Moonstruck | √

By dariankastar

51.1K 3.8K 2.3K

[ Cerita lengkapnya bisa dibaca di bakisah ] [Completed] Awalnya Beryl cuma main-main karena egonya tersenti... More

P R E L U D E
1 ǁ Sepatu Kets Cinderella
2 ǁ Kapas Berantiseptik
3 ǁ Ruang Temu
4 ǁ Kereta Kencana Modern
5 ǁ Menarik Temali
6 ‖ Tangan Takdir
7 ǁ Mencari Celah
8 ǁ Berusaha Menampik
9 ǁ Langkah-Langkah Kecil
10 ǁ Pemegang Kendali
11 ǁ Upaya Mempermainkan
12 ǁ Permulaan
13 ǁ Di Permukaan
14 ǁ For Some Reason
15 ǁ Try To Get You
16 ǁ Konfrontasi
17 ǁ Selangkah Lebih Dekat?
18 ǁ Berbeda
19 ǁ Mengambil Bagian
30 ‖ Luka di Sudut Bibir
38 ǁ Utuh atau Runtuh
Hi, there!

20 ǁ Melempar Umpan

918 106 25
By dariankastar

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Melempar Umpan

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Ketika Simfoni dan Beryl sampai di SMA Nusa Raya—tempat di mana turnamen basket antar pelajar se-kota dilangsungkan, babak pertama hampir selesai. Pertandingan tampak seru di lapangan sana, sedangkan gemuruh antusiasme dari penonton tidak dapat dielakkan. Seluruh sudut stadion seolah penuh oleh teriakan mereka.

Simfoni merasakan pengang di telinganya, suara-suara teriakan itu seakan tumpang tindih memasuki gendang telinga. Stadion yang tidak terlalu besar ini sesak dipadati penonton dari berbagai sekolah. Simfoni tidak tahu ada berapa tim yang akan bermain hari ini, dia juga tidak tahu sekolah mana yang sedang bermain sekarang. Dia benar-benar buta dengan pertandingan yang sedang berlangsung. Jika bukan karena Beryl, Simfoni jelas tidak akan berada di sini.

Ketika melewati pintu masuk, Beryl yang berjalan satu langkah di depan Simfoni berusaha meraih tangannya, tetapi perempuan langsung menghindar.

Beryl menoleh, bertanya-tanya melalui tatapannya.

"Aku bisa jalan sendiri."

Beryl terkekeh dan kembali meraih tangan Simfoni. Menggenggamnya erat, seakan perempuan itu bisa hilang jika ia lengah sedikit saja. "Nanti lo hilang."

Simfoni kembali berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Beryl terlalu kuat walau tidak menyakitkan. Perempuan itu cemberut. "Aku bukan anak kecil."

"Yang bilang lo anak kecil siapa?" Beryl berujar dengan sorot jenaka, tampak terhibur dengan ekspresi yang perempuan itu tampilkan. "Udah, deh, nggak usah ngeyel. Kalo lo hilang, gue juga yang repot."

Tanpa ingin dibantah lagi Beryl menarik Simfoni menuju kumpulan anak SMA Harapan Nusantara, melewati orang-orang yang masih berteriak penuh antusiasme. Kedatangan Beryl dan Simfoni tentu mengundang ledekan panjang dari mereka. Beryl yang memang tidak peduli hanya tertawa seraya menyahuti tak peduli ledekan teman-temannya itu, sedangkan Simfoni langsung menunduk dengan pipi mulai merona.

Beryl mendudukkan Simfoni di sebelah Cyrin. Perempuan itu langsung menyambut Simfoni penuh suka cita dan mulai mengoceh menjelaskan secara singkat pertandingan yang kini sedang berlangsung. Simfoni tersenyum. Entah kenapa ia justru senang karena Cyrin seakan menerima kehadirannya. Padahal setahunya, Cyrin bukan tipikal orang yang mudah akrab dengan orang lain meski ia masuk dalam kategori siswi populer di Hanusa. Bisa dibilang, ia cukup pilih-pilih dalam berteman.

