.
.
Tidaklah seseorang dikatakan murid sejati, kecuali dia menyadari bahwa satu dosa bisa meracuni dirinya.
.
.
***
Mereka masih duduk bersila di puncak bukit. Tangis Yoga mulai reda, setelah sebelumnya untuk pertama kali dalam hidupnya dia mengalami peristiwa spiritual paling agung.
Pria itu mengusap air matanya, dan mulai melanjutkan menyesap kopi kawa daun, yang kini sudah tak nampak asap panasnya. Minuman itu mulai dingin, menyerap dinginnya suhu udara. Ustad Umar diam seribu bahasa. Dia agaknya paham apa yang baru saja terjadi, dan memutuskan tak akan bertanya.
Mentari mulai cerah kekuningan. Pagi adalah tanda dimulainya kehidupan. Tanda kebangkitan. Tampak para petani mulai menggarap ladang. Istri-istri mereka membantu suaminya. Anak kecil bersepeda keluar rumah. Kehidupan menggeliat.
Yoga menikmati suasana ini, yang tak akan ditemuinya di ibukota. Suasana hari terakhir di tempat Suluk. Tempat yang tak akan terlupakan. Akan tersimpan dalam hati sesiapapun yang pernah merasakan hidup di dalamnya.
Dalam keheningan, tiba-tiba suara anak laki-laki mengejutkan mereka. Mahzar berlari dengan wajah panik.
"Pak Yoga!! Erika merusak kebun mawar!!"
Yoga mematung dalam posisi tangannya memegang mangkuk batok kelapa. Wajahnya pucat pasi.
Sementara Ustad Umar tubuhnya gemetar.
"A-apa ... ?? Kebun bunga mawarku ... ??"
Yoga buru-buru meletakkan gelasnya di atas nampan. "E-eh ... maafkan saya Ustad. Sa-saya akan ganti kerugiannya. Beneran, Ustad ... "
Namun kekesalan Ustad Umar telah memuncak. Dia membayangkan seluruh perasaan cinta yang dituangnya pada tiap bunga mawar yang tumbuh merekah. Sulit merawat mereka hingga bisa tumbuh sedemikian indah.
"Kenapa kamu masih diam di sini?? CEPAT AMBIL KUCINGMU!! IKAT DULU DIA SEMENTARA!! BAGAIMANA KALAU DIA MERUSAK TANAMANKU YANG LAIN??"
"I-iya! Baik, Ustad!" Yoga segera berdiri dan berlari bersama Mahzar ke arah kebun.
Sementara dari kejauhan, Syeikh Abdullah sedang menyesap sisa kopi kawa daun di gelasnya. Sedari tadi dia mengamati mereka. Murid-muridnya. Senyum merekah di bibirnya. Karena menyaksikan bagaimana program Suluk 40 hari, telah memberi dampak yang signifikan pada Yoga. Muridnya yang satu itu sejak awal berbeda, dia tahu. Dan pria itu akan memikul beban berat setelah Suluk berakhir.
***
Pukul 07.00 pagi, Kediaman Danadyaksa, Jakarta ...
Dana menurunkan kertas koran dari hadapan wajahnya. Srek!
"APA?? YOGA BILANG BEGITU??" Pria itu terperanjat tak percaya dengan yang baru saja didengarnya.
Bastian berdiri di seberang meja makan. Sepagi ini dia sudah tampak rapi dengan seragam kemeja lengan panjang putih dan jas rompi hitam di bagian luar. "Benar Tuan. Semalam pukul satu Tuan Muda menelepon ke rumah. Minta dua orang supir menjemputnya di sebuah bukit di Sumatera Barat. Saya sudah menyewa sebuah mobil. Mereka sudah berangkat sejak sebelum matahari terbit. Tuan Muda bilang di telepon, dia akan pulang dengan membawa calon anggota keluarga baru. Saya kurang paham apa maksudnya, tapi kemudian Tuan Muda buru-buru menyudahi sambungan telepon."
