Travelove

Por urfavcalamari

67.3K 4.9K 206

Will be updated every Tuesday (hopefully) Start: May 1st, 2018, end: May 7th, 2019. ---------- Kia dan Bram t... Más

2014 : 01
2014 : 02
2014 : 03
2014 : 04
2015 : 01
2015 : 02
2016 : 01
2016 : 02
2016 : 03
2017 : 01
2017 : 02
2017 : 03
2017 : 04
2017 : 05
2017 : 06
2017 : 07
2017 : 08
2017 : 09
2017 : 10
2017 : 12
2018 : 01
2018 : 02
2018 : 03
2018 : 04
2018 : 05
2018 : 06
2018 : 07
2018 : 08
2018 : 09
2018 : 10
2018 : 11
2018 : 12
2018 : 13
2018 : 14
2018 : 15
2018 : 16
2018 : 17
2018 : 18
2018 : 19
2018 : 20
2018 : 21
2018 : 22
2018 : 23
EPILOG

2017 : 11

1.1K 97 2
Por urfavcalamari

masih hari selasa, tenang aja ^^

seminggu ini aku menerima beberapa komentar dan vote. makasih banyak ya! gabisa sebutin satu-satu, tapi intinya terima kasih banyak. cup muah!

oh ya, alur cerita ini terkesan lambat, tapi sebenarnya berprogres. enjoy the story!

seperti biasa: read, vote, comment, dan... yuk bantuin benerin typo ^^ maap nih mata sering jereng wkwkwk


---


Semarang, November 2017, pagi hari


Alhamdulillah, Mas. Saya diterima bekerja di Wartawara.

Saya memutuskan untuk terus bekerja di sini.

Untuk pembicaraan kita yang tertunda tempo hari, saya belum bisa menjawab apa-apa.

Maaf.


Bram menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Kia dengan gundah. Di satu sisi dia menyalahkan diri karena terlalu gegabah, namun di sisi lain dia lega telah melontarkan kalimat itu kepada sang kekasih. Bram tidak menyesal sudah bertandang ke Jakarta hanya untuk melamar Kia, meskipun masih digantungkan. Hal sepenting itu memang sebaiknya dibicarakan langsung, bukan lewat perantara pesan atau telepon, entah sebaik atau seburuk apapun nanti jawaban yang akan diterimanya.

Tapi... apakah dirinya siap jika gadis itu memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan keinginannya?

Bram sempat berburuk sangka. Dia pikir ini adalah karma baginya karena telah menggantungkan harapan-harapan para perempuan yang sebelumnya dekat dengannya. Terakhir ada Zakiyya. Zakiyya sampai harus datang ke Semarang hanya untuk mendengarkan ketidaksanggupan Bram dalam melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin inilah yang dirasakan Zakiyya kala itu.

Kemudian Bram berpikir, Kia hanya belum memberikan jawaban. Tepatnya belum bisa. Dirinya belum ditolak. Masih ada harapan, meskipun perbandingannya 50:50. Ada baiknya dia terus memanjatkan doa agar kesempatan untuk menikahi Kia semakin besar.

Terlalu larut dalam berpikir membuat Bram tidak menyadari ada Doni yang sudah cengar-cengir mengamati wajah kusutnya. Ketika dia mendongak, dia sampai berjengit kaget melihat karyawan pertamanya itu. Doni terbahak.

"Lagi susah, Pak Bos?" tanya Doni, masih menyisakan cengiran jailnya.

Bram berdecak kesal. "Marai jantungen wae!"

"Lah, saya nggak ngapa-ngapain, lho. Saya cuma duduk manis di sini. Pak Bo situ yang tahu-tahu mak jegagik, mencolot kaget," sang karyawan beralasan. "Ada apa, Pak Bos? Perekonomian, keluarga, atau romansa?"

Bram tak segan menjitak dahi Doni. "Bahasamu, le. Kerja sana!"

"Ini jam istirahat saya, Pak Bos. Kan Pak Bos sendiri yang dulu bilang ke saya dan karyawan baru, kalau jamnya istirahat ya dipakai istirahat, bukan kerja."

Sang bos melirik ke jam dinding. Dia menghela nafas. "Yo wis. Sana makan. Biar kalau nanti kerja lagi ada tenaga, nggak klemar-klemer."

Doni tersenyum penuh arti. "Pak Bos juga makan, dong. Biar kuat menghadapi kenyataan dan persoalan hidup."

"Oi!"

"Jadi, kali ini ada apa, Pak Bos?"

Sekali lagi Bram menghela nafas panjang dan meletakkan ponselnya di atas meja. Namun, matanya masih terus terpaku pada benda persegi panjang tipis tersebut.

