.
.
Orang-orang saleh itu, punya tingkat kesadaran yang sangat tinggi tentang kematian.
Hingga di setiap tarikan napas mereka, mereka selalu dalam keraguan, apakah mereka akan sanggup menarik satu napas lagi setelahnya?
.
.
***
Sejak tadi Yunan diam saja di dalam mobil. Fahan melirik sekejap ke arahnya. "Yunan, kamu mau denger radio atau musik apa gitu?" tanya Farhan. Mereka baru saja pulang dari kunjungan ke rumah lama Yunan. Persis sebelum berpamitan, Farhan mengamati Yunan yang nampak berat hati meninggalkan Arisa.
Yunan yang tadinya sedang melihat ke jalanan, menolehkan wajahnya. "Oh? Musik? Maksudnya, kayak qasidah atau selawat?"
Farhan agak kaget mendengar tebakan itu. Dia segera menyadari pertanyaan yang diajukannya adalah pertanyaan bodoh. Bagaimana dia bisa lupa kalau Yunan sejak kecil tidak pernah mendengar radio dan menonton televisi ? Bahkan di rumah barunya pun, Yunan lebih memilih mengunci diri di kamar ketimbang nonton televisi.
"Eh ... hmm. Enggak juga, sih. Agak ... beda. Eh beda banget, ding. Hihi," jawab Farhan gagal menahan rasa geli setelah mendengar respon Yunan. Betapa anak angkatnya ini SANGAT polos. Jika diibaratkan dengan kertas, Yunan adalah sebuah kertas putih kosong yang masih tersegel dan belum pernah ditorehkan coretan apapun.
"Dulu di masjid, suka nyanyi qasidah sih, bareng temen-temenku. Diajarin pak ustaz," jelas Yunan.
Farhan tersenyum. "Ntar deh ayah cari lagu qasidah sama selawat, ya. Sekarang, dari pada sepi banget, kita ngobrol aja yuk."
"Boleh, Yah. Mau ngobrol apa? Terserah ayah aja."
"Kalo gitu, ayah boleh nanya gak?"
Yunan mengangguk tanda setuju.
"Temenmu yang namanya Arisa itu, dia keliatannya spesial buat kamu ya?"
Mata Yunan melotot dan segera salah tingkah karena pertanyaan itu. "Emm ... spesial itu maksudnya gimana Yah?"
"Yaa maksudnya spesial itu, beda dari yang lain."
"Ehm ... ya dia memang beda sih, Yah. Soalnya, dia satu-satunya temenku yang perempuan. Lainnya laki-laki semua."
"Ooh," sahut Farhan. Sunyi sesaat, sebelum Farhan melanjutkan pertanyaannya. "Cuma itu aja? Yakin nggak ada alasan lainnya?"
Wajah Yunan merah padam karena malu. "Ayah, apaan sih? Aku gak ngerti maksud Ayah apa."
Farhan tergelak. "HA HA!! Gak ngerti, tapi kok mukamu malu-malu gitu??"
Yunan membuang muka ke arah jalanan. Penasaran, memangnya seperti apa ekspresinya sekarang? Tapi dia terlalu malu untuk bercermin di kaca spion.
Tawa Farhan reda. "Yunan Yunan. Kamu masih kecil. Hidupmu masih panjang, Yunan."
Kalimat itu membuat Yunan terdiam menundukkan wajahnya. "Dulu almarhumah Ibuku selalu mengingatkanku akan kematian," kata Yunan tiba-tiba.
Farhan melirik sesaat ke sampingnya, dan dilihatnya anak angkatnya itu memasang raut wajah serius. "Kematian?" sahut Farhan.
Yunan mengangguk. "Iya. Ada sebuah kitab yang pernah dikisahkan Ibuku. Kitab itu berisi kisah-kisah para sholihin. Orang-orang saleh di masa lalu. Apa yang dikisahkan Ibu dari kitab itu, sangat berkesan buatku.
Ibu bilang, orang-orang saleh itu, punya tingkat kesadaran yang sangat tinggi tentang kematian. Hingga di setiap tarikan napas mereka, mereka selalu dalam keraguan, apakah mereka akan sanggup menarik satu napas lagi setelahnya?"
