Glass Bead

Khadevrisaba tarafından

917 96 8

Azeral Gilang Fahmi Prastyo memiliki satu rahasia kecil dalam hidupnya. Rahasia itu bukanlah suatu aib bagi c... Daha Fazla

1. Tabrakan
2. Gadis Berseragam Aneh
3. Susu Kotak Rasa Coklat
4. Menemani Pulang
5. Rantai Putus
6. Devil
7. Syarat
8. Khawatir
9. Ditolak? What The Hell???
10. Mulai Menerima
11. Hah! Yang Benar Saja!
12. Perkelahian
13. Bertemu Kak Arini
15. Tumbuh Secara Perlahan
Bukan Update!!!
16. Definisi Suka
17. Party Time
18. Bertemu Kak Bagas
Hasil Ngepoin Si Vanya
19. Pertemuan Pertama
20. Surat dari Neraka
21. Berubah Pikiran
22. Muka Lo Merah
23. Stuck In The Moment
24. Masuk Kandang Singa
25. Awal dari Mimpi Buruk Nomor Dua
26. Rahasia Gilang
27. Sakit
28. Remaja 18 Tahun
29. Kejutan
30. Universitas Cambridge
31. Penyelesaian
32. Penyelesaian II
33. Penyelesaian III

14. Melawan Rasa Takut

30 2 0
Khadevrisaba tarafından

BAB EMPAT BELAS

Karena rasa takut itu seharusnya dilawan, bukan dibiarkan.

Seberapapun Gilang mencoba mengenyahkan kemarahan di hatinya, tapi cowok itu selalu dan selalu saja gagal. Gilang tidak menyangka kalau masalah Vanya dengan Thommas ternyata sangat rumit. Thommas seakan terobsesi dengan Vanya. Dan itu berhasil mengganggu ketenangan Gilang sejak kejadian sore tadi.

Gilang menatap jam pada layar ponselnya. Pukul setengah dua belas malam. Cowok itu belum juga bisa memejamkan mata. Ada banyak sekali pertanyaan yang bercokol di dalam kepalanya. Dan pertanyaan terbesarnya saat ini adalah… kenapa ia harus mengkhawatirkan Vanya? Kenapa ia harus peduli dengan gadis itu? Gilang merasa bahwa ia sudah masuk terlalu jauh di kehidupan Vanya. Tapi anehnya, ia merasa nyaman dengan keadaan seperti ini.

Pada akhirnya setelah berdebat dengan pemikirannya sendiri, cowok itu tertidur hampir pukul dua dini hari.

Keesokan paginya, Gilang sudah berada di depan rumah Vanya pagi-pagi sekali. Entah kenapa cowok itu ingin sekali melihat Vanya.

“Lo… bawa mobil?” Vanya tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Ia bahkan mengabaikan wajah Gilang yang terlihat masih lebam itu.

Gilang menoleh lalu mengangguk.

“Kenapa? Lo nggak ada pikiran buat ngajakin gue berangkat bareng naik mobil lo kan?”

Gilang mengendikkan bahu, “Sayangnya gue emang lagi kepikiran begitu sih.”

“Lo bercanda?” Vanya tertawa hambar lalu memasang ekspresi datarnya, “Lo tau kan kalo gue nggak bisa naik mobil berdua doang? Ini masih pagi, dan jangan bikin masalah sama gue.”

“Sudah saatnya lo melawan rasa takut lo, Vanya.” Gilang berjalan menuju pintu mobil penumpang lalu membukanya. Cowok itu menoleh ke arah Vanya, memberi kode agar gadis tersebut masuk.

Tapi Vanya langsung menggeleng keras-keras,  “Nggak, nggak bisa. Gue nggak bisa.”

Gilang menghembuskan napas panjang. Yah tentu saja, ini tidak semudah membujuk anak SD supaya mau mengerjakan PR. Gilang sudah menduganya semalam.

Cowok itu lantas berjalan ke arah Vanya dan menggandeng tangan gadis tersebut supaya mengikutinya masuk ke dalam mobil. Tapi Vanya dengan keras menyentak pergelangan tangannya, melepaskan genggaman itu lalu mundur perlahan dengan ekspresi panik.

Please Gilang, gue mohon jangan paksa gue.” Ia menggeleng cepat.

“Sorry, tapi ini demi kebaikan lo.” Gilang kembali meraih pergelangan tangan Vanya dan mulai menarik gadis itu untuk megikutinya. Vanya memberontak tapi kali ini ia tidak bisa melepaskan diri. Dengan cepat Gilang mendudukkan Vanya di kursi penumpang. Ia memutar tubuh hendak duduk di kursi pengemudi tapi langkahnya terhenti saat menyadari Vanya sudah kembali keluar dari mobilnya.

Cowok itu mendengus lalu membuka pintu mobil pengemudi. Setelahnya Gilang kembali menghampiri Vanya yang sudah berdiri di teras rumah seperti posisi semula lalu tanpa ba bi bu langsung menggendong gadis itu dan ia dudukkan di kursi kemudi.