Beryl duduk di samping Gerhan di belakang Simfoni. Ia melakukan tos dengan teman-temannya sebelum memaku pandang ke lapangan. Dua tim basket yang sedang bertanding berusaha menguasai bola. Berlari ke sana-ke sini guna mencetak skor tertinggi.

Pertandingan pertama di turnamen ini adalah SMA Cendana dan SMA Galapatih. SMA Harapan Nusantara sendiri baru akan bermain beberapa jam lagi. Untuk itulah mereka belum bersiap-siap dan justru menghiasi bangku penonton guna menyaksikan jalannya pertandingan.

Mata Beryl tampak jeli mengikuti gerak setiap orang di lapangan sana. Mencoba menilai kelihaian dan kekuatan setiap pemain. Meski setiap grup memiliki kelasnya masing-masing, tetapi Beryl tidak bisa memungkiri jika permainan ini tidak imbang. Bukannya mau meremehkan Galapatih, tetapi Cendana memang bukan lawan sepadan untuk Galapatih. Kemampuan serta kerjasama tim Galapatih masih kalah mumpuni dibanding Cendana. Lihat saja perbedaan skor yang kedua tim dapatkan. Galapatih tertinggal delapan poin, padahal pertandingan belum genap berjalan satu babak.

Untuk beberapa orang—khusunya Hanusa, Cendana dikenal licik. Oh, oke, bukan keseluruhan anak Cendana, tetapi ada salah satu pemain inti basket SMA Cendana yang memang memiliki sifat licik. Dia kerap kali melakukan cara-cara curang untuk menjatuhkan lawan-lawannya hanya supaya bisa menang. Beryl dan teman-temannya beberapa kali sempat dicurangi. Cedera yang Xylo dapatkan beberapa bulan lalu menjadi salah satu bukti kecurangan mereka.

Mungkin, jika bukan karena salah satu anak Cendana yang menodai nama tim mereka, Beryl akan dengan rendah hati mengakui kehebatan mereka. Sayangnya, karena tindakan-tindakan curang yang telah mereka lakukan selama ini, segala respect Beryl terhadap anak Cendana lenyap sudah. Sedikit pun dia tidak sudi mengakui kehebatan mereka.

Sorakan penonton semakin ramai ketika Cendana kembali berhasil meraih tiga poin. Beryl berdecih di tempat. Baginya, tidak ada secuil pun kehebatan jika ada kecurangan di dalamnya. Meski kali ini mereka tidak curang, tetap saja Beryl tidak suka dengan jalannya pertandingan ini.

Ah, harusnya dia melewatkan satu pertandingan awal ini. Sial, kenapa dia tadi harus buru-buru ke sini? Jika tahu pertandingan pertama adalah Cendana, mungkin Beryl akan mengulur waktu lebih lama.

"Tumben si Juni nggak jadi tim inti."

Suara Xylo membuat Beryl menoleh padanya. "Siapa?" tanyanya memastikan.

"Si Juni." Dagu Xylo mengedik pada bangku pemain. "Tumben dia nggak masuk tim inti dan malah jadi penghias bangku cadangan."

Beryl mengikuti arah tatapan Xylo. Dan benar saja, di sana, di bangku cadangan bersama pemain cadangan lainnya, Juni yang tak pernah absen menjadi tim inti kali ini justru duduk di sana dengan ekspresi keras.

Beryl tertawa meremehkan. "Sadar kali si Sastra kalo temennya yang itu sama sekali nggak bisa main dan bisanya cuma ngandelin fisik. Bagus, deh."

"Gue berharap dia nggak pernah masuk tim inti lagi, atau kalo perlu, keluar aja dari tim basket Cendana," timpal Xylo. "Masih gedek banget gue sama dia."

Beryl menepuk bahu Xylo, memasang wajah pura-pura bersimpati.

Xylo yang mengerti itu sontak menyentak tangan Beryl. Ia justru mengumpat kasar, membikin Beryl terbahak.

Peluit tanda pertandingan babak pertama berakhir telah dibunyikan. Para pemain mulai meninggalkan lapangan diiringi teriakan supporter masing-masing.

