Mantan Suami - Tamat (HAPUS...

By deanakhmad

4M 215K 8.1K

PINDAH LAPAK KE KBM dan HINOVEL Delapan tahun berpisah, takdir kembali mengejek Eliya. Seolah-olah belum puas... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Lima Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Enam (revisi)
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Tiga Puluh
Say Hi ...
pemberitahuan
Bantu Aku Dong
Epilog

Empat Belas

76K 7.7K 104
By deanakhmad

Rania menyesap Cappucino pesannya yang masih mengepulkan asap. Duduk sendirian dalam cafe bukanlah pilihannya. Jujur saja ia membutuhkan kesendirian.

Ia hanya merasa penat.

Masalah kakak ipar dan abangnya Rajendra belum selesai, kini maminya pun ikut-ikutan menambahi masalahnya. Semakin keruh saja pikirannya.

Sekali lagi ia menyesap kopinya, merasakan rasa pahit yang menyapa lidah membuat Rania memeletkan indera perasanya.

"Udah tau nggak doyan kopi. Sok gaya-gayaan minum." Seloroh Rahman yang tiba-tiba duduk tepat di depan Rania.

Rania mendongak. Menatap langsung pada kelereng hitam Rahman.

Pria ini.

Ia tak merasa sedekat itu, hingga Rahman melontarkan ucapan yang terkesan sok kenal sok dekat.

Sebetulnya bukan sksd juga sih. Hanya saja ... Rania memang tak sedekat itu.

Pertemuan mereka bahkan bisa dihitung dengan jari.

Tapi ... ah, sudahlah. Tak ada salahnya jika bedekatan dengan sanak saudara. Meski tak ada hubungan darah secara langsung.

Pertemuan mereka tempo hari di rumah Eliya, sedikit banyak mengurangi kecanggungan yang berjarak diantara mereka. Ya, lumayan lah. Tak ada salahnya punya temen mengobrol.

"Sok tau deh, Mas Rahman." Rania memberengut, mencoba mengais rasa manis di indera pencecapnya.

"Kenapa nggak pesen cokelat aja? Udah tau pahit."

Rania sedikit terkejut dengan pertanyaan retoris Rahman. Tak menyangka, jika pria yang seumuran dengan Abangnya ini tahu kesukaannya. Ia hanya beberapa kali bertemu dalam keadaan berdua seperti ini.

Setahu Rania, ia bahkan tak pernah menunjukkan kesukaannya akan cokelat kepada Rahman. Jadi? Anggap saja pria ini sedang dalam mode sok tahu.

Rania mendengkus, seraya mengembalikan cangkir tersebut pada pasangannya. "Lagi pengen yang pahit, Mas."

"Cokelat lebih cocok buat kamu, Ran. Bisa balikin mood."

Lagi-lagi Rania mendengkus. "Siapa bilang moodku berantakan?"

Sedangkan laki-laki itu hanya mengendikkan bahunya, kemudian menyedot es kopinya lamat-lamat.

"Tumben sendirian?" tanya Rahman megembalikan gelasnya ke meja.

"Mas sendiri kenapa sendirian?" Rahman berdecak mendapatkan pertanyaan yang sama.

"Habis ketemu klien, males balik ke kantor."

"Mas gabung sama firma hukum mana?" Rania mencomot kentang gorengnya.

"Arie Edison." Jawab Rahman mengikuti jejak Rania mencomot kentang goreng berbentuk wedges dengan taburan bumbu keju di atasnya.

Rania hanya manggut-manggut, mencoba mengerti. Padahal ia sendiri tak paham hal-hal berbau hukum.

Rania asik mengunyah kentang gorengnya, hingga usapan lembut di ujung bibirnya menghentikan kegiatan yang ia kerjakan.

"Kamu tuh, jorok banget jadi cewek. Makan kok berantakan," celutuk Rahman yang menarik jempolnya, kemudian menghisap sisa mayonaise yang tertinggal di sana.

