Glass Bead

By Khadevrisaba

917 96 8

Azeral Gilang Fahmi Prastyo memiliki satu rahasia kecil dalam hidupnya. Rahasia itu bukanlah suatu aib bagi c... More

1. Tabrakan
2. Gadis Berseragam Aneh
3. Susu Kotak Rasa Coklat
4. Menemani Pulang
5. Rantai Putus
6. Devil
7. Syarat
8. Khawatir
9. Ditolak? What The Hell???
10. Mulai Menerima
12. Perkelahian
13. Bertemu Kak Arini
14. Melawan Rasa Takut
15. Tumbuh Secara Perlahan
Bukan Update!!!
16. Definisi Suka
17. Party Time
18. Bertemu Kak Bagas
Hasil Ngepoin Si Vanya
19. Pertemuan Pertama
20. Surat dari Neraka
21. Berubah Pikiran
22. Muka Lo Merah
23. Stuck In The Moment
24. Masuk Kandang Singa
25. Awal dari Mimpi Buruk Nomor Dua
26. Rahasia Gilang
27. Sakit
28. Remaja 18 Tahun
29. Kejutan
30. Universitas Cambridge
31. Penyelesaian
32. Penyelesaian II
33. Penyelesaian III

11. Hah! Yang Benar Saja!

27 2 0
By Khadevrisaba

BAB SEBELAS

Ada saatnya kita harus menyerah dengan sikap egois dan mencoba untuk menerima kehadiran orang lain di sisi kita.

Vanya POV

Aku tidak tau kenapa aku harus merasa kesal dengan cowok songong sok perhatian yang berjalan di depanku ini. Hari ini saat melihatnya muncul di depan rumah, tiba-tiba ingin sekali kujambak rambutnya dan kutendang betisnya agar ia merasa kapok. Tidak mengangguku lagi. Tapi niat itu kuurungkan sampai sekarang. Sampai aku berangkat sekolah bersamanya -yang tentu saja dengan menaiki sepeda masing-masing- hingga kami masuk ke dalam kelas.

Aku pasti sudah tidak waras. Aku sedang kesal pada Gilang bukan karena cowok songong itu suka menyuruh-nyuruhku, menasehati, atau sok memperhatiknku. Bukan itu. Tapi aku kesal dengannya karena jawaban yang terlontar dari bibir pedasnya kemarin sepulang sekolah.

"Lo bilang apa tadi? Gue suka sama lo?" cowok songong itu tertawa. Tawa yang membuatku ingin sekali mengutuknya detik itu juga.

"Lo lagi mimpi? Atau berhalusinasi? Pede banget lo, bisa ngira kalo gue suka sama lo. Kalo perhatian gue lo anggep sebagai rasa suka gue ke lo, lo salah besar. Gue perhatian karena emang lo nggak bisa perhatiin diri lo sendiri. Jadi mendingan buang jauh-jauh deh pemikiran super konyol lo yang asli... nggak masuk akal banget. Lo cantik-cantik tapi kok bego sih?" Gilang tertawa lagi.

Itu adalah ucapan terpanjang yang pernah Gilang ucapin selama aku mengenalnya. Aku tau kalau dia itu cowok sok keren yang irit bicara. Dan aku juga tau bahwa kemarin itu adalah pertama kalinya aku melihat Gilang tertawa selepas itu. Tapi cowok songong itu tertawa karena aku. Karena menertawakanku. Dan jangan lupakan bahwa setan itu juga mengataiku bodoh!

Oke, dia sedang mengajakku berperang. Aku tidak akan mengampuninya. Hari ini, biar dia terima akibatnya karena telah menjatuhkan harga diriku. Aku tidak akan mau berbicara dengannya. Kalian dengar? Aku. Tidak. Akan. Mau. Berbicara. Dengannya. Hah! Biarkan saja setan itu ngomong sendiri tapi tidak aku respon.

"Lo nggak pengen nonton pertandingan final antara SMA Pancasila melawan SMA Garuda ntar?" Gilang duduk pada bangku di depanku. Itu bangkunya Dhika. Dan kebetulan si Dhika belum datang.