"Tapi menurut gue, Juni bakal masuk tim inti lagi. Sekarang Sastra cuma lagi ngehukum dia." Gerhan yang sejak tadi terfokus menonton pertandingan ikut membuka suara. Rupanya, sejak tadi laki-laki itu mendengarkan pembicaraan kedua temannya. "Walau gimana pun, Juni tetap shooting guard terbaik yang Cendana punya. Dan Sastra nggak akan menyia-nyiakan hal itu."

"Alah, tai, shooting guard terbaik," cela Xylo yang masih sering merasa gondok jika membicarakan Cendana, apalagi Juni. "Shooting guard terkampret iya."

Lagi-lagi Beryl dibikin terbahak oleh ucapan Xylo. "Gue setuju sama lo. Kalo gue jadi Sastra, dibanding harus mempertahankan pemain nggak becus, mending cari pemain lain. Iya, nggak?"

"Iya. Lagi pula, daripada bikin malu tim gara-gara kelakuannya, mending cari pemain lain yang lebih baik."

"Sayangnya lo berdua bukan Sastra. Dia itu tipikal yang akan mempertahankan orang kalo dirasa dia cukup berpengaruh di timnya. Lagi pula, gue rasa di pertandingan ini Sastra nggak masukin Juni, ya, karena dia cukup yakin kalo mereka bisa menang walau tanpa Juni. Beda lagi kalau yang main sama Cendana punya kekuatan setara atau bahkan lebih baik dari Cendana, sefatal apa pun kesalahan Juni, dia pasti akan tetap menyertakan Juni dalam pertandingan."

"Waw, gue nggak tahu kalo lo sekenal itu sama Sastra," ujar Beryl pura-pura takjub yang malah Gerhan balas dengan dengkusan.

"Nyesel gue ngomong panjang lebar." Gerhan malah keki sendiri, membikin Beryl dan Xylo kompak tertawa ngakak.

"Heh, cowok gue lo apain!" Cyrin yang sejak tadi menonton sambil berceloteh pada Simfoni kini berbalik sambil memasang tampang garang pada Beryl dan Xylo.

"Ampun, kagak gue apa-apain, anjir! Posesif amat jadi cewek!"

Cyrin menyipit tak percaya sebelum mencibir dan kembali menonton karena pertandingan babak kedua akan segera dimulai.

"Heran, cewek lo sensi amat kalo sama gue," adu Xylo pada Gerhan, yang tidak laki-laki itu tanggapi karena ia kembali fokus menonton.

Sementara di tempatnya dan tidak disadari oleh teman-temannya, Beryl justru tersenyum melihat Simfoni yang tampak anteng menonton pertandingan. Sama sekali tidak terusik dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Seusai pertandingan pertama berakhir yang dimenangkan oleh tim basket putra SMA Cendana, Simfoni pamit ke toilet. Terhitung sudah hampir setengah jam ia meninggalkan stadion dan belum kembali. Alih-alih kembali, Simfoni justru membawa kakinya menuju taman yang tadi ia lihat. Simfoni tidak tahu apa namanya, karena di Harapan Nusantara tidak ada tempat seperti ini.

Taman ini bagus. Meski ukurannya tidak terlalu luas, tetapi banyak tanaman tumbuh dengan bunga berwarna-warni yang telah bermekaran. Ada kolam air mancur kecil yang berada di tengah-tengah taman. Suasana di sini terbilang tenang. Mungkin, jika Simfoni bersekolah di Nusa Raya, tempat ini akan menjadi salah satu tempat favoritnya.

Meski samar, gemuruh teriakan dari stadion basket terdengar. Simfoni enggan kembali ke sana. Tempat itu bising. Simfoni tidak memiliki masalah jika berada di keramaian, tetapi Simfoni jemu jika berada di tempat seperti itu terlalu lama. Lagi pula, Simfoni tidak benar-benar menikmati jalannya pertandingan.

Alih-alih menikmati, Simfoni justru terjebak pada ingatan masa lalu yang malah membikinnya sesak.

