Siluet (Completed)

Von Lasmicika1911

19K 1.8K 953

18+ Dewasa muda Sebelum membaca novel pemilik akun IKKO1771, hidup Anggi sudah sempurna. Cantik, mandiri, cer... Mehr

Prolog (revisi)
Siluet #1: Berubah (revisi)
Siluet #2: IKO1771(revisi)
Siluet #3: Malabar (revisi)
Siluet #4: Adipati Berjambang (revisi)
Siluet #5: Terjebak (revisi)
Siluet #6: Juna (revisi)
Siluet #7: Shock (revisi)
Siluet #8: My Mind (revisi)
Siluet #9: Laweyan (revisi)
Siluet #10: Kelas Inspirasi (revisi)
Siluet #11: Jakarta (revisi)
Siluet #12: Pemotretan (revisi)
Siluet #13: Candid (revisi)
Siluet #14: Vegan (revisi)
Siluet #16: Anggoro Kasih (revisi)
Siluet #17: Sahabat (revisi)
Siluet #18: Malam Itu ... (revisi)
Siluet #19: Pengkhianat 1 (revisi)
Siluet #20 : First Kiss (revisi)
Siluet #21: Pengkhianat 2 (revisi)
Siluet #22: Tangis Akhir Tahun (revisi)
Siluet #23 : Hubungan Tanpa Status (revisi)
Siluet #24: SILUET (revisi)
Siluet #25: Maaf Untuk Dika (revisi)
Siluet #26: Mahardika (revisi)
Siluet #27: Kemarahan Iko (revisi)
Siluet #28: Pagi Berdarah (revisi)
Siluet #29: Kembali (revisi)
Siluet #30: KOMA (revisi)
Siluet #31: Berakhir (revisi)
Siluet #32: Harapan (revisi)
Siluet #33: MEKAR (revisi)
EPILOG

Siluet #15: Bertemu Jerrico (revisi)

362 41 26
Von Lasmicika1911

"Jika mencintainya adalah sebuah kesalahan, aku rela melakukan kesalahan itu selamanya."

***

Deg!

Jantungku berhenti berdetak. Mataku terbeliak.

Jika benar ini waktu kematianku, kenapa tak ada sakit, tak ada nyeri? Senyum terukir sempurna dari bibirku.

Jadi seperti ini ya, pertanda kematian yang khusnul khotimah? Begitu yang sering kudengar.

Waktu terasa melambat. Itu dia! Dia di sana! Aku melihatnya dan aku belum mati!

Jerrico kah itu, seperti yang J bilang barusan? Atau malaikat tampan yang hendak mencabut nyawaku?

Sosok di ujung sana berjalan mendekat. Satu demi satu ketukan sepatunya nyaris sama dengan dentuman di dadaku. Langkahnya mantap seperti langkah calon wakil presiden ganteng yang belakangan sering kulihat di televisi.

Jarak kami masih terpaut 200 meter. Jika kecepatan berjalannya 0,5 km/jam dan kecepatan berjalanku 0,2 km/jam (mirip siput, heh?), maka berdasarkan rumus waktu maka kami akan berpapasan 0,29 jam lagi, atau 17,14 menit lagi.

Ah, buat apa repot menghitung jarak dan waktu.

Sosok itu sudah sangat dekat sejak beberapa bulan terakhir. Bagiku ia tak lagi berjarak. Ia sudah ada di hatiku.

Aww!

Mataku tak berkedip menikmati keagungan ciptaanNya. Nikmat Tuhan manakah yang kudustakan?

Dia sempurna! Se-sempurna yang kubayangkan sejak pertama kali membaca tulisannya!

Dalam balutan kemeja dan jeans warna hitam, tubuhnya terlihat tegap. Matanya tajam, menatap lurus ke arahku, kurasa.

Tuhan, jangan bilang ini mimpi, jangan!

Tanganku mencengkeram lengan J dengan gelisah.

Awhh ... ! Perutku tiba-tiba mulas. Aku pengin pipis, aku pengin pup, aku mau muntah!

Aku berbalik dan berjalan tergopoh-gopoh.

"Aku ke toilet dulu!"

"Ngapain?"

"Panggilan alam!"

Tak kupedulikan J yang menatapku terheran-heran. Kupercepat langkah menuju toilet yang berada di lantai atas.

Setengah berlari, akhirnya bisa juga mencapai tempat ini. Toilet terasa lebih jauh dari biasanya. Padahal area ini wajib buatku setiap kali datang.

Napasku tersengal. Kusandarkan punggung pada dinding toilet pertama yang kutemui. Oh Tuhan Yang Maha Sempurna! Sumpah demi namaMu dan nama-nama yang manusia sandangkan untuk menyebutMu, Jerrico ganteng bangeeeeetttt!

Kuatur nafas perlahan. Detak jantung yang berdegup tak menentu membuatku bertahan beberapa lama.

