My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Matematika Cinta

127K 10.7K 669
By Desisetia

Sepenggal Kisah Untuk Semesta

Semesta masih kubertanya dalam kediamanku ini, bagaimana caranya melunasi rindu yang kian mengganggu? Bagaimana caranya bertemu, meski jarak tak jua menyatu?

Semesta untuk apa aku bersinar jika bukan bumi yang menerima sinarku ini? Aku diciptakan untuk bumi, bukan? Aku ditakdirkan untuk menemani bumi dan melengkapi kekurangannya, kan?

Semesta bagaimana kabar bumi di sana? Masihkah dia menunggu sinarku? Atau dia sudah lelah menanti malam?

Semesta bumi tahu aku nggak sempurna. Bumi tahu aku nggak bisa bersinar tanpa matahari. Tapi bumi tetap mau menerimaku apa adanya, dan bumi masih menjadikanku satu-satunya yang terindah di jagat raya ini. Cuma bumi yang seperti itu. Cuma bumi yang mampu memperlakukanku seperti itu.

Dari bulan yang merindukan buminya.

*****

"Sashi kamu kenapa?" tanya Dwi saat aku memasuki kamar asrama sambil menangis.

Aku segera menyeka air mata hingga tandas, dan tersenyum ke arahnya seolah semua baik-baik saja. "Nggak papa, Wi."

Dwi menatapku dengan kasihan. Dia pasti mengira aku menangis karena dihukum, bukan karena sugus yang seenaknya memarahiku tanpa alasan yang jelas.

Di bab ini, aku nggak ingin membahas sugus. Mari kita hapus sugus dalam cerita ini, kalau perlu dalam hidupku selamanya.

Aku meraih ember yang berisi pakaianku yang sudah kotor, berniat untuk membersihkannya lagi. "Aku bantu ya, Sas?" tawar Dwi.

"Nggak usah, Wi." Bukannya aku nggak pengin dibantu. Tapi nanti ada ritual khusus di tempat cuci baju dan aku nggak ingin ada orang yang mengetahuinya.

Aku pun kembali ke tempat cuci baju, dan ternyata sudah sepi. Jam segini pasti santriwati yang lain sibuk mempersiapkan diri untuk shalat Magrib.

Melihat tanah yang ada di bajuku, seketika membuat dadaku terasa sesak. Justru rasa itu hadir bukan karena Fika si pelakunya, melainkan dia yang memarahiku tanpa sebab dan nggak mau cari tahu dulu apa yang terjadi. Aku mengeluarkan seluruh pakaianku dari ember, menyalahkan keran, kemudian berjongkok di bawahnya.

Aku menggosok-gosok bajuku dengan kencang sebagai pelampiasan rasa marah. Kubiarkan air keran tepat di atas kepalaku mengucur membasahi baju serta tubuhku. Sekarang aku paham kenapa Tuhan menciptakan hujan, karena suatu saat nanti akan ada orang yang menangis dibawahnya tapi nggak ingin ada satu orang pun yang tahu.

Semesta kirimkan Alan sekarang juga, atau biarkan aku pergi ke tempatnya berada. Aku membutuhkannya. Aku merindukannya. Aku begitu merindukannya.

Kuharap semesta mengizinkan awan dan udara membawa rinduku padanya, dan berbisik melalui angin yang bertiup mesra.

Adzan Maghrib sudah berkumandang sekitar 15 menit yang lalu. Aku juga mendengar ramai para santri berbondong-bondong menuju masjid. Suasana semakin sepi dan gelap, tapi aku malah menyukainya. Biasanya aku ini penakut akan hantu, tapi entah kekuatan dari mana, saat ini aku berani.

Pernahkah kalian berada di posisi terendah dalam hidup? Nggak ada orang yang menemani, nggak ada yang mengerti, dan nggak ada yang mau peduli. Merasa nggak diinginkan, merasa dibuang, dan merasa diri nggak berguna. Sekarang aku sedang merasakannya.

Aku kembali ke kamar setelah menyelesaikan semuanya. Teman-teman sekamarku terkejut melihat seluruh tubuhku basah kuyup. Ternyata mereka menungguku, dan memilih shalat Maghrib di kamar.

"Ya Allah, Sashi, kok bisa gini? Cepat ganti baju nanti kamu masuk angin," seru Dwi. Leni dan Hani mengangguk. Keduanya juga terlihat sama khawatirnya dengan Dwi, entah itu hanya perasaanku saja atau mereka benar-benar mengkhawatirkanku.

Aku pun mengganti pakaian. Seluruh tubuhku terasa dingin. Jari-jemariku juga sudah keriput karena terlalu lama terkena air. "Kalian kenapa nggak ke masjid?"

"Kami khawatir sama kamu Sashi. Kami mau di sini saja menemani kamu," ucap Hani dan diberi anggukkan oleh Dwi dan Leni.

