My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Balutan Ego

110K 10.3K 260
By Desisetia

"Kamu hati-hati, ya, Han. Nanti kalau sudah sampai kabarin kami," kataku pada Hani. Kami bertiga berada di depan ruang pengurus untuk mengantar Hani pulang kampung.

"Ngabarin bagaimana, Sas? Kan kita nggak pegang hp," sela Dwi.

"Iya juga sih." Aku terkekeh menertawakan kebodohanku. Hani memeluk kami satu persatu, dimulai dari Dwi, Leni dan terakhir aku.

Masih dalam posisi berpelukan, Hani berbisik, "Terima kasih ya, Sashi. Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikanmu." Aku mengamini dalam hati.

Setelah adanya penolakan, akhirnya Hani menerima juga bantuan dariku. Itupun harus melewati perdebatan yang cukup lama.

Kak Sari yang akan mengantarkan Hani ke stasiun sudah memberi aba-aba kami harus berpisah. "Fii amanilah, Haniii," ucap kami sekali lagi, mengantarkan kepergiannya. Setelah itu kami memutuskan untuk berjalan ke gedung madrasah, karena sekolah akan segera dimulai.

Kehilangan itu episode paling menyakitkan dari kehidupan, apalagi harus kehilangan orang-orang tersayang. Aku rasa nggak ada satu pun manusia yang siap menghadapinya. Tapi namanya hidup, ada pertemuan ada perpisahan. Ada yang datang dan ada yang pergi. Ada kehidupan dan juga ada kematian. Itu semua sudah menjadi hukum alam, bukan? Suatu saat nanti pasti akan mengalaminya, tinggal menunggu saat yang tepat. Ditinggalkan atau meninggalkan.

Kami bertiga berjalan melewati lorong pesantren. Sesekali berpapasan dengan santriwati yang lain, aku melempar senyum. Saat ini aku sudah bisa beradaptasi dengan baik, karena dipertemukan dengan teman-teman yang baik.

"Sashiii." Langkah kami terhenti dan kontan menghadap ke sumber suara. Maura berjalan mendekat, kami pun saling pandang.

"Mau apa si Maura manggil kamu, Sas?" tanya Leni. Aku mengendikkan bahu, sama nggak paham dengannya.

"Pagi-pagi udah caper," desis Dwi pelan yang aku tangkap sampai ke gendang telinga.

"Kamu dipanggil Ustadz Abas ke ruang guru," serunya. Ha? Ada apa ya ustadz Abas memanggilku? Apa aku melakukan kesalahan? Atau karena aku mengabaikannya kemarin? Aduh, kok mendadak aku jadi takut ya?

Leni dan Hani menatapku seolah bertanya ada apa. Aku pun menggeleng. Aku saja nggak tahu.

Akhirnya aku berpamitan pada keduanya dan segera berjalan ke ruang guru.

Sesampainya di ruang guru, aku berjalan mendekat ke meja Ustadz Abas. Di sana sudah ada Fika dan satu orang yang nggak aku kenal. Ternyata Ustadz Abas juga nggak sendiri, ada Ustadzah Hilya diantara mereka.

"Ustadz manggil Sashi?" tanyaku begitu sampai.

Ustadz Abas memperbaiki duduknya kemudian berdehem sebelum berkata, "Iya." Jeda beberapa detik. "Kamu pernah ikut olimpiade matematika?"

Aku mengangguk kemudian terdengar suara helaan napas lega dari ustadz Abas maupun ustadzah Hilya. Ada apa sih?

"Jadi begini, kamu diminta untuk ikut Olimpiade Sains Nasional bersama Fika dan Intan. Kalian akan satu tim."

Refleks kepalaku menghadap ke arah kulit lengkuas, ternyata dia juga pintar. Aku baru tahu. Tapi pujianku barusan harus aku ralat setelah melihat wajahnya asem seperti kecombrang.

"Tapi kan Sashi sudah kelas dua belas, Tadz."

"Ya memangnya situ aja yang kelas dua belas?" celetuk kulit lengkuas. Kalau saja nggak ada ustadz Abas dan ustadzah Hilya sudah aku sumpal mulutnya itu.

"Insya Allah nggak akan mengganggu belajar kalian di kelas dua belas. Pelatihan olimpiade setelah pulang sekolah. Lagi pula kalian ini sudah pernah ikut olimpiade, kan? Jadi tidak begitu sulit," jelas Ustadzah Hilya.

