My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Keberkahan yang Hilang

132K 10.4K 490
By Desisetia

Mengejar ketertinggalan, itulah yang aku lakukan setelah kembali ke sekolah. Beruntungnya teman-teman sekamarku berbaik hati dengan meminjam catatan mereka dan juga membantuku mencatat pelajaran yang aku tinggalkan selama ini. Dua jam sebelum istirahat, harusnya ada pelajaran kimia, tapi gurunya tidak masuk karena sudah cuti melahirkan. Kalian tahu? Untuk anak SMA sepertiku guru nggak hadir di kelas itu seperti mendapat hadiah jackpot dengan jumlah milyaran, senangnya bukan main.

Awalnya aku sedikit awkward masuk ke kelas lagi. Terutama setelah kejadian ustadz Abas dan Sugus yang menggendongku di kantin, nggak jarang aku mendengar bisik-bisik tetangga yang sedang membicarakanku perihal itu. Aneh ya, mereka kan ngajinya sudah banyak, tapi kenapa juga masih membicarakan orang lain. Iya kalau benar? Itu pun hitungannya sudah bergunjing yang seperti makan daging bangkai saudaranya sendiri. Kalau salah kan akhirnya jadi fitnah. Hiii. Semoga aku terhindar dari fitnah yang merupakan dosa besar.

Untungnya teman-temanku menguatkan, mereka bilang aku nggak usah memikirkan orang-orang yang membenciku. Toh kita nggak bisa membuat semua orang menyukai kita, cukuplah Allah yang menjadi tolok ukur utama. Yang terpenting nggak melanggar aturan Allah, that's enough.

Lagi pula memangnya salahku kalau menjawab soal dari ustadz Abas? Salahku juga kalau ustadz Abas memberi soal seperti itu? Salahku juga kalau harus sakit perut? Salahku juga Sugus datang dan tiba-tiba menggendongku? Sepertinya selama di sini apapun yang aku lakukan selalu salah. Kan aku ini alien, makhluk asing, jelas mereka benci. Begitu saja terus sampai rambut Upin Ipin bisa dikuncir kuda!

Lima belas menit sebelum istirahat, kamu ke ndalem ya.

Tiba-tiba aku teringat ucapan Sugus semalam. Pandanganku beralih ke dinding, tepatnya ke arah jam dinding, ternyata waktu istirahat sepuluh menit lagi. Aku telat lima menit!

Seketika aku berdiri dan menimbulkan decitan di kursi. Teman-temanku memandang aneh, sebelum mereka bertanya aku segera berkata, "Izin ke luar dulu ya sebentar. Ada perlu." Ketiganya kompak mengangguk.

Terburu dan setengah berlari aku menuju ndalem. Kenapa sih kelasku harus di lantai tiga dan paling ujung? Kalau sedang seperti ini kan jadi repot.

Aku mengatur napas sejenak, efek jarang olahraga ya seperti ini. Baru lari sebentar, napas sudah ngos-ngosan.

"Sashi." Sebuah suara memanggil namaku. Refleks tubuhku berbalik, karena suara itu berasal dari belakang.

Ternyata yang memanggil adalah ustadz Abas. Beliau sedang berdiri di depan ruang guru, sepertinya selesai mengajar deh. "Kamu sudah sembuh?" tanyanya kemudian.

"Alhamdulillah sudah, Ustadz," jawabku sambil mengatur napas.

"Syukurlah kalau gitu, saya sangat khaw—"

"Ustadz maaf ya, Sashi tinggal. Sashi lagi buru-buru," selaku tanpa tahu ucapan ustadz selanjutnya. Kontan aku berlari lagi menuju ndalem.

Sebenarnya apa yang aku lakukan ini nggak sopan. Seorang guru harus dihormati karenanya siswa menjadi pintar. Tapi sungguh, aku nggak ada niat untuk bersikap kurang ajar atau nggak sopan padanya, aku sedang mengejar waktu untuk bertemu Sugus.

Sesampainya di ndalem aku langsung menuju kamarnya, tapi aku nggak melihat batang hidung Sugus yang seperti perosotan anak paud. Pandanganku berpindah ke sudut kamar, tempat Sugus meletakkan koper. Benda itu juga nihil. Mungkinkah Sugus sudah pergi tanpa berpamitan denganku?

Hayolah Sashi, lagi pula dia cuma pergi satu minggu saja.

