Lentera Humaira ✔

By pengagum_pena

8.5M 618K 18.6K

(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bag... More

Prolog.
1) Semu Merah.
2) Memilih Bertahan.
3) Chandra vs Arman.
4) Sekedar Pengasuh!
5) Masa lalu Fanya.
6) Akankah dia Cinta?!
7) Lentera Jingga
8) Cahaya Temaram
9) Istana Kasih.
10) Mau Sampai Kapan?
11] Mulai Khawatir
12] Mencari Sang Pengasuh.
13] Sisi Lain Seorang Arman.
14] Cemburu.
15] Terperangkap Pesona Si Pengasuh
16] Kenyataan Pahit
17] Kekecewaan.
18] Calon Istri?
19) Orang Ketiga
20] Menetap Atau Pergi?
21) Rapuh
22) Bidadari Yang Disia-siakan.
23) Menyerah
24. Benar-benar Pergi.
26) Frustasi.
27) Pertanda Buruk.
28) Pertemuan.
29) Debar.
30) Perasaan Yang Terpendam.
31) Cinta Tapi Gengsi
32) Terlambat.
33) Khitbah Kedua.
34) Berjuang Sekali Lagi.
35) Lamaran.
36) Harapan kecil
37) Senyum Yang Patah.
38) Peri Kecil Rapuh.
39) Mengikhlaskan.
40) Saling Diam, Dalam detak.
41) Aku Cemburu, Maira!
42) Menjelang Akad.
43) Penculikan.
44) Misi Penyelamatan.
45) Surat Untuk Humaira
45) Surat Untuk Maira 2
46) Siapa Suamiku?
47) Takdir Yang Tak Terduga.
48) Masih Dengan Trauma Yang Sama.
49. Egois.
50 Menetap Di masalalu
51. Beranjak Dari Masalalu.
52. Terulang lagi.
53. Malaikat kecil.
54) Akhir.
Epilog
Extra Part 1
Sequel Lentera Humaira

25) penyesalan.

161K 11.4K 386
By pengagum_pena

Jika penyesalan dapat diprediksi lebih awal, mungkin di dunia ini tidak akan ada yang namanya sakit hati.

Lentera Humaira

Tiga tahun berlalu dengan sangat cepat, sejauh itu pula Arman masih belum menemukan Maira. Gadis itu seakan lenyap entah kemana. Berbagai cara sudah Arman lakukan untuk menemukan pengasuh itu, namun hasilnya nihil bahkan pernikahannya dengan Rissa sudah batal karena sang Mama tidak pernah menyetujuinya.

Hatinya kembali hitam legam, lentera yang mampu menerangi sisi gelap dalam hatinya kini telah tiada, kini telah hilang entah kemana? Penyesalan datang saat Maira berhasil mencuri dan membawa pergi separuh jiwanya. 

"Maaf, Tuan. Kami benar-benar kehilangan jejak Non Maira. Informasi terakhir yang kami dapat tiga tahun lalu, sehabis dari panti mantan istri anda menaiki bis jurusan Jakarta-Bogor, Tuan," lapor salah satu dari lima anak buah Arman.

Lelaki yang tengah duduk angkuh di meja kerjanya itu tengah menahan amarah, rahangnya mengeras, namun masih terlihat tenang dengan aktifitasnya memutar-mutar bolpoin di atas meja. Mantan istri? Mereka bilang mantan istri.

"Saya sudah mengerahkan semua anak buah saya dan juga rekan seprofesi saya untuk menyusuri kota Bogor. Namun hasilnya masih nol. Apa tidak sebaiknya pencarian ini di hentikan?" lanjutnya.

Arman mengangkat wajah, auranya menyeramkan. Tidak bisa di bendung lagi amarah Arman naik ke ubun-ubun. Darahnya seperti mendidih. Tangan kekarnya meraih gelas berisi teh di atas meja, kemudian membantingnya dengan keras ke lantai. Saking kerasnya, mungkin jika sedikit saja mengenai kulit, serpihan gelas itu akan menancap dengan sempurna.

"BODOH!!" Bentak Arman. "Saya membayar kalian untuk menemukan Maira! Bukan untuk bertingkah bodoh seperti ini!!"

Lima lelaki bertuxedo hitam itu menunduk takut. Berhadapan dengan lelaki kejam seperti Arman tidak semudah yang terlihat, apapun dan siapapun yang berani mengganggu ketenangannya akan ia hancurkan hingga berkeping-keping.

Tiga tahun semenjak kepergian Maira hidup Arman kembali redam. Saat ini Arman tidak hanya kejam, namun di kalangan pengusaha Arman sudah terkenal sebagai Monster berdarah dingin. Tidak segan menjatuhkan lawannya hingga benar-benar jatuh tak bersisa.

"Kalian pikir saya tidak bisa membayar kalian satu persatu? Sampai kalian berani menyuruhku menghentikan pencarian, hah?" bentak Arman.

