Lentera Humaira ✔

By pengagum_pena

8.5M 618K 18.6K

(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bag... More

Prolog.
1) Semu Merah.
2) Memilih Bertahan.
3) Chandra vs Arman.
4) Sekedar Pengasuh!
5) Masa lalu Fanya.
6) Akankah dia Cinta?!
7) Lentera Jingga
8) Cahaya Temaram
9) Istana Kasih.
10) Mau Sampai Kapan?
11] Mulai Khawatir
12] Mencari Sang Pengasuh.
13] Sisi Lain Seorang Arman.
14] Cemburu.
15] Terperangkap Pesona Si Pengasuh
16] Kenyataan Pahit
17] Kekecewaan.
18] Calon Istri?
19) Orang Ketiga
20] Menetap Atau Pergi?
21) Rapuh
22) Bidadari Yang Disia-siakan.
23) Menyerah
24. Benar-benar Pergi.
25) penyesalan.
26) Frustasi.
27) Pertanda Buruk.
28) Pertemuan.
29) Debar.
30) Perasaan Yang Terpendam.
31) Cinta Tapi Gengsi
32) Terlambat.
33) Khitbah Kedua.
34) Berjuang Sekali Lagi.
35) Lamaran.
37) Senyum Yang Patah.
38) Peri Kecil Rapuh.
39) Mengikhlaskan.
40) Saling Diam, Dalam detak.
41) Aku Cemburu, Maira!
42) Menjelang Akad.
43) Penculikan.
44) Misi Penyelamatan.
45) Surat Untuk Humaira
45) Surat Untuk Maira 2
46) Siapa Suamiku?
47) Takdir Yang Tak Terduga.
48) Masih Dengan Trauma Yang Sama.
49. Egois.
50 Menetap Di masalalu
51. Beranjak Dari Masalalu.
52. Terulang lagi.
53. Malaikat kecil.
54) Akhir.
Epilog
Extra Part 1
Sequel Lentera Humaira

36) Harapan kecil

122K 9.4K 169
By pengagum_pena

Ada yang nunggu aku update? #GakAda 😂

~Happy Reading~

Diujung penantian ada sepucuk luka yang mengembara tanpa darah. Terbalut rindu yang kian menggumpal saling erat. Rindu yang terselimut do'a dalam kebisuan. Dalam diam tanpa kata, gemerisik harapan terpanjat dalam keheningan malam.

Lentera Humaira

Terkadang, karena suatu hal Yang mendesak memaksa manusia berbuat dhalim. Demi seonggok uang rela menggusur apapun. Demi ketenaran rela menggadaikan apapun. Adapula yang terpaksa demi kebutuhan.

Memang benar, kekejaman seseorang terkadang tercipta akibat kepedihan yang dialaminya di masa lalu. Adapun yang melakukannya dengan jerat keterpaksaan. Setiap kejahatan memiliki alasan yang melatar belakanginya. Sebab egoisme, dendam, terpaksa, khilaf, dan yang paling parah terorisme, semuanya terjadi karena lemahnya iman masing-masing individu, atau parahnya lagi keimanan itu telah lenyap terperdaya gemerlap dunia. Na'udzubillah ....

Kekejaman yang serupa tengah di alami oleh Kyai Hanafi. Selepas kepergian istri dan anak-anaknya Ke acara khitbah. Hanafi seorang diri sempat beradu pendapat dengan pemilik tanah wakaf yang ditemani dua algojonya. Mereka bersikokoh ingin menggusur tanpa mau jalan damai. Sampai akhirnya, satu pukulan diterima Kyai Hanafi sebelum mereka benar-benar pergi karena mendapat desakan dari beberapa pengurus pesantren.

"Jadi, anak dari pemilik tanah wakaf meminta haknya kembali, Abi?" tanya Zulfa masih tidak percaya. "Terus sebagian bangunan yang sudah berdiri di atasnya bagaimana? Mau di gusur?" Umi Zulfa memastikan.

"Mau bagaimana lagi, Umi?" suara Kyai Hanafi terdengar pasrah.