Bukankah kau membencinya? Ini kan yang kamu mau, kamu jadi terbebas setidaknya untuk beberapa hari.

Otak dan hatiku berdebat hebat di dalam sana. Entah lah, siapa yang sebenarnya sedang mengkhianatiku. Tapi yang jelas aku merasa nggak ada gunanya di tempat ini sekarang. Buat apa aku berlarian dari kelas menuju ndalem, buat apa sih sebenarnya? Buat apa aku melakukan ini?

Rasa menggebu di hatiku menghilang begitu saja berganti dengan rasa aneh yang menyesakkan. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya sedang aku rasakan. Di kepalaku sekarang berisi tanda tanya, kenapa Sugus nggak mau menunggu sebentar setidaknya sampai jam istirahat? Kenapa Sugus nggak mau berpamitan denganku? Apa dia marah? Apa dia terburu-buru sehingga nggak sempat menungguku? Di saat seperti ini aku nggak bisa lagi berhusnuzon padanya.

Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar sambil menunduk, mengamati kaki yang berbalut kaos kaki menginjak lantai. Karena nggak melihat ke depan aku malah menabrak seseorang.

"Sashi."

Kepalaku terangkat setelah mendengar suara yang nggak asing di telingaku. Bulan sabit yang sedang tidur, kini terbit lagi. "Gus?" ucapku riang setelah mendung berganti dengan langit cerah. "Gus belum berangkat?"

"Belum."

"Kenapa?"

Ujung bibirnya terangkat, tapi nggak menjawab pertanyaanku. "Kok kamu keringetan banget, sih? Habis ngapain?" Sugus malah balik bertanya. Dia nggak tahu saja, aku seperti ini karena siapa.

Belum sempat aku menjawab, kedua tangan Sugus sudah menangkup wajahku. Membuat kata yang tadinya ingin keluar, kini hanya sampai di ujung tenggorokkan saja. Apalagi ditambah Sugus mengusap keringat yang ada di pelipis, membuat tubuhku kaku seperti tertanam di bumi.

"Makanya jangan lari-larian. Untung cuma keringetan, kalau jatuh bagaimana?"

Kok Sugus tahu? Kalau gitu kenapa bertanya?

"Saya melihatnya," ucapnya bagai tahu pertanyaan di kepalaku. Ish nyebelin. "Saya berangkat, ya?"

Aku mengangguk.

"Masih ada waktu lima menit." Terus? "Sebelum saya pergi, nggak mau kita praktik Qurrotul Uyun dulu?"

"Gus!" sentakku sambil memukul dadanya. Sejak semalam Sugus senang sekali menggodaku seperti itu. Nyebelin, kan? Dia tertawa lagi, bahagia sekali sepertinya bisa membullyku.

"Kalau saya pergi, jangan minta orang lain ajarin kitab itu, ya. Apalagi sampai minta dipraktikkan."

"Gus, udah dong! Sashi kan malu."

Sugus terkekeh sambil mengacak jilbabku. "Ditinggal seminggu kangen nggak?"

"Nggak! Sashi malah seneng, nggak ada yang ngebully Sashi lagi."

Kepalanya bergerak ke atas dan ke bawah. "Oh gitu. Kamu jaga diri ya. Jangan lupa makan, nanti sakit lagi. Shalat lima waktu juga jangan ditinggal, dan ngajinya harus lebih giat lagi."

"Sejak kapan Gus jadi cerewet?"

"Sejak ada kamu." Dih kurang asem, aku yang disalahkan. "Saya tertular cerewetnya kamu."

Aku memberengut sebal. Memangnya bisa cerewet itu menular? Dasar Sugus ada-ada saja.

"Gus belum berangkat juga?" Umi tiba-tiba saja muncul, dan aku baru sadar sejak tadi aku dan Sugus berada di depan kamar. Mungkin obrolan kami mengganggu umi.

"Iya, Umi. Ini mau berangkat," ucap Sugus pada umi.

"Saya berangkat, ya." Kali ini Sugus berucap padaku. Sugus sudah berkata seperti itu sejak tadi, tapi belum berangkat juga.

"Sepertinya Abi salah deh pinta Gus yang berangkat," ucap umi melanjutkan. Aku dan Sugus saling tatap, nggak paham maksud umi. "Kalian ini kan pengantin baru, pasti maunya nempel terus seperti surat dan perangko."

Duh umi, nggak begitu kok. Aku malah senang Sugus pergi. Iya, aku senang, kok.

