Streaming

By idybooks

601K 113K 38.2K

Bermula dari BJ mukbang yang memakai topeng Iron Man ketika siaran, rasa penasaran Jeon Jungkook tergugah. Ia... More

[01]
[02]
[Trailer]
[03]
[04]
[05]
[06]
[07]
[08]
[09]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
[31]
[32]
[33]
[34]
[35]
[36]
[37]
[38]
[39]
[40]
[41]
[42]
[43]
[44]
[45]

[20]

14.1K 2.5K 453
By idybooks

          "Kehadiranmu adalah sebuah kesalahan."

          Kelak anak itu harus tahu bahwa terkadang ada manusia yang tidak diharapkan pasti muncul, namun ada pula beberapa manusia lain yang sangat diharapkannya tidak akan pernah hadir.

          Sekarang, rasa sakit itu membuatnya terkurung pada gelombang kepedihan yang tiada ujung dan selalu membayangi di balik matanya.

          Dia ingat betapa menyesakkannya hari itu.

          Salju turun pada hari di mana wanita itu mulai mengambil langkah menjauh darinya. Sementara tidak ada yang bisa dilakukannya sebagai anak berusia enam tahun ketika melihat sosok itu semakin menghilang dari pandangan. Menyisakan seberkas rasa sakit yang menggamit hatinya.

          Pedih dan luka sesuatu yang tidak bisa anak itu bedakan pada rentang usianya kala itu.

          Ia hanya bisa menangis sesunggukan sambil menggosok-gosokkan tangannya ke mata agar tangisnya terhenti.

          Ia ingin berlari masuk dan mengabari berita ini pada ayahnya, tetapi tidak ada waktu, atau mungkin sudah terlambat.

          Seharusnya menangis pun hanya buang-buang waktu.

          Dia adalah anak laki-laki yang kuat dan bisa menjadi sosok pelindung. Tidak seharusnya menangis di depan wanita yang dia sayangi.

          Dia adalah anak laki-laki, jadi tidak boleh cengeng.

          Anak lelaki itu merangsek maju, menjerit-jerit, berupaya belasan kali serta memohon, memegangi baju si wanita agar jangan menjauh darinya. Agar jangan pergi meninggalkannya.

          Setelah mereka menghabiskan paruh waktu dalam sehari untuk bersenang-senang, mencoba berbagai wahana bermain, dan membeli puluhan mainan, tiba-tiba saja wanita itu mengatakan harus pergi dan tak bisa kembali.

          Pagi yang penuh harapan akhirnya lekas beralih pada sore yang gaduh oleh suara tangisnya, suara derap langkah terburu-buru di atas salju, dan suara pukulan jantungnya.

          Dia tidak cukup paham untuk mengerti seluruh perkataan orang dewasa. Tetapi satu yang paling ia pahami, wanita itu akan pergi dalam waktu yang panjang.

          Dari kejauhan, anak itu melihat sebuah mobil yang menunggu. Wanita itu masuk ke dalamnya dan tak pernah menoleh ke belakang.

          Setelah kepergian wanita itu, anak laki-laki itu mulai menyadari, seharusnya dia lebih pemberani dan mengejar wanita itu sampai lelah.

          Tetapi...,

          Jeon Jungkook pada saat itu hanyalah anak-anak.

          Anak-anak yang belum mengerti dunia dan tidak berdaya.

***

          Jungkook terperanjat dari tidurnya. Matanya terbuka lebar merasakan kejut yang luar biasa mengganggu. Napasnya memburu seperti habis berlari maraton. Ketakutan akan sesuatu tampak pada raut wajah dan diperparah keringat yang mengucur meski pendingin dinyalakan.

          Begitu menyadari bahwa Jungkook berada di kamarnya sendiri, napasnya berangsur-angsur pulih. Kakinya yang beku terasa seperti terpendam dalam salju. Hawa dingin yang terasa di sekujur kulitnya menjadi bagian paling menakutkan. Mendorongnya kembali pada jurang kehancuran batin.

          Kemudian Jungkook menunduk seraya mengusap mukanya yang basah. Tidak tahu apakah yang disekanya hanyalah air keringat atau ada campuran air mata di sana.

          Kepalanya sakit lagi. Tidak separah semalam. Kali ini matanya mulai bisa membiasakan dengan suasana pagi. Pasti semalam dia mabuk berat.

          Jungkook menoleh ke samping. Jendala kamarnya tersibak. Seingatnya, selama empat tahun tinggal di apartemennya, tidak pernah sekalipun ia mengurusi hal-hal kecil seperti membiarkan cahaya menyongsong masuk ke kamarnya. Jika membutuhkan cahaya Jungkook hanya perlu menyalakan lampu. Cukup.

