Lentera Humaira ✔

By pengagum_pena

8.5M 618K 18.6K

(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bag... More

Prolog.
1) Semu Merah.
2) Memilih Bertahan.
3) Chandra vs Arman.
4) Sekedar Pengasuh!
5) Masa lalu Fanya.
6) Akankah dia Cinta?!
7) Lentera Jingga
8) Cahaya Temaram
9) Istana Kasih.
10) Mau Sampai Kapan?
11] Mulai Khawatir
12] Mencari Sang Pengasuh.
13] Sisi Lain Seorang Arman.
14] Cemburu.
15] Terperangkap Pesona Si Pengasuh
16] Kenyataan Pahit
17] Kekecewaan.
18] Calon Istri?
19) Orang Ketiga
20] Menetap Atau Pergi?
21) Rapuh
23) Menyerah
24. Benar-benar Pergi.
25) penyesalan.
26) Frustasi.
27) Pertanda Buruk.
28) Pertemuan.
29) Debar.
30) Perasaan Yang Terpendam.
31) Cinta Tapi Gengsi
32) Terlambat.
33) Khitbah Kedua.
34) Berjuang Sekali Lagi.
35) Lamaran.
36) Harapan kecil
37) Senyum Yang Patah.
38) Peri Kecil Rapuh.
39) Mengikhlaskan.
40) Saling Diam, Dalam detak.
41) Aku Cemburu, Maira!
42) Menjelang Akad.
43) Penculikan.
44) Misi Penyelamatan.
45) Surat Untuk Humaira
45) Surat Untuk Maira 2
46) Siapa Suamiku?
47) Takdir Yang Tak Terduga.
48) Masih Dengan Trauma Yang Sama.
49. Egois.
50 Menetap Di masalalu
51. Beranjak Dari Masalalu.
52. Terulang lagi.
53. Malaikat kecil.
54) Akhir.
Epilog
Extra Part 1
Sequel Lentera Humaira

22) Bidadari Yang Disia-siakan.

143K 12.1K 741
By pengagum_pena

"Terkadang, di saat hati kita sendiri terluka, kita masih harus menenangkan hati lain yang lebih terluka."

Sebuah tangan menjulurkan setangkai mawar di depan kedua gadis beda usia itu. Maira dan Kiara sama-sama mengangkat wajah kearah asal suara.

"Mawar yang cantik, untuk putri tercantik. Ambillah!"

Sesaat Maira berharap orang itu tak lain adalah Chandra, tempatnya berkeluh kesah sejak kecil. Sayangnya, bukan. Dia adalah orang yang beberapa tahun lalu ia kenal. Ilham Malik Hanafi. Ya! Itu namanya. Sesosok pria yang selalu menundukkan pandangannya ketika berjumpa dengan perempuan yang bukan mahram. Seperti saat ini pria itu memberikan bunga tanpa melihat siapa orangnya. Lelaki ini hanya melihat rerumputan di bawah, mungkin rumput di bawah sana lebih indah dari pada gadis di sampingnya.

Maira mengangkat tangan hendak menerima mawar itu.

"Afwan, Nona. Bunga ini untuk Bidadari kecil yang kehilangan senyum," pungkasnya.

Dahi Maira mengkerut tanda bingung. Bagaimana dia bisa tahu, kalau yang menerima bunga itu bukan Kiara jika tidak melirik, pasti tadi dia melihat ke sini. Batin Maira.

"Meski samar saya tahu jika tadi bukan tangan kecilnya," kata Ilham seperti mendengar isi hati Maira.

Maira hanya ber-ohria seraya manggut-manggut. Lalu menyuruh Kiara untuk menerima bunga itu. Yang dia tidak habis pikir Umi Zulfa bilang kalau laki-laki ini selalu menolak bertemu, bicara, dan dijodohkan dengan siapapun hingga saat ini. Dia dengar Lelaki keturunan ulama' ini selalu dingin terhadap gadis manapun. Tapi, kenyataanya tidak begitu.

"Tidak usah bingung, saya memang tidak pernah memaksa diri untuk menyukai sesuatu."

Maira kembali menautkan alisnya, apa laki-laki ini bisa membaca hati seseorang?

"Tapi, bukan berarti saya tidak menyukai semuanya. Terkadang, yang saya sukai, seperti mawar berduri di pinggir tebing yang curam, sulit sekali menggapainya."

Kiara bangkit dari duduknya lalu berdiri di depan Ilham. "Paman, di taman ini banyak kok bunga mawar yang cantik. Paman bisa mengambilnya, Umi Maryam tidak pernah marah," ucap Kiara polos.

Ilham menarik tangan Kiara membawanya duduk di pangkuannya. "Tidak, Paman lebih suka Mawar berduri di pinggir jurang."