Ekor mataku melirik ke arah Sugus, dia menampakkan bulat sabit di wajahnya. Sepertinya Sugus juga senang bisa ke luar kota. Nggak ada yang cerewet sepertiku.

"Saya pamit ya, Mi," pamit Sugus seraya meraih tangan umi lantas mengecupnya. Kemudian Sugus berbalik, dan mengulurkan tangannya. Aku pun melakukan apa yang Sugus lakukan kepada umi.

"Ingat pesan saya, ya."

Aku mengangguk. Sugus menyentuh belakang kepalaku dan mendekatkan ke arahnya. Sebuah kecupan mendarat di keningku. Tiba-tiba saja bumi berhenti berotasi detik ini juga. Yang bergerak hanya jantungku yang sedang melompat-lompat norak. Kalau nggak ingat ada umi, mungkin tubuh Sugus sudah  kudorong.

Kupikir umi akan marah melihat adegan live kami, tapi umi malah tersenyum seperti biasa, bahkan sampai berseri-seri. Membuat wajahku terasa panas, sepertinya pipiku sudah memerah bagai buah ceri.

"Hati-hati, Gus," lirihku. Aku nggak bisa mengantarkan Sugus sampai ke depan, takut ada yang melihat kan bahaya. Akhirnya aku hanya memandangi punggung Sugus dan umi yang berjalan menjauh.

Semesta, bolehkah aku titip Sugus? Jaga dia ya semesta, bawa dia kembali lagi ke sini.

*****

Setelah dari ndalem, aku kembali lagi ke kelas, ternyata sudah waktunya istirahat. Tapi aku nggak menemukan di mana teman-temanku. Mungkinkah mereka ke tempat makan lebih dulu? Tapi biasanya kan mereka menungguku.

Aku mengedarkan pandang, gengnya si kulit lengkuas juga nggak ada. Akhirnya aku memutuskan untuk ke luar kelas berniat untuk mencari teman-temanku. Tapi sebelum aku benar-benar pergi, sebuah suara menginterupsi. Membuatku berbalik arah lagi.

"Sashi kamu cari temanmu?" Aku mengangguk pada Fida, salah satu teman sekelasku. "Mereka ada di UKS."

"Memangnya ada apa?"

"Dwi ... Epilepsinya kambuh."

Kontan saja aku langsung terkejut. Aku baru tahu kalau Dwi punya epilepsi. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera menghampiri mereka ke UKS.

Benar saja, UKS hampir dipenuhi oleh teman-teman sekelasku. Entah mereka peduli atau hanya penasaran saja dengan Dwi aku nggak tahu dan tetap berusaha husnuzon. Aku membelah kerumunan, saat itu aku melihat Hani dan Leni dengan wajah yang khawatir.

"Bagaimana Dwi?" tanyaku.

"Sashi!" Keduanya terkejut. "Alhamdulillah Dwi sudah nggak apa-apa."

"Syukurlah."

"Tadi kami sempat kaget tiba-tiba saja Dwi kejang-kejang, Sas," cerita Leni sambil memelukku. Aku mengusap punggungnya untuk menenangkan, begitu pula dengan Hani.

"Sudah, sudah. Yang terpenting kan Dwi sudah dapat pertolongan," ucap Hani. Diantara kami, Hani memang terlihat lebih dewasa. Mungkin karena usianya yang memang lebih tua satu tahun di atas kami.

Menurut cerita, Dwi, Leni dan Hani ingin menuju ke ndalem menyusulku —padahal aku nggak bilang ingin ke ndalem, tapi ternyata ada yang melihatnya dan berkata kepada mereka— kemudian di pertengahan jalan nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba tubuh Dwi ambruk dan langsung kejang-kejang hebat. Beruntung Dokter Syifa segera dikerahkan untuk melakukan pertolongan pertama, setelah kejang-kejang Dwi reda, akhirnya dia dibawa ke UKS pondok.

Dokter Syifa tersenyum saat berpapasan denganku setelah memeriksa Dwi. Dokter cantik itu salah satu yang tahu kalau aku istrinya Sugus. Ternyata ketika aku pingsan di gudang, Dokter Syifa yang datang ke kamar Sugus, yang suaranya aku dengar sayup-sayup sedang mengobrol dengannya.