"Saya nggak bisa bilang 'nggak ada apa-apa' karena memang kenyataannya nggak seperti itu," akhirnya Bram bertutur. "Ingat cerita saya beberapa bulan lalu? Kalau saya menemukan lagi perempuan yang saya cari selama ini, bahkan sekarang pacaran?"

Doni mengangguk. "Mbak Kia, to?"

"Ya. Ingat kemarin-kemarin saya ke Jakarta?"

Doni kembali mengangguk, namun kali ini dahinya sedikit berkerut.

"Saya menemui dia di Jakarta."

"Lho, bukannya Pak Bos pernah bilang kalau Mbak Kia tinggalnya di Jogja?" tanya Doni.

"Dia sekarang kerja di Jakarta, Don."

"Oh! Ikut senang saya, kalau Mbak Kia sudah dapat kerja di Jakarta. Di mana kerjanya, Pak Bos?"

"Di Wartawara. Tahu?"

"Tahu, tahu. Keren! Semoga sukses terus buat Mbak Kia ya, Pak Bos."

Bram tersenyum. "Aamiin..."

"Terus, kok Pak Bos mukanya sepet banget hari ini? Eh, bahkan beberapa hari ini."

Bram menyandarkan punggungnya ke sofa. Matanya menerawang, mengingat saat-saat dirinya melamar Kia di MTA beberapa hari lalu.

"Saya melamar Kia, Don."

Doni tersentak. Dia bersyukur karena tidak sedang makan atau minum, karena pasti akan tersedak begitu mendengar kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut bosnya itu. Baru saja dirinya akan berjingkrak kegirangan atas langkah yang diambil Bram, sesuatu menahannya. Doni teringat betapa masam raut wajah bosnya itu beberapa menit lalu.

"Ditolak?" tanyanya pelan, tidak ingin makin menyakiti hati Bram.

Bram menggeleng. "Nggak ditolak, Don. Tapi juga nggak diterima. Singkatnya, digantungkan."

"Kenapa? Mbak Kia nggak cinta Pak Bos?"

"Entahlah. Tapi saya yakin kalau dia bukannya nggak cinta." Bram mengangkat bahu. "Mungkin Kia masih ragu sama saya. Ragu dengan cinta saya, atau mungkin tingkat kemapanan saya. Mungkin juga karena hal lain. Wallahu alam."

"Hal lain itu misalnya apa, Pak Bos?"

Mendadak Bram teringat cerita Kia saat mereka bertemu lagi di gerbong kereta dalam perjalanan dari Jakarta ke Jogja Juli lalu. Bukankah Kia juga sedang menggantungkan lamaran seorang perwira? Ya ampun! Bisa-bisanya dia lupa hal penting semacam itu! Jangan-jangan Kia sudah menjawab lamaran perwira tersebut dengan 'ya'?

"Ada apa, Pak Bos? Kok tiba-tiba mukanya pucat?" Doni bertanya lagi ketika pertanyaannya tidak direspons oleh Bram.

Bram menepuk dahinya sendiri. "Saya hampir lupa, Don. Selain saya, Kia itu juga dilamar orang lain. Jauh lebih mapan daripada saya, malah. Selama ini dia bilang lamaran itu masih belum dijawab ya atau tidak. Apa Kia sudah menerima lamaran orang itu, ya?"

"Hah?" Doni terkejut. Dia tidak menyangka Kia sepopuler itu, sampai-sampai sudah dilamar oleh dua pria. Semuanya digantungkan, pula. Doni memutar otak, ikut gelisah seperti sang bos. Sampai akhirnya sebuah pikiran merasuki otaknya. "Tapi Pak Bos, kalau Mbak Kia menerima lamaran cowok itu, masa masih mau pacaran sama Pak Bos?"

Mendengar itu, Bram tertegun. Doni ada benarnya juga.

"Oh, apa malah sebenarnya Mbak Kia dijodohkan?" Doni melanjutkan. "Jadi, sebelum nikah sama cowok itu, Mbak Kia menghabiskan masa lajangnya sama Pak Bos."

"Asem!" umpat Bram seraya mengejar Doni yang sudah kabur duluan, meninggalkan dirinya yang bersungut kesal.


*


Beberapa hari setelah itu, Bram menerima pesan dari Kia bahwa tugas pertamanya adalah meliput beberapa desa wisata di kampung halamannya sendiri, Jogja. Kia bilang dia juga akan sekalian pulang ke rumahnya di sana. Bram bisa turut merasakan kebahagiaan Kia yang akhirnya bisa pulang, meskipun sebetulnya dalam rangka bekerja. Dirinya sendiri pun lega karena sang kekasih masih tetap mau menerima telepon darinya, kadang balik meneleponnya, atau saling mengontak lewat pesan.

Hanya saja, Kia sama sekali tidak membahas lamarannya. Bukan berarti Bram tidak pernah mencoba untuk menyinggung hal itu, namun Kia selalu punya cara untuk mengalihkan pembicaraan.

