Mantan Suami - Tamat (HAPUS...

By deanakhmad

4M 215K 8.1K

PINDAH LAPAK KE KBM dan HINOVEL Delapan tahun berpisah, takdir kembali mengejek Eliya. Seolah-olah belum puas... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Enam (revisi)
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Tiga Puluh
Say Hi ...
pemberitahuan
Bantu Aku Dong
Epilog

Delapan

88.7K 9.3K 251
By deanakhmad

Typo bertebaran, harap maklum yes. Authornya langsung ngetik langsung publis. Tanpa edit naskah nih. Jadi ya ... gitu deh. Jangan sungkan kasih kritik saran dan yang lainnya.

______________
______________

Suara pintu tertutup, membuat Eliya melongokkan kepala melalui dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu.

Di sana ada Rania sedang bersandar di atas sofa, yang Eliya tahu pasti merasa kelelahan. Ia tahu jarak yang ditempuh Rania dari rumahnya  ke rumah sakit, begitu juga dari rumah sakit ke rumah keluarga Kusuma Negara. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup menguras tenaga.

Kebetulan, Eliya sedang membuat secangkir kopi. Dan cokelat hangat yang awalnya ia bikin untuk Rayya. Namun kemudian membawa ke depan dan meletakkannya di depan Rania. Harusnya sih cokelat panas, berhubung si pemilik aslinya sudah berangkat sekolah dan Eliya yang mengantarkannya. Jadilah cokelat panas itu berubah hangat.

"Mbak pikir kamu langsung berangkat kerja?" Eliya menyeruput kopi hitam.

Sudah jadi rutinitasnya, menyeruput kopi hitam setiap pagi hari.

"Enggak, Mbak. Pake baju begini mau berangkat kerja? Yang bener aja? Bisa-bisa turun pasaranku." Rania memperlihatkan sandal jepit merk swallow miliknya.

Eliya hanya tersenyum simpul, menanggapi gurauan Rania dan kembali menyesap cairan hitam pekat tersebut.

"Jadi ... semalem kamu cuma pake sandal?" Anggukkan kecil Rania mempertegasnya.

"Buru-buru, Mbak. Mana sempet keinget make sepatu. Untung-untungan masih inget make sendal jepit."

Iya, sih. Eliya tak menampik hal itu, jika dirinya berada diposisi Rania mungkin ia juga akan senasip dengan adik iparnya ini.

"Bang Jendra baik-baik aja, Mbak. Gak usah khawatir," tukas Rania yang bisa membaca kegelisahan Eliya, meskipun ia ta langsung mengutarakannya.

"Hmm ..." Eliya kembali menyesap kopinya.

"Aku mandi dulu, Mbak." Rania menyesap cokelat hangatnya yang hampir mendingin, lalu beranjak dari duduknya menuju kamarnya.

Eliya sendiri juga akan beranjak dari sofa, hingga ia mengurungkan niat karena ketukan pintu rumahnya.

Ini masih jam tujuh pagi. Siapa yang bertamu sepagi ini. Seingat Eliya, dirinya tak pernah memberitahukan alamat rumahnya pada siapapun. Kecuali pihak HRD tempatnya berkerja.

"Assalamualaikum ..."

Ah, mungkin salah satu teman Rania.

"Wa'alaikumsalam..."

Seorang pria dengan setelan jas tengah berdiri membelakangi Eliya. Membuat pemilik rumah menjadi bertanya-tanya.

"Maaf, siapa, ya?"

Lelaki tegap itu memutar badannya dengan menampilkan senyum lebarnya. Barulah Eliya menyadari siapa tamunya.

"Mas Rahman!" pekik Eliya yang langsung memeluk lelaki dengan senyum tersungging.

Lelaki yang bernama Rahman itu hanya memeluk tubuh kurus Eliya dengan erat. Menyalurkan sejuta kerinduan yang sudah menumpuk.

"Mas kangen sama kamu, El." bisik Rahman yang masih memeluk erat Eliya.

Ada tatapan penuh kerinduan yang terpancar jelas di mata Rahman.

"Siapa, Mbak El?"

Pertanyaan Rania yang serupa seruan itu, mengintrupsi pelukan Eliya dan Rahman. Membuat keduanya kini menatap keberadaan Rania yang berada di belakang Eliya.

"Masih inget mas Rahman, kan, Ran?"

Rania hanya menatap lekat ke arah pria yang ia taksir seumuran abangnya ini. Mencoba menggali ingatannya kembali.

Ah, Rania ingat. Lelaki inilah yang menjadi wali nikah Eliya dengan Rajendra dulu.

Sudah berapa tahun ia tak bertemu pria matang di depannya ini. Mungkin ada sekitar sepuluh tahun atau lebih.

