[END] Eleven Spade

By PhiliaFate

186K 17.5K 2.7K

WATTYS 2019 WINNER - M/T category [Action Mystery] | 17+ for mature theme story #62 in Misteri | #32 di Aksi ... More

Prakata
PROLOG
Chapter 1
Chapter 2
Character Data
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Epilog

Chapter 23

1.8K 271 18
By PhiliaFate

Eleven mendengkus, menyadari sindiran dari ucapan itu. "Masa kecilku tidak menarik," elak Eleven menghabiskan sendok terakhir sarapannya sebelum meminum kopi hitam yang disuguhkan. Begitu cairan hitam itu menyentuh lidah, bau khas kopi langsung menyebar harum dalam rongga mulutnya, membuat Eleven terdiam khidmat. Sungguh berbeda dengan kopi pasir milik kantor polisi. Dia menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari cangkir putih di tangannya, memenuhi paru-paru dengan wangi yang begitu menyenangkan. Dia berharap dapat menyesap kopi sebaik itu setiap pagi.

Spade menyunggingkan senyum tidak yakin sambil menatap Eleven, membuat polisi itu merasa bahwa lagi-lagi Spade menggunakan sihir untuk memaksa Eleven menuruti maunya. Pria itu menghela napas dalam, membutuhkan ketenangan dari bau kafein.

"Aku juga seorang anak angkat."  

Spade tidak menunjukkan perubahan ekspresi mendengar kalimat pertama muncul dari mulut Eleven. Dia menatap pria besar di hadapannya tanpa berekspresi, hanya menunjukkan minat yang tinggi terhadap lawan bicaranya. Di lain pihak, Eleven menopang berat badannya di kedua lutut, membuat dirinya duduk menunduk. Mata coklatnya memandang kosong ke arah lantai berkarpet biru tua berperedam. Dia menghela napas berat. Sebenarnya tidak terlalu nyaman untuk berbagi cerita dengan orang lain. Sudah lama sekali masa-masa itu berlalu dan dia masih berusaha meredam mimpi-mimpi yang sering kali muncul. Kilasan-kilasan tentang saat terburuk dalam hidupnya. Dia sekali lagi menarik napas sebelum membuka mulut.

"Aku lahir di kawasan Doorey." Rasanya ada beban yang terlepas ketika dia mengatakan hal tersebut. Dia nyaris tidak pernah menyinggung asal usulnya kepada siapa pun di kepolisian, merasa mereka yang hidup untuk keadilan tidak akan benar-benar bisa memandangnya setara bila mengetahui siapa dia. Namun, dia merasa aman dengan Spade, mungkin karena dia sendiri tahu bahwa pria itu juga bernasib sama dengannya. "Aku tidak tahu siapa ayahku dan aku hidup dengan ibuku yang berusaha menghidupi kami berdua."

Spade masih tidak berkata apa-apa. Iris berwarna toska itu meredup tanpa perubahan ekspresi. Topengnya kembali terpasang. Eleven tidak bisa membaca Spade terlalu banyak tapi berbeda dengan sebelum-sebelumnya, dia tidak terlalu mempermasalahkan. Dia memutuskan untuk percaya pada Spade dan fokus pada kasus ini. Bukan hanya sekedar untuk memecahkannya tapi juga karena tidak ingin Spade kehilangan nyawa.

"Dia adalah wanita yang luar biasa." Eleven menutup mata, membayangkan sosok ibunya yang mengecup keningnya setiap pagi sebelum berangkat kerja, menjadi buruh kasar di kawasan pabrik yang jauh lebih ke selatan dari kota Dallar. Wanita berbadan besar dan kokoh. Eleven ingat ketegarannya melebihi pohon besar yang tumbuh menembus beton di dekat apartemen kumuh tempatnya tinggal. "Dia meninggal ketika aku berusia delapan tahun, dibunuh."

Kerongkongannya tercekat. Ada rasa sakit menggumpal di sana. Eleven menutup mata dan melihat kilasan-kilasan yang muncul di kepalanya. Genangan darah, garis polisi dan rasa kehilangan yang menelan seluruh tubuh kecilnya. Dia menerobos garis polisi dengan harapan dapat merasakan pelukan hangat sang ibu, tapi yang dia dapati hanya mayat terbaring kaku di jalanan. Seorang perampok menembaknya ketika wanita itu menolak menyerahkan hartanya yang tak seberapa. Eleven tidak pernah tahu apakah itu karena ibunya ingin menghidupinya dengan uang itu atau karena dia sudah lelah dengan kehidupan sebagai orang tua tunggal miskin dengan anak lelaki kurus yang harus diberi makan, sehingga memilih mati. Pistol yang ditodongkan padanya hanya memberikan jalan keluar dari nasib kejam. Pemikiran pahit itu tidak pernah lepas dari dirinya hingga remaja dan pada masa-masa itu dia sering berpikir bahwa setidaknya ibunya lebih bahagia di tempat yang berbeda daripada bersamanya di dunia.