"Kalau tim keamanan tahu, kalian bisa dihukum loh."

"Nggak papa, kan kalau dihukum bareng-bareng," sahut Dwi. Kami semua terkekeh.

Kami pun shalat Maghrib berjamaah di kamar, itupun sempit-sempitan. Untung saja tubuh kami semuanya kecil, jadinya muat.

"Sashi, di sini kamu nggak sendiri. Kamu punya kami. Kamu bisa curhat apapun kepada kami. Insya Allah semuanya aman," ucap Dwi sambil melipat mukenanya.

"Iya, Sas. Kami paham banget apa yang kamu rasakan. Di awal-awal memang nggak mudah beradaptasi di pesantren. Entah adaptasi tempat, atau pun teman-temannya. Untuk itu kami nggak mau kamu sendiri, saat ini kamu itu sudah menjadi keluarga kami," Hani menimpali.

Semesta, entah kenapa langit kembali mendung. Gerimis ingin terjatuh dari kedua mataku setelah mendengar ucapan mereka.

"Loh Sas kok nangis?"

Hujan terjatuh membasahi pipiku. Ditanya seperti itu malah semakin deras. "Boleh aku peluk kalian?"

"Uuuh boleh dong. Sini sini berpelukaaan." Di sela tangisku aku terkekeh karena kami berpelukan seperti teletubbies saja.

*****

Di depan sana Ustadz Abas menerangkan materi matematika. Tapi sama sekali pikiranku nggak berada di kelas melainkan jalan-jalan entah ke mana. Apalagi ditambah tubuhku lemas karena entah sudah berapa hari aku mogok makan. Aku sedang menghukum diriku sendiri entah karena apa.

Suasana kelas seketika menjadi ribut, termasuk Dwi yang duduk di sampingku ini. Dia sampai menyenggol lenganku, membuatku tersadar dari lamunan. "Gus Omar lewat," bisiknya.

Ternyata suasana riuh berasal dari dia. Aku berusaha nggak peduli. Sudah kubilang kan di bab ini aku nggak ingin menceritakannya.

"Masya Allah, ganteng banget. Itu orang apa bukan sii?"

"Gantengnya kok nggak nyantai gitu ya?"

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan."

Biasa aja kali woy, nggak usah lebay gitu.

"Sudah-sudah! Semuanya perhatikan lagi ke depan!" Tegur Ustadz Abas pada kami semua.

Beberapa hari ini juga dia menggemparkan asrama putri, karena bolak-balik terus di depannya. Jangan tanya aku apa tujuannya itu, mana aku tahu. Mungkin saja dia mau tebar pesona. Dari ratusan santriwati, kurasa hanya aku yang nggak peduli akan hal itu.

Setelah kejadian tempo hari, selama beberapa hari ini aku nggak ke ndalem. Meskipun aku tahu, umi mencariku. Tapi kalau aku ke ndalem, pasti aku bertemu dengannya.

"Sashi kamu dipanggil Ustadz Abas," seru Dwi mengingatkanku.

"Eh ad—ada apa?"

"Ck ck ck, saya menerangkan capai-capai tapi nggak didengerin." Ustadz Abas sampai geleng-geleng kepala. Aku meringis merasa bersalah. "Sini kamu!" titahnya sambil menunjukku.

Ustadz Abas menulis sesuatu di papan tulis. "Jawab soal ini!"

Aku melihat apa yang ditulisnya dari tempatku berada.

9x - 7i > 3 (3x - 7u)

Kok soalnya aneh gitu sih?

"Haha rasain lo!" celetuk si nenek lampir. Siapa lagi? kalian pasti tahu walau aku nggak menyebut namanya.

Serius soalnya begitu? Otakku sibuk merangkai jawaban dan mulai menghitung. Tepat saat aku sampai di depan papan tulis, aku sudah tahu jawabannya. Tapi apa iya aku harus menulisnya di depan teman-temanku?

Lama aku terdiam, bahkan teman-temanku sampai bingung apa yang terjadi. Karena mereka tahu nilai testku kemarin sempurna, mereka pasti berpikir aku bisa menjawab soal di papan tulis ini.

"Dia nggak bisa jawabnya itu, Pak!" celetuk Maura. Teman sebangkunya si kulit lengkuas tertawa meremehkan.

Enak aja! Soal begini mah gampang! Hanya saja aku masih bingung mengapa hasilnya begitu.

Aku mulai menulis jawaban dari soal itu di papan tulis. Suasana kelas mendadak hening.

9x - 7i > 3 (3x - 7u)

9x - 7i > 9x - 21 u

- 7i > - 21 u

7i < 21 u

i < 21/7 u

i < 3 u

"Cieee Sashi uhuy!"

"Cieee nembak Ustadz Abas nih ceritanya?"

Hah apa-apaan mereka? Aku sudah tahu, pasti semuanya akan salah paham.