Rania membisu melihat interaksi kedua orang di depannya yang kini sudah beralih duduk di sofa ruang tamu.

Rahman yang dulu, tak seperti sekarang.

Kalau dulu Rahman hanya seorang mahasiswa dengan modal pas-pasan. Kini pria itu menjelma sebagai lelaki parlente dengan setelan jas mahal, layaknya Rajendra.

Ternyata waktu bisa merubah siapapun, tak terkecuali pria ini.

Dari tatapan mata Rahman, jelas sekali terlihat kerinduan dan cinta yang teramat sangat untuk Eliya. Setidaknya itu yang Rania lihat.

Yang Rania tahu, lelaki bernama Rahman ini adalah kakak sepupu dari pihak ayah Eliya. Namun pancaran mata itu tak menunjukkan status saudara sepupu antara mereka. Atau hanya Rahman saja yang mampu.

Ah, sudah lah. Ngapain ngurusin hal beginian. Udah telat kerja juga.

Rania mengutuki pikiran buruk tentang lelaki itu, dan memilih berpamitan dengan Eliya dan Rahman.

Biar saja mereka mau ngapain, toh mereka sodaraan.
.
.
.
Rajendra menarik tuas perseneling, kemudian melepas seatbelt yang mengekang tubuh jangkungnya.

Atas keinginan maminya, Rajendra terpaksa mengantar dan menemani Sarma untuk berkunjung ke panti asuhan.

Sejujurnya ia tak keberatan berkunjung ke panti asuhan, hanya saja ... ia sedikit membatasi interaksi dengan Sarma. Meski ia tahu, bahwa ini salah satu trik maminya untuk mendekatkan mereka.

Rajendra sebenarnya enggan untuk mengiyakan usul Monik agar menikah lagi, apalagi dengan pilihan maminya itu.

Ia masih belum ingin memulai kehidupan rumah tangga lagi. Ia masih ... ah, sudahlah.

Rajendra mengekori langkah Sarma yang kini sudah menjauh memasuki rumah panti asuhan tersebut. Meninggalkan Rajendra dengan beberapa kantong plastik besar berisi mainan.

Seperti kata Monik. Jika Sarma adalah perempuan yang dermawan, setiap bulan ia akan berkunjung ke panti asuhan ini untuk menemani anak-anak penghuni panti asuhan ini. Selain membawakan makanan dan camilan, Sarma juga menyiapkan mainan yang sudah ia beli khusus untuk mereka.

Sedikit kepayahan Rajendra jika harus membawanya secara langsung. Dari segi berat sebenarnya bisa dibilang ringan, bagi ukuran lelaki sekekar Rajendra. Hanya saja banyaknya isi dalam kantong plastik tersebut membuatnya mengembung tanpa bisa disiasati lagi.

"Aku bantu ya, Om!" Sebuah suara anak perempuan yang langsung mengambil alih kantong plastik dari tangan Rajendra. Membuat si pemegang terdahulu hanya bisa diam mematung.

"Yuk, bantuin Omnya bawain kantong plastik ini." Lagi-lagi ucapan anak perempuan itu mampu menggerakkan beberapa anak lelaki yang tadinya sedang asyik bermain, ikutan membantu si gadis cilik itu.

Rajendra yang tak sempat melihat wajah gadis cilik itu, hanya bisa memandang punggung kecil tersebut yang sudah menjauh memasuki rumah.

Rajendra sendiri tak tahu apa yang terjadi, namun suara gadis cilik yang memakai kaos merah muda dipadu dengan celana jins selulut terdrngar merdu di telinga Rajendra.

Membuat dadanya mendesir, dan merasakan kenyamanan yang selama ini tak ia rasakan.

Beberapa kali Rajendra mencuri lirikan keluar rumah, lebih tepatnya di taman belakang panti asuhan ini. Mencoba mencari sosok gadis kecil pemilik suara merdu tersebut.

Banyaknya anak perempuan yang seumuran dengan gadis yang ia cari, membuat Rajendra sedikit kesulitan untuk mengenali. Apalagi ada beberapa anak perempuan yang memakai kaos berwarna merah muda.

"Nak Jendra ingin keluar?" tanya Ibu Tyas—pengurus panti asuhan.

Rajendra hanya menyunggingkan senyumnya. "Kalau boleh, Bu."

Hanya sebuah anggukan dari bu Tyas menjadi jawaban Rajendra. Tanpa pikir panjang lagi, Jendra melangkah keluar menuju taman belakang yang cukup luas untuk bermain sepak bola bagi anak-anak lelaki.

Kedatangan Rajendra sendiri sudah disambut meriah oleh anak-anak lainnya, yang mengingkan Jendra ikut bermain bola.

Dengan penuh semangat Rajendra membuka kancing pada manset lengannya dan menggulungnya sesiku.

