Streaming

By idybooks

601K 113K 38.2K

Bermula dari BJ mukbang yang memakai topeng Iron Man ketika siaran, rasa penasaran Jeon Jungkook tergugah. Ia... More

[01]
[02]
[Trailer]
[03]
[04]
[05]
[06]
[07]
[08]
[09]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
[31]
[32]
[33]
[34]
[35]
[36]
[37]
[38]
[39]
[40]
[41]
[42]
[43]
[44]
[45]

[19]

13.4K 2.7K 647
By idybooks

        Jungkook punya pengalaman nol persen dalam percintaan. Dia tidak pernah tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa sukanya dengan benar.

        Sekarang Jungkook merasakan pengalaman seperti masuk ke jurang yang digalinya sendiri.

        Alih-alih mengatakan maksud hati sesuai yang dia niatkan, entah mengapa yang berputar-putar di kepalanya adalah nama Song Yeji.

        Cukup aneh mengingat tak ada kecocokan di antara mereka, namun suara gadis itu sungguh tidak mau meninggalkan isi kepalanya. Mulai dari bagaimana Yeji mengajarkan cara melakukan ciuman, dan setiap kali berpapasan di apartemennya ada setitik rasa penasaran yang singgah jauh di lubuk hati. Setiap tindakan kecil Yeji, sejujurnya memang kerap kali menimbulkan tanda tanya besar tak terbantahkan.

        Sekarang ia sendiri masih bertanya-tanya bagaimana nama itu bisa meluncur dari bibirnya tanpa kehendak.

Aku menyukaimu, Song Yeji. Ayo berkencan.

Gila betul.

Jungkook benar-benar harus membenturkan kepalanya ke kap mobil setelah ini. Tetapi mana mungkin, jangan ngaco. Dia tidak sebodoh itu.

        Pokoknya semua ini salah Song Yeji. Batinnya bergejolak.

        Kedua tangannya ikut mengepal erat seakan meremas nyalinya yang baru lepas. Jungkook kegerahan. Keringat di dalam bajunya mengucur deras. Napasnya tersekat dan dia merasa inilah batas akhir hidupnya.

        Ah, satu lagi. Hal terakhir yang paling krusial yang sempat terlupakan.

        Mungkinkah Yeji masih ada di sana? Di belakangnya? Gadis itu mendengar seluruh pengakuan tadi?

        Jika benar begitu, siapa pun tolong lenyapkan dia sekarang juga, kalau kalian tak lupa bahwa laki-laki juga punya rasa malu.

        Saat ini, paling tidak Jungkook berharap Yeji tidak ada di tempat ini.

        Perlahan dalam tempo lambat kedua tepi bibir Siyeon terangkat menggoda.

        Siyeon mencolek perut Jungkook lalu bersidekap. "Jadi kau sudah menemukannya? Dan kau bermasud pamer padaku?" tanyanya dengan gelagat usil.

        Jungkook mematung, belum bisa berbicara.

        "Di mana dia sekarang?"

        "Siapa?" Jungkook menjilat bibirnya. Rasa panik mengembang semakin besar.

        "Gadis yang bisa membuatmu bergairah. Ayo tunjukkan padaku."

        Lantas sebuah suara mulai bermunculan di kepalanya.

        Lari!

        Seruan itu terdengar diulang-ulang seperti penderita skizofrenia.

Lari ke mana?
Tidak tahu.
Ke mana saja.
Aku bukan pengecut.
Tetapi semuanya sudah selesai.
Sialan, men. Harus bagaimana?
Lari!

Alih-alih mendengarkan bisikan yang tumpang tindih dalam otaknya, Jungkook malah berkedip beberapa kali lalu menarik napas dalam-dalam hingga dunianya kembali dan menyadari dirinya masih berdiri di hadapan Siyeon yang sedari tadi menatapnya.

        Tidak apa-apa, sudah basah sekalian saja tenggelam. Diam-diam ditelannya air ludah sambil mengatur napas.

        "D-dia...," napasnya tersekat, "N-noona benar aku sudah menemukannya!" kata Jungkook, dengan nada memburu. "Terkait apa yang kukatakan di studio waktu itu, bukan Noona orangnya. Orang yang kusukai sama sekali bukan Noona. Aku selalu memikirkan gadis lain. Asal itu bukan kau."

