My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Gara-gara Qurrotul Uyun

133K 11.5K 1K
By Desisetia

Langit yang tadi berwarna biru, kini sudah berganti dengan jingga keemasan saat aku kembali ke pesantren. Seperti saat pergi, pulangnya pun aku harus kucing-kucingan saat kembali ke ndalem. Bukannya membantu, Sugus malah menikmati permainan petak umpat ini seraya mencibir, "Nggak enak kan nikah diam-diam? Coba saja pernikahan kita nggak dirahasiakan, kamu bisa bebas dan nggak main kucing-kucingan seperti ini." Aku hanya menyikut lengannya saja sebagai respons ucapan Sugus.

Sebelum kembali ke asrama, aku memilih untuk membersihkan tubuhku di toilet kamar Sugus. Mumpung Sugusnya sedang di luar dan juga aku malas kalau harus antre bersama dengan santriwati lainnya, aku manfaatkan saja peluang yang ada. Kalau di sini kan aku bisa berlama-lama luluran dan keramas, kalau di toilet umum boro-boro. Baru buka baju saja pintu sudah diketuk dari luar.

Aku bersenandung kecil saat keluar dari kamar mandi. Rasanya menyegarkan sekali setelah seminggu nggak keramas. Kuusap-usap rambut basahku dengan handuk, supaya airnya menyerap. Sudah ku cari hairdryer, tapi sepertinya Sugus nggak punya.

"Tuhan kucinta dia, kuingin bersamanya. Kuingin habiskan napas ini berdua dengannya." Aku bernyanyi seraya memegang sisir di depan bibir, seolah aku sedang konser tunggal. Aku melihat pantulan diri sendiri di cermin. Seperti biasa, Sashi Liem memang selalu cantik walau dengan rambut yang masih lepek. "Jangan rubah takdirku. Satukanlah hatiku dengan hati ... Sugus? Sejak kapan di situ?"

Kontan nyanyianku berhenti, dan tubuhku refleks berbalik ke arah orang yang sedang terkekeh. Dia merubah posisi dari yang tadinya terduduk di pinggir petiduran, menjadi berdiri dan berjalan mendekat ke arahku. "Sejak kamu ber-hhmm hhmm dari kamar mandi."

Ha? Kok bisa aku nggak sadar keberadaan Sugus? Memang ruangan ini gelap. Cahayanya hanya remang-remang saja. Apa minus di mataku sudah bertambah, ya? Jadinya nggak melihat adanya Sugus.

Tanda tanya di pikiranku terhenti saat Sugus tiba-tiba memegang handuk di kepalaku dan mengusapnya seperti apa yang tadi kulakukan. Semesta kok aku seperti nggak menginjak bumi, ya? Apalagi saat Sugus mengambil alih sisir di tanganku dan menyisiri rambutku dengan lembut. Rasanya seperti melayang ke luar angkasa.

"Ih ada kutu," serunya.

He? Sejak kapan aku punya kutu?! "Enak saja! Sashi nggak ada kutu, Gus!"

Aku memberengut sebal, sedangkan Sugus malah terkekeh. Kalian perhatikan nggak sih, hari ini Sugus banyak terkekeh. Mungkin obatnya habis kali, ya?

"Kalau belum ada kutu dan penyakit kulit belum afdol jadi santri," ucapnya dengan santai. Dia masih saja menyisiri rambutku. Aku jadi curiga, jangan-jangan Sugus kepengin punya rambut panjang.

"Iiih masa, sih?! Gus jangan nakut-nakutin deh!"

"Makanya sering-sering tidur di ndalem saja, ya."

Hm, sepertinya aku mencium aroma modus di sini. "Gus itu seperti angka yang paling sering keluar deh."

"Hah maksudnya?" Sugus kebingungan. Memangnya enak aku kerjain.

Aku berjalan ke arah lemari, mengambil khimar yang sudah kuletakkan beberapa di sana. Saat ingin bercermin, tubuh besar Sugus menutupi cermin yang ada di meja rias.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya.