Tangan Dana yang sedang menggenggam kertas koran, kini gemetar.
Akhirnya ... putraku itu memutuskan akan menikah!!
Imajinasinya segera membayangkan Yoga bersanding dengan seorang wanita cantik di pelaminan. Dia bahkan tak perduli pakaian adat apa yang akan mereka pakai. Adat Jawa kek, Sunda kek, Minang kek, internasional kek. Apa sajalah!! Yang penting Yoga menikah!
Ternyata itu adalah misi penting Yoga hingga lebih dari sebulan menghilang dari kantor. Dia paham sekarang. Akhirnya ... Dia mungkin akan segera punya cucu. Garis keturunan Danadyaksa akan berlanjut!
Mata Dana berkaca-kaca. Keharuan itu turut dirasakan oleh Bastian, yang kini mengusap cairan bening di ujung kelopak mata.
Pria yang masih mengenakan baju piyama itu, segera memasang wajah serius. "Kalau begitu, kita harus siapkan penyambutan untuk mereka!! Bastian, tiga hari lagi, kita harus menghubungi supplier dekorasi bunga! Kita hias ruang depan seindah mungkin!!"
"Siap Tuan Besar!"
***
Dua hari kemudian. Pukul 09.00 di Tempat Suluk, Sumatera Barat ...
Tok! Tok! "Assalamualaikum Syeikh. Ini saya, Umar."
Salam itu membuat Syeikh menoleh ke arah pintu. "Masuklah, Umar."
Zreg! Pintu bergeser. Ustad Umar tampak rapi dengan baju dan peci putihnya. Dia berjalan membungkuk sopan, lalu duduk di depan Syeikh.
"Ada apa Umar? Ada yang ingin dibicarakan?" Tanya pria tua itu dengan senyum hangat. Sehangat mentari pagi yang menelusup dari pintu teras yang menghadap puncak bukit.
"Iya Syeikh. Mengenai penutupan Suluk sebentar lagi. Pada saat pembekalan Yoga, saya rasa ada baiknya kalau saya dan Mahzar tidak mengikuti acara itu. Bolehkah? Karena ... saya tebak, Syeikh ingin bicara berdua saja dengan Yoga. Bukan begitu Syeikh?"
Syeikh mengangguk pelan. "Ya. Saya rasa sebaiknya begitu. Sebenarnya tak jadi masalah buat saya, sekali pun kalian berdua mengikuti penutupan. Tapi ... Yoga mungkin merasa tidak nyaman kalau nasehat-nasehat untuknya didengar banyak orang. Karena ... "
Ustad Umar menganguk. "Jangan kuatir, Syeikh. Saya dan Mahzar paham."
Hening sesaat. Syeikh balik bertanya padanya, "Bagaimana keadaannya? Yoga."
Pertanyaan itu membuatnya tercenung. Dia tahu kalau Syeikh sebenarnya lebih paham dari dirinya, tentang kondisi Yoga saat ini. Tapi sepertinya Syeikh ingin menjaga perasaannya dengan menanyakan itu. Sebab Yoga pernah 'dititipkan' padanya untuk dibimbing secara langsung selama Suluk.
Ustad Umar tersenyum. "Seperti yang Syeikh lihat, keadaannya jauh lebih baik ketimbang saat hari pertama dia tiba di sini. Sebenarnya, setelah peristiwa terjatuh dari pohon, saya perhatikan dia mengalami banyak perubahan. Tapi saya akui program khusus 3 hari di pasar, berdampak sangat besar padanya."
"Ya. Alhamdulillah. Saya juga ikut senang melihat perubahannya."
Ustad Umar mengangguk. Dia terdiam sesaat. Sebenarnya ada yang ingin dibicarakannya lagi. Tapi dia ragu.
"Ada lagi kan yang ingin kamu bicarakan? Tak apa, bicaralah. Kita masih punya waktu sebelum penutupan."
