Moonstruck | √

By dariankastar

51.1K 3.8K 2.3K

[ Cerita lengkapnya bisa dibaca di bakisah ] [Completed] Awalnya Beryl cuma main-main karena egonya tersenti... More

P R E L U D E
1 ǁ Sepatu Kets Cinderella
2 ǁ Kapas Berantiseptik
3 ǁ Ruang Temu
4 ǁ Kereta Kencana Modern
5 ǁ Menarik Temali
6 ‖ Tangan Takdir
7 ǁ Mencari Celah
8 ǁ Berusaha Menampik
10 ǁ Pemegang Kendali
11 ǁ Upaya Mempermainkan
12 ǁ Permulaan
13 ǁ Di Permukaan
14 ǁ For Some Reason
15 ǁ Try To Get You
16 ǁ Konfrontasi
17 ǁ Selangkah Lebih Dekat?
18 ǁ Berbeda
19 ǁ Mengambil Bagian
20 ǁ Melempar Umpan
30 ‖ Luka di Sudut Bibir
38 ǁ Utuh atau Runtuh
Hi, there!

9 ǁ Langkah-Langkah Kecil

1.3K 163 154
By dariankastar

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Langkah-Langkah Kecil

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬


"Minum dulu."

Sebuah botol air mineral yang masih tersegel terangsur tepat di hadapan Simfoni. Perempuan itu mendongak dan mendapati Beryl berdiri di sampingnya tanpa menunjukkan ekspresi berarti.

Simfoni mengangguk. Tangannya yang masih gemetar meraih botol yang diberikan Beryl dan menggenggamnya di atas meja. Tidak ada niatan untuk meminumnya. Simfoni hanya butuh menenangkan diri sekarang.

Beryl ikut duduk di samping Simfoni tanpa berkata apa pun. Ia diam, pun dengan Simfoni. Keduanya seolah sibuk dalam pikiran masing-masing. Mbak Titin yang sejak tadi duduk memperhatikan keduanya kini pamit. Katanya, dia pergi sebentar dan menitipkan warung pada Beryl. Meski tidak tahu apa-apa, Beryl tetap mengangguk. Ini bukan kali pertama Mbak Titin menitipkan warung pada anak yang ada di sana. Sepercaya itu dia memang.

Saat ini keduanya sedang berada di warung yang Simfoni ketahui sering dijadikan oleh anak laki-laki sekolahnya sebagai tempat tongkrongan. Simfoni sama sekali belum pernah ke sini, dan agaknya, dia juga tidak pernah berniat untuk mendatangi warung ini. Terlalu riskan. Warung ini selalu penuh oleh laki-laki. Dan Simfoni paling menghindari tempat-tempat yang dijadikan sebagai 'tempat kumpul' anak laki-laki. Di mana pun itu.

Sekarang saja Simfoni tidak tahu kenapa dirinya bisa mau-maunya dibawa Beryl ke tempat ini. Entah karena dia terlalu shock atas kejadian yang baru menimpanya, atau karena otaknya belum mampu berpikir jernih, atau mungkin karena keduanya. Tetapi untungnya, kali ini warung sepi, sehingga Simfoni tidak perlu takut dengan kehadiran mereka.

Kejadian beberapa menit lalu masih meninggalkan sebentuk rasa takut bagi Simfoni. Ia tidak tahu kenapa orang-orang tadi tiba-tiba menghampirinya bahkan sampai mengganggunya seperti itu. Simfoni tahu, seharusnya dengan mengikuti karate, ia menjadi bisa melindungi diri. Namun, Simfoni adalah jenis orang yang mudah panik dan begitu kepanikan itu menghampiri, seluruh isi otaknya seolah menguap. Kosong. Ia tidak bisa memikirkan apa-apa, bahkan segala hal yang sudah ia pelajari di kelas bela dirinya, tak ada satu pun yang tertinggal. Semuanya seakan lenyap.

Dan Simfoni benar-benar bersyukur atas kehadiran Beryl tadi. Jika tidak ada dia, entah akan seperti apa Simfoni sekarang.