Rasanya jantung Rania anjlok ke dasar perut. Berkumpul bersama usus besar yang menyebabkan perutnya melilit.

Jangan lupakan kinerja jantungnya yang tiba-tiba berkejaran, seperti sedang lomba lari.

Ya Allah! Apa itu tadi?

Rania mendadak diam dan mengalihkan pandangannya keluar jendela cafe.

Mamiii! aku malu!

Wajahnya memanas, dan bisa dipastikan pipinya memerah. Rania bahkan tak bisa menyembunyikan wajah memerahnya.

Bahkan setengah jam berlalu tak ada obrolan yang menghiasi. Rahman yang asik dengan Ipadnya, sedangkan Rania sibuk menenangkan detak jantungnya dan mengurangi lilitan di perutnya.

"Aku antar pulang." Rania memalingkan wajahnya, menatap Rahman dengan horor.

"Aku-"

"Ayo, sekalian Mas mau mampir. Kangen Eliya sama Rayya." Potong Rahman yang sudah beranjak dari duduknya.

Rahman tanpa sadar menarik tangan Rania, menggenggamnya erat. Membawa Rania keluar cafe.

Yang tidak tahu adalah Rania tak bisa lagi menutupi debaran di dadanya yang begitu menggila hanya karena sentuhan fisik seperti ini.

Mami, Rania baper.

●◎●◎●◎●◎

Setelah memastikan keadaan Monik yang tengah tidur terlelap, dan kamar yang sudah bersih dari serpihan kaca yang berserakan. Rajenda memutuskan pergi dari sana menuju ruangan kerjanya--yang tadinya milik Jetro.

Tak banyak yang berubah. Rak buku tinggi masih tetap berada di sana, hanya bertambah jumlah buku yang tersusun di sana. Sebagian memang buku mengenai bisnis dan berkaitan tentang usaha textile yang sedang dirintis papinya.

Ada juga beberapa buku kuliahnya, Rania, juga Eliya.

Rajendra memasukkan tangannya ke dalam saku celana bahan berwarna dongker. Bersandar pada meja kerja lebar berlapiskan kaca tebal.

Sejauh mata memandang memang tak ada perubahan. Sofa panjang masih berada di sana. Berhadapan langsung dengan televisi layar datar yang dilengkapi dengan seperangkat DVD player dan sound system.

Juga karpet import yang masih saja halus, padahal sudah bertahun-tahun karpet bercorak abstrak berwarna merah maroon itu menghiasi lantai tersebut.

Rajendra menghela napasnya pelan. Menyugar rambut asal-asalan, membuatnya semakin berantakan.

Harinya sudah kusut. Ditambah dengan keadaan maminya, semakin menambah kekusutannya.

Tangan Rajendra yang mengapit sebatang nikotin terhenti di udara. Mata tajamnya berhenti pada sebuah buku yang tak biasa.

Buku berwarna merah muda, terselip diantar buku-buku kuliahnya. Jelas bukan milik Rajendra.

Tanpa membukanya pun Rajendra tahu pasti siapa pemilik buku ini.

Rajendra membuka cepat buku tersebut melalui ujungnya, yang hanya menampilkan ujung kosong dari setiap halaman.

Bedanya, halaman itu tak lagi kosong. Ada gambar yang menghiasi ujung halaman. Jika dibuka cepat menampilkan gambar yang bergerak.

Ada ilustrasi bergerak di ujungnya, gambar seorang cewek dengan cepolan tinggi di kepala. Seiring kecepatan buku yang dibuka, memperlihatkan gerakan gadis tersebut bergerak untuk mencium pipi seorang lelaki yang sedang menunduk.

Rajendra terkikik, melihat gambar tersebut. Pasalnya adegan di buku tersebut adalah reka ulang adegan Eliya sedang mencium dirinya, yang kala itu sedang ngambek.