Dia menoleh ke arah gurunya yang sedang tersenyum tenang. Pria itu membalas senyumnya. Harusnya dia tahu, dia tak akan bisa menyembunyikan apapun dari Syeikh. "Saya ... mau minta maaf, Syeikh. Saya merasa gagal melatih dia untuk menjadi seorang pendakwah. Saya berusaha mengajarinya tajwid dan ilmu fiqih. Walaupun dia adalah pelajar yang cerdas, tapi dalam waktu 40 hari ini, saya merasa kemampuannya masih sangat kurang untuk jadi seorang pendakwah."
Kali ini pernyataannya membuat Syeikh mengerutkan alis. "Hah ... ? Pendakwah? Siapa?"
"Hm? Bukankah waktu itu Syeikh bilang Yoga akan jadi seorang pendakwah?"
Hening beberapa detik. Syeikh tiba-tiba seperti sedang menahan senyum geli. " ... seingat saya, saya tidak pernah bilang begitu. Saya bilang, dia kelak akan memegang peran penting dalam dakwah. Bukan jadi seorang pendakwah. Tiap-tiap orang punya perannya. Dan peran Yoga bukan di ranah itu."
Ustad Umar terdiam. Oh ... jadi selama ini dia telah salah paham kah?
"Sudah. Jangan kuatirkan itu. Lagi pula, bagaimana kita bisa mendidik dia menjadi seorang pendakwah hanya dalam 40 hari? Kamu lupa berapa tahun kamu belajar di Majelis kita?" Tambah Syeikh dengan senyum di kulum. Membuatnya malu.
Syeikh menatapnya lagi penuh selidik. "Masih ada lagi kan?"
Pria itu tersenyum nyengir. "Ada Syeikh. Maaf, saya bukannya mau ikut campur dalam urusan orang lain, tapi ... saya bisa dibilang tahu secara tidak sengaja, tentang kemungkinan alasan Yoga menjalani Suluk. Saya berpikir ... bagaimana menurut Syeikh kalau saya menyarankan dia untuk ta'aruf dengan salah satu santriwati di pesantren kita? Maksud saya, mungkin akan baik untuknya kalau dia berpasangan dengan seorang wanita yang paham agama."
Syeikh tersenyum penuh arti. " ... Kita tidak perlu melakukan itu. Jangan kuatirkan dia. Dia sedang menjalani ujiannya. Kita do'akan saja yang terbaik untuknya."
Ustad Umar menunduk patuh. "Baik Syeikh."
***
"Pak Yoga, penutupan akan segera dimulai. Syeikh sebentar lagi akan menuju masjid." Mahzar menyampaikan berita itu di muka pintu barak.
Yoga sedang sibuk mengepak barang ke dalam tas koper yang sudah diambilnya dari loker. "Baik. Terima kasih Mahzar. Saya segera ke sana. Kamu juga ikut?"
"Tidak Pak. Saya dan Ustad Umar tidak ikut."
"Oh? Jadi saya berdua saja dengan Syeikh?"
"Iya Pak. Saya permisi dulu mau ke ruangan Ustad."
"Oke. Terima kasih Mahzar."
"Sama-sama Pak," jawabnya sambil menunduk sopan.
Setelah Mahzar pergi, Yoga membuka resleting tas kopernya. Mengeluarkan sebuah amplop putih, secarik kertas kosong dan pulpen hitam. Dia mulai menulis. Sebuah surat penting yang akan dititipkannya pada Ustad Umar sebelum dia pergi.
Sekitar 5 menit kemudian, Yoga melangkahkan kaki ke masjid. Duduk bersila di sana menunggu Syeikh datang.
Sekitar 3 menit kemudian, Syeikh Abdullah memasuki masjid. Yoga berdiri dan mencium tangan beliau. Mereka kini duduk berhadapan.
"Mari kita mulai penutupan program Suluk 40 hari. Kita mulai dari shalawat dan pembacaan Al Fatihah."