"Minum," desak Beryl lagi karena Simfoni tak kunjung meminum air mineral yang ia berikan. Mungkin dia kasihan melihat kondisi Simfoni yang tampak mengenaskan. Tubuh perempuan itu tremor, wajah dan matanya memerah seolah tengah menahan tangis. "Apa perlu gue yang bukain?"

Pertanyaan sarkastik itu Simfoni jawab dengan gelengan cepat. Menuruti Beryl, Simfoni lantas membuka botol air mineral dengan tangan bergetar.

Simfoni tampak kesusahan. Alih-alih membantu, Beryl justru berdecak lalu meraih korek dan menyulut rokok yang sudah terselip di sela bibirnya tanpa berkata apa-apa. Berlagak cuek.

Setelah berhasil membuka botol air mineral dan meneguk beberapa tegukan kecil, Simfoni merasa dirinya sedikit lebih tenang. Ia menarik dan mengembuskan napas secara teratur untuk kembali meraih keterangan-keterangan itu. Setelah lebih baik, Simfoni lantas melirik Beryl takut-takut. Asap yang keluar dari hidung dan bibir laki-laki di sampingnya seakan ikut menyatu dengan awan kelabu di langit sana. Hujan memang belum turun, tetapi kumpulan awan hujan yang seakan berlomba memadati cakrawala seolah memberitahu bahwa dia siap menjatuhkan muatannya kapan saja. Hanya tinggal menunggu waktu sampai kapan ia mampu menahan.

Sejujurnya, Simfoni ingin cepat-cepat pergi dari sini. Ia tidak ingin terjebak hujan lantas telat masuk kelas bimbingan belajar. Tetapi, Simfoni tahu, dia tidak bisa pergi begitu saja. Setidaknya, tidak sebelum mengucapkan sesuatu pada Beryl.

Namun, bagaimana? Apa yang harus Simfoni ucapkan? Dia bingung harus berkata apa. Laki-laki itu memang menolongnya, tetapi dia sama sekali tidak berucap apa-apa. Belum lagi, raut dingin yang ia tampilkan, semakin membuat Simfoni merasa takut juga segan.

Simfoni meremas erat tali tasnya yang berada di pangkuan, menjadi gelisah sendiri. Tanpa sadar, perempuan itu terlalu lama berpikir hingga hujan yang sejak tadi ditakutkannya kini turun juga. Deras. Tanpa aba-aba.

Secara refleks perempuan itu mendongak. Tatapan nanarnya terpancar begitu saja. Beryl di sampingnya masih anteng merokok. Tempias-tempias hujan yang mulai mengenai keduanya membikin Beryl berdecak.

"Mau ke mana?" Secara refleks Simfoni bertanya ketika Beryl tiba-tiba berdiri. Entah kenapa, dia justru takut ditinggal sendiri di sini. Meski tampaknya pemilik warung baik, tapi dia segan. Simfoni tidak mengenalnya. Dan omong-omong, pemilik warung sudah kembali sebelum hujan turun dengan derasnya tadi.

"Pindah," jawab Beryl singkat.

"Oh...." Simfoni kembali menunduk dan memainkan tali tasnya.

"Lo juga. Di sini kecipratan." Meski diucapkan sambil lalu—karena Beryl langsung perjalan menuju bangku panjang yang berada tepat di depan warung, yang letaknya agak lebih dalam, Simfoni masih mampu mendengarnya. Laki-laki itu lalu berbicara pada pemilik warung. Simfoni masih bergeming di tempat, tetapi begitu tempias hujan semakin banyak mengenainya, ia akhirnya mengikuti Beryl walau ragu.

"Biasa kan, Ber?"

Suara pemilik warung terdengar begitu Simfoni mendekat. Perempuan itu duduk dengan canggung di sebelah Beryl. Jarak yang tercipta di antara mereka lumayan jauh. Simfoni sengaja mengambil jarak, tidak mau duduk terlalu dekat dengan laki-laki itu. Di luar hujan masih turun begitu deras.