Siyeon berkedip bingung. Mulutnya terbuka melongo lalu mendengus sambil terkekeh. "Dasar Bayi Kelinci. Sebetulnya apa yang sedang kau bicarakan?"

Jungkook terdiam. Jantungnya berdegup kencang, jujur ia grogi. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Aku—" Jungkook menelan ludahnya susah payah. Suaranya berubah mengecil. Kali ini ia menatap Siyeon dengan tatapan pilu. "Kalau Noona mau pergi, seharusnya pergi saja. Tidak perlu menyuruhku datang. Kalau mau pergi, silakan pergi saja jangan kembali tiba-tiba begini. Bikin kesal."

        Sebelum Siyeon membuka suara, sebelum semuanya menjadi lebih buruk, sebelum hatinya semakin hancur, Jungkook berbalik memunggungi dan berjalan meninggalkan wanita itu di belakang sana.

        Rasa sakit seperti memukul-mukul rongga dadanya. Memangnya siapa yang wanita itu anggap bayi kelinci? Apakah di mata Siyeon dia bukan seorang pria? Setiap kali Siyeon menyebutnya Bayi Kelinci atau adik laki-laki yang manis, itu selalu membuatnya merasa kembali ke beberapa tahun lalu, di mana ia masih berada di sekolah menengah.

        Siyeon memang sosok wanita ambisius dan menyangi seluruh junior di studio tari seperti seorang adik. Tapi bukan itu yang Jungkook inginkan—Jungkook benci itu. Menganggapnya sebagai adik kecil yang rapuh tanpa peduli jika Jungkook memang mencintainya. Wanita itu kini akan pergi lagi dari hidupnya dan membuat Jungkook hampir mati kesakitan.

        Jungkook bisa merasakan kepedihannya dulu kembali memeluk tubuhnya. Rasanya tetap sama, dan mustahil melupakan perasaan itu dari hati kecilnya. Dan, ia tidak bisa berbohong hatinya mencelus melihat raut wanita yang jauh lebih tua darinya itu tetap menunjukkan perasaan yang sama seperti beberapa tahun lalu. Siyeon tetap menganggapnya sebagai adik. Siyeon yang selalu melindunginya, selalu menjaganya meski ia tak pernah membutuhkan perlindungan wanita itu.

        Maka saat Siyeon akan pergi Jungkook rindu perasaan ini. Jungkook mungkin akan merindukan lagi senyum wanita itu, dia merindukan atmosfer aneh yang selalu menutup hatinya di saat ia bersama wanita itu. Siyeon cinta pertamanya. Wanita yang benar-benar memulihkan kesepiannya setelah seorang wanita tega meninggalkannya. Tetapi bagi Siyeon yang hanya menganggapnya anak laki-laki lemah, ia sendiri tidak bisa melakukan apa-apa.

        Jungkook terus berjalan tanpa menoleh lagi. Menyadari tatapan matanya bertemu dengan sorot mata Song Yeji, sudah tidak peduli pada kemungkinan gadis itu yang akan mengajaknya ribut setelah ini. Namun, satu yang menyita perhatiannya dari rasa sakit adalah, Yeji masih ada di sini. Jungkook tidak tahu apakah saat ini ia merasa senang atau marah. Satu-satu yang bisa ia cerna adalah, Jungkook lega bahwa Yeji tidak meninggalkannya.

        "Ayo, pergi." Jungkook meraih telapak tangan Yeji, menggenggamnya kuat-kuat lalu menarik gadis itu ke mobil.

"Itu pacarmu? Hey, kembalilah, Bocah. Paling tidak tidak kenalkan dia padaku dulu, dong." Siyeon berteriak di belakang sana.

        Jungkook menulikan telinganya. Jungkook tidak ingin mendengar apa pun yang dikatakan wanita itu. Ia hanya ingin semua ini cepat-cepat berakhir.

***

        Sudah hampir satu jam lamanya Yeji menahan keinginan bertanya. Setidaknya ia harus menuntut sedikit penjelasan mengapa tiba-tiba namanya diseret-seret dalam masalah ini. Belum lagi Jungkook yang bertindak seolah-olah mereka miliki hubungan khusus di depan wanita tadi. Tetapi setelah mereka duduk di dalam mobil, ia sendiri tidak tahu ke mana suaranya pergi. Bukan karena tidak mampu atau semacamnya, melainkan mimik Jungkook yang tiba-tiba tak terbaca dan hanya diam merenung meratapi jalanan di depan mereka dengan pandangan kosong.