Aku hanya melirik cowok songong itu sekilas, lalu membuka permainan Voodo pada ponsel. Mulai bermain tanpa menghiraukan Gilang yang kutau sedang menatapku.

"Kalo lo nggak mau nonton ya nggak apa-apa."

Ngomong aja sana sama tembok!

Tapi detik selanjutnya Gilang merampas ponselku begitu saja. Dan itu berhasil membuatku semakin kesal padanya.

"Lo dengerin gue kan?"

Aku menatapnya malas.

"Nanti kalo bel pulang sekolah udah bunyi, lo langsung pulang aja. Nggak usah mampir kemana-mana. Gue nggak tau, tapi perasaan gue lagi nggak enak."

Aku mendengus, "Balikin hape gue."

"Jawab dulu baru gue balikin."

"Iya." Serius, cowok ini super menyebalkan. Gagal sudah hukuman untuk mendiamkannya.

"Iya apa?" Gilang menjauhkan ponselku ketika aku berusaha mengambil benda pipih itu.

"Iya gue langsung pulang."

"Anak pintar." Gilang lalu memberikan ponsel itu padaku.

Cowok itu beranjak menuju bangkunya sendiri tepat saat aku melihat Dhika memasuki kelas diikuti Tania di belakangnya.

Ah iya, sepertinya aku belum bercerita. Disini aku satu bangku dengan Tania. Gadis itu pertubuh kecil dan sangat ramah. Dia tidak pernah tersinggung dengan sikapku yang cenderung menjaga jarak dengan teman-teman yang lain juga dengannya. Aku tau dia gadis yang tulus. Sekilas sikap Tania mirip dengan Andre. Hanya saja bahasa Tania lebih tertata, sedangkan si Andre cenderung bar-bar dan asal bicara. Mereka sama-sama ceria dan ramah.

Kemarin Tania tidak masuk selama tiga hari. Lumayan lama. Dan aku tidak datang untuk menjenguknya. Aku hanya mengucapkan semoga lekas sembuh lewat chat saja.

Lagipula kurasa hubunganku dengan Tania juga tidak seakrab itu. Dan Tania sendiri yang menyuruhku agar tidak perlu datang menjenguknya.

"Gue denger lo pas hari Kamis juga nggak masuk sekolah ya, Van?" Tania bertanya setelah mendaratkan pantatnya di kursi sampingku.

Aku mengangguk.

"Kenapa? Sakit?"

"Hmm. Cuma demam ringan."

"Oh." Tania mengangguk lalu memukul pelan bahu Dhika. "Dhik, gue sama Vanya minjem buku catatan Biologi dong. Pas hari Kamis kita kan nggak masuk."

Aku mengernyit menatap Tania. Kenapa namaku jadi ikut-ikut disebutkan? Tapi Tania yang mengerti hanya nyengir lebar.

"Nih." Ucap gadis mungil itu menyuruhku untuk segera menyalin catatan Dhika di buku. Memang kebetulan hari ini jam pertama juga waktunya pelajaran Biologi. Jadi aku hanya menurut saja dan mulai mencatat.

Bel pelajaran pertama berbunyi tepat setelah kami selesai mencatat. Aku mengikuti pelajaran dengan cukup baik hari ini. Meski tak bisa dipungkiri masih saja ada rasa was-was jika harus bertemu dengan murid-murid SMA Garuda. Kemarin aku juga bertemu lagi dengan Angel. Untungnya aku lebih bisa mengendalikan diri dan bersyukur tidak bertemu lagi dengan iblis itu.

Saat bel pulang berbunyi, aku langsung bergegas pulang. Bukan karena menurut perintah dari cowok songong sok perhatian itu. Tapi lebih kepada karena setiap hari aku memang biasa selalu langsung pulang sekolah tanpa mampir ke tempat lain. Aku masih tidak bisa jika harus bertemu dengan para iblis di sekolahku yang dulu. Aku masih menghindari mereka, dari dulu, dan mungkin sampai selama-lamanya.

