Lentera Humaira ✔

By pengagum_pena

8.5M 618K 18.6K

(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bag... More

Prolog.
1) Semu Merah.
2) Memilih Bertahan.
3) Chandra vs Arman.
4) Sekedar Pengasuh!
5) Masa lalu Fanya.
6) Akankah dia Cinta?!
7) Lentera Jingga
8) Cahaya Temaram
9) Istana Kasih.
10) Mau Sampai Kapan?
11] Mulai Khawatir
12] Mencari Sang Pengasuh.
13] Sisi Lain Seorang Arman.
14] Cemburu.
15] Terperangkap Pesona Si Pengasuh
16] Kenyataan Pahit
17] Kekecewaan.
18] Calon Istri?
19) Orang Ketiga
20] Menetap Atau Pergi?
21) Rapuh
22) Bidadari Yang Disia-siakan.
23) Menyerah
24. Benar-benar Pergi.
25) penyesalan.
26) Frustasi.
27) Pertanda Buruk.
28) Pertemuan.
29) Debar.
30) Perasaan Yang Terpendam.
31) Cinta Tapi Gengsi
32) Terlambat.
33) Khitbah Kedua.
34) Berjuang Sekali Lagi.
35) Lamaran.
36) Harapan kecil
37) Senyum Yang Patah.
38) Peri Kecil Rapuh.
39) Mengikhlaskan.
40) Saling Diam, Dalam detak.
41) Aku Cemburu, Maira!
42) Menjelang Akad.
43) Penculikan.
44) Misi Penyelamatan.
45) Surat Untuk Humaira
45) Surat Untuk Maira 2
46) Siapa Suamiku?
47) Takdir Yang Tak Terduga.
48) Masih Dengan Trauma Yang Sama.
49. Egois.
50 Menetap Di masalalu
51. Beranjak Dari Masalalu.
52. Terulang lagi.
53. Malaikat kecil.
54) Akhir.
Extra Part 1
Sequel Lentera Humaira

Epilog

103K 7.1K 169
By pengagum_pena

Di saat semua orang memaksaku berlari dari masalalu. Kau menuntunku perlahan sampai masa depan tak hanya harapan.

Lentera Humaira

Sudah hampir sepuluh menit Arman berdiam diri di ujung pintu, rasanya hanya dengan melihat mereka tersenyum bahagia saja sudah sangat menyenangkan hati Arman. Hampir satu minggu Arman meninggalkan mereka mengurus bisnisnya ke luar kota, selama beberapa hari ini dia harus menahan rindu yang teramat besar pada keluarga kecilnya.

Bukannya menghampiri, Arman justru meraih ponsel pintarnya dalam saku celana lalu menarikan jemari untuk mengetik sesuatu di sana. Padahal saat ini ia tengah bersandar di ambang pintu sambil sesekali menatap bahagia keluarga kecilnya di ruangan itu. Mereka sedang asik bermain bersama sampai tak menyadari kehadiran Arman.

Lenteraku

Harapan besar yang kuyakini mustahil terjadi, menjelma kenyataan manis yang patut ku syukuri keberadaannya. Sayap-sayap yang dulu patah kembali utuh, siap mengangkasakan kembali doa-doa saat sebelumnya terhempas jatuh ke dasar bumi.

Di sela ketidak percayaanku pada takdir-Nya, hadir seseorang sepertimu yang cerewet, yang berisik, yang juga tak pernah menyerah.

Saat semua orang memaksaku berlari dari masalalu, kau menuntunku perlahan sampai masa depan tak hanya harapan. Kau berbeda. Tak pernah pergi meski kumaki. Cintamu nyata meski tak pernah kuanggap ada.

Terima kasih, sudah bertahan untuk tidak pergi, untuk selalu di sampingku meski sering kali aku mengusirmu.

Arman menarik diri dari lamunannya sesaat setelah tangan merayap di pundaknya. Serta langsung menyimpan kembali gawainya, padahal pesan yang ia ketik belum sempat terkirim. Ketika Arman menoleh sang ibu sudah tersenyum ikut memandangi objek yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya.