Dan Rejendra sadar betul bahwa ialah tersangka utamanya yang mencoret-coret buku tersebut.

Meletakkan buku Eliya di meja, dan kembali menelusuri jejeran buku di depannya.

Masih banyak buku milik mantan istrinya, berjejalan diantar buku-buku lainnya.

Ingatkan ia untuk segera membuangnya, hingga jejak Eliya tak tersisa lagi di rumah dan hidupnya.

Sedangkan sisi hatinya yang lain menyangsikan keinginan Rajendra.

Memilih keluar ruangan dengan membawa sebungkus rokoknya, ia menuju balkon yang berada di lantai dua.

Ada sisa air hujan yang menempel di lantai, meski tak terlalu deras namun masih meninggalkan jejak mendung di langit sore. Mengaburkan cahaya oranye yang selalu ia lihat setiap senja menyapa.

Menyesapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Mencoba meresapi asap nikotin yang mampir ditenggorokannya.

"Jendraaa!" Teriakan Eliya serasa memekakkan telinganya.

Di daun pintu balkon, Eliya sudah berdiri dengan berkacak pinggang. Memasang wajah galak, yang justru terlihat lucu di mata Rajendra.

"Kamu itu. Berapa kali sih aku bilang buat nggak ngerokok? Tapi tetep aja ngeyel," Semprot Eliya yang langsung mengambil rokok tersebut, membuangnya ke lantai dan menginjaknya kuat.

"Kan nggak sering juga, El." Elak Rajendra memberengut.

"Kali ini kamu pake alasan apa lagi?" tanya Eliya bersendekap, menyandarkan tubuh kecilnya ke pagar.

"Penat, capek, pusing."

"Ck! Kalo itu, aku juga kali, Jen."

Rajendra meraih pinggang Eliya dan mendempetnya, tanpa bisa mengelak lagi.

Eliya pasrah, memilih mengalungkan tangan ke leher Rajendra. "Kamu tahu aku nggak suka ngeliatnya, kenapa masih nakal aja sih?"

Bukannya menjawab Rajendra menghujani wajah Eliya dengan kecupan bertubi-tubi, membuat pemiliknya terkikik geli.

"Mulut kamu bau rokok." Eliya mendaratkan cubitan kecil di perut Rajendra, membuat lelaki berstatus suaminya ini memekik keras. Berpura-pura kesakitan, justru membuat Eliya semakin gencar mencubitinya.

Tak ayal adegan lari-larian terjadi diantara mereka, meski itu hanyalah sebuah lelucon. Tapi cukup membuat Rajendra dan Eliya bahagia.

Rajendra meniupkan asap rokok yang keluar dari mulut dan hidungnya bersamaan.

Ia ke balkon ingin menghilangkan ingatan Eliya, tapi justru semakin memperparah saja.

Ia seakan terlempar pada memori beberapa tahun yang lalu. Bahkan kini bayangan Eliya tengah berkacak pinggang menghadangnya tepat di depan pintu teras lantai dua.

Sial!

Menyedotnya terakhir kali, Rajendra membuangnya ke lantai dan menginjaknya.

Kalau saja kenangannya bisa terhempas bersamaan dengan asap rokok yang akan nenghilang di udara, maka Rajendra memilih menyesap batangan nikotin itu.

Tapi sayangnya kenangan itu akan terus mengikutinya, tanpa mau berhenti meski ia berlari sekalipun.

●※●※●※●※●

Ngahahahahha, no edit ya, langsung up.

Sowry, kalo typo masih berserakan. Authornya jempolnya offside. 😂😂😂

Kuy lah di baca. hani1806 chamoe91 Jiyastri Yan_Sue akula9i AdeNurhaeni

Bangkalan, 16-09-2018
-Dean Akhmad-

Continue Reading

You'll Also Like

762K 6.8K 20
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
629K 59.2K 46
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
417K 2.5K 5
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
Cafuné By REDUYERM

General Fiction

123K 11.1K 36
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...