Farhan menatap Yunan lebih lama. Anak itu kini tersenyum padanya.
"Ibu bilang, itu sebabnya mereka tidak pernah lepas dari zikir. Di setiap tarikan napas mereka. Mereka begitu takut, kalau-kalau saat nyawa mereka dicabut, mereka sedang dalam keadaan lalai dari mengingat Allah."
Farhan merasa, hening terasa berbeda kali ini. Hening yang disertai perenungan.
"Ada salah satu kisah di dalam kitab itu. Rabi' bin Khaitsam. Dia menggali liang kubur di dalam rumahnya. Setiap hari, beberapa kali dia masuk ke dalamnya. Katanya, 'Andaikan ingat akan kematian' terlepas dari hatiku sesaat saja, tentu rusaklah hati ini'."
Farhan mengamati, tatapan mata Yunan nampak tenang saat menceritakannya. Tentunya ini bukan cerita pengantar tidur yang biasanya didongengkan Ibu pada anaknya.
Itu kah yang diajarkan orang tuanya sejak dia kecil? Subhanallah, batin Farhan.
"Ibu bilang, dunia penuh dengan ketidakpastian. Kecuali kematian. Kematian pasti mendatangi semua makhluk. Tidak peduli bayi, anak-anak, remaja, dewasa. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan datang. Jadi, kita tidak tahu apa hidupku masih panjang atau tidak."
Yunan tersenyum lembut pada Farhan. Dia kembali menatap ke kaca depan mobil. Matanya terpaku pada sebuah gerbang di depan mereka, berjarak kira-kira seratus meter. Di tengah gerbang, terdapat plank petunjuk arah jalan dengan latar berwarna hijau tua. Jari telunjuk Yunan tiba-tiba menunjuk ke arah marka jalan itu. Farhan refleks mengikuti arah jarinya.
"Seandainya orang-orang saleh itu hidup di zaman sekarang, dan mereka duduk di kursi kita. Mereka mungkin tidak yakin, apakah mereka masih tetap hidup saat sampai di bawah gerbang itu," kata Yunan.
Farhan mengamati gerbang petunjuk jalan di depan mereka, yang semakin lama semakin dekat jaraknya. Dengan kecepatan mobilnya sekarang, kemungkinan dalam lima detik mereka akan sampai di gerbang itu. Mereka berdua sama-sama diam. Hingga yang terdengar hanya suara mesin dan putaran roda.
Di bawah sadar, Farhan menghitung mundur. Lima ... empat ... tiga ... dua ...
Gerbang itu sudah persis di depan mereka. Satu ...
WUZZHH!!
Mobil mereka baru saja melewati gerbang. Farhan mengembuskan napas yang ternyata tanpa sadar sedari tadi ditahannya.
Sementara Yunan tersenyum santai. "Alhamdulillah. Kita masi hidup ya, Yah. Kalo kata ustazku, itu artinya kita masih dikasih kesempatan untuk membersihkan hati."
Farhan berusaha tersenyum walau masih agak sulit. "O-oh iya benar. Alhamdulillah," ucap Farhan gugup. Dalam tegangnya otot wajahnya, dia menelan ludah.
YA ALLAH! APA ANAK ANGKATKU ADALAH SEORANG SUFI??
.
.
Makan malam baru saja usai. Seperti biasanya, Yunan segera membereskan piring kotor, bahkan tanpa diminta.
"Assalamualaikuum! Yuuuunaaann!!" Suara anak perempuan itu terdengar nyaring dari luar pagar. Mereka bertiga menoleh ke arah pintu. Yunan, Farhan dan Erika.
Erika segera mengambil alih piring yang sedang ditumpuk Yunan. "Tuh, ada temenmu di luar. Biar Ibu aja yang cuci piring. Kamu keluar aja. Kasian temenmu nungguin."
Yunan merasa tidak enak pada Erika. "Aku keluar dulu ya, Bu. Nanti biar aku yang cuci piring, Bu."