"Syukuri dan jaga baik-baik apa yang kamu dapatkan sekarang, jangan pernah sia-siakan lagi. Itu anugrah terindah yang Allah kasi buat kamu," ucap Maya dengan sorot mata yang tetap tertuju pada tawa ceria di ruang itu. Ruangan di mana Maira, Zhira, dan juga si bayi kembar-Azzam Nauval Ar Rasyid dan Izza Nauvalin Ar Rasyid sedang bermain.

"InsyaaAllah, Ma. Sekuat mungkin aku akan menjaga kebahagiaan mereka."

Maya mengukir senyum di wajahnya. "Si kembar sudah tidur, Mama pulang dulu ya," pamit Maya lalu pergi setelah mendengar jawaban Arman.

Lelaki yang sudah menjadi ayah dari tiga anak itu kembali merogoh handphone dalam sakunya dan mengirim pesan yang tadi sempat ia ketik. Tapi, sepertinya percuma. Ponsel Maira selalu dalam mode diam, dan lagi, saat ini sedang digunakan untuk memutar audio murotal dari salah satu hafidz indonesia yang di letakkan diantara Azzam dan Izza.

"Papa," teriak Zhira. Si sulung terlebih dulu menyadari kedatangan Arman, lalu menghampirinya. "Papa sudah pulang ...."

Arman masuk dan menghampiri Zhira yang berlari padanya.

"Pa, hari ini Chira punya temen baru," cerita Zhira.

"Oh iya? Kak Alvin gimana? Udah mau jadi temen Zhira?" Arman Menggendong Zhira, bertanya perihal anak yang selalu jadi bahan gosip antara Papa dan putrinya ketika pulang sekolah.

Zhira menggeleng. "Kak Avin tidak mau temenan sama siapa-siapa."

"Terus? Teman barunya siapa?" Arman mendekati istrinya yang tersenyum mendengar cerita Zhira lalu mendudukkannya di ranjang samping Maira.

"Namanya Sesil," ucap Zhira antusias berlanjut menceritakan karakter, fisik, sifat, dan proses mereka sampai akhirnya jadi teman bermain bersama. Arman dan Maira hanya bisa menjadi pendengar yang baik untuk putrinya itu. Kehangatan yang tidak akan pernah tergantikan oleh apapun.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Maira masih di ruangan kedua bayi kembarnya, masih terjaga sembari bersholawat menunggu si kecil terlelap. Entah kenapa hati Arman terenyuh mengingat betapa besar pengorbanan wanitanya itu. Dulu, entah seberapa banyak kesakitan yang dia torehkan di hatinya, sebesar apa rasa luka yang ia buat. Arman beranjak mendekati Maira kemudian memeluknya dari belakang.

Maira kontan menoleh, sepertinya sedikit terkejut dengan pergerakan tiba-tiba dari suaminya.

"Mereka sudah tidur?" tanya Arman yang sudah menjatuhkan dagunya di pundak sang istri.

Maira menelan ludah, dia merasa terkesiap, sentuhan suaminya tidak pernah berhenti membuat debar. Selalu ada degub yang bertalu-talu padahal bukan lagi pengantin baru. Selalu di buat jatuh cinta padahal bukan lagi pasangan remaja.

Arman sedikit tergelak, menurutnya lucu sekali saat Maira bersemu malu seperti itu.

"K-kenapa Mas ketawa? Mereka sudah tidur," jawab Maira terbata.

Lelaki itu membalik tubuh istrinya. "Aku suka ketika melihatmu tersipu malu. Rona di wajahmu membuatku selalu rindu. Ya ... meskipun kamu sangat cerewat." Arman menoel ujung hidung Maira.

"Iiihh ... kebiasaan deh muji-muji tapi akhirnya di jatuhin lagi."

Kedua tangan Arman menangkup pipi Maira, sedikit mengakatnya agar menatap jelas apa yang akan Arman katakan. "Siapa yang ngejatuhin? Justru aku bersyukur Allah menghadirkan sosokmu yang cerewet, yang berisik, yang juga tidak pernah pergi. Dan aku selalu jatuh cinta akan itu."

Demi apapun hati Maira meleleh rasanya, ingin sekali ia terbang. "Dulu kan aku pernah pergi, aku pernah menyerah, Mas."