Sampai di rumah kulihat jam menunjukkan angka diantara 10 dan sebelas. Masih pukul setengah sebelas pagi. Aku memutuskan untuk mengerjakan PR matematika ditemani bi Minah di ruang tamu. Pukul setengah empat ponselku berbunyi. Ada seseorang yang menelepon, tapi nomor baru. Kuputuskan untuk tidak mengangkatnya. Tapi dering ponselku terus saja berbunyi nyaring, semakin membuatku kesal. Tak lama kemudian ganti ada sms yang masuk. Kulirik layar ponselku dan kupuskan untuk membukanya. Disana terpampang jelas ada 11 missedcall dan satu pesan baru dengan nomor yang sama. Kubuka pesan itu dan langsung terkejut membaca isinya.

From : 085230xxxx
Ntar jam lima sore, gue bakal bikin perhitungan sama Gilang. Lo tau sendiri kan kalo apa yang gue omongin selalu jadi kenyataan.?Gue harap lo penasaran dan mau dateng buat nemuin temen lo yang sok jagoan itu. Kalo lo pengen tau, gue bakal eksekusi si Gilang di gudang deket sekolah.

Aku langsung tercekat setelah membaca pesan itu. Tanpa sadar tanganku gemetar. Tunggu dulu, sepertinya aku mengenali nomor yang mengirimiku pesan tersebut. Tapi siapa? Aduh, aku lupa! Sungguh, nomornya terlihat familiar. Aku.... Astaga!!! Itu... itu nomornya Thommas. Aku yakin sekali. Ya ampun... aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Tuhan....

Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul lima kurang seperempat sore. Aku menghubungi Gilang dengan perasaan khawatir. Dan sial, Gilang tidak mengangkat panggilanku. Tentu saja, cowok itu pasti sedang bertanding sekarang. Atau pertandingannya sudah selesai? Bagaimana ini?

Tapi kenapa aku harus khawatir padanya? Memangnya dia siapaku?
Tapi dia selalu membantuku selama ini.

Gilang juga selalu mengkhawatirkan keadaanku. Meskipun dengan caranya yang super menyebalkan.
Ya Tuhan! Aku bingung!

Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke sekolah menemui Gilang. Kuganti bajuku dengan celana jeans warna navy, kaus t-shirt kera V warna hitam, dan jaket serta sepatu kets putih. Baiklah, sekarang aku semakin panik. Terlebih ketika mengingat ucapan Gilang tadi pagi yang mengatakan bahwa ia punya firasat tak enak.

Aku pergi ke sekolah terpaksa naik taksi. Dan tentu saja di sepanjang perjalanan aku terus mencoba menghubungi Gilang, berharap cowok itu mengangkat telfonku. Tapi usahaku nihil, sama sekali tidak membuahkan hasil. Sebenarnya cowok itu sedang apa sih sekarang? Aduh! Kulihat jam tanganku telah menunjukkan pukul setengah enam tepat saat aku sampai di sekolah. Bagus, aku semakin takut.

Aku langsung berjalan cepat menuju lapangan belakang tempat diadakannya pertandingan basket. Sepertinya acaranya sudah selesai. Kulihat parkiran sekolah hampir kosong dan anak-anak juga pasti sudah pada pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi di tempat parkir itu aku mengenali sepeda yang sangat familiar di mataku. Sepeda gunung warna biru elektrik. Itu sepeda milik Gilang. Berarti cowok itu masih ada di sekolah.

Saat sudah berada di lapangan belakang, aku tidak menemukan Gilang di sana. Tempat itu juga sudah sepi. Hanya ada banyak sampah dan balon-balon yang berhamburan di tengah lapangan. Mungkin balon itu dipakai untuk merayakan kemenangan tim yang menjadi juara satu pertandingan basket. Tapi aku sedang tidak peduli dengan hal itu. Sekarang aku hanya sedang fokus untuk menemukan Gilang. Cowok itu kemana sih....

Ponselku berdering. Kuambil dari saku jaket. Terlihat jelas nama Gilang meneleponku.