Dava yang baru saja masuk langsung menahan Arman untuk tidak menghancurkan seisi ruangan. "Woy! Tenang, Bro. Dengan tingkah lo seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah." Kembali Dava mendorong Arman untuk duduk.

"Kalian pergilah, lakukan segala cara untuk menemukan Maira lepas semua anak buah kalian, tambah personil, kalo perlu gunakan kuasa para detektif di sana untuk melacak keberadaan Maira" perintah Dava.

"Baik! Kalau begitu kami permisi." Ke lima lelaki itu akhirnya pergi.

Beberapa saat keduanya terdiam. Dava masih mencari tahu seberapa menyesal lelaki ini menyiakan perempuan sebaik Maira. Arman terlihat menyedihkan, namun selalu bersembunyi di balik sifat kejamnya.

Tiga tahun belakangan ini memang ada perubahan pada Arman. Penampilan yang biasanya terkesan sangat rapi dan tampan, sekarang cenderung tidak peduli, bahkan rambutnya sudah berantakan. Lingkar hitam tercetak di bawah matanya, membiarkan dagu dan kumisnya di tumbuhi bulu-bulu kecil.

"Kenapa?! Sekarang nyesel udah buang perempuan itu?" Sindir Dava.

"Gak, juga," alibinya. "Gue cuma ngikutin apa mau Mama."

"Ngeles aja terus. Lama-lama jadi bajai, lo," ucap Dava sangat pelan.

"Ngomong apa, lo?"

Dava menggeleng, "bukan hal yang penting."

"Gimana? Sudah tau keberadaan Maira?" tanya Arman dingin.

"Belum. Maira susah di lacak. Masalahnya Maira tidak membawa ponsel. Lagi, kota ini tidak secanggih luar negeri yang setiap jalan ada cctv." Dava terdiam. "Arman. Gue mau lo jujur, lo cinta kan sama Maira?"

Arman bungkam namun hatinya terus saja menerka. Ada pertanyaan yang masih belum ia temukan jawabannya. Ada perasaan aneh yang seakan menyesak dalam dada. Ada bagian dari dirinya yang seakan ikut pergi bersama pengasuh itu. Arman mencoba menolak jika Maira telah berhasil masuk melalui celah kecil di sudut hatinya. Dan sayangnya Maira pergi saat semua itu telah terjadi. Dan rasanya sakit, setelah seseorang berhasil membuat jatuh cinta, lalu ia pergi dengan tiba-tiba dengan membawa seluruh hatinya.

Kini yang tersisa hanyalah penyesalan yang tiada akhir. Jika dulu, waktu persidangan ia menuntut banding, dan tidak membiarkan sidang perceraiannya berjalan lancar. Mungkin Arman bisa memaksa kuasa hukum Maira untuk mendatangkan penggugat. Namun saat itu gengsinya terlalu besar untuk menanyakan keberadaan Maira.

"Gue pulang dulu." Arman beranjak dari kursi kebesarannya.

"Gak bisa, Bro. Kita ada rapat mengenai proyek besar tentang pembangunan pabrik cabang di Bogor."

Langkah Arman terhenti. Jika perusahaannya juga berkembang pesat di sana mungkin Maira bisa ia temukan. "Kalau begitu kamu atasi secepatnya."

"Gak bisa segampang itu, Bro. Masalahnya, sebagian kepemilikan tanah ada di tangan seorang Kyai pemilik pesantren di daerah itu. Menurut orang kepercayaan kita sebagian tanah tersebut sudah di wakafkan pada pesantren untuk memperluas area sekolah, dan sekarang sudah mulai di bangun. Namun anak dari pemilik tanah masih ngotot ingin mengambil hak tanah itu untuk dijual."

"Kalau begitu, dapatkan tanah itu secepatnya. Jika mereka menolak gusur saja sekalian," ucap Arman tanpa belas kasih.

"Lo gila! Ini pesantren. Ada ratusan atau bahkan ribuan santri di sana. Gue lebih milih berurusan dengan hukum daripada dengan hal akherat," cetusnya.

"Kalo lo gak mau, siap-siap saja jadi gelandangan," ucap Arman kemudian benar-benar pergi dari sana. Kejam? Ya! Itulah cover yang Arman gunakan untuk menutupi kerapuhannya.

Dava mendesah kasar, Arman kembali kejam seperti pertama kali kehilangan Fanya.

"Manusia aneh ini menyusahkan saja. Dulu, pas Maira masih ada, di sia-siakan. Sekarang, mencari-carinya sampai tak terkendali." Dava menggeleng lelah atas kelakuan sahabatnya.

🌫🌫🌫

Awan hitam membelenggu di atas sana, seruan sholawat masih mengalun indah di sepertiga malam, kala semua mata terpejam, semua pintu tertutup rapat, dan buaian mimpi tengah membelenggu. Perempuan itu sudah bersujud di sana. Di atas sajadah coklat di samping ranjang.