Beliau memimpin shalawat yang diikuti oleh Yoga, dilanjutkan dengan Al Fatihah.
"Kamu sudah pernah mengikuti acara penutupan Suluk sebelumnya, saat teman-temanmu menyelesaikan program 20 hari mereka. Berhubung program 40 hari hanya dijalani oleh satu orang yaitu kamu, saya rasa saya tidak perlu terlalu formal, bukan begitu? Bagaimana menurutmu?"
Yoga tersenyum sambil menundukkan wajah. "Iya Syeikh. Terserah Syeikh saja. Mana yang dirasa nyaman oleh Syeikh."
"Baiklah. Selama 40 hari ini, kita sama-sama tahu, kamu mengalami hambatan di awal. Kesulitan fokus, dan hal lainnya. Yang saya rasa itu wajar. Terutama karena kamu belum pernah Suluk sebelumnya."
Mendadak Yoga merasa malu. Teringat masa awal Suluknya yang kacau. Zikir tidak fokus, mengambil laptop dan ponsel diam-diam dari loker, dan puncaknya adalah memanjat pohon untuk mencari sinyal internet dan menelepon restoran steak dengan maksud untuk memesan makanan delivery service. Oh sungguh panjang daftar kesalahannya.
"Tapi, melihatmu sekarang, saya merasa ada perubahan yang cukup signifikan. Saya ingin tanya secara langsung. Apa yang kamu rasakan sekarang, Yoga?"
Yoga menatap mata gurunya dengan lembut. "Saya merasa ... seperti terlahir kembali. Tidak pernah lebih baik dari ini. Saya sangat merasa berterima kasih pada Syeikh, para Ustad dan para santri yang selama ini membantu saya sejak hari pertama saya di sini."
Pria tua itu menggelengkan kepala. "Tidak. Kami hanya perantara, Yoga. Allah yang telah menetapkanmu ada di tempat ini. Jika tanpa rahmat Allah, maka berapa lama pun kamu berada di tempat ini, bisa saja tak ada perubahan yang terjadi."
"Ya saya sadar itu. Hanya saja saya tetap merasa ingin berterima kasih pada kalian, perpanjangan tangan Allah. Melalui kalian, saya bisa merasakan ketenangan ini."
Syeikh menerima ucapan terima kasih itu dengan senyuman. Hening sesaat. Suara riak air kolam terdengar, mengisi hening yang menenangkan.
Wajah beliau berubah lebih serius. "Yoga, mungkin kamu bertanya-tanya, kenapa kamu diperlakukan berbeda dibandingkan dengan peserta Suluk yang lain. Kamu merasakan perbedaan itu kan? Kamu tidak dibimbing dalam kelompok. Melainkan sendirian, langsung di bawah Ustad Umar. Pernahkah kamu mempertanyakan itu?"
Perlahan ia mengangguk mengiyakan. "Ya Syeikh. Terus terang saya sampai saat ini tidak tahu alasannya."
"Itu karena, kamu memang berbeda. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa kamu datang kemari bukan hanya untuk dirimu sendiri."
Dia mengernyit heran. "Hah? ... maaf saya tidak mengerti."
"Di belakangmu, ada lima ratus orang. Kamu kemari membawa kepentingan lima ratus orang. Dan jumlah itu insyaallah akan bertambah menjadi dua kali lipatnya. Kelak kamu akan menanggung seribu orang di belakangmu."
Yoga terperanjat. Apa kiranya yang dimaksud Syeikh? Lima ratus orang adalah jumlah karyawannya di kantor. Tapi ... seribu? Apakah ... merger? Akan ada penggabungan perusahaan?
Dia tidak terkejut kalau Syeikh terkadang bicara sesuatu yang gaib. Semestinya dia sudah terbiasa. Tapi, apa kaitan perusahaannya dengan program Suluk 40 harinya selama ini?
***