Aku nggak masalah kalau harus ikut olimpiade lagi. Yang jadi masalahnya harus satu tim dengan itu tuh. You know what I mean lha ya.

"Olimpiade ini akan membuka jalan kalian masuk ke universitas mana saja yang kalian mau, baik dalam negeri maupun luar negeri."

Menarik sekali. Kalau aku menang aku akan daftar ke universitas luar negeri dengan beasiswa. Dengan begitu, aku bisa jauh dari Sugus. Iya, kan?

"Jadi bagaimana, Sashi? Tinggal kamu yang belum menjawabnya," kata Ustadz Abas memastikan kesiapanku.

"Baik, Ustadz. Sashi mau."

*****

Namaku dipanggil lewat speaker karena ada telepon untukku. Biasanya panggilan itu aku hiraukan karena masih marah dengan ayah dan bunda. Tapi kali ini rasanya kakiku mudah sekali berjalan ke ruang pengurus. Saking nggak pernah satu kali pun menerima panggilan dari rumah, Pak Zaid tersenyum setelah menyadari kehadiranku seraya berkata, "Tumben Ning." Sindirannya itu hanya aku berikan lengkungan sabit saja.

Gagang telepon sudah beralih ke tanganku, mendadak aku ragu. Ayah dan bunda nggak pernah tahu kesulitanku di tempat ini. Ayah dan bunda nggak pernah peduli apakah aku bisa beradaptasi dengan baik di sini. Pasti di sana mereka tertawa senang melihat aku menderita.

Saat mata Abah sudah tertutup, maka satu keberkahanku sebagai anak sudah hilang.

Ucapan Hani dan tangisannya tiba-tiba muncul. Aku seperti melihat layar di depan wajah yang menampilkan kalau aku berada di posisinya. Akhirnya gagang telepon yang ada di tanganku ini aku dekatkan ke telinga.

"Halo, Bunda?"

Terdengar suara helaan napas lega dari seberang sana. "Sashi, kamu apa kabar?" tanya bunda.

"Sashi baik, Bunda," jawabku tanpa bertanya balik.

"Alhamdulillah." Jeda tiga detik. "Kamu pasti masih marah ya sama Ayah dan Bunda."

Iya. Sashi marah! Sashi benci kalian!

Sangat ingin aku berteriak seperti itu, tapi lidahku kaku. Atau mungkin lebih baik seperti ini, daripada aku harus menyakiti hati bunda.

"Kalau Bunda, bagaimana kabarnya?" Aku memilih bertanya balik dan nggak menjawab pertanyaan bunda.

"Bunda baik, Sayang."

"Kalau Ayah?" tanyaku ragu.

"Sama, Ayah juga baik." Baru saja bunda berkata seperti itu, kudengar suara batuk seseorang. Aku yakin itu pasti suara ayah. "Sebenarnya Ayah lagi sakit," aku bunda akhirnya.

"Sakit apa, Bun? Kok Bunda nggak bilang Sashi?" demoku pada bunda yang merahasiakan sakitnya ayah.

"Ayah lagi sering begadang belakangan ini, jadi yaa masuk angin. Bunda nggak berani bilang, soalnya Ayah bilang kamu nggak boleh tahu."

Tuhkan, ayah benar-benar sudah membenciku. Bahkan aku nggak boleh tahu tentang kabarnya.

"Sashi jangan benci ya sama Ayah."

"Bukannya Ayah yang benci Sashi, Bun?"

"Nggak ada orangtua yang benci anaknya, Sayang," jelas bunda.

"Terus kenapa Sashi dibuang? Kenapa Sashi dibiarkan sendiri di tempat ini? Kalau bukan karena kalian benci Sashi lantas karena apa?" Dadaku terasa sesak. Aku nggak bisa menghirup oksigen dengan baik. Hujan tiba-tiba saja jatuh menetes membasahi pipiku.

"Jujur, keputusan itu juga berat bagi Ayah dan Bunda, Sayang. Apalagi sebelumnya kamu nggak pernah pergi dalam waktu yang cukup lama. Percayalah, kami melakukannya karena sayang sama kamu."