Aku ingin melonjak-lonjak, tapi lantainya licin. Aku takut terpeleset dan pingsan, terus tidak jadi bertemu Jerrico.

Setidaknya otakku masih sanggup bekerja. Kukira tadi pembuluh darahnya pecah atau tersumbat dan aku khawatir melakukan sesuatu yang bodoh.

Kabur ke toilet begini memang klasik sih, tapi tidak begitu terlihat bodoh. Saat sadar kenapa aku se-bahagia ini ketemu Jerrico, ternyata ada dua penyebabnya.

Pertama: Jerrico ternyata bukan J. Aku legaaa sekali. Tak tau kenapa.

Kedua: Jerrico ganteng bangeeet, banget banget banget!

Aku merasa tidak sia-sia merindukannya siang dan malam.

Aku juga tidak merasa hina sempat mempersiapkan diri dulu sebelumnya demi penampilan terbaikku di mata cowok itu. Minimal pakai lip gloss dan berkumur cairan penyegar nafas dulu, maksudnya.

Aku tidak jadi menyesal ketemu J yang super menyebalkan itu di kereta kalau ternyata dialah yang akhirnya bisa mempertemukanku dengan Jerrico.

Beruntungnya aku memiliki J .... Eh!

*

Aku menggedor tak sabar pintu kamar kos Dika setelah pada ketukan kelima tak terdengar sahutan dari penghuninya.

Ketika daun pintu akhirnya terbuka, seketika aku tak bisa menyembunyikan rasa heran. Pak Hendra keluar dari dalam.

Spontan aku mengangguk sopan. Pak Hendra adalah dosen pengganti untuk mata kuliah Sistem Hukum Indonesia.

Sekedar info, aku sering bertemu beliau di ruangannya untuk berkonsultasi mengenai topik hukum dan politik yang kuangkat pada proyek kepenulisan, satu dari tiga topik yang paling kusukai selain sains dan budaya.

Tapi, bertemu di tempat kos Dika seperti ini, menurutku agak ganjil.

Seakan mengerti keherananku, Pak Hendra tersenyum. Walaupun usianya sudah matang, dosen yang kerap dijuluki Duren alias Duda Keren itu tak pernah kehilangan pesonanya. Bahkan makin terlihat berwibawa, berbanding lurus dengan pemikirannya yang kuakui memang bijaksana.

Seperti saat aku meminta pendapatnya bulan lalu tentang kondisi terkini, tentang 'keamanan' demokrasi di tahun politik, beliau tidak menghilangkan fakta bahwa menurut Global Law and Order pada 2018, Indonesia disebut sebagai Negara teraman ke-9 di dunia.

Pada kenyataannya, mengenai jaminan hukum sebagai urat nadi dari mengalirnya proses demokrasi ini, banyak pakar dan pengamat hukum yang baru bisa mengidentifikasi, dan belum bisa memberi solusi yang bisa diimplementasikan. Hal ini karena hukum tidak cukup kuat, terutama untuk menghadapi ranjau-ranjau dan mafia politik.

Menurut Pak Hendra, banyak pihak menganggap hukum di Indonesia bisa diatur-atur dan subyektif.

"Saya datang kemari untuk memberikan jadwal terbaru les anak saya dengan Dika," terang Pak Hendra masih dengan senyum mengembang.

Dika memang mengajar les privat untuk anak Pak Hendra.

"Oh, iya Pak."

Pak Hendra pamit dan segera pergi dengan langkah cepatnya. Dika menyeretku masuk ke dalam kamar ketika sosok Pak Hendra menghilang di balik pintu keluar.

"Nggi, tau, ngga, aku tu lagi hepiiii ... banget!"

"Hah! Kok sama!" aku memekik bahagia dan memeluk sahabatku erat.

Kami berpelukan dan berjingkrak-jingkrak di atas kasur. Kali ini kulampiaskan kebahagiaan hari ini sepuas-puasnya.

Dika tertawa dan aku juga.

Dika tampak bahagia, aku juga bahagia.

Selimut dan bantal terlihat merana tak berdaya terkena tendangan dan gerakan kami yang menggila. Mereka berhamburan ke segala penjuru kamar.

"Heh! Berisik banget sih, udah mau maghrib, juga! Mati aja lo berdua!"

Tetangga kamar meneriaki kami yang sepertinya menjerit terlalu keras.

Setelah puas berjingkrak-jingkak, aku berbaring telentang dengan napas tersengal. Di sebelah kanan, Dika bertelungkup kelelahan.

"Nggi, aku mau cerita, tapi kamu jangan bilang siapa-siapa, ya?" tanya Dika.

Aku mengangguk.

"Nggi, aku lagi bahagia, banget," ujar Dika meneruskan.

"Iya, aku tahu. Kamu kan udah bilang barusan."

Tiba-tiba aku ingat sejak tadi tak sabar ingin bercerita banyak sama Dika.