        Siyeon telah pergi beberapa puluh menit lalu setelah mengetuk kaca mobil, namun Jungkook tidak kunjung membukanya. Yeji sempat menangkap raut kebingungan serta gerakan mulut kalau Siyeon benar-benar harus pergi sambil mengangkat tangannya ke telinga, mengisyaratkan telepon.

        Yeji pun sebenarnya tidak dapat membayangkan bila yang sekarang berada di posisi Jungkook adalah dia. Mengungkapkan rasa cinta pastilah sangat sulit. Apalagi Yeji belum pernah sekali pun mengatakan cinta kepada pria manapun. Sekarang ia merasa sedikit bersalah dan kasihan pada setiap pria yang pernah ditolaknya saat mengajak kencan di masa sekolah dulu.

        Sadar memancing percekcokan dalam situasi ini bukan pilihan tepat, Yeji terus diam, menaruh rasa simpati dan menunggu hingga lelaki di sebelahnya berbicara lebih dulu. Lagi pula Yeji merasa terlalu lelah untuk berdebat.

        Seketika teringat masih ada pekerjaan yang menunggunya, Yeji membuka mulut dan menutupnya kembali setelah ragu sejenak.

        "Yang tadi tidak sengaja." Jungkook memulai tanpa keraguan. Nadanya datar dan terdengar tidak bersungguh-sungguh.

        Yeji menoleh dengan cepat dan mengangguk. "Aku mengerti."

        "Jangan dianggap serius."

        "Ya. Tapi—"

        "Aku sungguh-sungguh tidak sengaja. Semua itu di luar kendali."

        "Ya, aku mengerti," jawab Yeji pelan.

        Dalam sekejap Jungkook menoleh. "Kenapa sejak tadi cuma bilang 'Aku Mengerti'?! Katakan saja yang lainnya!"

        Bentakan itu membuat pundak Yeji tersentak kaget, tetapi ia tetap membisu seperti orang dungu.

        "Kau tahu, kau membuat harga diriku sebagai pria terluka. Kalau kau marah atas tindakanku tadi, marah saja. Pukul aku atau lakukan apa pun sesuka hatimu."

        Dengan bingung Yeji berkedip. "Kenapa... tiba-tiba kau marah padaku?"

        "INI SEMUA SALAHMU!"

        Yeji membuka mulutnya tak percaya. Kemudian menghebuskan napas dan tertawa sarkastis. "Sekarang apa? Kau sedang melimpahkan kesalahanmu padaku?"

"Benar. Kalau saja kau tidak ada di sana, kalau saja sejak awal kau tidak memabntuku, maka aku benar-benar bisa mengatakan kejujuran itu padanya. Sekarang karenamu, aku benar-benar hampir gila dan melupakan niat awalku. Kau berusaha memanipulasi jalan pikiranku, kan?"

Yeji terdiam, tidak langsung bicara. Dengan akal sehat ia berupaya menyusun kalimat di dalam kepala sambil memandangi pemuda di sampingnya dengan geram. "Kau tahu betapa menyebalkannya orang sepertimu? Jika kau memang menyukainya, katakan dengan jelas, kalau kau memang mencintainya, lakukan dengan benar. Apa sekarang kau menyesal? Kau yakin benar-benar mencintainya? Kalau kau memang mencintainya, harusnya tanpa bantuan seseorang pun kau tahu mana tindakan yang harus kau tempuh. Apakah ini yang kau sebut jatuh cinta? Memangnya pikirmu semua orang bisa mengetahui perasaanmu? Kau pikir semua orang harus tahu apa yang kau rasakan? Sadarlah, bersikaplah rasional jika terkadang dunia memang terlalu kejam untuk kau pahami." Amarah yang sejak tadi dipendam Yeji dalam-dalam akhirnya meledak seperti gunung berapi yang terguyur hujan gasolin.

        Kemudian untuk membuatnya lebih tenang, gadis itu menarik napas dan menghembuskannya sepelan mungkin. "Aku akan lupakan masalah tadi. Sekarang terserah padamu. Karena tugasku sudah selesai, kita bisa jalani hidup masing-masing. Lusa aku sudah harus meninggalkan apartemenmu. Malam ini aku akan membereskan barangku dan akan menginap di tempat lain, jadi kau bisa langsung menikmati kebebasanmu."