"Iya." Beryl mengambil satu bungkus snack dan membukanya. "Lo kalo lapar pesan makan aja." Simfoni tidak tahu apakah kalimat acuh tak acuh itu ditujukan untuknya atau bukan, karena Beryl mengucapkannya tanpa menoleh pada Simfoni. Meski begitu, perempuan itu tetap mengangguk. Lagi pula, tidak ada siapa pun lagi di sini. Tidak mungkin juga kalimat itu ditujukan untuk pemilik warung, bukan?

Aroma khas mie instan menggelitik indra penciuman Simfoni, lantas setelahnya Mbak Titin muncul dengan semangkuk mie yang langsung ditaruh di hadapan Beryl. Sebelum kembali masuk, ia sempat menawari Simfoni ingin memesan apa, yang Simfoni balas dengan gelengan, karena ia memang tidak lapar. Berbeda dengan Beryl yang langsung memakan mie dengan lahap. Tanpa sadar Simfoni justru memperhatikannya.

"Lo kalo mau, pesan sendiri. Jangan malah ngeliatin gue."

Simfoni gelagapan sendiri. Perempuan itu buru-buru memalingkan wajah. Ada hangat yang menjalar di permukaan pipinya. "Eng—enggak."

"Enggak apa? Enggak mau apa nggak ngeliatin gue?"

Simfoni semakin enggan melihat Beryl, hingga membuat laki-laki yang duduk di sebelahnya itu semakin tergelitik untuk menggodanya. "Sini kalo mau liatin gue, deketan aja jangan jauh-jauh."

Simfoni merapatkan bibir, sedang pipinya semakin bersemu. "Ap—apa? A—aku nggak ngeliatin kamu."

Beryl berdecih, tetapi diam-diam mengulum senyum. Ia lalu lanjut makan. Membiarkan Simfoni berkompromi dengan rasa malunya.

Untuk beberapa waktu, hanya suara guyuran hujan yang mengisi sunyi di antara mereka, hingga Simfoni memutuskan untuk memberanikan diri memanggil laki-laki itu.

Yang dipanggil cuma berdeham tak peduli. Fokusnya hanya tertuju pada makanan di hadapannya.

"Um, makasih ... karena udah nolongin aku dari orang-orang tadi."

Beryl tersenyum sinis. Tanpa menoleh dan masih fokus pada mienya, laki-laki itu berujar, "Pertolongan gue nggak gratis."

"Ma—maksudnya?" Simfoni jelas kaget.

Beryl menelan kunyahan terakhir di mulutnya sebelum menyerongkan tubuh dan menatap Simfoni tepat di manik. "Simfoni, di dunia ini ada dua jenis orang. Mereka yang baik yang bahkan enggak mengharapkan apa pun atas apa yang dilakukannya. Dan ... orang-orang pamrih, yang mana harus ada imbalan atas apa yang mereka lakukan." Beryl menyeringai, sengaja menggantung ucapannya hingga membikin Simfoni menatap waswas. "Dan gue, bukan jenis orang yang akan suka rela nolongin orang tanpa imbalan apa-apa."

Musik dengan volume super tinggi menjadi hal pertama yang menyambut kedatangan Beryl, disusul dengan pekatnya asap rokok berpadu aroma alkohol serta beragam parfume menyerbu penciuman. Suasana bising yang melingkupi ruangan berpencahayaan minim itu sama sekali tak ia pedulikan. Justru dengan cueknya Beryl berjalan menuju meja bar.

Tadi, Beryl bertanya di mana keberadaan Xylo, yang laki-laki itu jawab dengan 'biasa'. Beryl tidak perlu bertanya lebih jauh di mana tempat biasa yang Xylo maksud, karena ia pun telah hapal di mana.

Ketika Beryl mendekati meja bar, hanya ada seorang pengunjung yang telah mabuk serta bartender yang sedang meramu minuman. Beryl tak berkata apa-apa. Ia cuma menarik stool bar lantas duduk di sana. Bahkan, sapaan bartender serta tawaran minumannya pun tak ia hiraukan. Laki-laki itu malah mengeluarkan rokok beserta pematik dari balik saku jaket lantas segera menyulutnya perlahan.