Simfoni menghela napas panjang, berupaya mengurai sesak yang masih menjerat hati. Berada di tengah-tengah pertandingan basket bukan hal asing bagi Simfoni. Dulu Simfoni memiliki teman yang juga seorang pebasket dan dia selalu mengajak Simfoni untuk menontonnya bertanding. Mulanya Simfoni memang tidak suka, tetapi seiring berjalannya waktu, ia jadi menikmatinya. Dia suka berdiri di tengah-tengah penonton lain dan berteriak memberi dukungan hingga suaranya habis. Tak jarang Simfoni terkena omelan kakaknya karena aksi barbarnya itu. Namun, Simfoni tak pernah kapok dan akan terus mengulanginya di tiap pertandingan.

Getaran singkat di saku seragamnya membikin Simfoni lekas merogoh saku. Ada pesan dari Beryl yang menanyakan perihal keberadaannya. Simfoni memberitahukan lokasinya dan kembali memasukan benda persegi itu pada saku. Dia tidak ingin mencari gara-gara dengan laki-laki itu.

Pada kupu-kupu bersayap indah yang baru hinggap di setangkai bunga mawar, tatapan Simfoni terpancang. Perempuan itu masih menjatuhkan pandang di sana hingga kehadiran Beryl membikin kupu-kupu itu pergi.

"Ngapain lo di sini?" tanya laki-laki itu seusai duduk di samping Simfoni.

"Nggak ngapa-ngapain, berisik aja di dalam," tukas Simfoni jujur.

"Namanya juga pertandingan, ya, pasti berisiklah! Nggak seru kalo nggak berisik."

Simfoni mengangguk meningkahi ucapan Beryl. "Kamu sendiri ngapain ke sini?"

"Pake nanya! Ya nyariin lo, ngapain lagi!"

"Aku bukan anak kecil, Beryl. Nggak usah berlebihan."

Beryl mengabaikan. "Eh, tadi gue udah makan belum, sih? Kok laper," ujarnya tidak nyambung.

"Hah?"

"Temenin cari makan yuk."

Sebelum Simfoni sempat menolak, Beryl sudah keburu menarik tangannya. Tentu saja hal itu membuat Simfoni justru didera kebingungan. "Kok makan? Emangnya kamu nggak tanding?"

"Masih lama," tukas Beryl tanpa beban. Kakinya melangkah menuju kantin Nusa Raya. Dia sudah beberapa kali ke sini, jadi hapal di mana letak kantin.

"Jam berapa?"

“Kalo sesuai jadwal, harusnya jam tujuh udah main," ujar Beryl membuat langkah Simfoni terhenti. "Kenapa?"

"Hng, kayaknya aku nggak bisa nonton," cicit Simfoni. Sebelum Beryl mencecarnya, Simfoni buru-buru melanjutkan, "A—aku ada jam malam. Harus sampai rumah sebelum jam tujuh."

Simfoni kira Beryl akan mengamuk, tetapi rupanya perkiraan Simfoni salah. Laki-laki itu justru berujar tenang. "Oh, yaudah."

Bodoh tidak kalau Simfoni justru yang dibikin bingung? Setelah tadi Beryl memaksa dan sekarang respons laki-laki itu justru hanya begini. "Kamu ... nggak marah?"

Beryl justru tertawa. "Takut banget lo kalo gue marah. Santai aja kali," tukasnya seraya kembali melangkah. Simfoni ikut menyusul. "Gue nggak marah asal lo temenin gue makan sekarang. Lagian ini cuma pertandingan biasa, lo nontonnya nanti aja pas final."

Setelah tadi memaksa-maksa hingga membuat Simfoni harus berbohong pada mamanya, Beryl justru berkata jika pertandingan ini hanya pertandingan biasa?! Demi apa! Rasanya Simfoni ingin meledak!

Sepertinya Beryl tahu jika saat ini Simfoni sedang menahan kesal, karena setelah melirik Simfoni, tawa laki-laki itu justru berderai keras.

Simfoni menatap Beryl penuh kekesalan sebelum akhirnya meninggalkan laki-laki yang masih berderai tawa itu. Beryl yang ditinggalkan tentu langsung menyusul, meski susah payah dia harus menekan tawanya.