Dalam sujud panjangnya ada sebuah harapan besar yang terus ia semogakan. Diantara deraian tangis ia memohon, "Ya Allah ... hamba mohon, bahagiakan putri hamba di manapun ia berada. Berikan padanya ibu terbaik, yang bahkan lebih baik dari hamba. Juga bukalah hati Mas Arman dari kabut hitam yang tengah membelenggu hatinya. Aamiin...."

Tiga puluh menit setelahnya dentingan lonceng dari sudut penjara suci tempat tinggalnya saat ini memecah kesunyian, setelah lantunan indah surah Ar-Rahman yang terdengar dari speaker masjid selesai mualik yang menandakan masuknya waktu adzan subuh untuk berkumandang telah tiba.

Di luar sana sudah terdengar riuh para santri yang mengantri bahkan berebut ke kamar mandi dan tempat wudhu'. Maira sudah siap untuk memasuki musholla tempat santri wati sholat berjama'ah. Hari ini Maira mendapat tugas menggantikan ustadzah Rahma--sepupu Ilham--untuk menjadi imam santriwati.

Ini pengalaman pertama bagi Maira menjadi imam dari ratusan santriwati yang saat ini sudah siap memasuki aula besar musholla pesantren Nurul Hidayah. Pesantren yang di bimbing oleh Kyai Hanafi termasuk sepuluh pesantren terbaik yang ada di kota ini. Maira bersyukur, wanita bercadar yang di tolongnya tiga tahun lalu membawanya ke tempat ini.

Sekitar jam 05,30 sehabis sholat subuh para santri akan bersiap untuk sekolah. Sedang Maira saat ini sudah berada di dapur besar yang mengolah makanan untuk para santri. Banyak santri senior dan beberapa juru masak yang menyiapkan semuanya.

"Mbak Mai. Kenapa ada di dapur? Ikut Kia yuk?" Gadis sepuluh tahun itu menarik tangan Maira lalu membawanya ke dalam kamar bernuansa cream dan putih. Di sana banyak buku-buku, novel dan juga kitab yang sudah tidak asing buat Maira.

"Neng Adzkia, Mbak boleh keluar tidak? Nggak enak kalo sampe di lihat Kyai atau Kakaknya Neng."

"Gak papa, Mbak Mai kan guru, lagian Mbak Mai juga ngajar di sini sudah hampir tiga tahun, iya kan? Kenapa masih sungkan?" tanya Syakila Naura Adzkiya adik Ilham.

Di balik cadarnya Maira hanya tersenyum. Ya! Maira bercadar. Semenjak menolong wanita yang dianggap teroris di dalam bis hati Maira tergerak untuk ikut mengenakannya. Memang benar tiga tahun ini Maira tinggal di pesantren Gus Ilham. Entahlah! Mungkin takdir sudah menggariskan langkahnya untuk berada di tempat itu. Tidak banyak yang tahu keberadaannya saat ini. Meskipun Maira sering menelepon orang tuanya. Tapi Maira tidak pernah memberi tahukan keberadaannya.

Di tengah sibuknya melamun Maira sampai tidak sadar di belakang ada seseorang yang tengah memperhatikannya.

Adzkia yang menyadari itu tersenyum kemudian berkata, "Mbak Mai, kapan mau menerima lamaran Aa' Ilham?" tanya Adzkia yang langsung mendapat tatapan tajam dari kakaknya.

Maira membisu, bagaimana cara menjawab jika hatinya masih tertinggal di sana. Di rumah seorang Arman Ar Rasyid.

"Ekhmm."

Maira tersentak kaget. Kemudian berbalik, Gus Ilham. Lelaki yang dua tahun ini ia tolak lamarannya sudah berdiri di sana, di ambang pintu. Segera ia tundukkan pandangannya.

"Assalamu'alaikum," salam Gus Ilham.

"Wa'alaikumussalam," jawab kedua perempuan yang sama berartinya untuk Ilham.

"Di luar ada seseorang yang mencarimu," kata Gus Ilham.

Maira mendongak, "Hah! Siapa?"

Bersambung ...

Maapin yak kalo telat. Tapi, insyaAllah tetap ku usahakan update hari jum'at.

Semoga keputusan Maira tidak mengecewakan kalian.😂

Penasaran siapa yang datang mencari Maira? Pliiiisss... komen yak.😄

Komen juga kalian dukung Maira sama siapa?
Arman?
Chandra?
Atau Ilham?

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 275K 33
Teenfict-Romance-Religi ⚠BAPER STORY⚠ Namanya Ikhwan. Laki-laki itu berbeda, selalu terlihat sangat sederhana dan tidak banyak gaya seperti remaja za...
216K 15.4K 47
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
4K 252 42
Berisi Nasehat,Quotes, Ayat Al-Qur'an, dan hadist, untuk dijadikan sebagai muhasabah diri. Semoga bermanfaat :')
18K 2.9K 7
"Berapa kali aku lewat di pikiranmu?" "Hanya satu kali." "Kok hanya satu kali?" "Iya, satu kali. Sejak kali pertama kamu lewat, kamu tidak pergi. Kam...