"Lo dimana sekarang?" tanyaku tanpa menunggu ia berbicara.

"Di musholah. Lo kenapa missedcall gue---"

Aku langsung berlari menuju musholah tanpa mendengarkan suara Gilang meskipun panggilan itu masih terhubung. Sampai di sana, kulihat Gilang berdiri di depan musholah sambil memandangku dengan raut wajah yang -entahlah, aku tak bisa menggambarkannya- sambil masih meletakkan ponselnya di telinga.

"Lo kenapa? Ngapain kesini?"

Aku berjongkok, mencoba menetralkan degup jantungku dan napasku yang tersengal-sengal. Gugelengkan kepala dengan cepat, "Kenapa lo di sini sendirian? Andre sama temen-temen lo yang lain kemana?" mengabaikan pertanyaan dari Gilang, aku malah balik bertanya dengan nada marah. Aku sedikit kaget, kenapa aku harus marah pada cowok ini?

"Gue mau sholat. Andre sama yang lainnya udah pada berangkat ke restoran Gavana, mau ngerayain kemanangan sekolah kita. Gue emang mau datang telat, soalnya masih ngurusin sesuatu di sini."

"Ngurusin apa?"

Gilang mengendikkan bahu, "Katanya si Thommas mau ngomong sama gue empat mata doang. Kenapa? Kayaknya lo tau sesuatu---"

"Dan lo percaya gitu aja sama omongan dia? Lo dikerjain. Dia mau bikin perhitungan sama lo."

"Maksud lo... dia mau ngehajar gue? Gitu?"

Aku mengangguk, "Dan Thommas selalu menepati ucapannya."

"Gue nggak takut."

"Gue tau. Tapi dia mainnya keroyokan. Gue nggak tau nanti dia bakal bawa berapa teman-temannya. Dan saran gue, lo nggak usah meladeni iblis itu. Karena kalo lo meladeni, maka urusannya bakal lebih panjang lagi. Mending lo menghindar aja. Please, gue mohon sama lo."

Kulihat ada raut tak terima dari wajah Gilang. "Tapi gue---"

"Lo mau ketemuan jam berapa sama Thommas? Ketemuan dimana?"

"Di café pinggir sekolah. Habis ini, selesai gue sholat."

Aku tersenyum miris. Yang kutau, café itu memang berada dekat dengan gudang yang dimaksud Thommas. Iblis itu benar-benar...

"Lo sholat dulu gih. Habis itu langsung ke restoran Gavana. Nggak usah nemuin Thommas segala." Ucapku kemudian.

Akhirnya dengan perdebatan yang cukup pelik, Gilang mau mendengarkan ucapanku. Cowok itu sholat sendiri di mushola, karena kebetulan aku sedang datang bulan. Selesai sholat, kami bergegas keluar sekolah untuk mencegat taksi yang akan mengantarkan kami ke restoran Gavana. Tapi sialnya, saat aku dan Gilang baru saja keluar dari gerbang, kulihat ada beberapa murid SMA Garuda sudah menunggu kami tak jauh dari sana. Thommas memang tidak ada pada gerombolan murid itu. Tapi aku tau pasti bahwa mereka memang utusan Thommas yang disuruh untuk menghajar Gilang. Beberapa dari mereka bahkan membawa kayu. Ya ampun... ini sungguh keterlaluan.

"Sial." Aku mendesis pelan.

Saat kulihat gerombolan itu berjalan mendekat ke arah kami dengan langkah pelan, tanpa pikir panjang kuraih pergelangan tangan Gilang dan kugeret cowok itu untuk menjauh dari sana. "Lari!" bisikku pelan.

Aku bersyukur karena Gilang langsung mengerti maksudku. Cowok itu ikut berlari mengimbangi langkahku. Kulepas pergelangan tangannnya ketika menengok ke belakang. Dan puji Tuhan.... Mereka mengejar dengan semangatnya. Aku harus bagaimana?