Please please please. Jangan kayak gini. Gue mohon. Gue nggak bisa.” Gadis itu mulai menangis. Tiba-tiba cuplikan adegan masa lalu langsung merayap dan memenuhi ingatannya. Vanya semakin histeris dan meracau tidak jelas. “Jangan! Gue mohon jangan! Ampun. Please jangan sakitin gue! Gue mohon. Gue—“

“Hey, ini gue. Gue bukan orang lain. Ini gue, Vanya. Gilang. Sadar!” Gilang mengguncangkan bahu gadis itu. Tapi sepertinya usahanya tidak berhasil karena Vanya masih saja meracau.

“Gue yang salah. Jangan sakitin gue. Gue mohon. Jangan—“ dan detik selanjutnya racauan Vanya terhenti karena Gilang memeluknya.

“Sssht. Ini gue. Gue nggak akan nyakitin lo.” Suara lembut Gilang menyadarkan Vanya.

Gadis itu mengerjap sambil terdiam cukup lama. Lalu beberapa saat kemudian ia kembali terisak sambil menyebut nama Gilang berkali-kali.

“Iya. Ini gue, Gilang. Dan gue nggak akan nyakitin lo. Jangan nangis lagi.”

“Gue takut.”

“Nggak apa-apa. Gue akan selalu ada buat lindungin lo. Jangan takut.”

Vanya hanya diam sambil mengangguk.

Gilang menghembuskan napas lega. Tangannya terjulur mengusap rambut Vanya lembut, berusaha memberi ketenangan pada gadis itu. Ia merasa seperti hatinya disayat-sayat dengan benda tajam. Gilang merasa sakit saat memeluk gadis itu. Gadis yang ada di pelukannya ini sungguh memiliki trauma yang cukup berat.

Gue bersumpah, gue bakal lindungi lo gimanapun caranya.

Setelah beberapa saat, Gilang melepaskan pelukannya. Tanpa sadar tangannya mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Vanya.

“Sekarang lo pindah tempat duduk. Kita berangkat.”

Vanya langsung mendongak, “Kita berangkat sekolah naik sepeda aja ya.” Pintanya memelas.

Gilang menggeleng, “Sekarang pindah.”

“Nggak mau.”

“Lo nggak mau pindah?”

Vanya menggeleng.

“Oke, berarti lo duduk di sini aja. Gue pangku.”

Secepat kilat gadis itu langsung menggeser duduknya di kursi penumpang.

Gilang hanya terkekeh melihat tingkah Vanya. Cowok itu lalu duduk di kursi dan menutup pintu. Ia menoleh menatap Vanya yang diam sambil meremas ujung roknya.

“Sabuk pengamannya dipake.”

Vanya mengangguk cepat lalu segera memakai sabuk pengaman. Gadis itu segera memejamkan mata rapat-rapat sambil meremas kuat sabuk pengaman itu di perutnya. “Cepetan jalanin mobilnya.”

Gilang hanya tersenyum dan mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju sekolah.
Tepat saat mobil itu berhenti di tempat parkir, Vanya langsung membuka mata dan segera turun dari mobil bahkan sebelum Gilang mematikan mesin mobil tersebut.

Gadis itu akhirnya bisa bernapas lega setelah hampir sepuluh menit lebih harus berada dalam situasi yang menegangkan (menurutnya).

Gilang mengulurkan sekotak susu rasa coklat dan langsung diterima Vanya begitu saja. Memang beberapa hari ini Vanya sudah tidak pernah menolak lagi dengan pemberian susu dari Gilang. Akhir-akhir ini ia juga merasa semakin dekat dengan cowok itu. Bahkan Vanya merasa baik-baik saja ketika melakukan kontak fisik dengan cowok yang sedang berdiri di depannya ini. Atau malah ia merasa menikmatinya? Astaga!

Kalau diingat-ingat lagi, ia sudah beberapa kali menangis di pelukan Gilang, saling berpegangan tangan, bahkan tadi pagi saja Gilang juga mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Ya ampun, kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Vanya sontak menggeleng-gelengkan kepala.

“Lo nggak apa-apa?”

Vanya tersentak mendengar suara Gilang. Gadis itu mendongak lalu menggeleng cepat. “Nggak apa-apa.” Jawabnya kemudian menyerahkan kemasan susu kotak yang sudah habis ke tangan Gilang. Vanya lantas berbalik, meninggalkan cowok itu menuju kelasnya.

Melihat itu, Gilang hanya tersenyum kecil sambil memandangi kemasan susu kotak yang ada di genggaman tangannya. Gadis itu terlihat menggemaskan. Gilang melotot menyadari pemikiran konyolnya. Cowok itu segera melangkah mengikuti Vanya di belakang menuju kelas, mengabaikan tatapan para murid yang melihatnya aneh. Tentu saja ini semua karena luka yang menghiasi wajah gantengnya itu.