"Kamu tahu kenapa Ayah sakit?" Aku menggeleng, meski kutahu bunda nggak bisa melihatnya. "Karena setiap malam Ayah nggak bisa tidur. Ayah mikirin kamu di sana. Ayah bilang 'apa di sana Sashi tidur dengan nyenyak?' 'Apa Sashi bisa beradaptasi dengan baik?' 'Apa di sana Sashi bisa makan enak?' Ayah selalu ingat kamu setiap harinya, bukan, setiap jam bahkan setiap detik kalau di rumah. Makanya belakangan ini Ayah lebih senang lembur, menyiksa dirinya sendiri karena keputusan berat yang sudah diambilnya."

Kini bukan hanya hujan saja yang mengalir dari mataku, tapi isakan guntur juga terdengar karena pengakuan bunda.

"Ayah juga yang suruh Bunda sering-sering telepon kamu. Tanya kabar kamu, siapa tahu ada yang ingin kamu ceritakan. Karena Ayah tahu kamu dekatnya sama Bunda."

Tapi aku nggak pernah mau menerimanya.

Cukup. Ini sungguh menyesakkan untukku. Aku membekap mulut supaya isakanku nggak sampai terdengar oleh pengurus.

"Maaf..." lirihku disertai sedu sedan. "Maafin Sashiii. Maaf Bundaaa."

Aku langsung menutup telepon, karena nggak sanggup lagi meneruskan percakapan dengan bunda.

Inhale, exhale. Aku mengatur napas. Sesuatu di dalam sana begitu sakit. Rasanya seperti sedang makan kemudian tersangkut di tenggorokkan tetapi nggak ada air minum. Aku benar-benar merasa bersalah dengan ayah dan bunda.

Setelah kuseka habis air mataku, dan tangisanku pun sudah berhenti, aku memutuskan untuk melepon Sugus. Malam sebelum Sugus ke luar kota, dia memberikan nomor handphonenya, dan beruntung aku langsung hapal. Jemariku bergerak lincah menekan angka-angka yang akan menghubungkanku dengan Sugus.

Panggilan tersambung, tapi Sugus nggak lantas mengangkatnya.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Tetap sama. Tidak ada sahutan dari seberang sana.

Hampir saja aku menyerah, tapi aku mencoba menghubunginya sekali lagi. Dan gotcha! Panggilan ke-empat diangkat olehnya.

Sugus mengucap salam dari seberang sana, lantas aku menjawabnya. Terdengar Sugus sedang berbicara dengan seseorang meminta izin untuk mengangkat telepon.

"Iya, ada apa, Shi?"

"Sashi kangen!"

"Sama saya?" tanyanya dengan suara antusias.

"Bukan. Sama Ayah dan Bunda."

"Oooh kirain kangen sama saya." Entah hanya perasaanku saja, tapi aku seperti mendengar helaan napas kecewa dari Sugus.

"Sashi mau pulang!" Mendadak aku terisak karena mengingat lagi ucapan bunda. Di sana Sugus kebingungan kenapa aku menangis. "Sashi mau ketemu Ayah dan Bunda, Guuus."

"Tapi saya nggak bisa pulang sekarang."

"Sashi pulang sendiri saja, nggak usah sama Gus nggak papa."

"Apa nanti kata orangtuamu kalau kamu pulang sendiri tanpa saya?" Aku nggak tahu dan nggak mau tahu. Yang aku ingin segera pulang. "Sekarang kamu itu tanggung jawab saya dan sudah kewajiban saya menjaga kamu. Kalau nanti ada apa-apa di perjalanan terjadi sama kamu, saya nggak bisa memaafkan diri saya sendiri."

"Dengan atau tanpa Gus, Sashi akan tetap pulang. Sashi mau ketemu Ayah. Ayah lagi sakit, Gus. Pokoknya Sashi mau pulang!" demoku. Dan aku langsung menutup telepon nggak mau mendengar apa-apa lagi dari Sugus!

****

Maaf baru up. Happy reading Zeyenk. ❤

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 459K 58
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
132K 10.4K 39
"Yayah! Mau kan jadi Yayah benelannya Aila?" tanya Aira dengan begitu gemas. Fadhil tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala gadis kecil di gen...
98.5K 7.9K 30
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
85.8K 9.2K 31
[Spin off Hakim, bisa dibaca terpisah] Bahagia seperti apa yang diinginkan semua orang? Apa bahagia mereka sama seperti definisi bahagia yang Husna...