Yeji menggeggam tas di pangkuannya dan menarik tuas pintu, sebelum pergi ia sempat membuka suara, "Ah, satu hal lagi, cinta yang menyakitkan bukanlah cinta namanya."

***

"Setelah mendengar semua ceritamu, kurasa ada satu hal yang bisa kusimpulkan." Bora memutar stir mobilnya memasuki kawasan yang lebih lengang.

Yeji mengerutkan alisnya, menunggu."

"Kurasa...," Bora mengetukkan telunjuknya pada stir yang dilapisi kulit sintetis, "siapa tadi namanya?"

"Jeon Jungkook."

"Ya, Itu dia. Coba kutebak, kurasa Jeon Jungkook mengalami semacam ketakutan berlebihan atas kegagalan cinta. Kau bisa tanya padanya perlahan-lahan."

"Kenapa aku?"

Bora mengangguk semangat. Tatapan matanya masih tertuju pada jalan di hadapan mereka. "Iya, kau. Sementara kau masih tinggal di tempatnya tanya saja baik-baik apa yang membuatnya takut mengungkapkan perasaan."

"Mungkin dia takut ditolak." Yeji mengangkat bahu lebih kepada sikap tak acuh.

Bora tertawa tipis. "Setiap manusia takut penolakan. Tetapi laki-laki seperti itu harus dipertanyakan. Ini bukan terkait masalah cintanya pada lawan jenis. Dan bukan maksudku menggeneraliasikan golongan, tetapi aku curiga bahwa sesuatu pernah terjadi padanya. Mungkin semacam trauma menjalin hubungan? Aku pernah menemukan kasus serupa. Trauma atas perasaan sakit yang berulang-ulang membuat seseorang tidak ingin merasakannya lagi dan ketakutan akan mengalami lagi terus terbayang. Maka dari itu untuk mengakui perasaannya pun akan sangat sulit. Lebih buruknya, dia tidak mengerti perasaannya secara mendalam."

Sebagai mahasiswa psikologi sekaligus sebagai putri dari ibu yang bekerja dalam bidang psikologi klinis dan ayahnya yang berperan menjadi psikolog forensik dalam kepolisian, Bora bisa melakukan analisis lebih tanggap dan merasakan kesedihan lelaki itu jauh di lubuk hatinya. Meskipun rasanya tidak etis dan dia tidak boleh menyimpulkan begitu saja kondisi seseorang sebelum orang itu sendiri yang datang padanya dan berbicara secara terbuka.

Sedangkan Yeji masih duduk dengan tenang. Tatapannya menerawang ke satu sudut seakan pikirannya melompat beberapa hari ke belakang. Memang sikap Jungkook aneh sekali. Terkadang dia pun tidak mengerti apa yang ada dipikiran lelaki itu.

Bora menoleh sekilas. "Aku berani mengambil kesimpulan karena tadi kau bilang dia mengalami perubahaan emosi dalam waktu cepat."

Yeji ikut menoleh dan mengangguk samar. "Memang aneh," ucapnya menyetujui.

Mobil Bora sampai di pelataran jalan yang cukup jauh dari pusat hingar bingar. Biar begitu ada beberapa mobil yang diparkir di bahu jalan.

Sengaja tidak mematikan mesin mobil, Bora mengintip sebuah pintu masuk kedai dari jendela di sisi Yeji. "Benar tidak mau menginap di rumahku?"

"Kurasa aku akan menghabiskan setengah malam di sana sebelum kembali ke apartemennya dan membereskan barang."

Bora mendorong bibir bawahnya maju sambil mengangguk-angguk. "Baiklah. Hubungi aku kalau tiba-tiba kau berubah pikiran. Masih ada beberapa kamar kosong di rumahku."

Yeji mengangguk singkat dan turun dari mobil.

Beberapa saat kemudian Bora menurunkan kaca jendelanya. "Jangan terlalu mabuk."

Yeji membungkuk untuk melihat ke dalam. "Akan kucoba."

Bora memberinya pandangan cemas dan berbicara setelah berpikir sejenak. "Dan Song Yeji, sesekali terimalah bantuan dari kami. Aku dan Mina takkan keberatan kalau kau menumpang hingga lulus nanti."

Yeji mengulum senyum kecil. "Santai saja. Aku akan masuk. Kau pulanglah." Setelah mengatakan itu, ia kembali menegakkan badan membiarkan Bora pergi meninggalkannya lebih dulu.