"Eh, Fo, jangan marah, dong," pintanya masih dengan sisa-sisa tawa di bibir.

Simfoni mengabaikan dan terus berjalan. "Kamu tau, gara-gara kamu aku sampe bohong ke mama!"

"Siapa suruh lo bohong?"

Ya iya, sih. Tapikan— "Kamu nyebelin!" Simfoni tidak tahu dari mana keberaniannya muncul hingga bisa marah pada Beryl, padahal biasanya jangankan untuk marah, membantah saja Simfoni seakan tidak memiliki nyali. Tetapi, mungkin karena saat ini ia terlalu kesal hingga menutupi segala ketakutannya.

Beryl mungkin terhibur dengan kemarahan Simfoni. Di matanya perempuan itu tampak lucu ketika sedang marah. Walau begitu, Beryl tetap membujuk Simfoni dan mengakui kesalahannya. Untungnya, Simfoni bukan tipikal orang yang susah dibujuk. Kemarahan perempuan itu sedikit mereda meski masih ada sisa-sisa kekesalan di wajahnya.

Saat ini keduanya sudah sampai di kantin Nusa Raya. Beryl memesan semangkuk bakso, sedangkan Simfoni hanya memesan minuman. Dia bilang tidak lapar.

"Habis ini lo mau pulang?" ujar Beryl setelah menelan suapan pertama. "Tapi gue nggak bisa nganterin, sorry."

"Nggak apa-apa, aku bisa pulang sendiri."

"Naik ojol aja, nanti gue temenin nunggunya." Tidak ingin mendebat, Simfoni memilih untuk mengangguk. "Tapi nanti pas final lo harus nonton."

Simfoni tersenyum geli. "Yakin banget kamu bakal masuk final?"

Beryl menghentikan suapannya. Ia menatap Simfoni dengan satu alis terangkat. "Lo ngeremehin Hanusa?"

"Aku cuma mengutarakan pendapat. Emang kamu seyakin itu kalo Hanusa bakal masuk final?"

"Mau taruhan?" Beryl menantang.

"Ap—"

"Kalo Hanusa menang, nge-date seharian sama gue." Beryl menyeringai.

Simfoni melotot. "Tap—"

"Kalo Hanusa kalah, lo bebas minta apa aja dari gue."

Simfoni diam. Jujur, ia sedikit tertarik. Banyak hal berlarian di kepalanya saat ini. Setelah menimbang baik buruknya, Simfoni menatap Beryl, yang Beryl balas dengan tatapan tanpa gentar. "Apa aja?"

"Apa aja."

"Oke."

"Termasuk kalo aku minta kamu buat nggak bahas-bahas perihal utang lagi?"

"Iya, tapi kalo gue menang, utang lo nambah."

"Kok gitu?!" Simfoni protes tidak terima. Jelaslah, mana bisa utangnya bertambah jika Beryl menang.

"Suka-suka gue, dong." Beryl membalas enteng seraya kembali mengunyah baksonya. Simfoni merengut. Beryl terkekeh. "Becanda, elah. Baper banget lo."

Simfoni membuang muka. Di saat itu, ada yang memanggilnya.

"Simfoni?"

Yang dipanggil menoleh, pun dengan Beryl. Jika Simfoni memasang tampang terkejut, Beryl justru memasang raut tidak suka penuh permusuhan.

Di sana, Sastra berjalan mendekat dengan mata yang tak lepas dari Simfoni.

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ to be continued

—dariankastar

[ Dipublikasi | 7.2.21 ]

Continue Reading

You'll Also Like

885K 63.4K 35
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
13.4K 4.3K 37
[Follow dulu baru bisa dibaca] ❝ Nggak ada persahabatan yang tulus antara cowok sama cewek. Pasti bakal ada salah satu atau malah dua-duanya saling j...
95.6K 4.3K 39
Bercerita tentang seorang pemuda bernama Denuca Maheswara, seorang remaja berusia 17 tahun yang mempunyai dendam serta amarah yang membara dalam diri...
6.1K 1.1K 29
Hanya tentang cowok bernama Hugo Aviceena dari sudut pandang seorang Blue Narendra.