Tentu saja dokter cantik itu aku pinta tutup mulut, merahasiakan pernikahan kami. Itu pun kalau nggak sengaja berpapasan dokter sering kelepasan memanggilku dengan sebutan 'Ning'. Aduh, untung saja nggak ada yang mendengarnya.

*****

"Kalian pasti nggak mau lagi ya berteman denganku setelah tau aku punya ayan?"

Saat ini kami sudah kembali ke kamar. Keadaan Dwi juga sudah membaik, seperti nggak pernah terjadi apa-apa. Tapi yang ada kini rasa percaya dirinya yang sakit. Sejak tadi Dwi merasa insecure dengan kami.

"Sekali lagi ngomong gitu, kita benar-benar musuhin kamu!" ancamku yang membuat wajah Dwi muram. "Wi aku nggak peduli kamu punya penyakit apa. Yang terpenting kamu itu sahabat yang baik untukku."

Leni dan Hani kompak mengangguk menyetujui ucapanku. "Iya, Wi. Sashi benar. Kami nggak pernah melihat penyakitmu itu. Yang kami tahu, kamu itu sahabat kami," ucap Leni.

"Lagian kan nggak ada aturan kalau mau bersahabat harus nggak ada penyakit apa-apa," sambung Hani membuka suara. "Shahabiyah Su'airah Al-Asadidiyyah RA., beliau juga punya ayan. Tapi karena sabar, ikhlas, dan ridha atas ketentuan dari Allah beliau bisa menjadi salah satu wanita penghuni surga. Yang terpenting persahabatan kita ini harus karena Allah, bukan karena harus sehat, cantik, pintar, bukan itu. Karena aku pengin kita bersahabat bukan hanya di dunia saja, melainkan sampai ke akhirat nanti."

Masya Allah. Semesta baru kali ini aku menemukan orang-orang seperti mereka.

Hani memberi isyarat padaku dan juga Leni agar mendekat ke arah Dwi. Kami lantas memeluknya. Berharap menghapus rasa insecure dalam diri Dwi dan membangkitkan lagi percaya dirinya. Penyakit bukan alasan membuat kami menjauh, apalagi sampai nggak mau berteman dengannya.

"Aku juga punya penyakit Gastritis, kok," ucapku menyebutkan kekurangan.

"Aku juga, kalau aku kanker," ujar Leni.

"Hah serius kamu, Len?" tanya Hani.

"Kanker. Maksudnya kantong kering."

"Yeuuuu kirain aku beneran!"

Kami semua terkekeh, begitu pula juga dengan Dwi. Bulan sabit terbit lagi di wajahnya yang manis. Dia menarik napas lega, bisa kutebak hatinya sekarang dapat lebih tenang.

Tok tok tok!

Kami semua saling pandang. Pintu kamar di ketuk dari luar. Aku memilih untuk melepaskan diri dan berjalan ke arah pintu. Saat terbuka, Kak Sari yang berdiri di sana.

"Ada apa ya, Kak?" tanyaku.

"Hani ada?"

"Oh ada, Kak."

Sebelum kupanggil, ternyata Hani dan yang lainnya muncul.

"Hani, ada telepon dari keluargamu," ucap Kak Sari. Aneh. Biasanya kalau dapat telepon dari keluarga hanya diumumkan lewat speaker saja. Pengurus nggak sampai menghampiri ke kamar. Aku takut ada sesuatu pada Hani

Kekhawatiranku semakin meningkat saat Kak Sari membawa Hani. Ada apa ya sebenarnya? Dari raut wajah Kak Sari juga terlihat mencurigakan. Auranya nggak seperti biasa, ada gurat mendung di wajahnya.

"Duh, Hani kenapa ya?" tanya Leni yang ternyata sama khawatirnya denganku. Begitu pula dengan Dwi.

Was-was kami menunggu Hani kembali ke kamar. Nggak berapa lama kemudian, Hani masuk dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Bahkan sesekali dia menangis sesenggukkan. Kami bertiga sudah pasti syok dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Abah," ucapnya sambil sesenggukkan. Kurasa dia nggak mampu lagi melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa dengan Abah kamu, Han?" tanya Dwi mewakili aku dan Leni.

"Abah. Abahku meninggal."

Kontan saja kami semua terkejut bukan main. "Innalillahi wainna ilaihi ra'jiun," seru kami kompak. Tubuhku juga ikut lemas mendengar berita itu. Seolah di kakiku tidak ada tulang sebagai penyangga.