Melihat kepergian mobil kuning itu hingga hilang dari pandangan, Yeji mendongak ke langit malam dan menyisir rambut panjangnya yang tergerai dengan kelima jari.

Malam yang dingin. Dia harus segera memesan beberapa soju untuk menghangatkan badan.

***

"Hei, Anak Muda, bisakah kau minum dengan tenang."

Yeji tidak peduli suara barusan. Ia berjalan ke meja kasir hendak memesan menu. Restoran yang terletak beberapa blok saja dari apartemennya malam ini cukup riuh. Ada segelintir pekerja kantor yang berbicang dengan berisik, satu-dua pasangan yang berdesas-desus romantis, dan suara desisan ribut daging sapi di atas mesin pemanggang. Tetapi sepertinya ia bisa mendengar satu-satunya suara yang paling ribut adalah bunyi bising dari seseorang yang mengetak-entakkan gelas ke meja. Rasa penasaran Yeji membuatnya sedikit memutar kepalanya. Kini matanya membelalak. Pemandangan ini membuatnya tercengang.

Jeon Jungkook.

Jungkook berbalik sembari menyibak rambutnya dengan tangan ketika salah seorang pria kembali
Menegurnya. Kepalanya bergerak oleng. "Kaulah yang harusnya tutup mulut, Berengsek!"

Yeji dan pria tadi sama-sama membelalakan mata. Tidak menyangka Jungkook akan menyemburkan makian itu pada pria yang tadi menegurnya baik-baik. Semua pengunjung juga kaget mendengar ucapan Jungkook seakan baru saja memantik api keributan.

"Kau bilang apa?" Pria itu melotot kesal.

Yeji tersentak berlari mendekati Jungkook dan memegangi tangannya. "Hei, sadarkan dirimu."

"Nona, kau kenal dengannya?"

Yeji mengangguk dengan gerakan malu.

Ia menarik tangan Jungkook, menyadarkan lelaki itu agar sebaiknya mereka lekas pergi. Namun, secepat itu pula Jungkook menepis lengannya.

Belum selesai sampai di sana, Jungkook kembali meloloskan geraman dan teriakan kepada pria tadi. "Dasar Anjing ini!"

Pria melotot semakin lebar. "Apa kau bilang?!"

"Kubilang, kau anjing!"

Yeji sontak bergerak panik membekap mulut lelaki itu kuat-kuat. Suara Jungkook yang masih melontarkan makian teradam dalam telapak tangannya.

Dengan sikap sungkan, Yeji menoleh pada pria matang itu dan menganggukkan kepala beberapa kali. "Maafkan aku." Lalu menanggukkan kepala pada orang-orang di dalam kedai ini. "Maafkan kami."

"Nona, sebaiknya segera bawa temanmu pergi sebelum dia berbuat keributan yang lebih parah. Dia kacau." sambung pria kantoran yang lebih muda. Diikuti serbuan suara seperti pendemo dari berbaga arah.

"Dia sudah mabuk sejak tadi," sambung wanita di meja yang terletak di sudut dengan tatapan menegur.

Yeji tidak putus-putus mengangguk, menyertakan permohonan maaf pada para pengujung warung makan sambil menarik Jungkook dari kurisnya.

"Berhentilah. Ayo pulang." Gelombang kepanikan melandanya.

Akan tetapi Jungkook tidak menggubris satu pun ucapannya. Perlahan lelaki itu mendongak kepada Yeji dan menatapnya lekat-lekat. "Indah."

"Sadarkan dirimu."

"Bibirmu indah."

"Kita bicarakan masalahmu saat pulang."

"Tidakkah kau sadar apa yang pernah kau lakukan padaku?" Jungkook berbicara sambil tersenyum kecil. Ucapannya semakin tidak terkontrol.

Alih-alih memberikan jawaban, Yeji mendengus keras. Barangkali Jungkook sudah sangat mabuk.

"Song... Ye... Ji..." Dengan suara rendahnya, Jungkook menyebut nama Yeji. "Kira-kira... apa yang akan kauperbuat jika aku membalas perbuatanmu terdahulu?"

Bau alkohol yang keluar dari mulut Jungkook semakin menyengat. Yeji mengerutkan hidung merasakan aroma tak enak dan membuat perutnya mual. Kondisinya lelaki ini sudah sangat berantakan dan bicaranya semakin melantur. Ditambah wajah pemuda itu kemerahan di bawah kendali alkohol.

