Meli's POV
Entah kenapa, gue jadi kepikiran soal mami yang ngelarang gua ngelakuin ini-itu. Bete aja sih. Di satu sisi, gua seneng karena pada akhirnya ada lagi yang perhatian sama gua di rumah selain Kak Chan sama Jisung. Di sisi lain, gua ngerasa harusnya mami gak ngelarang gua kayak gitu. Gua uda gede juga kok.
Rasanya juga agak males cerita ke anak cewek sekarang. Gua memilih buat nyamperin Lucas dan entah kesambet angin apaan kok Lucas bisa peka dan ngajak gua keluar. Emang itu sih yang lagi gua butuhin.
Akhirnya gua bisa jalan-jalan lagi naik motornya Lucas sambil keliling entah ke mana Lucas bawa gua pergi.
"Mau ke mana?" tanya gua pas di jalan.
"Gak tau sih, kamu pengen ke mana? Mau cari makan?" tanya Lucas kalem. Gua terharu sih kalo dia lagi berusaha ngehibur gua kayak gini.
Gua menggeleng. "Tadi uda makan, masa makan lagi. Aku ngikut kamu aja," jawab gua diplomatis.
Cewek kan emang punya kebiasaan gitu, jadi yaudalah biar Lucas muter otak aja mau ke mana ini. Gua cuma butuh berdua sama dia aja kok. Kadang meski Lucas gak ngomong apa-apa, gua uda ngerasa tenang gitu.
"Oke, aku ajak agak jauhan, ya?" tanya Lucas lagi padahal biasanya juga gak pake minta izin segala.
"Terserah kamu aja, Babe," jawab gua lagi. Dia juga kayaknya paham deh ada yang gak beres sama gua sekarang, makanya dia juga gak maksa gua buat cerita sekarang.
Entahlah, makin ke sini gua bersyukur karena Lucas emang banyak berubah dari sebelum-sebelumnya. Dia jadi lebih dewasa dan berhasil membuat gua jatuh cinta berkali-kali. Terima kasih kepada Tuhan yang membuat hubungan kami sampai seperti ini. Gua berharap memang kita ditakdirkan buat bersama selamanya. Manusia boleh berharap, 'kan? :)
Seiring dengan berjalannya motor Lucas yang melaju dengan kecepatan sedang, gua menikmati terpaan angin yang terasa di seluruh wajah gua. Rasanya tenang dan nyaman.
Gua memandang punggung lebar Lucas dari belakang, perlahan pandangan gua mengabur, dan tanpa gua sadari air mata uda membasahi pipi gua.
Gua menangis begitu saja, entah kenapa. Mungkin pikiran gua terlalu kacau sampai-sampai gua sendiri gak tau alasan gua menangis saat ini apa.
Dulu, mungkin bisa gua jawab alasan dibaliknya adalah Lucas yang gak pernah tau tentang perasaan gua. Kalau sekarang? Jelas bukan, karena seperti yang semua orang tau saat ini gua sama Lucas uda resmi pacaran.
Jadi kenapa gua nangis, ya?
Perlahan, gua melingkarkan tangan gua di sekeliling perut Lucas dan menyandarkan pipi gua di punggungnya. Hal ini bisa dibilang agak jarang gua lakukan meski kita uda resmi jadi pasangan.
Entahlah, saat ini gua sibuk mencari cara untuk menenangkan hati dan pikiran gua sendiri. Cara ini cukup efektif. Kehangatan yang gua rasakan dari punggung Lucas sepertinya mempunyai efek magis yang gak bisa gua definisikan.
Yang jelas, saat ini gua merasa nyaman dan tenang.
"Meli sayang, kamu beneran gak kenapa-napa?" tanya dia saat berhenti di lampu merah untuk kesekian kalinya.
Gua yang awalnya tenang, begitu ditanya Lucas langsung refleks berkaca-kaca lagi. Apa artinya saat ini gue emang kenapa-napa?
"Gak tau, tiba-tiba pengen nangis aja," jawab gua sambil menyeka air mata gua yang gak berhenti keluar. Padahal gak sampe sesenggukan juga.
Lucas tau-tau berhentiin motornya di depan toko yang uda tutup. Dia turun dari motor, lalu memeriksa keadaan gua.
"Dari tadi aku gak mau tanya-tanya dulu karena takut gak ngeh pas di jalan. Tapi kalo kamunya nangis gini, aku jadi gak bisa tenang juga. Mau cerita sekarang?" tanya Lucas pelan sambil membelai rambut gua dengan halus.
Gua ngeliatin dia dengan wajah yang gua yakin amat sangat berantakan. Sebenernya ini bukan pertama kalinya dia lihat gua dalam kondisi seperti ini. Tapi, ini adalah pertama kalinya sejak gua sama dia pacaran. Jadi, jelas aja perlakuannya berbeda dari dulu yang statusnya cuma sahabat.
"Mau, ya?" tanya dia sekali lagi karena gua gak juga merespon.
Akhirnya gua mengangguk dan kita memutuskan untuk pergi ke salah satu cafe yang kebetulan gak jauh dari tempat Lucas berhenti.