"Meski begitu mereka tidak berhak sampai bermain tangan 'kan, Abi?" Gus Irham menyela.

"Apa tidak bisa kita beli saja?" tanya Zulfa lagi.

"Abi sudah bilang jika kita akan membelinya?" sambung Gus Ilham bertanya.

"Sudah, tapi Pak Ferdi bilang sudah terlanjur menerima uang dari Bos orang tadi. Dari ekpresi wajah pak ferdy, sepertinya dia ditekan," jelas Kyai Hanafi.

Dari ruang tengah, Ustadzah Annisa tergopoh-gopoh membawa nampan berisi semangkok air hangat dan juga sapu tangan. "Umi, ini air hangatnya." kata perempuan itu.

"Terima kasih, Nissa." Umi Zulfa menerima Air tersebut segera mengompres tulang pipi Kyai Hanafi yang sedikit memar. "Oh iya, Annisa tolong gantiin Umi jadi imam Maghrib ini ya," pinta Zukfa pada santri seniornya itu.

"Na'am, Umi." Annisa masih berdiri mematung, menunggu dengan kepala yang di tundukkan, barangkali masih ada yang mereka butuhkan.

"Ya sudah siap-siap sana."

Mendengar kalimat itu barulah Annisa mundur tiga langkah kemudian berbalik setelah mengucap salam. Dunia luar dan dunia pesantren beda hampir 99% di mana adab, tatakrama, akhlak, dan pakaian begitu di junjung tinggi. Maka tidak salah bukan? Untuk para orang tua agar memasukkan anak-anaknya ke dalam pesantren. Memperkenalkan anak dengan ilmu agama begitu penting di era milenial seperti sekarang.

* * *

Untuk kedua kalinya Arman menempuh perjalanan satu jam untuk sampai di rumah Maira.

"Bagaimanapun juga, Maira pernah jadi ibunya. Jadi wajar Zhira ingin menemuinya."

Arman masih berusaha menjelaskan perihal kedatangannya kali ini. Sepulang dari kantor tadi, Arman langsung di sambut oleh rengekan Zhira yang membuatnya semakin stres. Diabaikan, tidak mungkin Arman setega itu. Dituruti, beginilah jadinya. Terintimidasi dengan berbagai kecaman dari Bundanya Maira.

"Apa? Ibu! Bukannya Pengasuh?!"

"Saya minta maaf tentang itu. Dan saya janji akan memberikan apapun jika Maira mau menjadi ibu Zhira lagi. Semuanya!"

"Apapun? Semuanya? Huh!" tanya Lira meremehkan.

"Apa kau mampu memastikan surga untuknya?!"

Arman mematung, mau menjawab bagaimanapun akhirnya pasti sama. Wanita ini tidak akan menerimanya masuk. Kecuali Zhira. Setelah mengantar Anak kecil itu menemui Maira, dia kembali keluar rumah. Insting seorang Ibu memang seperti itu. Terkadang ia bisa begitu baik seperti malaikat, namun dalam sekejap bisa bertransformasi segarang harimau yang ingin melindungi anaknya. Semua ibu tidak akan sudi anaknya disakiti.

"Dengar ya, Nak Arman." Lira memperingatkan. "Maira mungkin bisa mengiklaskan semuanya. Tapi seorang ibu! Seorang ibu tidak akan pernah ikhlas anaknya disakiti. Ingat itu. Saya bukan tidak memaafkan, tapi semua butuh proses. Sekarang pergilah," usir Lira terang-terangan.

"Baik, tapi sebelumnya saya ingin pamit pada Zhira."

"Tunggu di sini saya panggilkan." Lira langsung masuk tidak menghiraukan Arman. Tak lama kemudian, putri kecil itu keluar dengan senyum yang berbinar.

"Papa, papa, boleh tidak Chira nginap di rumah Bunda?" tangan kecilnya menarik-narik tangan sang Papa supaya dibolehkan.

"Terus Papa pulang sama siapa?"

"Eehmm ... Papa nginep juga."

Sontak Arman mengangkat wajah melihat Lira menjeling sinis. "Sayang kita pulang saja ya, besok-besok ke sini lagi."