"Ayo bangun." Yeji mencoba menarik Jungkook dari kursi, membantunya berdiri.

Namun secepat itu pula Jungkook menepisnya. "Lepas."

Yeji bersikukuh mengajak Jungkook pergi dengan kembali memegangi tangannya, tapi lagi-lagi Jungkook berhasil lolos dari jangkauan Yeji secepat yang ia bisa.

"Lepaskan aku!"

Yeji menghela. Jika saja dia tidak punya otak, sudah pasti dia akan membiarkan orang ini tanpa pikir panjang. Dengan penuh kesabaran, Yeji mencoba menarik lengan Jungkook untuk dikalungkan di lehernya. Tetapi seperti yang sebelumnya terjadi, Jungkook berhasil menarik diri.

"Kau...," ucap Jungkook susah payah di antara kesadarannya yang nyaris hilang, "aku tanya padamu, bagaimana jika aku membalas perbuatanmu?" tanya Jungkook setengah berteriak, dan tidak henti-hentinya menarik minat pengunjung restoran.

Yeji menghembuskan napas serba salah. "Sadarkan dirimu. Kita selesaikan masalahmu di luar. Ayo berdiri."

Jungkook berdiri sempoyongan, pandangan matanya berkunang-kunang. Ia maju lebih dekat ke arah Yeji dan tiba-tiba saja mencengkeram kedua bahu gadis itu. Erangan dan gumaman tak jelas tertangkap telinga Yeji. Bahkan sebelum ia menyadari apa yang akan dilakukan Jungkook, lelaki itu sudah memutar tubuh mereka dan mendorongnya hingga punggung Yeji menabrak meja di belakangnya. Ada dua botol soju terguling dari meja dan menghantam pemukaan lantai sampai hancur.

"Kau gila?!"

Jungkook menyeringai puas. "Kau yang pertama kali melakukan ini padaku. Tidakkah kau ingat?"

Jungkook memandangi kedua mata di hadapannya, tak lama matanya turun padan bibir Yeji. Memperhatikannya saksama.

Setiap kali melihat bibir ini, Jungkook merasa adrenalinya terpacu. Di tengah kesadarannya yang semakin lenyap, ibu jarinya mengusap bibir itu penuh perhatian.

"Jeon Jungkook, kupertingatkan padamu. Menjauh dariku." Yeji mendesis, menahan kekacauan amarah yang sewaktu-waktu bisa meledak.

"Harusnya kau ingat sendiri kenapa bisa melupakannya." Tatapan Jungkook berubah sendu. Ia sedih bahwa gadis itu tidak pernah ingat apa yang mereka lakukan.

Sedangkan Yeji tidak mengerti dan tak ingin tahu apa yang dikatakan pemuda yang hampir sepenuhnya tenggelam pada efek alkohol dan masih mengurungnya di atas meja. Ia mendorong lebih kuat salah satu bahu Jungkook agar segera menyingkir.

Melihat Yeji yang memberontak dan kelihatan tidak suka, seorang pria menarik bahu Jungkook karena menganggap hal yang terjadi di depan matanya merupakan tindakan pelecehan.

"Bro, apa yang kau lakukan?"

Jungkook berbalik dan memandangi pria itu tak senang. Dia tidak mengatakan sesuatu yang lainnya.

"Kau tidak bisa melakukan itu padanya."

Jungkook tersenyum meremehkan, namun matanya berkilat marah. "Persetan."

Sesaat kemudian tangannya mendorong bahu pria itu dan pergi keluar restoran serta merta meninggalkan tatapan yang masih mengekorinya dengan langkah terombang-ambing.

Yeji baru akan mengejar Jungkook ketika teriakan seseorang menghentikan langkahnya. "Nona, pesanan temanmu belum dibayar, sekaligus ganti kerugiannya."

Yeji berhenti di pintu masuk dan menoleh ke arah meja Jungkook yang berantakan. Ia mendengus tanpa suara.

Tidak ada yang lebih sialan dari ini. Jeon Jungkook memang masalah baginya.

***

Setelah meletakkan kertas berisi tulisan 'Bukan mobil liar. Jangan di bawa, pemiliknya segera kembali' di kap mobil mobil Jungkook yang diselipkan pada wiper, Yeji berlari cepat mencari keberadaan pria itu.