          Setelah berdiam diri sejenak menyesapi rasa nyeri di bagian belakang kepalanya dan setelah semua kekeliruan di kepalanya mereda, tubuhnya menjauh dari tempat tidur. Mengambil baju yang cukup tebal meski ini musim panas dan bisa saja membuat kegerahan.

          Jungkook keluar dengan setengah langkah sadar, ia masuk ke kamar mandi dan berdiri lama di depan wastafel. Memperhatikan wajahnya yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

          Dia mabuk berat.

          Bukannya Jungkook lupa. Jungkook jelas ingat apa yang dia perbuat sebelum kesadarannya hilang.

          Lalu pandangan matanya turun pada sikat gigi yang lagi-lagi tertinggal di sebelah sikat giginya.

          Kali ini Jungkook membiarkan barang gadis itu menetap.

          Tatapan matanya terus menetap ke sana. Potongan kejadian semalam berusaha ia susun seperti kepingan puzzle.

          Apakah dia sempat mencium gadis itu?

          Mungkin saja, tetapi sebagian pikirannya menolak. Apa lagi yang terjadi?

          Ah, kepalanya sakit lagi. Jungkook mengangkat sebelah tangannya dan menggoyangkan di atas pelipisnya. Dia akan mengingatnya lain kali.

          Oke, baiklah. Tidak apa-apa. Kalaupun terjadi, ia bisa berdalih. Pengecualian bagi orang mabuk. Pura-pura saja tidak ingat. Semuanya beres.

          Lagi pula apa yang dilakukannya tidak lebih buruk dari pada apa yang pernah diperbuat gadis itu terhadapnya saat mabuk.

          Usai mencuci wajah dan membersihkan mulut dari bau alkohol, kaki-kakinya melangkah menuju dapur.

          Namun ia menahan langkahnya saat melihat punggung gadis yang sudah tak asing baginya.

          Kehadiran gadis itu benar-benar berdampak lebih daripada yang dia harapkan.

          Tangan kiri gadis itu menahan ponsel di telinga, satu yang lainnya mengotak-atik tombol kompor listrik. Di atas kompor sudah diletakkan ketel yang hampir tidak pernah Jungkook pakai.

          Kapan terakhir kali Jungkook menggunakannya untuk memasak air? Entahlah.

          Jika sedang ingin menikmati minuman panas dia hanya perlu berjalan 500 meter dari apartemen, menemukan kafe terdekat. Jika ingin sesuatu yang dihangatkan Jungkook akan pergi ke restoran terdekat daripada repot-repot membuatnya sendiri. Terlalu menyulitkan.

          "Iya, Ibu tenang saja. Aku akan pulang setelah kelulusan."

          Jungkook terus menunggu gadis itu di tempatnya sambil mendengarkan apa-apa saja yang Yeji katakan.

          "Tidak. Aku tidak main nakal sama laki-laki, kok."

          Jungkook menyeringai. Tidak main nakal dengan laki-laki apanya? Setiap hari bawa laki-laki berbeda.

          "Ayah... masih sangat sibuk, ya?"

          Kali ini entah hanya perasaan Jungkook atau nada suara gadis itu agak berbeda. Saat menyebut kata ayah, ada keraguan di balik suara Yeji.

          Menunggu sebentar wanita di seberang sana bicara, Yeji menjawab, "Ahhh, pantas saja dia tidak pernah menghubungiku," ucap Yeji setengah bergumam, merasa sedih di satu sisi.

          Jungkook melihat gadis itu menurunkan tangannya dari pemantik kompor setelah benda itu menyala.

          "Aku..." Yeji menggigit bibir bawahnya agak kurang yakin, "yang akan menghubungi ayah sehari sebelum kelulusan. Sepertinya ayah juga masih marah padaku."

          Lantas Yeji mendengarkan setiap perkataan ibunya di dalam telepon yang menyuruhnya agar tidak terlalu khawatir pada keadaan keluarganya di rumah.

          Anggukan gadis itu melemah, bersyukur ibunya tak melihat. "Aku mengerti."

          Sambungan berakhir secepat yang tidak dia harapakan.

          Yeji menarik napas panjang dan terdiam lama meratapi air di ketel yang mulai mendidih.

          Yeji mengurung diri dengan posisi seperti itu dalam waktu yang lama hingga suara pintu kulkas yang dibuka membuatnya terperanjat dan menoleh.

          "Aku baru akan mengantarkan sarapan untukmu," katanya.