Nazhira langsung menggeleng cepat. "Chira mau tidur sama Bunda, mau denger Bunda bacain dongeng, mau tidur dipeluk Bunda. Kenapa Bunda tidak ikut sama kita aja, Pa?" ucapnya lemas, wajahnya di tekuk, air mata sudah menggenang di pelupuknya.

"Ya sudah Zhira boleh nginap di sini. Asal ... Papa pulang gimana?" sambung Lira.

Zhira menatap Papanya dengan tatapan memelas. "Boleh ya, Pa?"

"Tapi Papa besok harus keluar kota selama seminggu, Sayang."

"Oh, tidak apa-apa. Kami akan menjaga Zhira dengan baik selama dia di sini. Kamu tenang saja." sela Lira.

Sekali lagi Nazhira melihat ke arah Papanya. "Pa."

Arman mengangguk tanda ia menyetujui keinginan Zhira. Biarlah putri kecilnya merasakan punya ibu meskipun sesaat. "Tapi harus janji dulu tidak boleh nyusain Orang rumah."

"Janji." Zhira menyodorkan jari kelingkingnya, lalu menautkannya dengan jari Arman.

"Dan ... tidak boleh lupa buat selalu kabarin Papa." Arman menyerahkan ponselnya pada sang anak yang sudah mengangguk paham.

Lira hanya berdecih dalam diam. Anak jaman sekarang! Sekecil Zhira sudah difasilitasi handphone. Huh!
"Ya sudah masuk sana." suruhnya pada Zhira.

"Iya, Eyang." Zhira berlari kedalam rumah.

"Kalau begitu saya permisi Bunda," pamit Arman.

"Iya." jawabnya ketus. "Oh iya, Nak Arman." Lira kembali menghentikan langkah Arman yang sudah berada di undakan teras paling bawah.

"Iya, Bunda?"

"Dua bulan dari sekarang Maira akan melangsungkan akad nikah dengan Gus Ilham. Kalau mau kau akan kami undang." Entah kenapa Lira ingin sekali memamerkan kebahagiannya itu. "Dan satu lagi, berhenti memanggil saya Bunda."

Jlep!

Sekali lagi kejutan ini seolah meremuk redamkan hati Arman. Rasanya seperti ada ribuan busur beracun yang melesat cepat, menancap di jantung hatinya. Perih, sakit, pedih, sampai tidak bisa ia deskripsikan rasanya. Tapi, dia lelaki. Sejauh ini tidak pernah ia menangis di depan orang lain. Tidak akan pernah.

"K-kalau begitu selamat. Assalamu'alaikum," pamit Arman terbata. Kerongkongannya seperti tercekat beberapa realita pahit yang harus ia telan. Langkahnya seakan rapuh, menanggung ribuan ton beban kepedihan dipundaknya ternyata tak semudah itu.

Maira, apa aku membuatmu sesakit ini sebelumnya? Hingga kau timpakan beban seberat ini di pundakku. Batinnya ingin menangis. Tapi, tertahan, membuat hatinya benar-benar hancur, sesak, dan sekali lagi patah. Di balik raut wajah dinginnya kini Arman bersembunyi.

🍃🍃🍃

Kamar dengan nuansa serba putih, berpadu dengan sedikit warna merah muda dari perabot seperti laci, rakbuku, hiasan dinding dan juga kelambu putih dengan gambar bunga-bunga berwarna merah muda membuat kamar itu terlihat sangat manis.

"Kenapa? Kamar Bunda tidak seluas kamar Zhira ya?" tanya Maira ketika mendapati Zhira tiada henti meniti seisi kamar.

Balita itu mengangguk, namun senyumnya tidak patah. "Tapi Chira suka. Kamarnya cantik kayak Bunda."

"Hmm ... benarkah? Kamu ya, kecil-kecil sudah bisa gombal."

Tawa Zhira pecah ketika Maira menggelitiki tubuhnya sampai anak itu menenggelamkan tubuh mungilnya ke dalam selimut. "Ampun, Bunda. Ampun Bunda," mohonnya sambil tertawa terpingkal.