Spade tetap tidak berkata apa pun dan memberikan waktu bagi Eleven untuk berbicara, walau pria itu juga diam dan membiarkan pikirannya bersuara dalam keheningan.

"Ibuku tidak memiliki keluarga dan tidak ada yang muncul untuk mengklaimku sebagai saudara jadi aku masuk ke social service." Eleven menelan ludah, merasakan gumpalan rasa sakit itu turun. Matanya kering, hanya tersisa rasa pedih yang membuat dadanya seperti ditekan oleh tangan tak terlihat. Dia ingat masa-masa itu, masa di mana dia merasa tidak diinginkan oleh siapa pun, kesepian dan merasa tidak memiliki tempat di dunia. "Hingga seorang polisi mengadopsiku."

Eleven mengangkat wajah dan memandang Spade, mendapati tatapan yang sama ada di sana. Ada kepedulian tersirat walau tersembunyi dalam. Cukup untuk membuat Eleven tahu, Spade tidak menghakiminya.

"Dia salah satu kenalan detektif yang mengurus kasus kematian ibuku dan hidup tanpa menikah. Dia memutuskan untuk mulai berkeluarga walau tetap melajang." Eleven menyunggingkan senyum samar. Cerita ini sudah masuk ke bagian yang lebih baik. "Seorang pria yang luar biasa dan menjadi figur ayah yang sebenarnya dalam hidupku. Aku tumbuh besar dan mengikuti jejaknya.

Spade ikut menyunggingkan senyum miring. "Kau menjadi polisi karena ingin membuatnya bangga."

"Mudah ditebak, bukan?" Eleven memperlebar senyumnya dan mendengkus.

"I can relate," balas Spade mengangkat bahu kanan karena sisi kirinya masih menusuk-nusuk sakit. "Anak pria selalu ingin menjadi seperti ayahnya."

Eleven bertanya-tanya apakah Spade mengalami hal yang sama. Bagaimana pun juga, pria itu meneruskan kerajaan bisnis sang ayah setelah kembali dari luar negeri. Dia ingin basa basi dengan Spade tapi tahu bahwa hal itu tidak akan berhasil. Faktanya, dia tahu riwayat hidup Spade melalui berkas yang diberikan Kelana. Frank Spade meninggal sekitar empat tahun lalu dan Spade mengambil alih semuanya hingga harus kembali ke Dallar, sebagai pusat dari emporium yang dibangun Frank. 

Di luar kegamangannya, Eleven merasa kelegaan. Rasanya menyenangkan memiliki teman bercerita di luar lingkup kepolisian. Dia tahu Kelana tidak akan memandang rendah latar belakangnya tapi dia hanya merasa tidak bisa terbuka dengan sesama polisi, apalagi mereka tahu bahwa dirinya menyandang nama keluarga salah satu detektif senior mereka.

"Di mana ayahmu sekarang?" Spade menurunkan punggung tempat tidur yang bisa digerakkan. Dia tampak pucat dan lelah. Sepertinya luka itu memang membuatnya lemah. Eleven merasakan rasa bersalah menusuk-nusuk kesadarannya.

"Beliau meninggal setahun lalu, terkena stroke."

"Turut berduka."

"Terima kasih." Eleven tersenyum. "Beristirahatlah."

Spade mengangguk dan mulai mengatur napasnya. 

"Eleven," panggilnya membuat perhatian pria itu kembali pada Spade. "Terima kasih telah mau bercerita. Aku senang kau menganggapku teman."

Eleven mengerjap mendengar perkataan itu keluar dari mulut Spade sebelum dia menyunggingkan senyumi dan berjalan menuju kamar mandi. Dia butuh menyegarkan diri dengan mencuci muka. Mungkin setelah ini dia meminta Kelana untuk mengambilkan baju ganti untuknya, mampir ke rumah sakit sebelum pulang.

"Sudah kuduga aku akan menemukanmu di sini!"