          Jungkook mengambil sebotol minuman dingin milik Yeji, sadar bukan miliknya, ia segera mengembalikannya lagi. Bukan waktunya cari ribut.

          Ia menutup kembali pintu kulkas dan balas memandangi gadis itu. Mata Yeji agak lembab. Tidak tahu karena suhu atau sejak telepon tadi berakhir.

          "Kenapa diantar?"

          "Karena kau mabuk," jawab Yeji tenang sambil mengangkat ketel yang airnya telah panas.

          Yeji menuang air panas itu pada mesin penyaring teh sederhana.

          Jungkook mengerutkan kening dengan curiga. "Tunggu, kau tidak melakukan ini karena merasa kasihan, bukan?"

          "Untuk apa? Untuk membuatmu malu?"

          Jungkook mengangkat bahunya dan berjalan menuju kursi konter. "Siapa tahu."

          "Lagi pula aku jarang punya rasa belah kasih," jawab Yeji datar, mencoba untuk menghindari keributan.

          Jungkook juga menyadari nada bicara gadis itu jauh berbeda saat sedang berbicara dengan orang lain dan ibunya di telepon tadi. Dengan orang lain, Yeji akan berbicara seperti wanita kompetitif yang sulit dikalahkan.

          Sesaat kemudian Yeji berjalan menyeret nampan di meja pantri untuk disodorkan ke hadapan Jungkook. "Makanlah."

          Pandangan Jungkook bergulir ke mangkuk sup khusus pereda pengar, lalu kembali lagi menatap Yeji.

          Kenapa gadis ini aneh sekali? Jungkook masih ingat apa yang dia lakukan terhadap gadis ini semalam? Kenapa seolah-olah tidak ada yang terjadi.

          Risih karena terus dipandangi, Yeji membuka suara, "Apa? Kenapa memandangiku begitu?"

          "Kau...," Jungkook mengerutkan kening, meneliti sejenak, kemudian menggeleng samar, "sudahlah. Terima kasih makanannya."

          Yeji tidak ambil pusing, memilih menelan ucapan Jungkook tadi tanpa menjawabnya.

          Terima kasih makanannya. Oh, Ya Ampun. Sejak kapan lelaki ini bisa bilang terima kasih.

          Saat mencuci sebagian gelas yang kotor, ia berkata, "Kemungkinan, aku akan keluar dari apartemenmu lebih cepat. Bisa jadi malam ini."

          "Kenapa?" tanya Jungkook.

          Yeji menoleh dari balik bahunya. "Kenapa apanya?"

          "Kenapa pergi mendadak?"

          Kegelian tersirat di wajah Yeji. "Kenapa?" tanyanya ragu. "Aku sendiri juga bingung, mungkin karena ini bukan tempatku, dan supaya biaya insentifnya tidak membeludak."

          Selesai berkata begitu, Yeji mengambil tasnya di kamar dan kembali ke dapur. Hanya untuk mengambil buku yang tadi ia pakai untuk mempelajari catatan perkuliahan kemarin. Kemudian ia berjalan ke rak sepatu yang tidak jauh dari sana dan memasang sepatu bertalinya.

          "Apartemenmu kan hanya perlu berjalan enam langkah dari depan pintuku," ujar Jungkook, tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

          "Empat," koreksi Yeji. "Empat langkah lebar orang dewasa."

          "Oh, ya. Itu maksudku. Tapi apa tidak sebaiknya kau periksa keadaan apartemenmu sebelum mengambil keputusan pindah malam ini?"

          "Apa lagi yang harus kuperiksa?" Yeji berhenti mengikat tali dan menoleh. "Kutinggalkan apartemen tidak lebih dari satu bulan."

          Jungkook melepas sendoknya yang sedang dipegang perlahan ke mangkuk. Ia menyesap teh pahit yang terasa hambar di lidahnya.

          "Kurasa tidak ada yang harus kucek," tambah Yeji sambil mengangguk-angguk dan kembali mengikat sebelah sepatunya.

          Jungkook berkedip bimbang. "Ahhh, itu... dua minggu terakhir—berapa lama kau tinggal di tempatku, omong-omong?"

          Yeji berfokus lagi mengikat tali sepatunya. "26 hari."

          "Dua puluh enam hari, berarti tiga minggu lebih, pasti ada sesuatu yang salah. Seperti kerusakan ledeng, atau pipa air yang berkarat? Bagaimana dengan kemungkinan lantai yang termakan rayap? Listriknya sudah dipastikan tidak bermasalah, kan?"

          Yeji menoleh lagi dan menyunggingkan seringaian menggoda. "Kau terdengar tidak menginginkanku pergi."