Mendengar permohonan itu Maira menghentikan aksinya.

"Bunda."

"Iya, cantik?" Maira menangkup kedua pipi anak itu.

"Kalo tidur, Bunda juga pake tutup wajah?"

"Hah?" Maira menyentuh wajahnya yang memang masih tertutup cadar. "Oh iya, Bunda lupa buka." sejurus kemudian cadar itu sudah ia lepas. Setelah meletakkannya di meja rias Maira kembali ke pembaringannya.

"Bunda,"

"Iya?"

"Apa Bunda masih marah sama Papa?"

Mata teduh Maira seketika membulat, kenapa pertanyaan seperti ini bisa keluar dari sosok polosnya. "Kenapa Zhira nanya seperti itu? Bunda tidak pernah marah sama Papanya Zhira. Papanya Zhira tidak punya salah kenapa Bunda harus marah?"

"Terus kenapa Bunda tidak pulang ke rumah? Kapan Bunda pulang?"

Deg! Pertanyaan itu membuat lidahnya kelu. Maira harus jawab apa? "Bunda ... Bunda—" Maira terlihat bingung memilah jawaban yang pas.

"Bunda itu sudah bukan teman hidupnya Papa Zhira lagi." suara berat seseorang memotong.

Dua perempuan berbeda usia itu seketika memutar wajah ke arah suara yang sudah menyela perbincangan mereka.

"Ayaah." dari nada suaranya Maira seakan memohon agar sang ayah yang tiba-tiba muncul bisa menjaga hati anak dari almarhumah sahabatnya ini.

"Ini untuk kebaikannya, Mai. Tidak akan baik jika dia terus dalam kesalah pahaman."

"Apa Bunda sudah tidak bisa jadi Mamanya Zhira lagi?" pertanyaan itu tercetus dari mulut Zhira yang sekarang bergetar, tawa cerianya yang tadi telah hilang. Berganti remang wajahnya yang sudah berkaca-kaca.

"Bisa. Tentu bisa. Asal Zhira teruuuss ... meminta sama Allah agar Bunda, bisa Zhira bawa pulang."

"Ayah." Maira sedikit tidak suka jika sang ayah memprofokasi pikiran anak itu.

"Eyang. Apa Allah bisa bantu Zhira jadikan Bunda sebagai mamanya Zhira lagi?" tanyanya lagi semakin bergetar, diiringi butiran kristal meluncur bebas dari matanya.

Antonio mengangguk. Sebenarnya dia tidak tega melihat anak itu menangis. Tapi kenyataan itu lebih indah daripada kesalah pahaman yang menyakitkan.

Tangis Zhira semakin sesenggukan. Memaksa air mata Maira ikut terjun bebas, melihat iris dengan bulu mata lentik yang begitu mirip dengan sahabatnya itu menangis, rasanya begitu menyakitkan. Maira menarik Zhira dalam pelukannya, begitu erat, sampai tidak ingin melepasnya sedikitpun.

Bersambung...

Ahh.. 😢😢😭 aku kasian sama Zhira. Adakah yang mau menggantikan Maira setelah ia menikah dengan Gus Ilham? 😆

Oke deh, semoga yang membaca cerita ini sehat, sukses, dan bahagia selalu.

Syukron
Jazakumullahu khairan katsir..

Wassalamu'alaikum...

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 40.1K 11
[Anugrah Dari Allah] Judul sebelumnya. Dia, yang saat ini sedang tumbuh di dalam diriku tidaklah salah. Dia, yang menjadi semangatku. Dia, yang me...
18K 2.9K 7
"Berapa kali aku lewat di pikiranmu?" "Hanya satu kali." "Kok hanya satu kali?" "Iya, satu kali. Sejak kali pertama kamu lewat, kamu tidak pergi. Kam...
165K 15.8K 51
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
4M 274K 51
ROMANCE - COMEDY "Kenapa gitu? Cuma karena gak shalat subuh saya jadi gak bisa halalin kamu? Kalau gitu besok saya shalat subuh, terus ke sini lagi s...