Gua menceritakan semuanya. Segala keresahan gua belakangan ini, perasaan gelisah terhadap nyokap-bokap gua, soal wacana pindah ke luar negeri yang gua tolak mentah-mentah, dan semua hal yang bikin pikiran gua berkecamuk..
Lucas dengan setia mendengarkan gua. Dia benar-benar berubah. Dia benar-benar peduli dan gua merasa lega. Gua merasa aman dan tenang. Lucas gak melepas genggaman tangannya sejak awal gua cerita, seolah dia memberikan kekuatan dan mengingatkan gua kalo dia ada di sisi gua.
Thank God, I have You and him.
---
Author's POV
Fina dan Jaemin lagi jalan berdua di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak pernah sepi pengunjung ketika seorang gadis menepuk bahu Jaemin dengan mantap.
"Hi, Jaem! Astaga, ini beneran elo, 'kan?" sapa gadis itu dengan wajah terkejutnya. Ia menatap Jaemin dari atas ke bawah dan sempat melirik Fina sekilas.
Jaemin nampak tidak kalah terkejutnya. Sedangkan Fina, dia melirik Jaemin seolah menunggu kekasihnya itu membuka suara.
"Hi-hina? H-hai juga. Haha, iya ini gua, Jaemin. Lu sendirian?" sapa Jaemin agak canggung.
Fina bisa menebak dengan jelas dari raut wajah Jaemin bahwa gadis bernama Hina ini pernah berhubungan dengan Jaemin di masa lalu. Terlihat sekali Jaemin tersenyum kikuk menyapa gadis periang ini.
"Wah, berubah banyak lo! Ini cewek lu? Kenalin dong hahaha." Berbeda dari Jaemin, Hina nampak lepas dan tidak canggung sama sekali.
Fina hanya tersenyum saja, menunggu Jaemin memperkenalkan mereka.
"Fin, ini Hina, temen SMP-ku dulu. Hin, ini Fina, cewek gua," kata Jaemin dan kedua gadis itu langsung saling berjabat tangan sambil mengucapkan nama mereka masing-masing.
"Widih, gak nyangka cowok pendiem kayak lu bisa pacaran juga. Hahaha. Anaknya masih pendiem gak, Fin?" tanya Hina tanpa sungkan, seolah sudah mengenal Fina dari lama juga.
Fina agak kaget jadinya. "Hah? Eh, iya. Tapi gak pendiem banget kok si Jaemin," jawab Fina sambil tertawa canggung.
Jaemin sendiri masih bungkam. Fina jadi makin penasaran apa tebakannya memang benar atau dia yang terlalu sensitif.
"Oh, bagus deh. Ngomong-ngomong, lu masih ngumpul bareng Jeno, Mark, Lucas, dan lain-lainnya?" tanya Hina dengan semangat.
Jaemin mengangguk. Hina langsung heboh sendiri. "Wah, asyik dong! Ayoklah kapan-kapan reuni bareng! Gua minta kontak lu dong, Jaem," pintanya dengan santai. Di samping itu, Fina berusaha memaklumi mereka.
Sebenarnya, Fina tidak akan menjadi gelisah kalau saja sejak awal Jaemin tidak menunjukkan sikap demikian. Jujur saja, hal itu membuatnya berpikir aneh-aneh. Jaemin selama ini cenderung ramah kepada semua orang, namun entah kenapa di mata Fina, pemuda itu berbeda dari biasanya. Terlihat sekali kegelisahan dan ketidaknyamanan dari raut wajahnya.
"Jaem! Mana nomor lu? Jangen bengong dong, gua buru-buru nih," desak Hina yang sudah siap dengan ponsel pintar di tangannya.
"Eh iya, ini. Sabar dong, gak bengong kok gua," kata Jaemin sambil berusaha menutupi kegelisahannya dengan tawa yang agak dipaksakan. Fina sendiri cuma bisa fake smile biar gak bikin cowonya ngerasa aneh.
Setelah Jaemin bertukar kontak dengan Hina, mereka pun berpamitan satu sama lain karena Hina bilang ada keperluan mendesak jadi cewek itu harus buru-buru pergi. Ini adalah waktu yang tepat buat Fina bertanya, tapi cewek itu memilih buat menelannya lagi.
"Jaem, kamu gapapa?" tanya dia lagi pas Hina uda agak jauh dari mereka.
Cowok itu langsung sadar dan mengangguk. "Gapapa kok, yaudah ayo ke bioskop aja. Filmnya uda mau dimulai," ajaknya sambil menggandeng Fina.
Fina nurut meski sebenernya dia nunggu Jaemin yang cerita langsung. Dia yakin banget Jaemin pernah ada cerita sama Hina, kalau engga mana mungkin wajahnya Jaemin tegang gitu. Mungkin ini yang dirasain Clara waktu lihat Jeno ketemu Xiyeon kali, ya?
Tbc.
Maaf guys, segitu dulu WKWK.
BonChapt nya ga banyak-banyak deh biar bisa dilanjut ke book 2 (eh, keceplosan)
Bye, jangan lupa vomment lagi ehe ehe.