnya sebelum tidur ada yang ingin aku tanyakan, tapi mendadak aku ragu. Rasa penasaranku malah semakin meningkat. Aduuuh aku harus bagaimana ya?

"Ehm anu. Kalian punya kitab Qurratul Uyun nggak?" Akhirnya aku pun memberanikan diri bertanya demikian. Sontak saja ketiganya langsung menoleh ke arahku dengan pandangan terkejut.

"Buat apa, Sas?" tanya Leni.

"Ya buat belajar dong, Len."

"Aku punya. Mau yang bahasa Arab apa yang sudah diterjemahkan?" tawar Leni.

"Yang terjemahan aja, aku belum terlalu bisa bahasa Arab."

Menurutku bahasa Arab itu lebih sulit dari pada bahasa Inggris. Mulai dari kata ganti orang, kalau di bahasa Inggris hanya ada I, you, they, we, she, dan he, tapi kalau bahasa Arab ada huwa, huma, hum, hiya, huma, hunna, anta, antuma, antum, anti, antuma, antunna, ana dan nahnu. Belum lagi ada fi'il, yang kalau dalam bahasa Inggris berarti tenses. Di bahasa Arab ada fi'il madhi, fi'il mudhari, dan fi'il amr. Lieur aku tuh belajarnya.

"Ini," Leni memberikan kitab itu padaku lantas aku menerimanya.

"Itu tuh kitab favorit para santri, Sas," celetuk Dwi.

Hani mengangguk. "Santri yang biasanya selalu ngantuk aja jadi melek kalau udah belajar kitab itu." Ketiganya langsung tertawa. Sedahsyat itukah kitab ini?

"Yasudah aku pinjam dulu ya, Len?"

"Iya, Sas." Setelah mendapat jawaban dari Leni aku langsung naik ke atas ranjangku. Begitu juga dengan teman-temanku, yang langsung memilih untuk beristirahat.

Aku membuka asal salah satu halaman, dibagian atas tertulis subjudul "Waktu yang Tepat Untuk Berbulan Madu". Hah? Bulan madu saja diatur? Lantas aku membuka lagi halaman yang lain, masih dengan cara acak, dan kutemukan subjudul "Adab bersengg—" tidak bisa kuteruskan membacanya walau hanya subjudul saja.

Apalagi saat aku mencoba membaca satu halaman penuh, walau dengan teknik membaca cepat tetap saja kepalaku pening, keringat dingin juga keluar dari tubuhku. Ya ampun, sesulit inikah menjadi dewasa?

*****

Aku rasa lingkaran mataku semakin menghitam karena semalam habis begadang mengkhatamkan kitab Qurratul 'Uyun. Mataku baru bisa terpejam pukul 02.00 dini hari, sedangkan harus bangun lagi pukul 03.00. Satu jam saja aku tertidur, makanya saat ini kepalaku sedikit pening.

Setelah membacanya dari awal, ternyata kitab itu bukan hanya perihal hubungan nganu saja, melainkan mulai dari hukum, rukun, dan keutamaan nikah, wanita ideal menurut Islam, mencari istri shaleha, memasuki jenjang pernikahan, sampai pada kewajiban orangtua atas pendidikan anak serta hukum talaq pun dibahas.

Ada satu bab yang sampai saat ini mengganggu pikiranku yaitu "Ancaman Bagi Istri yang Tidak Taat Kepada Suaminya." Selama ini aku nggak pernah memperlakukan Sugus layaknya suami, karena toh kami menikah karena terpaksa bukan karena cinta. Padahal jelas-jelas kedudukan suami begitu tinggi, bahkan suami bisa jadi surga atau neraka bagi istri.

Dalam kitab itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA., mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Apabila aku diperintahkan agar seseorang bersujud kepada orang lain, maka pasti aku perintahkan wanita (istri) sujud kepada suaminya."

Ada lagi hadist lain, dari sahabat Umar RA., Rasulullah SAW bersabda: "Wanita manapun yang mengeraskan suaranya melebihi suara suaminya, maka setiap sesuatu yang terkena sinar matahari akan melaknat dia, kecuali dia mau bertaubat dan kembali dengan baik."