"Ya ke asrama lah, Gus. Sudah hampir seminggu kan Sashi nggak tidur di sana."

"Besok saya mau ke luar kota." Terus? Apa hubungannya denganku? "Malam ini kamu di sini ya, besok saja ke asramanya," pintanya.

Duh bagaimana ini, mana Sugus terlihat seperti memohon sekali. Aku menghela napas sejenak. "Ya sudah deh. Sashi tidur di sini."

Setelah mendengar ucapanku barusan, Sugus berjalan ke arah kamar mandi dengan sebelumnya seperti mengulum senyum. He? Aku nggak salah lihat kan Sugus tersenyum kepadaku?

****

"Sashiii."

Di depan masjid aku bertemu dengan Dwi dan double Leha yang juga ingin shalat. Mereka refleks memelukku dan mengamati tubuhku dari atas sampai bawah, takut ada yang hilang katanya, karena hampir satu minggu aku nggak terlihat.

"Kamu sudah sehat?" tanya Dwi. Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Sudah dong, seperti apa yang kalian lihat."

"Syukurlah kalau gitu," ucap Leni.

"Iya, Alhamdulillah," lanjut Hani.

Aku melihat ke arah Dwi. Terakhir kali saat bersamanya dia terlihat sedih karena aku terang-terangan digendong Sugus. Tapi sekarang seperti nggak ada masalah apa-apa di antara aku, Dwi, dan Sugus.

"Wi, aku dan Gus ...," Aku menggantung kalimat, ragu ingin melanjutkannya.

"Aku sudah tahu semuanya," ucap Dwi santai seraya berjalan di sampingku.

Ha? Dwi sudah tahu kalau aku dan Sugus suami istri? Haduh bagaimana ini? Apa nanti seluruh penduduk pesantren akan membullyku?

"Gus sudah konfirmasi kalau kalian itu nggak ada hubungan apa-apa. Waktu itu Gus Omar refleks gendong kamu karena melihat kamu kesakitan," jelas Dwi.

Jadi Dwi belum tahu yang sebenarnya? Syukurlah semesta. Kalau sampai dia tahu aku nggak tahu apa yang akan terjadi.

"Kamu tahu nggak Sas, seisi pesantren heboh tau kamu digendong Gus Omar," cerita Leni yang ada di samping kananku.

"Heboh bagaimana?" tanyaku.

"Ya ada yang bilang kalian nggak pantas gendong-gendongan karena bukan mahram. Ada yang kepengin di posisi kamu. Ada juga yang cemburu sampai nangis di kamar," jelas Leni yang kontan mendapat sikutan dari Dwi. Aku tahu yang sampai menangis di kamar itu pasti Dwi.

"Maafin aku ya, Wi."

"Nggak papa, Sashi. Kalian kan nggak ada hubungan apa-apa. Aku masih punya kesempatan."

Wiii andai kamu tahu yang sebenarnya, apa kamu akan membenciku? Maafkan aku, Wi, sudah berbohong kepadamu.

Mereka juga bercerita karena kejadianku di kantin, Fika sering berpura-pura terjatuh saat Sugus lewat supaya ditolong olehnya. Tapi bukannya digendong sepertiku, Sugus malah memanggil santriwati yang lain untuk menolong si kulit lengkuas itu. Sungguh, kalau nggak ingat ada di masjid, aku ingin tertawa kencang mendengar ceritanya.

Setelah shalat kami berpisah. Karena aku terhitung masih baru, otomatis kitab yang aku pelajari berbeda dengan mereka. Hari ini aku ada kajian kitab Safinatun Najah dengan ustadzah Hilya. Denger-denger ustadzah Hilya juga menaruh hati pada Sugus. Duh, di pesantren ini hanya aku yang nggak naksir Sugus, tapi malah jadi istrinya. Sepertinya semesta senang sekali bercanda padaku.