          Telinga Jungkook langsung tertutupi rona merah muda yang dengan cepat menyebar. Ia berdaham dan menunduk pada supnya. "Sudahlah. Pergi saja. Tadi aku cuma basa-basi."

          "Yakin basi-basi?"

          "Soalnya dari awal kau bilang cuma menetap satu minggu. Sekarang pergi saja. Aku juga lega apartemen ini kembali sepi."

          "Baiklah. Yeji berdiri dan menepuk-nepukkan kakinya di lantai, kebiasaan yang selalu ia lakukan setelah memakai sepatu.

          "Jangan begitu. Nanti lantainya rusak." Jungkook berujar sebal.

          Yeji memutar bola matanya dan tersenyum gemas. Lalu memutar badannya. "Habiskan makanannya. Malam nanti ada yang ingin kau makan? Anggap sebagai pesta sebelum kepergianku."

          Jungkook mendengus. "Tidak ada. Pergilah." Sebelum menyantap nasinya di dalam mangkuk.

          Tiba-tiba muncul dorongan dari dalam diri Jungkook untuk bicara saat gadis itu menarik pintu.

          "Hei, Song Yeji. Temani...,"—Jungkook menelah ludahnya dengan penuh perjuangan, "... Temani aku minum. Mau?"

***

Yeji membuka dan menyingkirkan buku di mejanya berkali-kali. Mengangkat beberapa barang di atas mejanya dan tetap tidak menemukan apa yang dia cari. Tindakannya yang terkesan berisik mengundang perhatian beberapa pengunjung perpustakaan.

"Apa yang sedang kau cari?" Bora meringsekkkan kepala mendekat dan berbisik.

"Ponselku."

"Itu ponselmu." Bora menunjuk telepon genggam di samping siku Yeji yang berseberangan dengannya.

"Bukan yang itu. Ponsel satunya."

"Ahh, ponsel yang kau gunakan untuk membalas pesan fans?"

"Iya."

"Kau yakin membawanya? Sejak tadi aku tidak melihatmu memegang ponsel yang lainnya." Bora mulai ikut mencari.

"Entahlah. Seingatku, sudah kumasukkan ke tas," sahutnya.

"Kau yakin? Coba periksa lagi dengan benar."

"Tetap tidak ada." Yeji menggigit bibir bawahnya sembari mengingat-ingat. "Ah, aku frustrasi. Di mana aku meninggalkannya."

"Mungkin tertinggal di kamarmu."

"Kuharap begitu."

Semua identitas terkait Ylien ada di sana. Bisa jadi masalah jika ponselnya ditemukan oleh orang lain.

Yeji menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Kemudian, sosok pria jangkung berdiri di dekat mejanya sambil menyodorkan sebuah kotak cokelat dan secarik kertas.

          "S-Song Yeji S-sunbaenim, aku dari jurusan yang sama denganmu. T-tolong terima ini." Pemuda itu menunduk dalam-dalam sampai wajahnya tersembunyi di balik poni.

          Cukup lama Yeji menatap sesuatu yang disodorkan lelaki muda itu tanpa melakukan apa-apa.

          "Tingkatan?" tanya Yeji tidak menunjukkan minat seraya mengangkat kepala mengadah pada lelaki itu.

          "I-itu...."

          Suara cekikikan Bora yang berpura-pura terfokus pada buku terdengar, membuat lelaki itu menciut dan bertambah panik.

          "D-dua, Sunbaenim."

          "Belajar saja dengan sungguh-sungguh. Kau tidak akan sanggup menghadapiku," katanya sambil menuliskan sesuatu di bukunya. Yeji sedang serius.

          "A-aku... a-aku hanya melakukannya karena menganggumi Song Yeji Sunbaenim. Tolong jangan merasa canggung padaku dan kumohon terima sedikit hadiah yang tidak berarti apa-apa bagi Song Yeji sunbaenim maka aku akan sangat berterima kasih dan berjanji akan belajar bersungguh-sungguh. Setelah itu aku tidak akan mengganggu lagi."

          Yeji menghembuskan napas dari mulutnya dan mengambil kertas, juga kotak hadiah yang disodorkan. "Aku menerimanya. Terima kasih."

          Bora menyikut lengannya setelah kepergian lelaki tadi. "Ohhh, Song Yeji. Kau masih keren seperti dulu."

          "Kembali belajar."

          "Okay, Ssaem." Bora membuat bulatan dengan jarinya.

          Yeji membalasnya dengan tawa rendah.