Tak ada salahnya ia bermain dengan anak-anak ini. Pikir Rajendra melanjutkan langkahnya.

Tiba-tiba saja, langkahnya terhenti akibat tabrakan yang diakibatkan oleh dua anak perempuan yang sedang berlarian.

Rajendra memandang gadis yang tanpa sengaja membentur perutnya.

Sedikit ketakutan, gadis itu melirik ke atas. Tepat di mana Rajendra juga memandangnya.

Ranjendra hanya bisa diam memandangi wajah gadis cilik di depannya ini. Wajahnya tak asing. Mengingatkannya pada seseorang.

"Auw ... auw," pekik pelan gadis itu seraya memegangi keningnya. Seolah-olah ia telah menabrak pagar besi. Padahal hanya menabrak perut Rajendra.

Sembari meraung kesakitan, gadis itu juga mengintip Rajendra. Ingin melihat bagaimana reaksinya di sela-sela jemarinya, dan berjengit mundur menghindari Rajendra. Jikalau lelaki iti marah akan ulahnya.

Rajendra terkesiap melihat reaksi gadis itu. Seperti deja vu. Jendra seperti pernah berada di posisi seperti ini. Dengan seorang gadis yang tengah merintih kesakitan karena menabrak dada Rajendra, saat ia menginjak bangku sekolah menengah atas.

Suasana sekolah yang sepi membuat Rajendra tak ingin tergesa-gesa memasuki kelasnya. Ia hanya ingin menikmati lorong sepi pagi ini.

Rajendra tengah berjalan santai menuju kelasnya, ia baru saja dari ruangan guru guna mengumpulkan tugas makalahnya.

Tanpa ia sadari seseorang tengah menabraknya. Seorang perempuan dengan rambut sebahu.

Gadis itu melirik ke arah Rajendra, yang masih memandangnya dengan tubuh kaku.

Bukannya meminta maaf, gadis itu malah merintih kesakitan dengan memegangi keningnya, sembari mengintip reaksi Rajendra.

Jangan tanya bagaimana reaksi Rajendra. Ia hanya bisa berdiri kaku, dan terpaku dengan tingkah pola gadis penabraknya itu. Bibirnya mendadak kelu, dan dadanya berdebar hebat.

Hingga senyum lebar tersungging di wajah gadis itu, barulah Rajendra ikut tersenyum. Mencoba membalas senyum si gadis bertubuh kurus, meski sang penabraknya telah lenyap dari hadapannya.

Gadis cinta pertamanya.

"Aya kok nggak minta maaf?" Suara teguran bu Tyas menyadarkan lamunan Rajendra.

Sedangkan gadis yang di panggil Aya, hanya menampilkan cengiran kuda tanpa dosa.

Tampak malu-malu Aya menghampiri Rajendra yang masih menatap Aya dengan intens.

"Maafin Aya, ya, Om," ucap Aya yang langsung mengambil tangan kanan Rajendra dan mencium punggung tangannya.

Lagi-lagi darahnya mendesir, dan debaran jantungnya terpacu saat Aya mencium takzim punggug tangannya.

Perasaan hangat itu mulai menjalari rongga dada Rajendra. Tatapan mata hitam Aya yang berbinar namun jernih, membuat siapa saja yang memandangnya akan tertular keceriaannya.

Mendadak, Rajendra menyunggingkan senyumnya. Melihat mata Aya yang menyiratkan kedamaian.

Sarma sendiri merasa takjub dengan apa yang ia lihat. Seorang Rajendra kusuma Negara tersenyum.

Sarma melayangkan tatapan memujanya pada sosok Rajendra yang kini tengah bermain sepak bola bersama anak panti lainnya.

Ia tak menduga, bahwa keputusannya membawa serta Rajendra membuat ia melihat sisi lain lelaki pujaannya.

Senyum Rajendra bagaikan oase di padang pasir bagi Sarma. Bagaimana tidak, setahun mengenal lelaki itu Sarma hampir tak pernah melihat Rajendra tersenyum.

Ia semakin jatuh cinta pada lelaki matang tersebut. Berdekatan dengan Rajendra juga bukanlah hal yang mudah bagi Sarma.

Wanita ini, jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rajendra Kusuma Negara.

Maka dari itu, ia meminta Fachir—papa Sarma—menjodohkannya dengan Rajendra. Yang notabene adalah patner bisnisnya.

Sejak saat itu, ia selalu berjuang mendapatkan perhatian Rajendra.

Acap kali Sarma mengajak Rajendra makan siang atau hanya menginginkan lelaki itu menemaniya belanja dan berkencan, ia tahu bahwa semua yang Jendra lakukan adalah bentuk menghormati Monik dan Fahcir sebagai rekan bisnis.