"Itu karena dulu aku yang bodoh telah mengusirmu. Kalau aku tidak mengusirmu apa kamu akan pergi?"

Maira menggeleng, "aku sudah janji tidak akan pernah pergi kecuali Mas yang memintanya."

"Itulah kenapa aku Cinta."
Kecupan hangat dari Arman mendarat di kening Maira. "Zhira di mana?" tanya Arman memastikan.

"Sudah tidur duluan tadi, Sepertinya dia kecape'an. Kenapa, Mas?"

"Tidak."

"Berarti sekarang free, kan?" Arman menarik pinggang Maira agar lebih dekat. Beberapa saat hening, menikmati debar masing-masing yang saling bersahutan. Perlahan wajah Arman mendekat dan semakin dekat.
Maira memejamkan matanya, mencoba hanyut dengan kehangatan yang ada. Namun seketika tersentak sebab tangis salah satu bayi menggelegar di ruangan itu.

Suara yang berasal dari box bayi dengan kelambu pink. Ya, Izza menangis dengan keras.

"Huh! MasyaaAllah ...," desah Arman memejamkan matanya. Salah sendiri dia tidak membawa kabur dulu Bundanya anak-anak itu. "Sayang, kita sewa baby sitter ya?" saran Arman.

Sembari menimang Izza, Maira menjawab. "Tidak perlu, Mas. Aku bisa kok, lagian ada Bi Inah, Mbak Yesi, Lastri sama orang tua kita juga. Mending uangnya buat anak-anak panti dari pada buat sewa baby sitter." Maira selalu saja seperti itu, selalu merasa bisa walaupun lelahnya luar biasa. Selalu merasa bangga sebab ia yakin lelahnya akan menjadi Lillah.

"Sayang,"

"Hhmm?"

"Sudah baca chatku belum?" tanya Arman, entahlah dia sedikit gugup mengingat pesan sore tadi. Sebab dia tidak pandai merangkai kata, tidak pandai membuat syair, semoga setelah ini Maira tidak menertawakannya.

"Chat?"

"Iya."

Maira menggeleng.

"Aku tunggu di kamar." Arman tersenyum.

Chat? Apa Mas Arman ngirimin aku pesan? Tumben. Maira meraih ponselnya di atas nakas, kemudian duduk di sofa tunggal dekat ranjang baby Izza.

Ada beberapa Chat dari teman dan keluarga, juga dari Mr Cool is My Husband yang tak lain adalah nomer suaminya. Maira membacanya lalu tersenyum, bait demi baitnya seakan memiliki makna yang luar biasa. Sekarang Maira bisa tersenyum lega, sebab Allah masih memberinya kesempatan menikmati manisnya sebuah pengharapan. Dia berharap semoga keluarga kecilnya ini akan selalu memiliki perwujudan rasa syukur yang tiada tara atas limpahan kebahagian yang Allah berikan.

Ya Allah ...,

begitu luar biasa Engkau timpakan kebahagiaan ini untuk hamba. Hamba mohon, jangan jadikan hati ini lalai untuk mensyukurinya.

_______________________

Alhamdulillah Akhirnya ada Epilog. Wkwk.. Semoga kalian masih betah dengan cerita ini. 😆

Baca juga sequel Lentera Humaira

Jangan lupa Vote dan komen.

Oh iya, masih belum berakhir, ada Extra part juga loh... jadi, jangan hapus dulu ya..😉 Kalo perlu tambahkan ke reading list.😅
Btw, di extra part bakalan ada A' Ilham loh, ada yang kangen nggak?

Udah dulu ah... pokoknya tungguin A' Ilham ya😉👌

Syukron
Jazakumullahu khairan katsir..

Wassalamu'alakum..

Continue Reading

You'll Also Like

158K 15.1K 50
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
4M 535K 48
"Shaka akan didera 100x di depan umum sebagai hukumannya!" putus Gus Ali dengan wajah menahan amarah. Alisa yang tengah menangis seketika berteriak d...
2.9M 255K 73
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
2.3K 246 8
Mustasna Nida Isyaroh. Bagaimana kesan kalian pertama kali mendengar nama itu? Jika orang lain beranggapan cewek itu merupakan sosok yang taat dalam...