Sampai di kelas, Andre yang melihat kondisi wajah Gilang langsung memekik heboh. Berbagai macam pertanyaan langsung keluar dari mulut bak tukang sayur menjajakan belanjaannya di komplek depan rumahnya.

“Nggak nyangka gue, ternyata lo bisa jadi anak nakal juga ya, Lang. gue kira kerjaan lo cuma belajar doang.” Andre berdecak sambil melihat lebam di wajah Gilang dengan ekspresi kagum.

Gilang yang mendengar itu hanya mendengus, malas menanggapi.

“Eh, tapi bukan Vanya kan yang mukul lo?”

Vanya yang mendengar namanya disebut hanya memutar bola mata.

“Van, bukan lo kan yang bikin wajah pacar lo jadi kek gitu? Kalian nggak lagi berantem kan?”

Vanya melotot mendengar pertanyaan ajaib Andre. Gadis itu membalikkan tubuhnya menghadap meja Andre, “Gua nggak pacaran sama Gilang.”

Nah, sekarang malah gantian Andre yang melotot kepada Vanya, “Lo habis nangis, Van?  Mata lo bengkak itu. Lo kenapa?”

“Gara-gara temen lo tuh.” Jawab Vanya ketus sambil melirik Gilang sekilas lalu kembali mengkadap ke depan.

“Aduh! Kayaknya gue ketinggalan banyak deh ini. Lang, cerita dong.”

Gilang memejamkan matanya. Sebelum ia berbicara, tiba-tiba suara melengking dari ambang pintu terdengar.

“Andreeeeeeeee, lo yang nyolong buku Biologi gue kemarin ya? Gilak, kok nggak dibalikin sih. Wah nggak tau diri banget lo jadi orang! Jangan bilang kalo hari ini lo nggak bawa tuh buku!” Tania berjalan menuju bangku Andre sambil menghentakkan kakinya.

Andre hanya meringis sambil mengusap tengkuknya grogi. “Santai dong, Tan. Nggak usah teriak-teriak gitu kenapa sih. Suara lo udah ngalahin toa masjid tau nggak. Bentar gue ambilin dulu elah.” Andre mengobrak-abrik isi tasnya kemudian meringis pelan saat menyadari kalau buku Tania memang ketinggalan di rumah. Matilah dia.

“Kenapa muka lo pucet gitu? Mana buku gue?” suara Tania mendesis sambil berkacak pinggang.

“Buku lo aman kok, Tan. Aman di rumah gue.” Cicit Andre takut.

Tania melotot, “Lo tuh ya…. Lo tau kan kalo hari ini ada jamnya Biologi. Kenapa bisa sampe lupa sih. Ya ampun. Kok bisa-bisanya ada manusia kayak lo. Terus nasib gue gimana nih? Bisa mati gue ntar diomelin sama Bu Isti.”

“Udah Tan, percuma juga lo teriak-teriak kayak gitu. Endingnya buku lo tetep gak bakalan bisa terbang ke sini sendiri. Jadi mending duduk aja yang manis. Lagian Bu Isti orangnya asyik kok. Nggak bakal diomelin sama beliau. Sini duduk sini.” Vanya menarik pelan tangan Nadia supaya duduk di bangkunya.

“Thanks ya, Van. Lo baik banget deh. Sebagai imbalan, ntar pas istirahat gue traktir bakso di kantin. Tapi minumnya bayar sendiri. Sekali lagi gue makasih banget udah lo tolongin dari amukan kucing garong-“

“Diem lo.” Bentak Tania kesal.

Vanya yang menyaksikan pertengkaran antara Tania dan Andre hanya meringis pelan. Ekor matanya bisa meihat Gilang yang sedang memperhatikannya dalam diam. Segera Vanya mengambil Ponsel dari dalam tas dan mengetik pesan kepada Gilang.

Zhevanya_Anastasya
Nanti istirahat kedua gue pengen ngomong sama lo di atap sekolah.

Ia melihat Gilang membuka ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu.

Az_Gilang
Ok.

Vanya tidak membalas pesan itu karena bertepatan dengan guru pelajaran pertama memasuki kelas.
***

Alhamdulillah. Sekedar curhat dikit, beberap hari ini authornya kena amnesia ringan. Dia lupa kalo punya tanggungan ngelanjutin nih cerita.

Salam,
Khadevrisaba penulis kemaren sore yang habis ditolak sama perusahaan karena tinggi badan yang kurang memadai.
.
.
.
.
Ingin kuberkata kasaaaaarrrrrr sarrr sarrr..

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

4.9M 388K 37
[DIMOHON BUAT READER'S SEBELUM BACA CERITA INI UNTUK TAHU KALAU INI MENCERITAKAN TENTANG TRANSMIGRASI YANG CUKUP KLISE. JADI JIKA ADA KALIMAT YANG SA...
1.3M 115K 44
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...
1.7M 62.3K 28
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
487K 53.1K 23
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...