Meski Rajendra tak mengeluh akan sikap Sarma yang mendadak manja jika berdekatan dengan Rajendra, ia tahu bahwa Rajendra tak memiliki rasa yang seperti yang ia rasakan.

Lebih pastinya belum. Sarma yakin bahwa ia bisa membuat lelaki itu jatuh cinta padanya. Dan perjuangannya masih panjang.

Andai kamu tau mas, kalo aku begitu memujamu.

Sarma melengkungkan bibirnya. Tak apa jika Rajendra belum membalasnya, asalkan ia terus berada di samping pria itu. Sudah cukup bagi Sarma. Walau ia tak menampik bahwa sebagian dirinya menginginkan Rajendra menjadi miliknya dengan utuh.

Ah, jatuh cinta itu sungguh menyenangkan.

Rajendra duduk di pinggir lapangan, napasnya tersengal-sengal. Cukup lama ia tak memainkan permainan yang pada umumnya dilakukan oleh sebelas orang ini.

Peluh membanjiri seluruh tubuhnya, hingga membasahi kemeja putihnya. Juga menetes dari rambutnya yang menjuntai turun ke kening dan meluncur bebas ke rahang Rajendra.

Tiba-tiba saja sebuah botol air mineral tersodorkan di depan matanya.

Rajendra memicingkan matanya, guna melihat siapa gerangan pemberi air mineral untuknya.

"Diminum ya, Om." Aya menyunggingkan senyumnya dengan tulus, membuat Rajendra mengelus puncak kepala Aya dengan lembut.

"Makasih ya, Cantik." Puji Jendra membuat pipi Aya merona. Bukannya menghentikan elusannya, Rajendra malah beralih mencubit pipi tembem Aya.

Sedangkan si pemilik, hanya bisa memberengut kesal. "Ih, om nyebelin deh. Sakit tauk!" Pekik Aya tak suka.

"Kamu lucu!"

Aya melotot dikatain lucu oleh Rajendra.

"Iih, kok lucu sih. Aya bukan pelawak yang suka ngelucu."

"Masa?"

"Om kok gak percaya sih?"

"Tapi kenapa ya, tiap deket sama kamu om bisa ketawa?"

"Mana Aya tau. Om!" ucap Aya sewot. Tapi mampu membuat Rajendra semakin tertawa.

"Kamu beneran lucu deh, Ya!"

Aya semakin memberungut sebal. "Terserah om aja deh." Timpal Aya yang mengambil paksa botol air mineral Rajendra dan meneguknya tanpa ampun.

Rajendra tak kuasa mengacak-acak rambut Aya, yang memang sudah berantakan karena berlarian ke sana kemari. Tawa Rajendra semakin berderai melihat wajah kekesalan Aya karena ulahnya.

"Nama om siapa?" tanya Aya yang tiba-tiba menatap lekat.

"Rajendra."

"Rayya Kusuma Negara." ucap Aya dengan lantang, seraya meraih tangan Rajendra.

Yang Rajendra tak tahu adalah Aya begitu bangga menyebut nama lengkapnya. Nama pemberian bundanya. Ada nama ayahnya di sana, yang hingga kini belum pernah ia ketahui siapa dan di mana keberadaanya.

Yang cukup ia tahu bahwa ia masih punya orang tua lengkap. Dan menginginkan kehadirannya.

Senyum Aya mengembang seperti adonan roti yang baru keluar dari oven.

Tanpa ijin, Aya mendaratkan sebuah kecupan di kening Rajendra. Membuat tubuh Rajendra menegang.

Satu kecupan, yang membuat rongga dadanya kembali menghangat. Rajendra tak tahu perasaan apa yang ia rasakan.

Satu yang pasti. Bahagia. Ia bahagia jika berdekatan dengan bocah perempuan bernama Rayya Kusuma Negara.

"Rayya Kusuma Negara," bisik Rajendra mengulang nama gadis itu ketika si pemilik nama sudah pergi dari hadapannya.

«««★★»»»

Uceeeeet, 2ribu word lho ini. Daebak! Demi apa coba? Kalo bukan demi kalian pecinta babang jendra.

Yang udah nagih saya cem nagih cicilan panci yang belom lunas.

So, silakan dibaca.

Hehehehe, gak lupa buat nyelipin nih sesembak akula9i Jiyastri hani1806 Yan_Sue chamoe91 AdeNurhaeni embak syantiksyantik udah mau aku recokin. Meski riset belum kepake. Tapi udah kunoted. 😁😁 monggo dibaca.

Mahalo
-Dean Akhmad-
09-08-2018

Continue Reading

You'll Also Like

3.9M 87.3K 54
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
337K 98 9
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
Cafuné By REDUYERM

General Fiction

122K 11.1K 36
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
944K 21.3K 49
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...