Misalnya:

"Kia... soal yang waktu itu—"

"Oh iya, Mas. Mas Bram pernah ke festival jazz, nggak?"

"...Belum. Saya nggak terlalu suka jazz."

"Oh, sukanya apa?"

"Rock alternatif. Emmm, Kia—"

"Oooh, rock alternatif? Saya juga suka, Mas. Percaya apa enggak, saya ini seleranya musik-musik yang seangkatan sama Mas Bram, lho."

Pernah juga seperti ini:

"Apa kamu... sudah memutuskan—"

"Oh iya, Mas. Mas Bram kan pernah di Jakarta. Tahu warung ketoprak yang enak, nggak?"

"...Ketoprak? Emm... dekat kos saya dulu ada yang enak. Saya langganan di situ dulu."

"Oh ya? Ya udah nanti saya cari."

"Baiklah. Lalu gimana dengan—"

"Kalau... soto betawi?"

Pada intinya, Kia seakan tahu bagaimana caranya membuat Bram jadi tidak minat lagi untuk menanyakan tentang jawaban atas lamarannya itu. Namun, sampai saat ini Bram masih bisa bersabar jika Kia sudah 'kumat' seperti itu. Semoga saja batas kesabarannya itu masih jauh.

Maka dibalasnya pesan Kia dengan hati-hati di jalan, salam untuk Bunda. Tak lupa membubuhi pesan tersebut dengan emoji senyuman. Tak perlu tanyakan apakah dia benar-benar tersenyum saat mengirimkan pesan itu.

Kia tidak pernah bilang, namun Bram punya firasat sendiri jika sang kekasih sudah bercerita tentang dirinya kepada sang bunda. Beberapa kali Kia memberikan petunjuk yang mengarah ke sana. Misalnya, Kia pernah berkata, "Mas, Bunda tanya, gunung paling aman buat didaki nenek-nenek, kira-kira gunung apa, ya? Eh ini bukan tebak-tebakan lho, tapi tanya beneran!" serta "Bunda bilang, kalau Mas Bram ke Jogja lagi kapan-kapan, mampir ke rumah aja. Nanti dimasakin gudeg yang nggak manis!" seperti itu.

Kemudian Bram teringat bahwa dirinya belum menceritakan apapun tentang Kia kepada orang tuanya. Saat ini dia sudah berada di rumahnya setelah seharian berada di cabang pusat kota. Orang tuanya belum tidur. Mungkin masih bercengkerama di beranda, menikmati senyap malam dengan susu hangat.

Entah dari mana keberanian itu berasal. Bram hanya yakin bahwa Kia adalah yang terbaik bagi dirinya. Maka ditemuinya kedua orang tuanya yang sudah sepuh itu, yang jelas terheran-heran anak sulungnya tiba-tiba datang dengan raut wajah serius.

"Piye, le?" tanya ibunya.

Bram duduk di kursi dekat tempat duduk ibunya. Tidak ada gugup. Hanya ada kepercayaan diri. Dia menatap kedua orang tuanya yang seperti sedang menunggu kata-kata keluar dari mulut anak mereka.

"Pak, Bu," Bram memulai, "saya sudah menemukan orang yang tepat untuk menjadi istri saya."


*


Jogja, November 2017, malam hari


"Wah, ada anak Jakarta nih!" celetuk Fay begitu Kia masuk ke ruang tengah. "Mana oleh-olehnya?"

Kia manyun. "Orang baru selesai kerja kok yang ditanyain oleh-olehnya. Tanya kek, gimana tadi ngeliputnya? Menyenangkan? Gitu kan juga bisa," sungutnya kesal.

Yudha, suami Fay, tertawa melihat interaksi kakak beradik itu. Andaikan Dirga ada di sini, mungkin suasana akan lebih ramai.

"Dih, itu mah basa-basi busuk!" seloroh Fay. "Emang tadi ngeliput di mana?"

"Di Brayut," jawab Kia.

"Oh, yang sering dipakai buat acara festival musik jazz itu?"

Kia mengangguk.

"Selain Brayut, mana lagi?"

"Ini kan sebentar lagi di Kledokan ada Ngayogjazz, sekalian ke sana juga sih. Bakalan ke Sidoakur juga. Pada intinya ini liputan tentang desa-desa yang pernah dipakai untuk Ngayogjazz. Bukan ngeliput acaranya, tapi desanya. Buat alternatif liburan ke Jogja kalau objek wisata baru di Jogja ramai," jelas Kia.

"Bakalan lama dong di sini?"

Kia melirik tajam. "Nggak seneng nih, adiknya pulang lama?"

Fay terbahak, Yudha juga ikut tertawa. "Seneng, kok. Seneng banget. Udah makan?" tanya Fay.