Si pengunjung mabuk tadi mulai meracau tidak jelas di samping Beryl. Kesadarannya jelas hanya bersisa kurang dari sepuluh persen. Dan Beryl tentu tidak akan peduli pada hal itu. Rasanya, kalaupun sekarang pemuda itu akan membenturkan kepalanya sendiri ke atas meja, Beryl tidak akan mau melirik. Ia justru tengah sibuk menggulirkan mata, mencari keberadaan Xylo.

Alih-alih sosok Xylo, justru orang yang paling malas ia temuilah yang tertangkap pandangan.

Beryl membuang muka, berharap sosok itu tidak akan melihatnya. Bukan apa-apa, ia hanya malas apabila harus berurusan dengan orang itu sekarang. Suasana hatinya tidak sedang berada di kondisi yang baik. Dan berurusan dengan orang itu hanya akan membuat suasana hatinya semakin bertambah kacau.

Sayangnya, harapan Beryl harus pupus lantaran sebelum ia sempat mengalihkan wajah, orang yang duduk tak jauh darinya itu sudah terlebih dahulu menyadari keberadaan Beryl. Di bawah keremangan cahaya, Beryl sempat melihat seringai menyebalkan terbit di bibir orang itu. Tak pelak hal tersebut sontak membikin Beryl mengeluarkan dengkusan.

Di saat Beryl berusaha untuk tidak peduli, orang itu justru bangkit. Ia berjalan santai mendekati Beryl. Seringainya tampak belum sirna. "Wow! Liat siapa yang gue temui di sini."

Sebetulnya, Beryl benar-benar malas meladeni Sastra. Namun, jika dia sudah seperti ini, tidak mungkin Beryl mengabaikannya begitu saja, bukan?

Untuk itulah Beryl mengisap rokoknya kuat-kuat sebelum membalas Sastra dengan nada malas. "Ya, liat juga siapa yang gue temui di sini."

Seringai menyebalkan Sastra masih belum sirna ketika ia melanjutkan acara basi-basi yang sama sekali tak Beryl butuhkan. "Halo, Jagoan? Apa kabar?"

Beryl muak. Laki-laki itu menekan puntung rokok ke dalam asbak terlalu dalam hingga membuat rokok yang masih panjang itu hampir hancur. "Udahlah, nggak usah basa-basi. Mau apa lo ke sini?"

"Woah ... easy, dude. Gue cuma mau nyapa teman."

Beryl memutar duduk, membuat pandangannya seketika bertemu dengan Sastra. Ditatapnya malas laki-laki yang kini menampilkan ekspresi ramah terkesan culas itu. Senyum Beryl tersungging sinis. "Nggak usah bercanda. Kita nggak pernah jadi teman—"

"—Atau ... rival?" Lantas seringaian itu kian lebar menghiasi bibir Sastra. "Lama nggak ketemu. Terakhir ketemu pas kita tanding waktu itu, kan?"

"Kenapa? Lo kangen nggak ketemu gue?"

"Yeah, tentu." Sastra tidak menampik, tetapi kalimat laki-laki itu selanjutnya berhasil membikin percikan amarah terbit di hati Beryl. "Kangen mempecundangi lo dan tim lo."

Senyum sinis yang sejak tadi bermain di bibir Beryl kini lenyap tak membekas, terganti dengan tatapan super datar. Hal tersebut tentu saja menjadi hiburan tersendiri bagi Sastra. Seringai yang sejak tadi terpasang di bibir laki-laki itu semakin lebar saja, apalagi ada kesan puas terlihat di dalamnya setelah melihat respons yang Beryl berikan. Seolah memang itulah yang ia inginkan sejak tadi; membuat Beryl kesal atau marah.

"Jaga mulut lo," peringat Beryl. Pelan, tetapi terdengar tajam. Kali ini ada ketegangan yang perlahan merambati suasana di antara mereka. Bahkan, musik yang sejak tadi bergema keras tampak tak memberi efek apa-apa bagi keduanya. "Bukan tim gue yang pecundang, tapi tim lo."