Astaghfirullah, jelas-jelas kemarin saat di mobil aku membentak Sugus, yang bawel bertanya macam-macam waktu aku main Onet di handphonenya. Aku juga diam-diam bertemu Alan yang notabennya pacarku tanpa seizin Sugus. Apa saat ini Allah sedang melaknatku? Apa aku bukan istri yang baik untuk Sugus? Oke, nggak perlu dijawab, aku memang bukan istri yang baik untuknya.

"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus memperlakukan Sugus seperti Bunda memperlakukan Ayah?" tanyaku pada diri sendiri melalui kaca besar di depanku. "Apa aku harus memanggilnya dengan sebutan "Cinta" juga? Hiiih kok geli, ya?"

Aku memilih mengusap wajahku dengan air, supaya bisa berpikir jernih. Setelah itu aku keluar dari toilet takut guru baru pengganti guru kimiaku sudah datang.

Benar saja sudah ada wanita yang berdiri di depan kelas sambil memegang absen. Aku mengetuk pintu, sontak guru baru beserta temanku yang lain menoleh. Betapa terkejutnya aku saat yang jadi guru adalah wanita yang sama dengan wanita yang menoreh luka di hatiku.

"Silakan masuk," ucapnya dengan lembut. Tanganku terkepal kuat, menahan sesuatu yang bergejolak di dalam sana.

"Itu guru barunya?" bisikku pada Dwi dan dijawab dengan anggukkan kepala.

"Namanya Ning Aisyah. Dia anak temannya Pak Kiayi, pemilik pesantren juga."

Oh namanya Aisyah. Ning juga lagi. Tapi kalau Ning, kenapa main seenaknya saja meluk meluk suami orang! Sebeeelll!

"Raudhatul Farihah?" Ning Aisyah memanggil nama temanku.

"Hadiroh, Ning."

"Sashi Liem?" Kali ini namaku yang dipanggil. Maka aku langsung mengangkat tangan seraya berucap, "Hadiroh." Tentunya dengan ogah-ogahan.

Ning Aisyah nampak memperhatikanku selama beberapa detik, berbeda pada santri lainnya. Kemudian kepalanya mengangguk dengan sudut bibir yang tertarik ke atas.

*****

Pulang sekolah aku diminta Ustadz Abas berkumpul dengan Intan dan kulit lengkuas. Kami berkumpul di ruangan yang sudah disediakan pihak pesantren untuk mempersiapkan olimpiade. Aku memilih duduk terpisah, nggak mau dekat-dekat dengan si kulit lengkuas itu. Kalau saja aku nggak terlanjur menyetujui ikut olimpiade, pasti saat ini aku sudah tidur-tiduran di kamar dengan tenang. Ditambah saat ini ada Ning Aisyah ikut bergabung dengan Ustadz Abas untuk membimbing kami.

"Kalian yang berada di depan saya adalah santri pilihan yang akan mewakilkan pesantren di olimpiade sains nasional. Mulai hari ini, saya dibantu Ning Aisyah yang akan membimbing kalian. Mari kita bersinergi mengharumkan nama pesantren kita ini. Are you ready?"

"Ready Ustadz!" jawab kulit lengkuas dan Intan dengan kompak, sedangkan aku berucap lirih saja.

Untuk pemanasan, kami dibagian soal-soal olimpiade tahun kemarin sesuai dengan bidang masing-masing. Biasanya saat mengerjakan soal matematika jiwaku tertantang seperti sebuah misteri yang harus dicari jawabannya. Entah kenapa, saat ini malah bertolak belakang. Aku malas mengerjakan, bahkan saat si kulit lengkuas sudah menyelesaikan lima nomor, kertasku masih kosong.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Ustadz Abas seraya mendekatiku. Mungkin beliau menyadari perubahan sikapku ini.

"Nggak ada, Tadz."

"Yasudah kalau ada apa-apa bilang saja ke saya, ya?" Aku mengangguk, Ustadz Abas kembali ke tempatnya semula.