Hani di dudukkan di ranjangnya. Leni mengambil minum untuk Hani agar dia menenangkan dirinya dulu. Kami ikut menangis bersama sebagai luapan kesedihan. Aku yakin, ini adalah saat-saat terberat bagi Hani.

"Insya Allah aku sudah ikhlas," ucapnya yang masih terisak. Tapi nggak sederas tadi, kali ini hanya terdengar sedu sedan saja.

"Abahnya Hani itu sudah tiga tahun ini kena setruk, Sas," cerita Dwi.

"Iya, mungkin ini yang terbaik untuk Abah. Abah jadi nggak merasa kesakitan lagi. Abah," Hani menggantung kalimatnya.

"Abahmu insya Allah husnul khotimah, Han," lanjut Leni yang kemudian kami aminkan.

"Lalu kamu mau pulang kampung sekarang, Han?" tanya Dwi. Iya juga sih, masa dia nggak melihat abahnya untuk terakhir kali?

Hani menggeleng seraya menyeka air mata yang tersisa di sudut mata. "Uangku pas-pasan. Nggak cukup kalau harus bolak balik ke kampung dan ke sini lagi."

"Tapi memangnya kamu nggak mau melihat Abahmu?" kini Leni yang bertanya, mewakili pertanyaanku juga.

"Mau, sangat mau. Aku pengin mencium Abah untuk terakhir kali, sebelum beliau di kebumikan." Jeda beberapa detik, Hani sambil mengatur napasnya. "Tapi sepertinya lebih baik aku mendoakan saja dari sini. Sekarang yang Abah butuhkan hanya doa dari anak-anaknya saja."

"Bagaimana kalau kamu pulang kampung pakai uangku?" saranku. Lagi pula sangu dari bunda masih banyak. Untuk makan sudah disediakan dari pesantren, kalau jajan Sugus yang belikan. Jika uangku habis aku juga bisa minta bunda transfer lagi, atau aku minta saja dengan Sugus.

"Makasih, Sashi. Tapi sepertinya nggak perlu, deh. Aku tahu bagaimana kehidupan santri. Kamu lebih butuh uang itu daripada aku." Hani menolak secara halus.

Aku menggenggam satu tangannya untuk memberi kekuatan serta keyakinan kalau apa yang aku katakan itu sungguh-sungguh. Aku benar-benar ingin membantunya. Karena ketika aku terjatuh pun mereka dengan suka rela mengulurkan tangan agar aku bangkit lagi, masak iya aku nggak sebaliknya?

"Aku ikhlas, aku ikhlas Abah pergi," ucapnya. Aku tahu, sangat tahu. "Aku menangis karena aku menyesal, kenapa aku nggak telepon rumah sering-sering untuk menanyakan kabar Abah? Padahal beberapa hari ini rasa ingin menelpon orang rumah sangat besar, tapi aku selalu disibukkan oleh kegiatan lain. Dan sekarang aku baru menyesalinya saat Abah tiada." Hani mengembuskan napas berat, kemudian dia melanjutkan, "Saat mata Abah sudah tertutup, maka satu keberkahanku sebagai anak sudah hilang. Itu yang aku tangisi."

Hani memang nggak bermaksud menyindirku. Dia nggak tahu apa-apa tentangku, ayah dan bunda yang sedang perang dingin. Tapi perkataannya berhasil menamparku bolak balik. Dua hari sekali namaku pasti dipanggil di speaker memberi tahu kalau ada panggilan dari bunda. Aku juga masih menyimpan amarah pada ayah yang sudah membuangku ke tempat ini. Tapi mendengar ucapan Hani barusan, entah mengapa rasa itu tiba-tiba menguap begitu saja. Saat ini aku ingin mendengar suara bunda dan ayah. Aku nggak ingin menyesal ketika bunda dan ayah sudah menutup mata tapi aku belum berbakti sepenuhnya.

Bunda, ayah, Sashi kangen.

*****

Happy reading Zheyenk ❤

Continue Reading

You'll Also Like

131K 10.3K 39
"Yayah! Mau kan jadi Yayah benelannya Aila?" tanya Aira dengan begitu gemas. Fadhil tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala gadis kecil di gen...
279K 16.7K 48
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! 📌 Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...
191K 10K 37
"Jangan menikah dengan Perempuan itu! Menikahlah dengan perempuan pilihan Umi, Gus!" Syakila Alquds, sosok gadis yang kehilangan kesucian dan berasa...
233K 13.1K 32
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...