"Kenapa,"

"Karena tidak sembarang orang berani memetik dan mengambilnya."

"Tapi, kan gak bisa di ambil."

"Justru itu, nanti kalau Kamu besar harus jadi seperti mawar di tepi jurang. Karena orang-orang tidak akan berani menyakiti Kamu."

"Benarkah?"

Ilham mengangguk, "oh, iya. Nama kamu siapa?"

"Kiara," jawabnya singkat.

"Kenapa tadi sedih?"

"Ara kangen Papa Mama."

"Oh, pasti Papa sama Mama Kiara juga merindukan Kiara. Cuma mereka lagi berdo'a sama Allah di surga sana. Mereka pasti sedang berharap kelak Kiara jadi anak yang sholeha, baik, dan selalu tersenyum." Ilham terdiam sejenak. "Tahu tidak? Mama sama Papa itu ikut sedih loh kalau Kia sedih."

"Kalo Kia bahagia?"

"Ya ... mereka ikut bahagia."

"Tapi, kan gak bisa ketemu Kia."

"Walaupun begitu, mereka bisa melihat Kia. Apapun yang Kia lakukan, Papa Mama selalu mantau Kia dari Surga. Mereka ingin tahu apa Kia mampu mandiri tanpa mereka, apa Kia selalu mendoakan mereka? Apa Kia selalu ngaji buat mereka."

"Apa Kia bisa ketemu mereka lagi?"

"Tentu saja. Jika sholat, ngaji, dan doa Kia tidak pernah putus, pasti Kia bisa ketemu mereka lagi di surga."

"Iya, Paman."

"Ya sudah, sekarang Kia main dulu. Kalau sudah adzan, sholat, terus do'ain mereka. Siap menuju Surga?!"

Gadis kecil itu mengangguk, aura kesedihan di wajahnya seakan menguap sampai akhirnya sinar bahagia mulai terbit dari lengkungan sudut bibir mungilnya. Kiara turun dari pangkuan Ilham lalu menghampiri teman-temannya. Awalnya malu-malu, tapi akhirnya mulai berbaur ketika Lea menarik tangannya untuk bermain.

Maira tersenyum melihat Kiara mulai menemukan kembali tawanya. Satu hati yang patah menemukan kembali bahagianya. Entah dengan hatinya sendiri, mampukah ia mengobati luka itu? Selalu seperti ini, setiap kali mengingat Arman rasanya sesak dan sakit kembali menghujam dada Maira.

Ilham bangkit dari duduknya, "Tidak usah bersedih, sekecil apapun kesedihan yang hadir dalam hidup seseorang, akan Allah ganti dengan kebahagiaan yang tak terduga. Allah memberikan ujian karena Allah tahu kamu mampu melaluinya, dan hanya kamu yang bisa. Yakinlah Allah tidak akan memberi ujian diluar batas kemampuan umatNya." Setelah kata itu Gus ilham pergi meninggalkan Maira seorang diri.

Apa orang ini bisa tahu isi hati seseorang tanpa melihat? Padahal jika di perhatikan lelaki ini cenderung mengalihkan pandangannya. Atau mungkin dia cuma sok tahu? Atau diam-diam melirik? Batin Maira lagi.

________________________

Di kediaman Arman Ar Rasyid,
Bik inah serta kedua pembantu lainnya sedang sibuk mengayomi Zhira yang sedang rewel. Sejak tadi bayi kecil itu tiada henti menangis, padahal awalnya Zhira bersama Rissa, tapi entah kenapa tiba-tiba wanita itu terburu-buru untuk pulang dan menyerahkan Zhira pada Bik Inah dalam keadaan menangis. Sungguh perempuan tidak bertanggung jawab.

"Iiih ... urang keuheul pisan ka si Nini Lampir, ngges jadi pelakor, teu bisa ngajaga budak deuih," ucap Lastri ketus dengan bahasa sundanya.

"Hush! Jangan bicara sembarangan," protes Bik inah. "Kalo Tuan tahu, bisa di pecat kamu."

"Habisnya Lastri teh kesel atuh, Bik. Tuan sudah menyia-nyiakan perempuan baik, demi wanita jelmaan Nenek Lampir itu."

"Iyo, Lastri. Mbak ae wes geddek karo wong wedok siji iku."

"Sudah, sudah. Mendingan kamu telfon Non Maira sekarang ada di mana. Terus bilang kalo Non Zhira nangis terus." Inah memerintah Lastri untuk menghubungi Maira secepatnya.

"Baik, Bik."

"Yesi, kamu buatin susu lagi, sana."

"Iya Bik."