Saat aku semakin panik, kurasakan pergelangan tanganku menghangat. Gilang menggandengku dan mengajak aku berlari lebih cepat lagi. Astaga ini gila! Aku hanya mengikuti langkah Gilang dengan tenaga yang mulai habis. Kami berlari melewati rumah-rumah, lorong-lorong, dan akhirnya berhenti pada lorong sempit yang tidak kutau dimana tempatnya. Lagi pula aku sudah tidak peduli. Aku harus bernapas. Ya ampun kepalaku pusing.

Kupejamkan mata, mengatur napasku yang ngos-ngosan luar biasa. Keringat mengucur deras. Lagi-lagi aku tidak peduli. Aku hanya butuh udara saat ini. Udara udara udara... aku butuh udara.

Saat napasku mulai teratur kembali dan pikiranku tidak sekacau tadi, aku baru menyadari Sesuatu. Menyadari bahwa posisiku terlalu dekat dengan Gilang. Kami berdiri berhadapan dan hampir tidak menyisakan jarak sama sekali karena lorong sialan yang super sempit ini. Bahkan tanpa sadar sedari tadi kedua tanganku mencengkeram kemeja depan Gilang hingga semakin membuat posisi ini terasa canggung luar biasa. Lagipula bodoh sekali sih aku, mencengkeram kemeja itu tanpa sadar? Ya ampun.... Memalukan.

Aku mendongak dan langsung bisa menatap mata Gilang yang menunduk menatapku. Kulepaskan cengkraman itu dengan cepat. Aku ingin menggeser tubuh tapi tidak bisa karena kedua tangan Gilang menempel di dinding pada kedua sisi kepalaku. Oh sial! Jantungku bergemuruh lagi. Padahal tadi sudah baik-baik saja.

"Mereka sudah tidak mengejar lagi." Ucapnya dengan nada rendah sambil tetap menatapku lekat, membuatku jengah.

Aku hanya mengangguk sambil menatap ke segala arah, asal tidak menatap mata Gilang.

Hening beberapa saat.

"Jadi maksud lo, lo udah tau kalo Thomas mau ngerencanain ini ke gue?"

Aku mengangguk lagi. Kenapa cowok ini tidak punya niatan untuk bergeser sih? Aku semakin merasa tidak nyaman dengan posisi ini.

"Dan karena itu, lo datang ke sekolah buat nemuin gue dan nolongin gue?"

"Hmm."

"Kenapa lo ngelakuin itu?"

"Lo nggak pengen geser ke samping dikit? Gue nggak nyaman sama posisi ini." Aku mengabaikan pertanyaan Gilang.
"Jawab dulu pertanyaan gue." Desak Gilang.

Aku mendongak, menampilkan wajah malas, "Apa?"

"Lo khawatir sama gue?"

Aku melotot kemudian melirik samping. Aku harus menjawab apa sekarang? Ayo mikir! Mikir Zhevanya! "Gue cuma mau balas budi ke lo karena lo juga sering bantuin gue." Jawabku kemudian. Dan dalam hati aku bersorak mendengar jawaban kerenku itu.

"Oh." Gilang mengangguk-angguk, "Dan kenapa lo keliatan gugup banget kayak gitu?"

Aku tersentak. "Gue nggak gugup." Bantahku cepat.

Gilang tersenyum miring, "Lo nggak lagi ada program buat suka sama gue kan?"

Kali ini kau benar-benar melongo mendengar penuturan cowok itu. Aku mendengus kasar lalu menatap mata kelam cowok songong sok perhatian yang berada tepat di depanku.

"Jangan mimpi!" jawabku kemudian lalu menepis lengan Gilang hingga membuat tubuh cowok itu bergeser sedikit.

Kesempatan itu langsung kugunakan untuk melepaskan diri dan keluar dari lorong sempit sialan itu. Dia bilang apa tadi? Program buat suka sama cowok songong itu? Hah! Yang benar saja!


Continue Reading

You'll Also Like

1M 15.3K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
1.1M 44.4K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
614K 24.2K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
PUNISHER By Kak Ay

Teen Fiction

1.3M 116K 44
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...