Ng ... mulai dari mana dulu ya?

"Dik, kamu ingat ngga, kamu pernah suruh aku baca novelnya IKKO1771 kan waktu itu?"

Dika mengangkat kepalanya, terlihat sedang berpikir lalu kemudian mengangguk.

"AKU BARUSAN KETEMUAN SAMA IKO, Dik ...!" kalimatku selanjutnya penuh penekanan.

Yang sebenarnya aku sedang berusaha menekan emosi yang meluap-luap saking senangnya bertemu dengan pujaan hati yang sukses mengacaukan hidup beberapa bulan terakhir ini.

"Hah, yang benar?"

Ah, ya! Aku bahkan belum cerita apa-apa. Dika belum tahu, diam-diam setelah malam itu membaca novel IKKO1771 pertama kali di kamar ini, aku seperti tersihir. Aku stalking semua medsos milik IKKO1771 atau Jerrico itu. Aku beli semua buku-bukunya yang sudah terbit. Aku pergi ke Solo untuk melihat lukisan yang dia unggah di akun medsosnya.

Lalu aku bertemu J di kereta, yang ternyata kemudian mempertemukanku dengan Jerrico yang sesempurna imajinasiku!

Dika mendengarkan seksama ceritaku yang tak begitu runtut. Tapi aku tahu dia bisa memahaminya. Dika selalu menjadi satu-satunya orang yang mampu memahamiku selain Mami. Bahkan untuk hal-hal yang logis bagiku, tapi tidak baginya.

"Dia lebih suka dipanggil Iko saja waktu dengan begonya aku panggil dia Mas Jerrico, Dik. Kurasa otakku sudah anjlok sejak kenal dia."

"Pantas ...," Dika seperti bergumam pada dirinya sendiri.

"Pantas kenapa, Dik?"

"Kamu agak aneh belakangan ini."

"Aneh apanya?"

Aku berusaha mengingat-ingat apakah ada keanehan atau hal bodoh yang kulakukan belakangan ini.

Tapi, selain J, kurasa tidak ada yang mengetahui hal-hal absurd yang kualami kemarin, kan? Aku yakin sudah mengedit bagian-bagian tertentu yang tidak perlu Dika ketahui.

Seperti kejadian di kamar hotel, misalnya. Masa iya, harus aku ceritakan juga.

"Kamu sadar ngga? Kamu sudah bisa merasa. Bukan hanya berpikir."

"Maksudnya?"

"Awalnya aku merasa agak aneh. Biasanya kamu bakal pakai kata KUPIKIR dalam kalimat-kalimat kamu. Tapi sekarang kamu pakai kata ini : KURASA. Setelah dengar ceritamu tadi, aku jadi ngerti."

Eh, apa iya? Kurasa itu hal biasa saja kan? Etapi kok iya. Dulu kupikir tak ada bedanya aku yang sekarang dengan aku dahulu. Aku masih Anggi yang sama di mata semua orang. Dugaanku salah.

Ya Tuhan, Dika memperhatikan aku sampai sedetail itu.

"Terus, gimana perasaanmu sekarang?" tanya Dika melanjutkan.

"Ya, bahagia banget dong. Ya ampun, Dik ... Iko benar-benar sempurna! Dia ganteng, romantis parah, cerdas, pintar, dia juga baik banget. Kurang apalagi, coba? Kamu baca sendiri kan, buku-buku dia isinya dalem banget. Jika mencintainya adalah sebuah kesalahan, aku rela melakukan kesalahan itu selamanya."

"Hahah ..., kamu gila, Nggi!"

"Bukan, aku tergila-gila sama Iko."

Dika memukul kepalaku dengan boneka minion kesayangannya. Kami tertawa lagi sampai benar-benar lelah. Rasa lelah membuat kami mengantuk.

Sebelum mata benar-benar terpejam, aku masih sempat bertanya, "kalau kamu, bahagia karena apa, Dik?"

"Besok lagi aja kuceritain. Aku ngga mau merusak kebahagiaanmu."

Kami tertidur sambil berpelukan.

***

O Ow...!

Jadi...  Jerrico itu bukan J, jelas  ya. Mereka sahabatan. Padahal, kayaknya Anggi naksir J tuh. Tapi, dia juga suka banget sama Jerrico. J juga kayaknya udah punya pacar. Trus gimana dong?

hmmm....

Lasmicika

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

3.8M 55.7K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
4M 43.2K 33
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
25.7K 1.6K 46
Ini adalah cerita tentang aku yang tak bisa seumur hidup dengan seorang lelaki yang sudah jelas seumur hidupnya hanya denganku. Menjadi orang yang di...
5.7K 1K 29
🌾 Menyukai cerita yang objektif dan dekat dengan keseharian? Menyukai medis, psikologi dan kritik sosial? Mari yang menyukai hal baru merapat di sin...