Baru dimulai saja rasa kantuk sudah menyapa. Ujian dalam menuntut ilmu itu kalau nggak ngantuk ya malas. Tapi aku nggak boleh menurutinya, kata ayah mengutip perkataan Imam Syafi'i, "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan". Untuk itu aku harus bisa menahan kantuk ini. Padahal kalau sudah di kamar, rasa kantuk itu menghilang entah ke mana. Duh, dasar aku!

"Muujibaatul ghusli sittatun: Iilaajul hasyafati fil farji, wakhuruujul maniyyi, wal haidhu, wannifaasu, wal wilaadatul, wal mautu." Ustadzah Hilya mulai membuka suara. Malam ini sudah memasuki pasal 9 yaitu hal-hal yang menyebabkan mandi wajib.

"Segala yang mewajibkan mandi ada 6: Memasukkan hasyafah pada farji, keluar mani, haidh, nifas, wiladah atau melahirkan, dan mati."

Dengan serius aku mendengarkan penjelasan ustadzah Hilya, meski dengan mata yang tinggal lima watt. Nggak lupa jika ada yang penting aku catat ke dalam buku, karena ilmu itu harus diikat dan caranya dengan menulisnya.

Tanpa terasa kajian kitab sudah selesai, aku jadi teringat dengan temannya Sugus perihal kitab Qurrotul Uyun. Sebenarnya itu kitab apa, sih? Pokoknya kalau aku bertemu dengan teman Sugus lagi aku harus sudah tau dan khatam. Supaya nggak terlihat bodoh di depan mereka. Rencananya aku akan bertanya dengan ustadzah Hilya.

Seluruh santriwati mulai meninggalkan tempat ini. Aku sengaja melambatkan gerak agar hanya tersisa aku dan ustadzah Hilya saja. Tapi sepertinya ustadzah sedang buru-buru deh, aku jadi ragu untuk bertanya. Akhirnya aku urungkan niat itu dan langsung kembali ke ndalem.

Kebetulan ada umi yang sedang duduk di ruang tamu. Aku berjalan mendekat dan mencium tangannya. Dengan ragu aku duduk di samping umi, ingin melunaskan rasa penasaranku.

"Umi, boleh Sashi bertanya sesuatu?"

"Boleh, kamu mau bertanya apa?"

Aku memilin ujung buku. "Ehm, kitab Qurrotul Uyun itu kitab apa sih, Mi?"

Kening umi mengernyit. Jawaban umi malah membuatku semakin penasaran. "Tanya sama Gusmu saja. Sekalian minta diajarin. Biar lebih ngerti."

Jadi aku harus bertanya sama Sugus nih? Semoga saja dia mau mengajarkanku deh. "Ya sudah, Mi. Sashi pamit ke kamar dulu, ya."

Saat aku memasuki kamar, Sugus sedang sibuk packing. Ternyata benar kalau Sugus mau ke luar kota. Aku meletakkan kitab kuning dan buku di atas kasur, kontan mendapatkan pandangan mematikan dari Sugus. Sugus paling nggak suka kalau barang di letakkan bukan pada tempatnya.

"Memangnya Gus ke luar kota mau ngapain, sih?" tanyaku setelah meletakkan benda-benda itu di tempatnya. Aku mendekatinya, bukan untuk membantu, tapi hanya melihat saja seperti mandor.

"Kamu masih ingat pembangunan cabang pesantren ini?" Aku mengangguk. "Nah, saya diminta Abi menghandle semuanya. Karena Abi sudah nggak kuat kalau harus bolak-balik ke luar kota."

"Oh gitu."

"Kamu nggak papa kan saya tinggal?" lanjutnya.

"Berapa hari?"

"Sekitar seminggu."

Aku hanya mengangguk saja. Lebih dari itu juga nggak masalah kok. Aku nggak mungkin kangen padanya.

"Gus Qurrotul Uyun itu kitab tentang apa sih?" tanyaku spontan. Sugus yang tadinya sedang menutup resleting kopernya mendadak berhenti dengan tubuh yang menegang.

"Kenapa memangnya? Kamu ngajinya belum sampai di situ, kan?"