Saat semua orang sibuk dengan kerjaan masing-masing, Arman tiba-tiba datang setelah tiga jam sebelumnya mempercayakan putrinya pada Clarissa.

"Kenapa Zhira nangis gitu? Di mana, Rissa?" Arman mengedarkan pandangan mencari Rissa.

"Sudah pulang dua setengah jam yang lalu, Tuan." Jujur Bik inah.

"Ya sudah sini sama Papa." Arman mengambil alih putrinya. "Zhira sedih ya gara-gara Tante Rissa pulang?"

Bik inah yang sejak tadi menunduk mengangkat wajah, gemas dengan lelaki di depannya. Jika saja dia anak sendiri, sudah Inah tarik telinga atau memukul jidatnya agar sadar.

"Bik, di mana Maira? Cepat panggil. Dia tidak dengar apa? Anaknya nangis sampai seperti ini, cepat panggil dia!" perintah Arman dengan nada tinggi.

Inah semakin gemas dengan Arman. Kalau Maira di rumah tidak mungkin Zhira nangis sampai seperti ini.

"Bik, cepat!!"

"Maaf, Tuan. Bukankah Nyonya pagi tadi pergi sama, Tuan. Apa karena ada Non Rissa, Tuan lupa meninggalkan istri Tuan di mana?"

Ucapan Inah seperti bom atom yang meledak di depannya. Ingin marah dia lebih tua, bahkan sudah seperti ibu keduanya. Ingin protes Bik inah benar, semua salah Arman sendiri.

"Sudah bisa dihubungi?" Tanya Inah pada Lastri yang baru saja datang.

Lastri menggeleng. "Hpnya mati," bisik Lastri, namun masih bisa Arman dengar.

"Kalian berdua ikut saya cari Maira," putusnya tanpa mau di bantah.

Lastri dan Bik inah sudah duduk di jok belakang menggendong Zhira sedang Arman duduk di kemudi. Arman menekan klakson dengan keras agar ujang cepat membuka gerbang. Baru setengah gerbang besi nan tinggi itu terbuka, sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Perempuan yang sudah tak asing keluar dari mobil tersebut, awalnya biasa saja karena yang keluar wanita berhijab panjang dengan gamis senada dengan hijabnya. Namun tiba-tiba seorang lelaki berpeci putih memberikan setangkai mawar pada Maira. Membuat semua yang ada di mobil menerka dengan persepsi masing-masing.

"Bik, Bik, liat deh, ganteng pisan euy. Itu teh baru yang namanya pangeran menuju jannah," ucap Lastri, sengaja di keras-keraskan untuk mengompori Arman.

Lelaki berkepala batu ini sedang dikuasai perasaan yang selalu ia sangkal. Kuku-kukunya memutih akibat mencengkeram kuat setir kemudi, dadanya menggebu akan amarah yang sekali lagi di redam ego dalam dirinya. Hatinya terasa panas, bergejolak menuntut dilampiaskan. Padahal jika mau, ia bisa saja menghajar lelaki itu seperti hal yang dilakukannya pada Chandra. Tapi kali ini kakinya terasa terpaku, haknya seakan hilang lantaran perbuatan sendiri. Berhak-kah aku atas perempuan itu, setelah apa yang aku lakukan padanya? Tanya hati Arman.

"Cepat berikan Zhira pada perempuan itu," ucap Arman ketus lalu keluar dari mobil.

Lastri dan Inah sempai terkejut gara-gara pintu mobil yang dibanting dari luar. "Kamu sih!" Protes Bik inah.

"Biarin! Biar Tuan tahu rasanya melihat istri sendiri bersama orang lain."

Sedang di luar sana Umi Zulfa dan juga Gus Ilham sedang bercengkrama dengan Maira.

"Kamu melupakan sesuatu." Ilham menyerahkan setangkai mawar milik Maira yang tertinggal di jok belakang mobilnya.

"Oh, bunga dari Raka hampir lupa. Syukron Gus Ilham."

Ilham mengangguk kemudian masuk kembali kedalam mobil bersama sang Umi.

Perlahan terdengar suara tangis Zhira dari luar gerbang dan benar putri kecilnya itu sudah bergelayut mengulurkan kedua tangannya ketika melihat Maira.

Mata Maira langsung betkaca-kaca. "Putriku." Maira menggendong Zhira, mendekapnya erat sambil menciumnya berkali-kali.

"Nya, yang tadi teh saha?" tanya Lastri sok kepo.

"Namanya Umi Zulfa. Beliau istri dari Kyai yang jadi donatur tetap di panti asuhan Istana Kasih," jawab Maira sambil berjalan ke dalam rumah.

"Maksud Lastri teh yang pake peci itu loh, Nya."

"Kalo yang itu Gus Ilham putra Kiyai Hanafi dan Umi Zulfa."