Aku melirik Ning Aisyah dengan ekor mata, dia sedang mengamati Intan dan bertanya hal yang sama persis seperti yang ditanyakan Ustadz Abas padaku. Sekarang aku merasa semesta nggak adil. Ning Aisyah itu cantik, dewasa, dan sangat pintar. Kalau begitu, pasti aku kalah di mata Sugus.

"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari balik pintu. Suaranya nggak asing lagi bagiku dan bagi yang lainnya. Fika saja sampai hampir memekik karena kedatangan orang yang nggak diduga-duga.

Tubuh Sugus muncul saat pintu terbuka seraya melempar senyum ke arah Ning Aisyah. Bahkan Sugus nggak menyadari kehadiranku di tempat ini karena lupa dengan Ning cantik itu. Sontak aku remas saja kertas coret-coret sebagai pelampiasan rasa kesalku.

Ada Sashi di sini, Gus! Coba lihat ke sini! Ayo Gus, lihat!

"Ning Aisyah bisa keluar sebentar?" Sugus meminta persetujuan, dan langsung diberikan anggukkan oleh Ning Aisyah.

Sugus nyebelin! Melirik ke arahku saja tidak! Malah lebih memilih wanita lain yang jelas-jelas bukan istrinya.

Dasar Sugus nggak ingat umur! Nggak ingat status! Sudah menikah tapi masih tebar pesona! Lihat saja nanti!

"Sashi, apa ada yang sulit?" Ustadz Abas sudah berada di hadapanku. Beliau mengamati kertas soal di mejaku dan malah memberi tahu bagaimana cara agar aku menyelesaikan soal nomor tujuh. Jujur, aku nggak bisa menangkap penjelasannya. Otakku malah kepikiran Sugus yang sedang berbicara dengan Ning Aisyah di depan ruangan. Apa ya yang sedang mereka bicarakan? Kok rasanya lama sekali? Apa aku harus ke sana mengamatinya sendiri?

Nggak boleh, Sashi. Nggak boleh! Terserah Sugus mau ngapain saja. Nggak ada urusan denganmu, nggak ada! Stop peduli dengan Sugus!

Tapi aku nggak bisa diginiin! Suara Sugus dan Ning Aisyah yang tertawa di luar sana terdengar di telingaku. Membuat sesuatu di dalam sana panas seperti terbakar api. Mungkin kalau saja aku tokoh kartun, dari lubang hidung dan telingaku sudah keluar asap.

Kertas yang aku remat terjatuh dan menggelinding di lantai. "Ustadz, Sashi izin ke toilet ya?" Ustadz Abas belum memberikan jawaban, tapi aku sudah berdiri dari tempatku. Memutus penjelasan Ustadz Abas yang menerangkan jawaban soal.

Ekor mataku melirik Ning Aisyah dan Sugus yang sama-sama berdiri di dekat balkon. Bahkan Sugus sama sekali nggak melihat ke arahku, dan malah asyik berbicara dengan wanita cantik di depannya. Aku mempercepat langkah, karena sepertinya langit berubah mendung. Aku nggak mau keduanya mengetahui ada gerimis terjatuh dari mataku.

"Jangan bilang-bilang ya, Syah. Cuma kita berdua saja yang tahu," ucap Sugus pada Ning Aisyah. Keduanya ketawa-ketiwi nggak jelas di belakangku. Membuatku merasa seperti diejek dan ditertawakan oleh dua orang dewasa itu.

Mendengar tawa Sugus membuat hatiku sakit, bahkan Sugus nggak pernah terlihat sebahagia itu saat bersamaku. Satu pertanyaanku pada semesta, kenapa hatiku sakit saat melihat Sugus tertawa karena wanita lain?

*****

Selamat hari raya Idul Adha. Mohon maaf baru muncul 😂🙏

Happy reading ❤

Continue Reading

You'll Also Like

283K 16.9K 48
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! 📌 Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...
98.4K 7.9K 30
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
119K 11.7K 45
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
6.8M 958K 52
[SEQUEL OF A DAN Z] Tumbuh dewasa tanpa kedua orang tua dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar, terlebih harus menjadi sosok orang tua untuk k...