Kepuasan yang terlihat di bibir Sastra, kali ini merambat menuju mata. "Tim gue?" Itu sebuah pertanyaan retorik. Siapa pun yang mendengar akan langsung mengetahuinya, termasuk Beryl. "Tapi gue nggak merasa kalo tim gue kalah."

Beryl tersenyum sinis lagi. Tahu pada titik mana harus menyerang. "Tim lo mungkin emang nggak kalah di pertandingan kemarin, tetapi lo mesti tahu, kalo tim yang selalu lo bangga-banggain itu enggak lebih dari sekumpulan pecundang."

Senyum Sastra perlahan memudar. Ia memandang Beryl tidak mengerti. Dan Beryl melanjutkan, "Mungkin iya, tim sekolah gue nggak menang di pertandingan kemarin. Tapi sekali pun, kita nggak pernah pake cara kampungan buat nyerang tim lawan cuma supaya bisa menang."

"Maksud lo?" Sastra semakin tidak mengerti. Senyum telah sepenuhnya lenyap. Keadaan seakan berbalik.

"Sastra, Sastra." Beryl menyebut nama Sastra seraya tertawa meremehkan. Merasa berhasil mengusik laki-laki itu. "Lo itu sebenarnya becus nggak jadi kapten? Lo tau nggak gimana kelakuan anggota lo di belakang lo?" Kebungkaman Sastra mencipta decak sinis Beryl. "Lo nggak tau?" Beryl menggeleng kasihan—yang tentu saja adalah sebuah kepura-puraan. Dan sepertinya, Sastra sudah mengerti ke mana arah pembicaraan Beryl, karena selanjutnya, ekspresi laki-laki itu mengeras. Beryl menyeringai senang, tetapi tak ingin berhenti membeberkan keburukan tim Cendana. "Bahkan, mereka lebih pecundang dari kekalahan tim gue," tukasnya. "Seenggaknya, tim gue kalah secara terhormat. Nggak kayak tim lo, menang tapi pake cara licik. Menyedihkan."

Kata-kata Beryl berhasil menyulut amarah Sastra. Tangan laki-laki itu terkepal. Tatapannya menajam. "Jaga kata-kata lo," peringatnya dalam. "Nggak mungkin tim gue pake cara licik."

Dan tawa Beryl menyembur setelahnya. "Segitu percayanya lo sama tim lo?"

Tatapan Sastra semakin tajam.

"Kalo emang lo sebegitu percayanya sama teman-teman lo, lo boleh tanya langsung ke mereka. Benar atau nggak apa yang gue omongin. Tapi," Beryl sok berpikir, "gue nggak yakin, sih, kalo mereka bakalan jujur. Secara 'kan mereka pecundang." Lagi-lagi seringai Beryl terbentuk, dan hal itu sepertinya berhasil membikin Sastra benar-benar marah. Gotcha! Senjata makan tuan.

Beryl sempat yakin jika kemarahan Sastra mampu mencipta keributan di sini. Detik ini. tetapi, rupanya laki-laki itu cukup hebat dalam menguasai diri. Dibanding segera menyerang Beryl—seperti apa yang sangat ia yakini, Sastra justru memilih untuk menyingkir. Tetapi, Beryl tidak membiarkan Sastra pergi begitu saja. Ia menahannya, hanya untuk memberi peringatan penuh kesungguhan. Hal ini tidak boleh terulang kembali. "Dan satu lagi. Kalo tim lo ada masalah sama tim gue, beresin sama teman-teman gue. Jangan bawa-bawa anak sekolah gue, apalagi sampai gangguin cewek. Sumpah, cara yang dilakuin teman-teman lo benar-benar banci."

Lalu Sastra berderap pergi setelah sebelumnya menendang meja hingga benda itu terbalik.

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ to be continued


—dariankastar

[ Dipublikasi | 25.12.18 ]

edited; 23.05.20

Continue Reading

You'll Also Like

6.1K 916 43
Bagaimana rasanya bepergian setelah putus? Bagaimana rasanya menelusuri tempat-tempat dan sudut asing sendirian? Mengingat bahwa pernah ada kisah yan...
1.6K 256 62
---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.9M 279K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
890K 63.4K 35
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...