Dan di sinilah dia menemukan Jungkook. Berada sendirian di kursi taman, hanya duduk terbasuh setengah cahaya malam.

Melihatnya seperti ingin menangis, muncul perasaan bimbang dan serba salah dalam benak Yeji. Ternyata ketakutan selain dimarahi ayahnya, adapula yang membuatnya lemah tak berdaya, yakni laki-laki yang patah hati dan hampir menangis.

Yeji berjalan mendekat dan mengambil tempat duduk di dekatnya. Kemudian ia menggaruk bagian belakang lehernya. "Kau mau tetap di sini?" tanyanya teramat hati-hati. Sesekali gadis itu melirik ke samping.

Pertanyaannya itu tidak mendapat jawaban. Jungkook semakin menunduk, menarik napas. Tarikan napasnya bahkan terdengar kalut.

Orang yang sedang patah hati tentu tidak bisa dihibur dengan kata seperti 'tidak apa-apa' 'tidak masalah' 'kau baik-baik saja', yang Yeji tahu justru perkataan seperti itu terdengar sama sekali tidak bersimpati. Justru semakin memuakkan.

Karena masih diliput perasaan bingung, tercetuslah sebuah perkataan dengan suara lancar. "Aku ikut merasakan apa yang kau rasakan," katanya setengah berbisik dan berusaha membuat lelaki ini tenang sejenak. "Kau boleh menangis sekarang jika mau dan aku akan berpura-pura hari ini tidak pernah terjadi."

Tahu-tahu Yeji menydari pergerakan nyata Jungkook yang membesut matanya dengan punggung lengan. Persis seperti anak-anak yang ditinggal main kawanannya. Tindakan yang dicurahkan Jungkook malam ini mengubah sedikit pandangannya terhadap pria itu. Atau mungkin beginilah sosok asli para lelaki ketika patah arang.

Yeji pun terdiam. Tidak ingin bicara lagi karena takut harga diri Jungkook sebagai laki-laki terusik. Kalau sudah begini apa boleh buat.

Akhirnya ia menggeser posisi duduknya lebih dekat dengan lelaki itu. Saat SMP dan SMA ia ingat pernah memberikan dukungan suka rela kepada teman laki-lakinya ketika mereka patah hati. Dan sekarang ia melakukannya lagi.

Mula-mula Yeji mengusap pundak Jungkook. Baginya hal paling mengerikan adalah melihat seorang laki-laki menangis. Artinya mereka kehilangan sebagian harapan. Bila menangis, air mata laki-laki adalah bukti ketulusan. Sepanjang hidup pun ia bahkan belum pernah melihat ayahnya menitikan air mata.

Yeji terus berusaha menenangkan lelaki itu dalam waktu lama. Mengusap lengan Jungkook berkali-kali meski ia tahu perlakuannya takkan bisa menutup lubang luka yang terlanjur melebar.

Namun entah apa yang terlintas dipikiran Jungkook saat tiba-tiba saja lelaki itu justru bergerak merapat padanya. Jungkook menyembunyikan wajahnya di bahu kiri Yeji, membuatnya agak tersentak.

Tarikan dan uluran napas berat dari lelaki itu seolah menembus ke dalam bagian hati kecilnya. Kalau sedang bersedih dan menangis, entah mengapa laki-laki menyebalkan sekali pun malah terlihat seperti sosok anak kecil yang menggemaskan.

Akhirnya dengan penuh ketulusan ia mengangkat tangannya dan memeluk Jungkook merapat ke badannya, kemudian memberikan tepukan halus beberapa kali. Detik ini ia menyadari Jungkook sedang menangis tanpa suara. Pundak lelaki itu bergetar memelas.

Dasar bayi. Yeji ingin sekali tertawa.

Baiklah, Yeji akan menunggu dengan sabar hingga Jungkook puas mengobati sedikit patah hatinya. Mungkin lelaki itu memang butuh menangis malam ini.

Continue Reading

You'll Also Like

4.4K 125 46
Buku ini juga berjudul [Martial Soul Thunderbolt General, dia sangat pandai memasak! 】 [Bola nasi itu membunuh suaminya, sang jenderal sangat panda...
41.8K 6K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
172K 8.4K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
3.4K 556 6
"Seseorang baru saja membeli rumah kosong di sebelah rumah, lho," ujar Mama pada suatu hari, menarik napas simpati, lalu melanjutkan hati-hati, "Dari...