"Hari ini mbakmu masak enak, lho," tambah Yudha dengan cengiran. "Masak steamboat."

"Steamboat? Tuh, kebukti kan kalau Mbak Fay kangen sama Kia, sampai masak yang enak-enak segala. Kia tahu Kia ngangenin!"

Fay manyun. "Orang Mbak masaknya buat Yudha, kok. Tapi kalau kamu mau makan, makan aja. Selain kamu, semuanya sudah makan. Bunda malah udah tidur."

Kia mengangguk dengan girang. Sementara Yudha pamit tidur, Fay mengikuti Kia untuk menemani adik bungsunya itu makan sekaligus menghangatkan masakannya, karena Kia selalu suka jika makanannya masih dalam keadaan panas. Selagi menunggu makanan itu mendidih, mereka mengobrol. Kebanyakan mengenai pekerjaan baru Kia dan perkembangan Sera, anak Fay dan Yudha yang ternyata sudah mampu melakukan banyak hal tanpa Kia sadari.

Begitu steamboat itu panas, Kia tidak membuang waktu untuk melahapnya. Tentu dengan tiupan agar panasnya tidak menyakiti rongga mulutnya. Tak lupa nasi di mangkuk yang berbeda, karena dirinya tidak suka nasi dan kuah digabung. Fay paham benar itu.

Fay tersenyum penuh arti sebelum berkata, "Kata Bunda kamu punya pacar? Dilamar juga?"

Untung saja Kia tidak sampai tersedak, meskipun dapat merasakan pipinya memanas, yang bukan berasal dari steamboat yang sedang dimakannya. Dia hanya menggumam, namun cukup bagi Fay sebagai sebuah konfirmasi.

"Rei gimana?" Fay bertanya lagi.

Kia mengangkat bahu. "Kia sudah menolak. Nggak tahu kalau dia masih belum nyerah," jawabnya setelah menelan bakso ikan.

"Kalau yang ini memenuhi kriteria?"

"Hmm... bisa dibilang begitu, sih. Lebih cocok sama yang ini. Mbak Fay mungkin lebih paham soal ini daripada Kia."

Fay tertawa. "Sama Yudha? Awalnya kan kami lebih banyak diamnya, karena masih bingung mau ngobrolin apa. Padahal sebelum nikah udah sering ngobrol via WA dan telepon juga. Entah kenapa kok malah jadi awkward begitu. Tapi gara-gara dia nonton stand up comedy di TV, yang bikin Mbak Fay ketawa heboh, cairlah bekunya kami."

Mata Kia melebar. "Stand up comedy?"

"Iya. Aneh, ya? Tapi sejak saat itu ya kami bisa ngobrol leluasa lagi kayak sebelum nikah," kata Fay. "Ngomong-ngomong... pacar kamu ini katanya orang Semarang?"

Kia mengangguk sambil mengunyah, sementara Fay tersenyum dengan mata menerawang. Kia yang menyadari itu pun bertanya, "Kenapa, Mbak?"

Tawa kecil keluar dari mulut Fay. "Nggak, sih. Cuma nggak nyangka aja, adikku yang bungsu ini sudah dilamar dua pria, dan sudah menambatkan hati pada salah satunya. Terus, kenapa ragu?"

"Aku baru mulai kerja, Mbak. Isi kontrak kerjanya juga nggak boleh nikah dalam kurun waktu setahun."

"Kasihan pacarmu dong, harus menunggu. Asal jangan sampai dia bosan menunggu lalu cari yang lain, lho. Apalagi kalian LDR-an begini."

Kia berdecak. "Jangan nakut-nakutin!"

Fay terkikik. Kemudian dia menopang dagunya, menatap Kia. Sekali lagi matanya menerawang. "Semarang, ya..."

Sang putri bungsu hanya mengangguk seraya melanjutkan acara makan malamnya.


***

Seguir leyendo

También te gustarán

21.8K 1.8K 41
TAMAT Berlanjut ke Season 2 *** Nawasena Tara, usia 37 tahun dan pecinta warna abu. Pria berwajah tampan maskulin dengan tubuh atletis dan karir sert...
136K 20.4K 56
Spin off Hi, Little Captain! Rumah tangganya hancur akibat orang ketiga, membuat Ahsan rela meninggalkan kariernya di ibu kota dan memilih tinggal di...
4.6K 330 31
Keputusan Drew (dibaca Dru) yang rela bolos kuliah demi menolong seorang ibu tua yang hampir kena jambret di jalan ternyata membawanya pada sebuah ta...
153K 6.8K 21
Setelah yakin dan meyakini kedua orangtua Amira bahwa Bastian serius, serius untuk menikahi seorang Amira, saat itulah terjadi pernikahan diantara me...