"Ya belum sih. Tapi kan Sashi mau tau aja." Aku kan sudah kelas dua belas, masa nggak tau. Nanti aku diledek sama teman Sugus. "Gus ajarin Sashi dong." pintaku seraya memanjangkan kata terakhir.

"Nggak mau ah." Dih, masa sama istri sendiri pelit banget! Sugus meletakkan koper yang sudah rapi di samping nakas, lantas duduk di sampingku.

"Gus ajarin Sashi. Sashi ini pinter kok, insya Allah sekali diterangin langsung ngerti. Ajarin ya? Ya ya yaaa?"

Sugus menggeleng. Aku doakan kepalanya terus bergerak ke kiri dan ke kanan tiada henti. Sebal! Punya ilmu bukannya diajarkan ke orang lain supaya jadi amal jariyah, malah dipendam sendiri.

"Oh, bagaimana kalau langsung di praktikkan saja, Gus?" Aku teringat pertanyaan teman Sugus, apa aku sudah mempraktikannya atau belum. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk itu. Agar jawabanku benar-benar terjadi, kalau aku mempraktikkan kitab Qurrotul Uyun setiap hari.

"Di praktikkan? Kamu masih terlalu kecil, Sashi."

"Sashi bukan anak kecil ya, Gus. Sashi sudah kelas dua belas. Umur Sashi juga dua bulan lagi delapan belas tahun. Enak saja dibilang anak kecil!"

Aku memberengut sebal lantas melipat kedua tangan di dada dan membelakangi Sugus. Kok aku jadi kesal ya disebut anak kecil oleh Sugus?

"Kita akan mempraktikkannya kalau kamu sudah siap," ucapnya lirih tepat di samping telingaku. Bahkan napasnya saja bisa kurasakan menerpa pipi.

"Sashi sudah siap, kok."

"Kalau sudah siap kamu nggak akan bertanya itu kitab tentang apa."

"Ya memangnya tentang apa? Gus saja belum jawab." Kini tubuhku berbalik lagi, sehingga posisi kami saling berhadapan.

"Tentang risalah pernikahan dan," Sugus menggantung kalimatnya. Aku bisa merasakan dia ragu untuk melanjutkan.

"Dan?" tanyaku.

"Etika berjima'"

"Berjima' itu apa, Gus?" tanyaku bingung karena baru mendengar istilah itu.

"Ya Allah ya Rabbi, ternyata yang saya nikahi memang benar anak kecil," gumam Sugus kemudian langsung mendekat ke arahku. Sugus meletakkan bibirnya di samping telingaku seraya berbisik, "Hubungan intim suami istri."

Kontan wajahku langsung memanas. Seluruh darah sepertinya sedang berkumpul di wajahku. Jadi dengan kata lain aku dengan percaya dirinya meminta Sugus melakukan ... Ya ampun, menyebutnya saja aku nggak sanggup.

"Huaaah, Sashi maluuu."

Sugus tertawa puas, bahkan bahunya saja sampai bergetar. Jenis tawa yang baru kali ini ia tunjukkan.

"Jadi nggak dipraktikkan?" Sugus bertanya seolah menggodaku. Aku langsung memukul lengannya, dan dia masih tertawa nggak jelas.

Aku benar-benar malu setengah hidup. Semesta tolong kirimkan kapal angkasa dengan kecepatan cahaya, agar aku bisa angkat kaki dari bumi sekarang juga.

Tolong semesta, tolong aku.

*****

Happy reading Zheyenk ❤

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 107K 48
MALING JAUH-JAUH!! Hanya sebuah kisah singkat seorang gadis berumur 20 tahun yang mengorbankan dirinya untuk melunasi hutang pamannya. bagaimana kela...
6.7M 470K 59
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
56.8K 4.6K 31
Lagi asik-asiknya panen mangga eh malah denger lelaki ngucap akad pakai namanya??? HAH! KOK BISA? .... ⚠️ FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ ... Di keluarga...
137K 13.5K 48
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...