Erika tersenyum penuh arti. Dia mencengkeram bahu Yunan dan memutar tubuhnya hingga membelakanginya. Tangannya mendorong punggung Yunan pelan. "Udaahh sana keluar temuin temenmu. Gak usah pikirin cucian."
"I-iya, Bu. Aku keluar dulu." Yunan keluar melalui pintu depan dan menutup kembali pintu itu.
Erika memindahkan piring kotor ke sink dapur, dan mulai mencuci. Setelah mencuci sebagian, Erika mematikan keran air dan melirik suaminya yang sedang duduk termenung di kursi. Matanya menerawang ke atas meja makan.
"Farhan?" panggil Erika.
Yang dipanggil masih diam. Erika agak mengeraskan suaranya. "FARHAN!!"
Mata Farhan melebar, seolah baru terbangun dari mimpi. "Eh?"
Erika sedang menatapnya heran. "Ngapain? Kok bengong?? Ntar kesambet, lho! Hii ... amit-amit!"
Farhan tersenyum geli. "Enggak. Gak bengong. Cuma lagi mikir aja."
"Mikir apa, sih? Ekspresi mukamu itu lho. Udah kayak presiden lagi pusing mikirin demo rakyat aja."
Komentar itu disambut tawa oleh Farhan. Ini salah satu yang disukainya dari istrinya. Erika memang punya selera humor yang lebih baik darinya. Sementara dia sendiri, memang cenderung lebih serius.
Percakapan mereka terpotong oleh suara pintu depan yang terbuka. Yunan memasuki ruang depan dengan menggenggam sebuah buku di tangannya.
Farhan menyandarkan punggungnya ke kursi dan tersenyum ke arah Yunan. "Siapa temenmu yang datang malam-malam begini?"
Rasa bersalah segera nampak di wajah Yunan. "Iya maaf ya, Yah. Lain kali aku akan bilang sama temenku untuk jangan bertamu malam-malam."
Farhan segera menegakkan posisi duduknya. "Bukan! Bukan gitu maksud Ayah, Yunan. Boleh kok temenmu datang malam-malam. Toh kita belum tidur."
Erika memberinya kode peringatan ke suaminya dengan meninggikan sebelah alisnya. Rasa bersalah itu kini menular ke Farhan. Dia lupa kalau Yunan anak yang sangat santun.
Farhan berdiri menghampiri Yunan dan merangkul pundaknya. "Temenmu minjemin kamu buku? Buku apa?"
Yunan menghadapkan sampul buku itu hingga Farhan bisa membaca judul buku yang hurufnya berwarna putih, dengan latar warna buku berwarna ungu tua. "Buku Belajar Bahasa Arab tingkat Dasar, Yah. Ini punyaku. Linda yang pinjem. Barusan dia balikin ke aku, Yah."
Farhan nampak heran. Anak perempuan meminjam buku anak laki-laki, dan dikembalikan di malam hari?
"Ooh. Tadi lama juga kamu di luar, ya? Kalian ngobrol dulu?" tanya Farhan.
Yunan menjawab dengan wajah polosnya. "Iya, Yah. Dia ngajak aku ngobrol. Nanya kegiatanku di sekolah, trus ngajakin aku ke majelis bareng minggu depan. Tapi aku bilang aku sudah terlanjur janjian berangkat bareng Sony."
Farhan mengenali Sony sebagai salah satu teman di sekolah yang dekat dengan Yunan. Awalnya Yunan yang mengajaknya ke majelis tak jauh dari masjid di rumah mereka. Lalu lama-kelamaan, Sony jadi sering ikut pengajian bareng Yunan.
"Hmm," gumam Farhan berpikir. Dari cerita Yunan, Farhan merasa yakin 85% anak tetangga yang namanya Linda itu naksir Yunan. Trik meminjam buku itu modus lama. Rupanya masih berlaku di zaman sekarang. Farhan mengulum senyum. Membuat Yunan terheran-heran.
"Ada apa Yah?" tanya Yunan.
Dia mengelus kepala anaknya. "Gak apa-apa, Yunan. Kamu polos banget. Hi hi."
Alis Yunan berkerut, dari ekspresinya, seolah ada tanda tanya besar tertulis di wajahnya.
.
.
***