Aku kembali ke kursiku dan menutup wajahku karena malu. Setelah kejadian tadi, mereka meledekku menyukai Ustadz Abas.

Huaaah aku maluuuuu.

*****

"Kamu beneran suka sama Ustadz Abas, Sas?" Itu pertanyaan Dwi yang kesekian kalinya. Sudah kujelaskan berulang kali sampai mulutku berbusa pun dia tetap nggak percaya.

"Nggak, Wi, beneran deh."

"Suka juga nggak papa, Sas, kan doi masih jomblo," seru Leni sambil tersenyum menggoda.

"Nanti kan kalau kondangan kita nggak usah jauh-jauh ya." Kali ini Hani yang berkata. Kondangan apanya siiih. Sebel aku tuh.

"Iya bener banget tuh, Sas."

Suasana tempat makan ricuh karena kedatangan kami berempat. Iya, aku sudah putuskan berhenti mogok makan karena paksaan ke empat temanku itu. Tapi mereka bilang aku zholim pada diri sendiri. Lagi pula tubuhku sudah gemetaran, skala getarnya mencapai 9,5 SR. Ngeri kalau sampai pingsan, aku nggak mau merepotkan teman-temanku.

Semuanya memandang ke arahku. Mereka menatap aneh, sinis, berdecak sebal dan jenis tatapan lain yang aku nggak ngerti. Sampai salah satu dari mereka nyeletuk, baru aku tahu penyebabnya apa.

"Suka sih suka ya, tapi nggak nembak guru di depan kelas juga kalik."

Jadi kabar aku nembak Ustadz Abas sudah menyebar ke penjuru pesantren? Kalau saja aku tahu dampaknya akan seperti ini, lebih baik aku memilih dihukum saja deh.

"Fitnah itu lebih kejam loh daripada pembunuhan." Dwi membelaku. Teman-temanku yang lain juga berbisik supaya aku nggak mendengar apapun perkataan mereka. Kami pun mulai mengantre makanan.

Semesta, apa lagi cobaan yang dikirim Tuhan untukku? Mengapa rasanya nggak habis-habis?

Suasana kembali riuh, kali ini bukan karena aku, melainkan lagi-lagi orang yang menjadi tranding topic pesantren lewat. Ck, genit banget sih tuh orang! Cari perhatian saja!

Sorry ya aku nggak seperti fansnya yang heboh hanya karena dia ada di sekitarku. Lagi pula aku dan dia masih kemusuhan. Sudah sih, jangan bahas dia lagi. Malas aku!

Aku meringis merasakan perutku yang sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk seribu jarum. Setelah giliranku menerima makanan, rasa sakit itu semakin menjadi. Tanpa sengaja aku menjatuhkan piring yang ada di tanganku dan tubuhku langsung terduduk menahan serangan.

"Aw sakit!"

"Sashi kamu kenapa?"

"Perutku sakit."

Rasain Sashi, kamu sudah zholim sama diri sendiri, sekarang selamat menerima akibatnya.

Sisi diriku yang lain mengejek. Kurang asem memang!

"Aw perutku sakit!"

"Kenapa?" Suara bariton terdengar. Kepalaku mendongak dan ternyata orang yang paling tidak ingin kutemui sudah berdiri di depanku.

Aku mencoba bangkit, namun tidak bisa.

Aku memekik saat tiba-tiba saja dia mengangkat tubuhku. Ya Tuhan, sudah cukup aku di bully karena Ustadz Abas, sekarang aku nggak tahu lagi bagaimana nasibku setelah ini.

"Turunin Sashi, Gus!" pekikku dalam gendongannya. Namun dia tetap bergeming, dan memilih menulikan telinganya.

Ekor mataku melihat ke arah satu titik. Pandangan kami saling bersirobok. Tubuhnya melemas dengan ekspresi wajah penuh kesedihan.

Dia Dwi yang sedang menatap penuh luka ke arahku dan sugus.

*****

Happy reading..

Sashi datang nemenin malming kelen nih. Wkwkwk.

kira-kira, Sashi lebih mirip ayah Jo apa bunda Nia?

Continue Reading

You'll Also Like

6.8M 959K 52
[SEQUEL OF A DAN Z] Tumbuh dewasa tanpa kedua orang tua dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar, terlebih harus menjadi sosok orang tua untuk k...
6.4M 502K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza
Hakim By ul

Spiritual

1.3M 76K 51
[Revisi] Kalian percaya cinta pada pandangan pertama? Hakim tidak, awalnya tidak. Bahkan saat hatinya berdesir melihat gadis berisik yang duduk satu...
524K 66.2K 33
SEQUEL OF 'Astagfirullah, sabrina!' ‼️ baca dulu cerita emak bapaknya, biar paham sama alur. konflik mereka masih berkaitan . Tentang sepasang insan...