***

          Jungkook berbaring telentang, menatap lampu terang di langit-langit studio. Terdengar suara derap sepatu yang mendekat dan seseorang ikut melakukan tidur telentang di sampingnya.

          Park Jimin menjadikan sebelah tangannya sebagai bantalan. Belakang kepalanya agak pusing karena mengurus segala kepentingan untuk kelulusan. Dia sudah menundanya selama satu tahun, Jimin merasa pengorbanannya belum cukup untuk menebus waktu yang dia habiskan selama cuti kuliah.

          "Hyung, kau iseng mengirim pesan lagi padanya kan?" Jungkook melayangkan tuduhan dengan berani sambil menoleh ke samping. "Aku melihat kau mengirim tanda hati lagi."

          "Siapa? BJ favoritmu?"

          "Sudah kubilang berhenti mengirimi tanda cinta padanya. Apalagi iu menggunakan ponselku. Berhentilah."

          "Kalau tidak begitu, hubungan kalian hanya berputar pada percakapan membosankan. Kau harus lebih berani, Kook-ah."

          "Tetap saja. Dia akan merasa canggung saat kami benar-benar bertemu nanti."

          "Kalau begitu mulai tentukan siapa yang kau pilih."

          "Maksudnya?" Jungkook meninggikan sebalah alis, lantaran tidak mengerti.

          "Lee Siyeon? Atau BJ mukbang—siapalah itu namanya...."

          "YA, PARK JIMIN-SSI!" Jungkook terlonjak duduk. "Jangan panggil begitu! Dia punya nama!"

          "Aku belum tahu namanya. Dan kau sampai berani berteriak seperti itu padaku."

          "Itu karena tiap kali menyebut namanya nada bicaramu terdengar merendahkannya, Hyung."

          "Aku tidak begitu."

          "Setiap kali bicara tentangnya kau jelas-jelas begitu. Kau menyebut namanya dengan 'BJ siapalah itu' dengan gampangnya."

          Jimin tergelak. "Baiklah. Maafkan aku. Jadi beritahu aku namanya dan akan kuingat untuk menghormatimu sebagai penggemar."

          Jungkook terdiam dan meringis. "Ylien."

          "Bukan nama virtual. Aku butuh nama aslinya."

          Sebelum menanggapi, Jungkook kembali termenung karena ia sendiri tidak begitu yakin dengan jawaban sebelumnya. Gadis itu tidak pernah memberitahu namanya. Jungkook membuka mulutnya dan mengatupkannya lagi setelah ragu sejenak.

          Lawan bicaranya menunggu lebih dari empat detik dan menaikkan alis tersirat kesan menantang.

          "Untuk apa aku harus memberitahukannya pada Hyung?"

          "Kenapa tidak?"

          "Aku susah payah mendapatkan nomor pribadinya. Jadi untuk apa kuberitahu nama aslinya."

          Jimin mendengus. "Dasar fanboy." Dan tersenyum. "Lalu bagaimana dengan Siyeon noona?"

          "Aku tidak ingin membahasnya lagi. Dia sudah pergi."

          "Semudah itu?"

          "Apa?"

          "Melupakan cintamu."

          Jungkook kembali berbaring dan mengawang kemudian berbisik letih. "Cinta yang menyakitkan bukan cinta namanya."

To be continued...

Haloo. Gimana kabar?

Aneh ih, aku kayak dapet kebebasan saat nulis belakangan ini. Walaupun bisa dibilang aku nulis dalam kondisi yang lagi padat banget. Tapi gapapa lah ya buat kalian. Makanya ayo dong buat aku semangat. Lol 🤣🤣🤟🏻

Nih kalau bayi yang broadcast mukbang. Bukan siaran makanan, tapi malah nge-review produk susu. Susu skim, susu cair, sampe susu bayi dia parodiin. awokkwkwk

Eh, ya aku ngerasa banget makin ke sini Yejinya jarang broadcast karena masih tinggal di rumah jeon. Besok malem udah pisah kok. Part depan harus kalian tunggu.

Udah sih aku bingung mau bahas apa lagi. Intinya thank you ya masih bertahan di streaming!!! 💞

Continue Reading

You'll Also Like

287K 22.3K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
33.6K 4.6K 54
Tatkala Jeon Jungkook, kawan semasa kecilnya, mendadak kembali bak badai yang menghantam, dunia yang Song Jian miliki seperti baru saja diterjang tan...
350K 3.9K 82
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
89.6K 12.8K 10
[TR 4] Elsa, kopi, tengah malam, luka, tugas, Hafizh. Semua itu berkaitan. copyright 2015 © rdnanggiap