•••○○♡♡♡○○•••

Satu jam kemudian Nazhira sudah terlelap, Perlahan Maira membaringkan di tempat tidurnya. Setelah memastikan putrinya benar-benar tertidur Maira keluar dari kamar itu menuju ke kamarnya.

Maira kemudian duduk di depan cermin menatap pantulan dirinya di sana. Ya Robb ... apa yang salah dengan diri hamba? Kenapa suami hamba tidak dapat menerima hamba?

"Apa yang kau pikirkan?" tanya seseorang di belakangnya.

Maira terkesiap kaget, mencari asal suara. Ternyata di sana, di sofa panjang itu Suaminya duduk. Menyandarkan tubuhnya di kursi empuk itu. "Mas." Maira bangkit dari duduknya, "sedang apa Mas di kamarku?"

Arman juga bangkit dari duduknya menghampiri Maira. "Huh! Gak nyangka ya, sehebat itu kau menjerat laki-laki. Dari seorang dokter sampai Ustadz pun bisa kau dapat, hebat!" Arman bertepuk tangan di depan wajah Maira.

"Apa maksud Mas?"

"Tidak usah sok polos, bukankah seharian ini kau sudah bersenang-senang dengan lelaki itu? Apa saja yang sudah kau gadaikan? Perhatian? Kecantikan? Atau ... tubuhmu?" Arman benar-benar dikuasai cemburu hingga tidak memikirkan lagi sebab akibat dari perbuatannya.

Maira mengangkat wajah, menatap Arman dengan nanar, matanya berkaca-kaca, sesak, perih, serasa menggores hatinya.

PLAK!!

Entah setan mana yang menguasai tangan Maira hingga berani menampar suaminya sendiri. Yang pasti Maira merasakan kesedihan berkali-kali lipat dari luka sebelumnya. Sehina itukah dirinya di mata Arman? Serendah itukah Maira bagi Arman?

"Mas, aku tahu mas gak suka sama aku. Mas gak cinta sama aku. Selama ini aku bertahan dengan semua perlakuan Mas sama aku demi Zhira. Tapi, aku juga punya perasaan. Aku bukan robot yang bisa Mas perlakukan seenaknya. Aku punya hati! Hatiku sakit ...," Maira meremas kuat ujung hijabnya. Membiarkan Air mata dan sesak hatinya menguap. "Sakit ketika Mas rendahkan sampai sehina itu. Sekarang Mas mau aku bagaimana? Menyerah, kan? Baiklah! Kalau memang itu kemauan, Mas.

"Aku akan pergi, Mas bebas menentukan jalan Mas sendiri. Dan untuk saat ini beri aku waktu untuk sendiri."

Arman seperti kehilangan kata, kesedihan seolah ikut menyerang batinnya. Dia hanya bisa membisu, semua kata seolah lenyap dari otaknya.

"Pergi!" pinta Maira memalingkan tubuhnya dari Arman.

Arman masih terpaku. Kenapa tiba-tiba ia menyesali perbuatannya? Kenapa tiba-tiba rasa bersalah bergelut dalam jiwanya. Tangan Arman terangkat hendak menyentuh pundak Maira yang bergetar hebat akibat perbuatannya.

"PERGI!!" teriak Maira sekali lagi.

Arman menurunkan tangannya. Walau ada keinginan besar dalam dirinya untuk mengangkat beban yang baru saja ia tindihkan pada perempuan ini. Arman berbalik meninggalkan Maira sendiri.

Bersambung....

Maaf ya kalo ceritanya makin gaje.😢
Terima kasih buat kalian yang tak pernah bosan menungguku update 😙😙❤

Tau nggak apa yang bikin aku semangat buat ngetik ...?

Komen kalian.

Aku suka baca komen-komen kalian ketika semangat nulis lagi down. Terima kasih ya sudah baca cerita menye ini.❤❤

Jangan lupa juga buat sholat dan ngaji. Oke👌

Continue Reading

You'll Also Like

18K 2.9K 7
"Berapa kali aku lewat di pikiranmu?" "Hanya satu kali." "Kok hanya satu kali?" "Iya, satu kali. Sejak kali pertama kamu lewat, kamu tidak pergi. Kam...
58.5K 2.7K 29
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
14.6K 1.6K 36
AYUMA SYAHIRA RUBY adalah gadis terpandang, putri seorang kyai ternama. Ia dijodohkan dengan JABBARA ALI ASSIDQI yang dingin dan tak menyentuhnya sam...
48.6K 3.1K 33
A story by dianaf_ayn04 (completed.) ••• Ini cerita antara Naya dan Satya. Soal yang berjuang kemudian lelah. Tentang yang mencoba bertahan lalu meny...