Kelana mengangkat kepala dan mendapati seorang gadis berusia dua puluhan berambut coklat tua sepunggung berkacak pinggang di hadapannya. Alisnya yang rapi tertukik tajam sementara mulut mungilnya merengut. Alih-alih kesal karena dimarahi, Kelana justru menyunggingkan senyum.

"Candari?" tanyanya seraya menutup map di tangan lalu memandang sekeliling. Dia masih di kantor polisi dan duduk di mejanya dan kembali memandang gadis di hadapannya dengan heran. "Kau kemari?"

Candari berdecak sementara Kelana mengambil kursi Eleven dan mempersilakan Candari duduk. Baru saat itu dia menyadari kalau kekasihnya membawa sebuah kotak makan di dalam kantong kertas.

"Makan siangmu." Candari menyerahkan benda itu dan diterima Kelana dengan senyum lebar, berbanding terbalik dengan kekesalan gadis di hadapannya. "Aku berusaha menghubungimu sejak pagi dan semuanya masuk ke kotak suara. Aku tidak tahu apa kau masih di apartemenmu atau sudah di kantor."

Kelana mendengarkan ocehan Candari tetap dengan senyum yang sama dan tidak peduli pada tatapan koleganya yang sinis. 

"Aku tahu kau sedang menangani kasus, tapi bukan berarti kau melupakan hidupmu!" Candari mengakhiri omelannya dengan satu dengkusan kesal.

"Terima kasih sudah mengantarkan makan siang. Aku akan segera menutup kasus ini dan kita bisa berjalan-jalan lagi. Bagaimana kalau aku ambil cuti dan kita ke luar kota?"

"Itu kalau kau masih sehat setelah selesai. Aku yakin maag-mu kambuh karena tidak mengatur makanmu!" Candari melipat tangan di dada.

Kelana meringis, mendapati bahwa tebakan kekasihnya benar. Menyadari itu, Candari makin kesal dan berdiri.

"Akan kupastikan kau makan malam!" Candari berbalik dan hendak pergi. Namun tangannya ditahan oleh pria berkacamata itu.

"Cani," panggil Kelana. Hanya dirinya yang memanggil Candari dengan sebutan itu. "Setelah kasus ini selesai, kita akan membicarakan pernikahan."

Candari menahan napas, menyadari bahwa wajahnya menghangat. Dia menoleh ke arah sekitar dan menyadari bahwa detektif lain di ruangan itu mengamati mereka. Merasa terpergok, pria-pria berkemeja itu berpura-pura kembali sibuk. Rasa malu membuat wajahnya seperti kepiting rebus.

"Terserah!" Candari mengentakkan tangan Kelana dan berjalan keluar diiringi oleh siulan dari para detektif yang kini menggoda Kelana habis-habisan.

Pria itu hanya tertawa sambil mengusir mereka untuk kembali bekerja. Dengan suasana hati lebih baik, dia membuka bekal dari Candari dan mendapati bahwa gadis itu membawakan makanan sehat berserat, campuran antara masakan cina dan masakan dari tanah kelahiran Kelana. Sambil bersiul kecil dia mulai makan sambil membuka kembali map berisi berkas Moore. Sambil makan dia menelaah dokumen itu dan sampai di halaman terakhir. Alisnya mengernyit.

Ada yang aneh dengan berkas itu.

YAY AKU BISA UP!

Akhir-akhir ini aku makin sibuk di pekerjaan. Mana harus mengetik The Bad and The Nerd. Jadi jujur Elspa agak terbengkalai :')

Aku tetap berusaha update minimal seminggu sekali. Aaaaa aku ingin segera menamatkan kisah iniiii dan revisiiiiiih!!!

Adios!

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 339K 61
[Me Series 3] [END] TERSEDIA DI TOKO BUKU Selain penggila kebersihan dan perfectionist, Lay juga tidak pernah berdekatan dengan seorang wanita. Bag...
5.8K 838 31
Henzie, salah seorang anak bangsawan Belanda yang lahir di Rotterdam. Yang cinta pada Netherland, dengan menyebut nama Ratu Wilhelmina, Henzie rela m...
2.7M 338K 48
[ wattys 2020 award winner in historical fiction ] [ 𝐜𝐨𝐦𝐩π₯𝐞𝐭𝐞𝐝; telah terbit bersama Marchen ] Memegang label sebagai intelijen Amerika Ser...
218K 7.9K 70
Suatu hari seorang gadis yang sedang tidur pada malam hari, ia bertemu dengan sosok yang ia rindukan muncul dalam mimpi nya. Yaitu ayah nya beliau me...